2#

Retro-Reflection (sequel to: Thru the Mirror)

 

“Ini.”

Sooyoon menyodorkan sebotol air minum. Baekhyun dengan seragam Hapkido yang basah karena keringat menoleh kepadanya. Ia hanya mengambil botol air itu, membuka tutup dan meneguk isinya. Sooyoon menatap Baekhyun dalam diam. Sepertinya dia kelelahan, pikirnya. Ia sudah sering melihat Baekhyun yang tampak lelah seperti ini. Tidak, ia tidak sering datang ke tempat kursus Hapkido ini. Namun ia tidak pernah melihat Baekhyun tidak kelelahan. Sepertinya anak ini berlatih terlalu keras, pikir Sooyoon tanpa bisa dicegah.

“Aku tidak berlatih terlalu keras.” Baekhyun tiba-tiba sudah menoleh padanya dan mengelak. Sooyoon terkejut. Ia menatap Baekhyun sesaat dan kemudian ia menghembuskan napas. Sudah jelas dia tidak mau mengaku, Sooyoon membatin. Ia menyodorkan handuk kecil pada pemuda itu. Baekhyun mengerutkan kening.

“Aku sudah biasa berkeringat banyak seperti ini, kau tahu. Dan itu bukan berarti aku berlatih terlalu keras dan kelelahan.” Ia memberitahu Sooyoon sambil menyerahkan botol minuman. Sooyoon hanya mengangkat bahu dan memutar-mutar botol minuman di tangannya. Ia tidak perlu menyuarakan apa yang ada dalam kepalanya setiap waktu. Terkadang ia juga ragu bagaimana mengatakannya. Dan rasanya juga sulit untuk menyembunyikan pikiran-pikiran yang muncul begitu saja.

“Kau tidak pernah melihat orang berkeringat banyak?” tanya pemuda itu lagi. ia menyipitkan mata. “Sekali-kali kau juga harus berolahraga, agar kau tahu rasanya bagaimana berkeringat banyak itu,” sarannya. Ia mulai menyeka keringat di wajahnya dengan handuk pemberian Sooyoon.

“Aku tidak ada waktu.” Sooyoon menjawab pendek dan mengangkat bahu.

“Tidak ada waktu tapi kau masih sempat datang kemari melihatku berlatih,” sahut Baekhyun yang masih sibuk menyeka wajah.

Sooyoon menoleh. “Setelah ini kita akan pergi bersama, bukan? Kau sendiri yang menyuruhku datang kemari.” Ia memprotes. Keningnya berkerut.

Baekhyun mengangguk pelan. “Benar, aku yang memintamu datang kemari. Tapi beberapa hari yang lalu kau datang kemari dan kita tidak sedang berencana untuk pergi bersama.” Pemuda itu berkata langsung. Ia memandang Sooyoon sambil memiringkan kepala. Sooyoon sungguh tidak suka bila Baekhyun mulai menatapnya seperti itu. Mendadak ia menjadi gugup.

“Ah, saat itu, saat itu aku hanya ingin datang kemari.” Sooyoon berkata dengan gagap, lalu ia membuang muka. Tak mudah menyembunyikan maksud yang sebenarnya di depan pemuda ini. Pemuda ini selalu tahu apa yang ada dalam kepalaku, keluhnya.

“Tentu saja aku tahu.” Pemuda itu berkata lagi. “Aku tahu sebenarnya kemarin kau datang kemari hanya karena ingin melihatku, bukan? Kau rindu padaku, benar, bukan?” Baekhyun berkata dengan penuh percaya diri. Ia tertawa.

“Ti-tidak. Aku datang bukan untuk melihatmu.” Sooyoon membuang muka, takut pemuda itu melihat wajahnya yang mulai memerah.

Baekhyun menegakkan tubuh sedikit. “Jangan berbohong. Jika kau datang tidak untuk melihatku, lalu kau datang untuk melihat siapa? Murid-muridku?” Ia menunjuk segerombol anak SMA yang berlarian ke arah ruang locker. Anak-anak itu sebagian besar bertubuh tinggi dan Sooyoon memperkirakan tinggi mereka rata-rata seperti Chanyeol.

