5#

Retro-Reflection (sequel to: Thru the Mirror)

 

“Maaf aku terlambat.” Sooyoon berkata begitu Baekhyun sudah berdiri di depannya. Baekhyun terlihat sama seperti terakhir kali Sooyoon melihatnya sekitar sebulan yang lalu, namun kini pemuda itu terlihat sangat lelah. Bagian bawah mata pemuda itu terlihat menghitam. “Apakah pertandinganmu sudah selesai?” sungguh itu pertanyaan bodoh, karena di leher Baekhyun telah menggantung sesuatu yang berkilau. Medali perak.

Sooyoon menelan ludah. Ia sudah melakukan sesuatu yang salah.

“Sudah, sudah selesai tiga jam yang lalu,” jawab Baekhyun dengan nada tidak menyenangkan. “Mengapa kau datang terlambat? Apakah kau memang tidak ingin melihatku bertanding?” ia tertawa pahit.

“Bukan, bukan! Bukan seperti itu!” Sooyoon menggeleng.

“Lalu apa alasanmu?”

“Aku—“

“Kenapa kau tidak langsung kemari?” Baekhyun mendengus. Ia berkacak pinggang menatap Sooyoon. Sooyoon merasa saat ini Baekhyun tampak seperti Chanyeol yang sedang memarahinya. Dan saat ini pemuda itu benar-benar terlihat kesal. O-oh, ini bukan hal yang bagus.

“Aku sudah akan datang, kau tahu,” kilah Sooyoon,”tapi—“

“Temanmu itu datang kemari?” Baekhyun melirik ke belakang punggung Sooyoon dan melihat Kyungsoo yang sibuk mengamati pertandingan yang berlangsung seru. Sooyoon ikut melirik ke belakang dan melihat Kyungsoo. Kemudian ia segera kembali menatap Baekhyun.

“Ya, aku datang dengannya,” jawabnya kemudian.

“Kenapa kau datang dengan dia?” Baekhyun terlihat gusar.

Sooyoon mengerjap. “Apakah dia tidak boleh datang kemari?” tanyanya dengan bingung.

Baekhyun menghembuskan napas dengan keras dan berlebihan. “Tidak, bukan seperti itu.” ia memutar matanya dengan kesal. “Aku merasa temanmu itu tidak menyukaiku dan kau membawanya kemari. Bagus sekali,” desisnya.

“Kau tidak mau bertemu dengannya?” Sooyoon semakin bingung.

Baekhyun menggeleng. “Bukankah dia mengacuhkanmu? Apakah dia sudah tidak mengacuhkanmu lagi?”

Sooyoon mengerjap sekali lagi.

Aku pikir kau sudah tahu.

“Dan sekarang kau memutuskan untuk selalu melihatnya?” Sooyoon terkejut mendengar perkataan itu meluncur dari mulut Baekhyun.

“Apa maksudmu?”

Baekhyun menatap Sooyoon dengan sinis. Ia tidak menghiraukan pertanyaan Sooyoon. “Aku ingin kau datang untuk melihatku. Apakah itu hal yang sulit? Aku ingin kau melihatku dan mendukungku bertanding. Dan apa yang kudapat di sini?” ia menunjuk-nunjuk medali di lehernya. Sooyoon menelan ludah melihat kekesalan di mata Baekhyun. “Dukungan orang-orang di sini tak ada artinya tanpa kau yang mendukungku. Lalu kau kira aku bisa bertanding dengan baik sementara aku mengharapkan kau datang? Aku menunggumu.

“Aku hanya ingin kau datang dan melihatku, Park Sooyoon.”

Sooyoon tidak berani menatap wajah Baekhyun. Ia memilih untuk menunduk dan menatap kakinya. Dadanya sesak bukan karena Baekhyun yang mengomelinya, tapi karena ia menyesal bahwa ia mengecewakan pemuda itu. Demi Tuhan pemuda itu ingin melihatnya datang dan mendukung. Hanya itu. Mengapa kesannya menjadi sulit untuk Sooyoon untuk melakukannya? Melihat Baekhyun yang mengatakan semua itu, melihat kilasan kecewa di matanya, membuat Sooyoon merasa buruk. Dadanya semakin sesak dan sesaat ia tidak bisa bicara karena lidahnya kelu. Ia bingung hendak berkata apa, kepalanya mendadak kosong. Ini pertama kalinya setelah setengah tahun Baekhyun terlihat sangat kesal dan ketus. Ia seperti kembali ke masa-masa di mana ia terkurung di dalam cermin.

Pemuda itu menatap Sooyoon dengan dingin.

Tatapan yang sudah lama tidak Sooyoon lihat dan tidak ingin ia lihat lagi.

Di antara riuh penonton, Sooyoon serasa tidak mendengar apapun. Ia hanya mendengar jantungnya yang berdetak kencang. Tidak, ia tidak bisa merasa tenang. Tidak sebelum Baekhyun berhenti menatapnya seperti ini.

