4#

Retro-Reflection (sequel to: Thru the Mirror)

 

“Astaga.” Chanyeol menggeleng-geleng melihat Sooyoon yang tidak berhenti bersin. Sooyoon hanya memandangi kakaknya itu sekilas lalu terus memakan bubur yang sudah dimasak oleh Kyungsoo. Ia, kakaknya dan Kyungsoo saat ini sedang berada di ruang tengah. Kyungsoo, seperti biasa, sedang ada urusan dengan Chanyeol, makanya ia datang kemari. Ia sudah melihat Sooyoon sejak di kampus dan berusaha memanggilnya. Namun Sooyoon tidak juga menoleh maka ia memutuskan untuk berjalan di belakang Sooyoon.

“Kau kedengaran seperti penguntit, kau tahu,” kata Chanyeol, beberapa menit yang lalu, menanggapi tuturan Kyungsoo. Kyungsoo hanya mengangkat bahu.

“Mau bagaimana lagi? Sooyoon sama sekali tidak mendengarku,” katanya.

Sooyoon sama sekali tidak mengira Kyungsoo melihatnya sejak ia masih berada di area kampus. Ia melihat pemuda itu dari kejauhan dan ia yakin pemuda itu sama sekali tidak melihatnya. Namun siapa yang mengira ternyata Kyungsoo melihatnya dan berusaha memanggilnya untuk pergi bersama-sama? Sooyoon rasa pikirannya terlalu melayang ke mana-mana saat itu, sehingga ia tidak fokus. Kepalanya juga berat dan pusing bukan main. “Maaf, aku tidak mendengarmu,” katanya dengan nada menyesal.

“Bukan apa-apa.” Kyungsoo hanya tersenyum tipis. “Aku memang terdengar seperti penguntit. Wajar saja kau berlari seperti itu.”

Sooyoon merasa lega meskipun ia kebingungan. Ia sudah berbicara seperti biasa kepada Kyungsoo. Ya, semuanya sudah terlihat seperti biasa. Pemuda itu tidak lagi mengacuhkannya, tidak lagi menatapnya dengan tatapan aneh. Meski Sooyoon masih tidak mengerti alasan pemuda itu mengacuhkannya, ia berpikir masalah pemuda itu—apapun itu Sooyoon masih belum tahu—sudah selesai. Pemuda itu terlihat lebih ceria dan bersemangat dari terakhir kali Sooyoon bertemu dengannya. Dan pemuda itu sudah kembali seperti biasa, tidak lagi mengacuhkannya. Itu yang membuat Sooyoon senang.

“Minumlah obatmu setelah ini, Park Sooyoon, dan lekaslah naik ke kamar dan tidur,” omel Chanyeol sambil berkacak pinggang. “Kehujanan seperti itu pasti membuat kepalamu semakin pusing.”

Sooyoon mengangguk meski ia masih sibuk menekuni buburnya. “Aku mengerti, Oppa.”

Chanyeol mengangguk-angguk kemudian ia menoleh pada Kyungsoo. “Oh, kau datang untuk mengambil alat proyek yang itu?” tanyanya.

“Ya, Sunbae.” Kyungsoo menjawab.

“Tunggulah sebentar. Aku akan mengambilnya.” Chanyeol berbalik dan berjalan menuju tangga. Sooyoon lupa bahwa hari ini kakaknya sedang libur bekerja sehingga jam seperti ini kakaknya itu berada di rumah. Ia sedikit merasa aneh. Ia juga sedikit merasa aneh saat ini, saat hanya berdua dengan Kyungsoo. Kyungsoo terlihat menatap televisi dengan konsentrasi penuh. Ya, pemuda itu sejenak tidak bicara lagi. Namun, setidaknya perasaan canggung itu sudah sedikit menghilang.

Televisi sedang menayangkan berita tentang kejuaraan Hapkido yang di selenggarakan secara marathon di lima kota. Sooyoon menegakkan tubuh dan memandang televisi dengan lebih serius. Sekitar semenit berita itu disiarkan dan ia tidak sedikit pun melihat Baekhyun tertangkap kamera. Ia menjadi sedikit lemas. Ia berharap terlalu banyak. Ia kembali menunduk dan berkonsentrasi kepada mangkuk buburnya. Tanpa disangka, Kyungsoo memperhatikan reaksi Sooyoon itu.