“Ya, aku datang untuk melihat murid-muridmu,” jawab Sooyoon kesal. Ia pun melirik gerombolan anak SMA itu. Ia mulai menunjuk-nunjuk salah seorang di antara mereka yang ia kenal. Yah, anak itu pernah menyapanya setelah beberapa kali Sooyoon datang kemari. Ia berkata ia heran mengapa Sooyoon selalu menunggui guru mereka. Sooyoon hanya tersenyum saat itu dan sejak itu anak itu sering menyapanya, meski dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi. Anak itu memang selalu terlihat seperti itu. Entah kenapa saat ini Sooyoon ingin mengerjai Baekhyun. Ia tersenyum. “Kau tahu, kau punya murid yang manis sekali. Siapa itu namanya? Ah ya, Oh Sehun! Anak itu manis sekali.”

Baekhyun menekuk wajah dengan kesal. “Yah Park Sooyoon!”

Sooyoon menutup kedua telinganya dengan refleks saat mendengar seruan kesal Baekhyun itu. Ia juga menutup rapat matanya. Setelah beberapa detik, ia tidak mendengar satu suara pun dari pemuda itu. Kebingungan, ia membuka mata perlahan. Baekhyun hanya diam menatapnya. Sooyoon mengerjap kebingungan.

“Eh? A-apa?”

Baekhyun masih diam, dan lama-kelamaan senyum simpul menghiasi bibirnya. Dengan gerakan cepat, Baekhyun mendaratkan sentilan di dahi Sooyoon.

“Yah! Sakit!” Sooyoon memekik kesakitan. Ia melirik Baekhyun yang saat itu sudah menjauh. Pemuda itu hanya tertawa. Sooyoon memasang wajah kesal. Sepertinya pemuda ini senang melihatku menderita, batinnya.

Pemuda itu merangkul Sooyoon. “Maaf, maaf,” katanya sambil terus tertawa. “Aku tidak tahu sentilanku begitu keras.”

Sooyoon menggerutu. “Pasti dahiku sudah memar.” Ia menyentuh pelan dahinya.

“Kau ini berlebihan sekali. Dahimu sama sekali tidak memar,” sahut Baekhyun sambil menyipitkan mata.

“Tapi sepertinya memar,” kata Sooyoon, tidak mendengarkan kata-kata pemuda itu. Baekhyun tertawa kecil, kemudian ia menyentuh dahi Sooyoon dan kemudian meniup tepat di bagian yang telah ia sentil tadi. Sooyoon merasa aneh dengan posisi Baekhyun yang begitu dekat dengannya. Ia tidak berkata apa pun, namun jantungnya berdetak tak karuan dalam dadanya. Ia hanya memperhatikan Baekhyun meniup-niup dahinya. Sejenak tatapan mereka bertemu. Baekhyun menatapnya, dan kemudian tersenyum tipis.

“Sudah tidak perih, bukan? Memarmu sudah hilang,” katanya pelan. Sooyoon hanya mengangguk dengan kaku. Ia menolak menatap Baekhyun dan memilih untuk memandang sekeliling.

Pemuda ini memang menyebalkan, sangat menyebalkan. Namun belakangan, terutama sejak mereka bertemu lagi sekitar setengah tahun yang lalu, pemuda itu sudah tidak seperti itu. Ia masih ketus dan bicara seenaknya, sama seperti dulu, namun Sooyoon bisa melihat pemuda itu menjadi berbeda. Sosoknya menjadi lebih hangat dan ia menjadi sosok yang suka bercanda. Sebenarnya selama ia tinggal di rumah lamanya yang sudah pernah terbakar habis dan kini sudah dibangun kembali menjadi sebuah perpustakaan kecil oleh entah siapa, Sooyoon merasa ia tidak begitu mengenal Baekhyun dengan baik. Tiga bulan tidak membuatnya mengenal pemuda itu dengan baik. Baekhyun tidak bicara banyak saat itu dan bila pun berbicara hanya tentang apakah Sooyoon sudah menemukan cara untuk dirinya keluar dari tempat yang mengurungnya. Baekhyun selalu berbicara dengan ketus dan dingin dan Sooyoon sangat tidak suka dengan hal itu. Dan fakta bahwa pemuda itu mempunyai koneksi dengan pikirannya ia juga tidak menyukainya.