“Ma-maafkan aku,” kata Sooyoon akhirnya. Ia mendengar pemuda di depannya mendengus keras.

“Sudahlah,” katanya pelan, ia menyentuh kepala Sooyoon. Pemuda itu tampak tidak ingin memperpanjang masalah. Ia terlihat sangat lelah. Sooyoon mendongak dan melihat wajah lelah Baekhyun. Baekhyun hanya tersenyum tipis menatapnya. Meski begitu, perasaan Sooyoon masih tidak tenang. Ia membayangkan hal yang lebih buruk dari sekedar Baekhyun memarahinya.

Dan ia takut ketakutannya itu menjadi kenyataan.

 

п

 

Baekhyun menghempaskan tangan Sooyoon dengan kasar. Sooyoon yang sedang berdiri berhadapan dengan Baekhyun dengan kepala yang sangat berat dan berdenyut sakit terperangah. Pemuda itu melemparkan tatapan kesal, ah, bukan, tatapan benci. Pemuda itu tidak pernah menatapnya seperti itu sebelumnya, ini sangat mengejutkannya. Hatinya nyeri saat itu juga.

“Aku sudah muak, Park Sooyoon. Aku sudah muak, benar-benar muak,” kata Baekhyun dengan suara tinggi. Ia menatap Sooyoon dengan tajam.

“Apa yang kaubicarakan?” tanya Sooyoon, berusaha tetap menatap Baekhyun yang penuh amarah di depannya meski ia sudah tidak tahan. Tatapan pemuda itu begitu menyakitkan.

Baekhyun menggertakkan gigi. “Apakah aku sudah tidak ada artinya lagi bagimu? Benarkah seperti itu?”

“Apa?”

“Kau sudah tidak punya waktu untukku dan kau malah menghabiskan waktumu dengan teman baikmu itu.” pemuda itu menekankan kata ‘teman baik’ dengan nada cemooh. “Kenapa kau melakukan itu? Kenapa?”

“Itu bukan seperti yang kaupikirkan—“

“Pembohong,” potong Baekhyun. “Apakah kau begitu senang menghabiskan waktu dengan dia, hah? Apakah temanmu itu sebegitu menarik dan berharganya sampai-sampai kau lupa padaku?”

Sooyoon tertohok dengan kata-kata Baekhyun yang mengalir seperti air bah itu. Ia tak sanggup berkata-kata. Semua hal menjadi begitu kompleks dan rumit. Kyungsoo memang menjadi semakin dekat dengannya dan selalu pergi bersama dengannya ke mana pun. Pemuda itu selalu muncul di saat yang tidak tepat, saat Sooyoon sudah punya janji dengan Baekhyun, dan ia selalu berhasil mengacaukan rencana Sooyoon untuk pergi dengan Baekhyun. Selalu saja ada alasan, dan ia selalu berhasil membujuk Sooyoon untuk pergi dengannya. Pada dasarnya Sooyoon hanya mengikuti satu ketakutannya, ia takut teman baiknya itu mengacuhkannya lagi, karena itu ia mengabulkan keinginan pemuda itu.

Dan itulah hal yang membuat semuanya menjadi kompleks seperti ini.

Pada awalnya Baekhyun mengerti hal itu, meski sejak awal ia tampak tidak begitu menyukai gagasan itu. Semua alasan Kyungsoo tidak ada yang tidak masuk akal. Pemuda itu juga bergaul dengan baik dengan Baekhyun, meski Baekhyun tampak tidak terlihat seramah biasa. Dan dari semua minggu-minggu yang terlewat dengan keadaan seperti itu, akhirnya Baekhyun tidak tahan juga.

“Aku sudah mengatakan padamu, kau tidak boleh melirik orang lain selama aku masih di sini dan bisa menjagamu,” desis Baekhyun,”dan beginilah bila kau melakukannya, kau lupa padaku, Park Sooyoon,” sambungnya dengan nada marah yang sama.

Mata Sooyoon sudah mulai berair.

Tidak seperti itu, Baekhyun. Tidak seperti itu.

Tidak seperti biasa, pemuda itu tampak tidak bisa membaca apa yang ada dalam pikiran Sooyoon. Pemuda itu terus terlihat marah. Baekhyun menatapnya lurus-lurus. “Lalu kaupikir mengapa aku mengatakan itu padamu? Apakah kau tahu alasannya?” Sooyoon masih membisu meski matanya semakin berkaca-kaca.

“Aku sendirian di dunia ini dan hanya kau yang aku miliki. Apakah kau tidak tahu itu? Kaupikir siapa lagi yang aku punya? Selama ini aku selalu bergantung padamu. Lalu jika kau melupakan dan meninggalkanku seperti ini, pada siapa aku akan bersandar?”