“Ada apa? Apakah orang yang kau cari tidak muncul di televisi?” tanyanya, mengejutkan Sooyoon. Sooyoon melebarkan mata dan mendongak menatap Kyungsoo. Kyungsoo hanya memasang ekspresi tenang yang biasa. Sooyoon meringis meski ia tidak mengerti bagaimana Kyungsoo bisa mengetahui hal itu. Ya, ia tidak pernah menceritakan tentang Baekhyun kepada pemuda itu, termasuk tentang hubungan mereka. Ia baru memperkenalkan Baekhyun kepada Kyungsoo saat pesta kelulusan Chanyeol.

Pesta kelulusan kakaknya, sejak itulah sikap Kyungsoo berubah. Dengan tiba-tiba muncul ide dalam benak Sooyoon untuk bertanya kepada Kyungsoo. Ini mungkin aneh dan terlalu mendadak, namun ia begitu penasaran. “Kyungsoo, apakah, eh, apakah kau punya masalah belakangan ini?” tanyanya dengan aneh.

Kyungsoo memandangi Sooyoon. “Masalah?”

“Ya, masalah. Apakah kau punya masalah?” tanya Sooyoon dengan ragu. Ia tak yakin Kyungsoo akan menjawabnya. Ia sendiri takut bila ia bertanya, pemuda itu akan kembali seperti hari-hari sebelumnya, bersikap dingin kepadanya. Ia sungguh tidak menginginkan hal itu. Namun ia tetap ingin bertanya. Tidak ada salahnya mencoba, bukan?

Kyungsoo tampak berpikir keras. Ia menepuk-nepuk pelan dagunya dengan jari telunjuk. “Aku memang punya masalah,” katanya kemudian.

“Benarkah?” Sooyoon mengerjap. Jadi dugaannya selama ini benar?

“Ya.” Kyungsoo mengangguk pelan. Ia memasang wajah serius namun sedetik kemudian ia tertawa. Sooyoon ikut tertawa melihatnya. Sungguh, ia sangat senang mereka sudah bisa bercanda seperti ini. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini saat ia bersama Kyungsoo. Dengan cepat ia melupakan fakta bahwa pemuda itu pernah mengacuhkannya lama sekali.

“Apa masalahmu? Apakah sangat serius?”

“Ya, ya. Sangat serius.” Kyungsoo menghela napas dengan berlebihan sambil mengangguk-angguk. Sooyoon tertawa kecil melihat ekspresi Kyungsoo.

“Apa itu?”

Kyungsoo menatap lurus ke arah Sooyoon. Dengan senyum kecil, ia berkata,“Aku merasa aku sudah jatuh hati kepada adik dari salah satu Sunbae-ku.”

Sooyoon mengerjap-ngerjap. Jadi itu kah masalah Kyungsoo? Ini sedikit mengejutkannya. Kyungsoo tidak pernah menceritakan tentang gadis yang disukainya pada Sooyoon. Baru kali ini pemuda itu menceritakannya. Hei, adik dari salah satu Sunbae-nya? Sooyoon berpikir cepat. Ia tidak mengenal banyak senior Kyungsoo. Mungkinkah Sunbae yang dimaksudnya seangkatan dengan Chanyeol? Oke, bila itu benar… Misal senior yang dimaksud Kyungsoo adalah antara Jinho dan Jongdae. Jinho oppa hanya punya seorang Hyung, pikir Sooyoon. Jongdae oppa adalah anak tunggal. Dan misal Sunbae yang dimaksud itu Chanyeol oppa…

Sooyoon terdiam. Yang benar saja? Segera, ia menemukan jawabannya dari kata-kata Kyungsoo selanjutnya.

“Aku berpikir keras, mungkin aku tidak menyukainya seperti itu. Tapi memang tidak, sejak pertama bertemu dia di sebuah bazaar buku, aku sudah merasa sesuatu yang berbeda. Aku memang menyukainya sejak awal. Aku tidak menyukainya sebagai seorang teman. Dan beberapa waktu ini, aku meyakinkan diriku apakah yang aku rasakan benar seperti itu. Akhirnya, aku malah berhenti bicara padanya selama berminggu-minggu.