Sooyoon sempat berpikir bahwa sekarang ia sudah mengenal Baekhyun dengan baik. Yah, mereka sudah bersama-sama selama setengah tahun belakangan ini. Ia sendiri sudah melihat pemuda itu berubah menjadi hangat. Bila pemuda itu berkata atau pun melakukan sesuatu yang membuat Sooyoon kesal, pemuda itu pasti lekas meminta maaf. Sebelumnya Sooyoon tidak pernah melihat pemuda itu berinteraksi dengan orang lain, karena selama tiga bulan itu pemuda itu berbicara hanya padanya. Namun lihatlah, pemuda itu ternyata orang paling ramah yang pernah Sooyoon temui. Siapa sangka pemuda itu cepat bergaul dengan orang lain? Baekhyun hanya butuh lima menit untuk akrab dengan seseorang.

Ah ya, Sooyoon pertama kali menyadari hal itu saat Baekhyun mengantarnya pulang ke rumah setengah tahun yang lalu. Selagi mereka berdua berbincang di depan rumah, ayah Sooyoon yang baru pulang kerja menghampiri mereka. Sooyoon bingung bagaimana memperkenalkan Baekhyun pada ayahnya yang saat itu tampak sangat penasaran. Yah, tidak ada teman Sooyoon yang pernah datang ke rumah sebelumnya. Baekhyun dengan sopan dan riangnya memperkenalkan diri kepada ayah Sooyoon bahwa ia adalah teman baik Sooyoon. Ayahnya tampak terkejut, namun setelah berbincang-bincang sejenak dengan Baekhyun, ayahnya menyuruh pemuda itu tinggal untuk makan malam. Ayahnya tampak senang sekali berbicara dengan Baekhyun, hal yang sangat membingungkan untuk Sooyoon saat itu.

Chanyeol pulang tidak berapa lama kemudian dan terlihat sama kagetnya seperti ayah mereka. Baekhyun memperkenalkan diri sebagaimana ia sudah memperkenalkan diri kepada ayah mereka. Chanyeol berbincang sebentar dengannya dan kemudian mereka sudah memperbincangkan banyak hal lain dengan serunya. Chanyeol terlihat seperti sedang berbicara dengan teman lamanya, dan juga terlihat bahwa ia seperti sedang berbicara kepada Jo Jinho atau Kim Jongdae atau Do Kyungsoo. Chanyeol termasuk tipe orang yang ramah, Sooyoon mengakui kakaknya memang seperti itu. Namun kakaknya dan Baekhyun berbeda.

Ya, berbeda.

Jika kau berbicara dengan Chanyeol, kau pasti akan menjadi tahu banyak tentang dirinya. Dan jika kau berbicara dengan Baekhyun, kau akan merasa sebaliknya. Kau tidak akan tahu apapun tentang pemuda itu. Begitulah yang Sooyoon rasakan. Pemuda itu memang ramah, namun ia seperti tidak dengan mudah membiarkan orang lain tahu tentang dirinya.

Sooyoon sampai detik ini masih merasa tidak mengenal Baekhyun dengan baik. Pemuda itu seolah menyembunyikan banyak hal darinya. Tebak, hingga sekarang Baekhyun tidak pernah menjelaskan apa yang ia lakukan satu setengah tahun belakangan, juga bagaimana ia bisa lolos dari kebakaran rumah itu. Pemuda itu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berkata bahwa sekarang ia tinggal di sebuah apartemen kecil dan ia sudah bekerja. Sooyoon sangat bingung mendapati Baekhyun kini menjadi guru Hapkido di salah satu kursus Hapkido yang cukup terkenal di kota. Pemuda itu sungguh punya banyak rahasia, bukan?