Mata Sooyoon melebar. Dadanya sesak.

Baekhyun di depannya semakin tersulut api amarah. “Jika kau sudah tidak peduli padaku lagi, sebaiknya aku menghilang dari hadapanmu.”

Apa?

Apakah Sooyoon tidak salah dengar?

Apakah Baekhyun tidak salah bicara?

“A-apa maksudmu?” tanya Sooyoon dengan suara serak dan gagap. Ia mengerjap beberapa kali, seolah tidak percaya dengan apa yang sudah Baekhyun katakan.

“Kita sudahi saja sampai di sini. Aku pergi.” Baekhyun membalikkan tubuh dan hendak berjalan pergi.

Mata Sooyoon semakin melebar. Ia menahan pemuda itu. “Tunggu!”

Pemuda itu menghempaskan tangan Sooyoon sekali lagi dengan kasar. Ia tidak memperdulikan Sooyoon yang memanggilnya dan terus berjalan menyebrangi jalan dengan langkah lebar.

Jangan, jangan pergi. Jangan menghilang dari hadapanku.

“Baekhyun!” Sooyoon berusaha memanggil. Air mata sudah mengalir deras dari kedua bola matanya. Tidak, tidak bisa seperti ini. Tidak boleh seperti ini. Ia hendak berlari mengejar Baekhyun saat kendaraan sudah kembali lalu lalang. Dari belakang, Kyungsoo menahannya.

“Biarkan dia pergi, Sooyoon. Ini adalah keputusannya,” kata Kyungsoo pelan, dekat di telinga Sooyoon,”jika dia benar-benar menyayangimu, dia tidak akan meninggalkanmu. Dia pasti akan kembali.”

Sooyoon berusaha melepaskan diri dari pegangan Kyungsoo, ingin mengejar Baekhyun. Ia menangis saat punggung Baekhyun sudah menghilang dengan cepat, secepat langit yang berubah menjadi gelap.

Pemuda itu sudah meninggalkannya.

 

п

 

“Noona~!”

Sooyoon membuka matanya yang berat dan melihat seseorang sudah berdiri di depannya. Orang itu membungkuk dan memeluk Sooyoon yang sedang duduk tertidur di sofa.

“Noona, aku merindukanmu!”

Sooyoon mengerjap, sedetik kemudian ia baru menyadari bahwa yang memeluknya adalah adik sepupunya. “J-Jongin? Kenapa kau ada di sini?” tanyanya bingung.

Kim Jongin melepaskan pelukannya dan menatap Sooyoon dengan alis berkerut dan wajah mengantuk. “Bukankah Noona sudah tahu kenapa aku datang hari ini?” ia balik bertanya.

Sooyoon terdiam dan Chanyeol yang membawa tas besar milik Jongin berkata,”Jongin akan masuk kuliah beberapa hari lagi. Makanya dia datang kemari dan akan mulai tinggal di sini.”

Sooyoon mengerjap. “Kau kuliah di Seoul?” ia menatap adik sepupunya yang sedang berdiri menegakkan tubuh.

“Bukankah Noona sudah tahu?” Jongin mengulangi pertanyaannya. Ia menatap Sooyoon kebingungan dengan wajah mengantuknya.

Benarkah ia sudah tahu? Sooyoon memijat pelipis. Astaga, ia melupakan fakta itu. Chanyeol sudah memberitahukannya sejak lama, begitu juga Jongin. Astaga, sungguh banyak hal yang membebani pikirannya sehingga ia melupakan banyak hal lain. Jongin menatap Sooyoon dengan ingin tahu, seolah saat ini Sooyoon sedang bercanda bahwa ia melupakan kedatangan Jongin.

“Jongin, jangan menanyakan banyak hal pada Noona-mu. Noona-mu itu sedang sakit,” kata Chanyeol sambil duduk di sofa di depan Sooyoon. Sooyoon mengerling kakaknya.

“Aku tidak sakit, Oppa,” jawabnya pelan.

“Lalu mengapa setiap tengah malam kau mendapat serangan sesak napas? Kau juga mengeluh kepalamu sakit,” desis Chanyeol, wajahnya berkerut tidak senang. Ia tidak tampak selalu bahagia seperti biasa. Ia tampak sedikit murung. Sooyoon tidak suka melihat kakaknya seperti itu. Wajah kakaknya menjadi aneh.

Jongin terkejut. Wajah kantuknya sedikit hilang. “Astaga, apakah Noona benar-benar sakit?” tanyanya cemas.

“Ya,” sekali lagi Chanyeol menjawab sebelum Sooyoon sempat membuka mulut untuk bicara,”dan Noona-mu itu menolak untuk pergi ke rumah sakit.”