Sooyoon tidak pernah memaksa Baekhyun untuk menceritakan segalanya walaupun ia sendiri sangat penasaran. Ia tidak suka memaksa. Ia ingin pemuda itu menjelaskan sendiri tanpa ia minta. Ia lebih suka menunggu. Yah, ia selalu berharap pemuda itu akan menjelaskan padanya karena kadang ia merasa ia terlalu penasaran. Ia bisa saja mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, namun rasanya memikirkan segala kemungkinan itu membuat pikirannya lelah.

Banyak hal yang sudah terjadi, dan percayalah, seperti apapun Byun Baekhyun, Sooyoon tidak keberatan. Ia lebih suka pemuda itu penuh rahasia seperti itu, bicara ketus padanya dan memberikan komentar-komentar menyebalkan atas imajinasinya yang berlebihan daripada pemuda itu berhenti bicara ataupun menghilang dari hadapannya.

Ia harap itu semua tidak akan pernah terjadi lagi.

“Yah, kau tidak boleh melirik orang lain, Park Sooyoon.” Baekhyun menepuk pelan kepala Sooyoon.

Sooyoon melirik Baekhyun yang masih mendekapnya. “Kenapa tidak boleh?” ia bertanya.

“Jangan melirik orang lain, jangan melirik murid-muridku. Pokoknya jangan.” Baekhyun menjawab. Sooyoon mengerutkan kening kebingungan. Pemuda ini aneh sekali, pikirnya. Baekhyun kontan berwajah masam. “Aku tidak aneh, kau tahu,” kata pemuda itu sambil bersungut-sungut. “Selama aku masih di sini bersamamu dan masih bisa menjagamu, kau tidak boleh melirik orang lain.”

Sooyoon mengerjapkan mata. Sebelum ia sempat bertanya, dan mungkin sebenarnya Baekhyun sudah mengerti apa yang hendak ia tanyakan, terdengar suara seseorang memanggil Baekhyun. Mereka berdua menoleh ke arah suara dan ternyata seseorang yang  tingginya hampir 190 cm dan tampaknya juga pelatih di tempat kursus ini memanggil. Orang itu memberi isyarat agar Baekhyun bisa datang menemuinya. Orang itu memberi isyarat agar Baekhyun datang ke ruang locker.

“Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali.”

Sooyoon hanya tersenyum tipis melihat Baekhyun pergi ke arah ruang locker. Ia tidak begitu sering datang kemari namun ia tahu di mana ruang locker berada. Ia juga tahu di mana tempat penyimpanan beberapa alat yang digunakan untuk berlatih. Terkadang mereka menggunakan pedang, tongkat dan alat-alat lainnya, walaupun tidak selalu. Beberapa saat kemudian, Sooyoon sudah kembali sibuk melihat orang-orang yang sedang berlatih dalam gedung ini. Beberapa orang sudah menyelesaikan latihan seperti Baekhyun dan ada juga yang belum selesai. Sooyoon terus memutar matanya ke seluruh penjuru gedung dan sedetik kemudian ia menemukan sesuatu yang aneh, dan sedikit mengejutkannya.

Ada enam pintu untuk dapat masuk ke dalam gedung ini. Empat pintu kecil ada di setiap sudut gedung, dan ada dua pintu besar di tengah. Satu pintu itu tepat berada di belakang bangku panjang yang sedang Sooyoon duduki dan satunya lagi tepat berada lurus di seberang. Setiap pintu besar terbuat dari kaca. Di seberang sana Sooyoon dapat melihat seseorang yang sedang berdiri di luar. Hari sudah cukup gelap dan lampu di luar belum dinyalakan. Ia dapat melihatnya walaupun tidak terlalu jelas dan anehnya, ia merasa orang yang berada di luar itu tepat melihat ke arahnya. Orang itu tidak terlihat bergerak begitu Sooyoon fokus menatap ke sana. Walaupun tidak terlalu jelas, ia bisa melihat orang di luar pintu itu memasukkan kedua tangan dalam saku celana. Orang itu tidak melakukan satu gerakan pun, hanya menatap lurus ke arah Sooyoon. Sooyoon ragu apakah dirinya yang sedang dilihat orang itu. Banyak orang dalam gedung ini dan mungkin orang itu bukan sedang memperhatikannya.

Namun entah mengapa perasaannya berkata orang di luar pintu kaca itu sedang memperhatikannya.

“Yah, kau sedang melihat apa?” tanya Baekhyun yang tiba-tiba sudah kembali. Soyoon lekas memutar kepala menatap pemuda itu. Pemuda itu terlihat heran melihat Sooyoon yang menatapnya dengan ekspresi tegang.

“Bu-bukan apa-apa.” Sooyoon menjawab dengan gagap. Ia kembali melihat ke arah seberang dengan was-was. Orang di luar pintu kaca itu sudah tak terlihat, entah ke mana perginya. Sooyoon menjadi tidak tenang. Apakah tadi ia sedang berimanjinasi? Siapa orang itu? Ia seperti merasa diawasi, dimata-matai. Astaga, ini terdengar sangat berlebihan.

Baekhyun melihat tepat ke arah yang sedang Sooyoon lihat. Sesaat kemudian ia melirik Sooyoon. “Tidak ada siapa-siapa di sana,” katanya, berusaha menenangkan Sooyoon. “Sepertinya tadi hanya orang lewat saja. Dan yah, orang itu hanya kebetulan menatap lurus ke arahmu.”

Sooyoon menatap Baekhyun. Pemuda itu berusaha menenangkannya dan entah kenapa ia tidak juga menjadi tenang. Ya Tuhan, sebaiknya ia berhenti berimajinasi macam-macam. Baekhyun menatap Sooyoon lurus-lurus. Ia menghela napas dan kemudian menepuk pelan bahu Sooyoon.

“Sudahlah, tidak usah dipikirkan.”

 

п

 

Baekhyun sudah berbelok ke ujung jalan itu. Pemuda itu baru saja mengantarkan Sooyoon ke depan rumah. Pemuda itu tidak ingin mampir dulu walaupun Sooyoon sudah menawarinya. Yah, pemuda itu masih ada kelas mengajar malam ini. Sebagai gantinya pemuda itu berkata sebaiknya Sooyoon langsung masuk ke dalam saja namun Sooyoon menolak dengan alasan ia ingin melihat pemuda itu pergi. Jadilah Sooyoon menghabiskan tiga menit berdiri mematung di depan rumahnya, sambil sesekali melambai pada Baekhyun yang berbalik dan melambai-lambai padanya sambil tertawa-tawa. Mendengar Baekhyun tertawa, melihatnya tersenyum, membuat udara di sekeliling Sooyoon tidak lagi dingin. Ia tersenyum sendiri mengingat rencana mereka pergi melihat sakura minggu depan saat ia membuka pintu pagar. Suara berat dan dalam kontan terdengar.

“…tidak, refrensimu masih kurang, Kyungsoo.” terdengar suara Chanyeol. Ah, Oppa sedang berbicara dengan Kyungsoo? pikir Sooyoon. Kyungsoo ada di dalam?

“Aku rasa aku sudah menambahkan banyak hal dan dari sumber yang beragam, Sunbae.” Kali ini terdengar suara pelan dan ringan Kyungsoo. Sooyoon mempercepat langkahnya untuk mencapai pintu. Entah kenapa ia menjadi bersemangat. Ini jarang sekali, Kyungsoo sudah jarang datang ke rumah. Terakhir kali ia datang adalah dua bulan lalu, saat ia membantu Chanyeol dengan alat-alat proyek. Sooyoon juga jarang bertemu dengannya, terakhir saat acara kelulusan kakaknya dan saat itu pun ia tidak bicara banyak dengan pemuda itu. Belakangan Kyungsoo jarang menelpon ataupun mengiriminya pesan. Entahlah, mungkin pemuda itu begitu sibuk.