“Aku baik-baik saja, Oppa. Aku tidak perlu pergi ke rumah sakit,” balas Sooyoon. Chanyeol terlihat tidak senang dengan jawaban Sooyoon itu. Sooyoon tahu kakaknya itu mencemaskannya, begitu juga dengan ayah mereka. Sudah lebih dari seminggu Sooyoon terserang sesak napas setiap malam. Dirinya tidak punya riwayat penyakit asma namun ia tidak mengerti mengapa sekarang ia mendapatkannya. Ia bersikeras ia tidak sakit maka dari itu ia menolak untuk pergi ke rumah sakit. Ia merasa sehat, paling tidak di siang hari. Di tengah malam ia akan terlihat sangat menyedihkan. Saat-saat itu ia akan merasakan napasnya akan hilang, ia merasa sebentar lagi ia akan mati. Chanyeol dan ayah mereka selalu datang ke kamarnya setiap tengah malam dan memberikannya obat dan alat bantu pernapasan. Ia akan membaik dalam dua sampai tiga jam setelahnya dan setelah itu ia tidak akan kembali untuk tidur.

Chanyeol tidak suka melihat Sooyoon sakit seperti ini. Ia menjadi kesal setiap kali ia membujuk Sooyoon untuk periksa ke rumah sakit dan Sooyoon menolak. Mereka sudah sering berdebat mengenai hal ini. Chanyeol mendengus, bangkit dan membawa tas besar Jongin.

“Kamarmu di sebelah kamarku, Jongin,” katanya sambil berjalan menaiki tangga.

“Baiklah, Hyung,” jawab Jongin sebelum akhirnya kembali menatap Sooyoon. “Kau tampak pucat, Noona. Sebaiknya Noona pergi ke rumah sakit untuk berobat,” sarannya.

Sooyoon hanya menggeleng. Tidak, ia tidak merasa sakit. Ia tidak sakit. Ia hanya merasa sesak napas dan sakit kepala sesaat ia terbangun dari tidurnya, setiap tengah malam, dan ia memimpikan tentang Baekhyun dan ruangan itu. Ya, ia tidak berhenti memimpikannya hingga hari ini. Ia tidak mengerti mengapa ia terus memimpikannya. Mimpi-mimpi itu menjelma menjadi mimpi terburuk yang pernah didapat olehnya. Ia terbangun setiap malam dan ia menolak untuk kembali tidur karena ia takut mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu begitu-begitu saja, tidak aja kejadian lain yang berarti. Ia hanya melihat Baekhyun dalam ruangan pengap, dingin dan gelap itu, nyaris setiap hari seperti itu. Mimpi-mimpi itu terlihat sangat nyata. Ia seperti sedang menonton film tua dengan jalan cerita yang mudah ditebak dan sudah ia ketahui sebelumnya. Membosankan, tidak menarik, tidak menyenangkan. Begitukah hari-hari yang Baekhyun alami di dalam cermin?

Ia tidak pernah menanyakannya pada Baekhyun. Seminggu belakangan ia tidak bisa menghubungi pemuda itu. Ponsel Baekhyun tidak pernah aktif. Sooyoon sudah pergi ke kursus Hapkido dan ia hanya dapat menemukan Oh Sehun, yang berkata bahwa guru mereka sudah beberapa hari tidak datang untuk mengajar. Astaga, kemana pemuda itu pergi? Sooyoon merasa semakin terpuruk dengan semua keadaan ini. Ia merasa sangat bersalah kepada pemuda itu, namun pergi untuk meminta maaf pun tidak bisa. Pemuda itu sungguh menghilang dan ia merasa sangat sedih. Terkadang ia mendapati dirinya meneteskan air mata tanpa ia sadari. Baekhyun begitu berpengaruh padanya.

Jongin sudah menyusul Chanyeol ke lantai atas saat Sooyoon meraih ponselnya yang tergeletak tak berguna dengan flip terbuka di atas meja. Ia menatap layar ponselnya lama. Ia melihat selca terakhirnya bersama Baekhyun, di mana Baekhyun yang masih mengenakan seragam Hapkido lengkap dengan medali tergantung di leher merangkul dirinya sambil tersenyum lebar. Dada Sooyoon kembali terasa sesak. Ia sangat  merindukan pemuda itu. Apa yang harus ia lakukan?

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
morinomnom
#1
Chapter 8: Oh my god. Akhir ceritanya so sweet bgt ;_; dan rasanya kayak terbangun dari mimpi buruk. Off to your other stories~
weirdoren
#2
Chapter 8: Suho jadi org jahat ;_; tapi asli intinya ini BAGUSSSS bgttt ;;;;;;;
nora50
#3
Baekyhun fanfic?! Oh...update plizz
weirdoren
#4
oke hohoho ditunggu ^^
nammyunghee
#5
@weirdoren : mian, masih dalam proses lol~ kkk ^^;
weirdoren
#6
Updatenya pls T~T