Yah semua orang sibuk, namun semua orang di jurusan Kyungsoo lebih sibuk. Mereka punya banyak praktik lapangan dan proyek setiap semester. Hampir setiap minggu mereka pergi ke lokasi proyek dan setelah itu mereka harus mengurus laporan dan begitu terus berulang-ulang. Jika tidak bisa bertahan, kemungkinan orang-orang di jurusan Kyungsoo itu bisa gila. Untungnya Chanyeol, Jinho dan Jongdae juga Kyungsoo punya banyak cara untuk melepas stress. Mereka terkadang pergi ke tempat karaoke, bermain basket, pergi ke tempat game online, ke perpustakaan kota dan rental komik, menonton film di bioskop dan bermain layang-layang di taman. Oh, Sooyoon tahu semua itu karena Chanyeol menceritakannya.

“Ini…menurutku bagian ini perlu dipertegas. Kau harus menjelaskannya dengan rinci.” Terdengar suara Chanyeol lagi.

“Ah, aku ragu bisa melakukannya, Sunbae. Aku tidak tahu di mana harus mencari refrensi untuk bagian itu.”

Saat Sooyoon hendak mencapai pintu, pintu tiba-tiba terbuka. Ia bisa melihat kakaknya dan Kyungsoo keluar dari dalam rumah. Chanyeol menatap Sooyoon sesaat dan kemudian memberi isyarat pada adiknya agar cepat masuk ke dalam. Sooyoon hanya meringis. Ia kemudian melirik Kyungsoo yang sibuk membawa beberapa buku tebal. Senyum yang menghiasi bibir Sooyoon perlahan menghilang. Kyungsoo sama sekali tidak tersenyum melihatnya, malah ia tampak tidak senang bertemu dengannya. Pemuda itu hanya menatapnya dengan tatapan yang sama saat acara kelulusan Chanyeol dua minggu yang lalu. Sooyoon tertegun.

“Aku tahu tempat buku yang lengkap.” Kata-kata Chanyeol memutuskan tatapan lurus Kyungsoo pada Sooyoon. Kyungsoo menoleh pada Chanyeol dengan segera. Chanyeol berkata lagi,”aku akan berikan kau alamatnya. Aku juga tahu beberapa toko loak yang menjual buku untuk refrensimu ini. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan alamatnya untukmu.” Ia berbalik dan masuk ke dalam rumah.

Saat ini hanya ada Sooyoon dan Kyungsoo. Dan Sooyoon tidak pernah menduga suasananya akan menjadi seperti ini. Dingin, kaku dan canggung. Kyungsoo tidak mengajaknya bicara, seakan Sooyoon tidak ada di sana. Pemuda itu juga menolak menatap Sooyoon dan tampak sibuk dengan tumpukan buku yang ada di tangannya. Sooyoon terpengarah dengan sikap Kyungsoo yang seolah tidak mengenalnya. Ia sungguh tidak percaya ia akan merasakan perasaan canggung seperti ini lagi. Ini sama seperti saat pertama kali ia dan Kyungsoo berbicara satu sama lain. Ada apa dengannya? Ada apa dengan Kyungsoo?

“Kyungsoo…” Sooyoon mendapati dirinya memanggil pemuda itu. Pemuda itu tampak mengangkat wajah dengan enggan, dan menatap Sooyoon dengan enggan pula. Dan Sooyoon kembali melihat tatapan itu. Tatapan itu seperti campuran antara marah, takut, kecewa, dan ragu. Sooyoon mengerjap.

Mengapa Kyungsoo menatapku seperti ini?

“Kyungsoo,” Sooyoon lagi-lagi mendapati dirinya memanggil pemuda itu,”ada apa denganmu? Apakah kau sedang ada, eh, masalah?”

Pemuda itu tidak menjawab.

Ya Tuhan, ada apa sebenarnya?

“Ini, Kyungsoo.” Tiba-tiba Chanyeol sudah hadir di antara mereka. Kyungsoo menyambut kertas yang disodorkan Chanyeol, mengucapkan terima kasih dan langsung berpamitan. Sooyoon diam menatap Kyungsoo yang berjalan menjauh dan menutup pintu pagar dengan pelan. Mendadak udara di sekitar Sooyoon terasa berat dan ia merasa tidak tenang. Chanyeol tampak kebingungan melihat Sooyoon yang mematung menatap punggung Kyungsoo yang semakin menjauh dan menghilang. Ia tidak paham bahwa tadi adiknya sama sekali tidak bercakap-cakap dengan Kyungsoo.

“Apa yang sedang kaulihat, Park Sooyoon? Ayo, cepat masuk,” tegurnya.

Sooyoon menghela napas sebelum masuk ke dalam rumah. Ia dengan tergesa masuk ke dalam kamarnya. Ia menutup pintu nyaris dengan keras—karena terlalu tergesa-gesa— dan langsung melempar tubuhnya ke tempat tidur. Ya Tuhan. Ia merasa lelah sekali. Keanehan Kyungsoo ini menambah hal-hal yang ia risaukan. Apakah Kyungsoo punya masalah? Masalah apa? Apakah tentang proyek akhirnya? Mengapa dia tidak cerita padaku? gumam Sooyoon. Tidak, Kyungsoo tidak pernah seperti ini sebelumnya. Bila ia punya masalah, ia pasti menceritakannya kepada Sooyoon.

Kyungsoo sungguh bersikap berbeda padanya. Tatapan itu, terasa aneh sekali. Sudah cukuplah ia melihat tatapan tidak menyenangkan itu di acara kelulusan kakaknya. Saat itu pun, sesaat setelah Kyungsoo turun dari panggung dan bergabung dengan ia, Baekhyun, Chanyeol dan teman-temannya, pemuda itu lebih terlihat gusar. Dan ia selalu menatap Sooyoon dengan tatapan itu. Dan anehnya lagi, pemuda itu tidak bicara banyak pada Sooyoon maupun yang lain. Aneh sekali.

Sooyoon selalu beranggapan Kyungsoo sedang ada masalah, entah masalah apa. Mungkin dia sedang ada masalah dengan keluarganya, pikir Sooyoon. Dan mungkin juga masalah dalam proyeknya, buktinya tadi ia datang meminta bantuan Chanyeol. Ya, ya. Pasti seperti itu. Sooyoon berusaha berpikir positif. Sooyoon ingin menganggapnya biasa saja, berharap masalah Kyungsoo yang entah apa itu selesai, dan pemuda itu bisa kembali bersikap biasa kepadanya. Namun ini sudah ketiga kalinya Kyungsoo melemparkan tatapan tidak menyenangkan itu padanya dan Sooyoon tidak bisa tidak memikirkannya.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Kyungsoo? Sooyoon kembali memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat pikirannya menjadi kusut dan akhirnya ia merasa mengantuk. Ia bangkit dengan mata yang berat dan berjalan ke arah jendela. Ia belum menutup gorden. Ia menguap lebar saat mencapai jendela. Ini memang belum terlalu malam namun suasana area rumah Sooyoon sudah sepi bukan main. Sesaat ia melihat keluar jendela. Sepi sekali, nyaris tidak ada suara dan nyaris tidak ada orang lewat. Ia hampir terperanjat melihat bayangan seseorang yang berdiri di bawah tiang listrik tepat di depan rumahnya. Orang sungguhan kah? Atau hanya khayalannya saja? Mungkin efek kantuk benar-benar membuatnya berhalusinasi karena ia melihat orang di bawah tiang listrik itu tepat melihat ke atas, mendongak melihat jendela kamarnya. Ada saat-saat di mana ia tidak bisa membedakan imajinasi dan kenyataan, dan saat ini ia menolak untuk melihat kenyataan karena berpikir ia terlalu berimajinasi.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
morinomnom
#1
Chapter 8: Oh my god. Akhir ceritanya so sweet bgt ;_; dan rasanya kayak terbangun dari mimpi buruk. Off to your other stories~
weirdoren
#2
Chapter 8: Suho jadi org jahat ;_; tapi asli intinya ini BAGUSSSS bgttt ;;;;;;;
nora50
#3
Baekyhun fanfic?! Oh...update plizz
weirdoren
#4
oke hohoho ditunggu ^^
nammyunghee
#5
@weirdoren : mian, masih dalam proses lol~ kkk ^^;
weirdoren
#6
Updatenya pls T~T