“Dan baru hari ini aku kembali bicara padanya.”

Sooyoon mendadak tersedak. Kyungsoo buru-buru memberikannya segelas air. Sooyoon meminum airnya sementara Kyungsoo hanya memandanginya sambil tersenyum kecil dan menepuk pelan kepalanya. Jantung Sooyoon berdebar keras. Ini tidak seperti yang ia pikirkan, bukan? Orang yang dimaksud Kyungsoo pasti bukan dirinya.

Bukan, pasti bukan.

Pasti yang dimaksud Kyungsoo adalah orang lain, adik dari Sunbae-nya yang lain.

 “Aku tidak peduli dia bersama siapa sekarang. Aku akan mempertahankannya agar dia bisa terus bersamaku.” Sooyoon mendengar Kyungsoo berkata lagi.

Setelah hampir sejam ia berada di rumah, kepala Sooyoon kembali berdenyut sakit.

 

п

 

Entah mengapa Sooyoon terus bermimpi tentang Baekhyun dan ruangan pengap dan gelap itu. Ruangan itu selalu ia sebut sebagai refleksi kamar lamanya, tentu saja dengan versi yang lebih gelap, lembab dan penuh debu. Yah, ia sudah menyebutnya seperti itu sejak beberapa hari yang lalu meski ia sendiri menolak memercayai bahwa ruangan itu kemungkinan adalah ruangan di dalam cermin. Mimpi-mimpi itu datang tak berhenti. Sooyoon terus memimpikannya setiap malam. Namun mimpi-mimpi itu, ia rasa, bukanlah tipikal mimpi buruk di mana kau akan terbangun saat memimpikannya. Ia tidak pernah terbangun saat memimpikannya. Entahlah, mimpi-mimpi itu bisa dikategorikan sebagai mimpi buruk atau tidak. Selama memimpikannya, Sooyoon selalu melihat hal yang sama.

Ya, hal yang sama.

Ia selalu melihat Baekhyun di ruangan gelap itu, entah sedang duduk di tepi tempat tidur ataukah sedang berjalan berkeliling kamar dengan kesal. Wajah Baekhyun mengeras tidak senang. Ia mengerling setiap sudut kamar dengan tatapan kesal. Sooyoon terkadang melihat pemuda itu mengetuk-ngetuk cermin dengan keras, memukul-mukul dinding, mencoba membuka jendela dan berakhir dengan menendang lemari, tempat tidur dan juga menghentakkan kaki dengan kuat ke lantai. Setiap kali Baekhyun menghentakkan kaki, Sooyoon merasa sekelilingnya jadi begitu gelap. Yah, kamar ini memang gelap, namun setelah itu kamar menjadi lebih gelap lagi. Sepertinya lampu di luar rumah mati mendadak dan entah sebenarnya apa yang terjadi di luar. Dan kadang juga terjadi hal sebaliknya.

Meski Sooyoon kebingungan dengan tingkah Baekhyun itu, ia mengerti pemuda itu sedang berusaha untuk keluar dari ruangan gelap ini. Tidak banyak yang bisa Baekhyun lakukan. Semuanya sia-sia. Pemuda itu sendiri tidak pernah mendekati pintu yang penuh dengan sayatan belati dan simbol-simbol segienam aneh. Mungkin akan sama, akan sia-sia.

Dari waktu ke waktu, Sooyoon hanya melihat Baekhyun melakukan itu semua. Bila pemuda itu kelelahan, ia pasti duduk di tepi tempat tidur setelah sebelumnya menendang tempat tidur itu. Wajahnya terlihat gusar. Setelah diam beberapa saat, pemuda itu akan bangkit dan melakukan hal yang sama. Pemuda itu cukup keras kepala. Yah, ia memang keras kepala.

Mimpi-mimpi Sooyoon selalu datang secara acak. Ada suatu saat di mana ia bisa melihat dirinya di dalam cermin—ia berdiri dengan kaku di depan cermin, terlihat sedang berbicara kepada Baekhyun melalui cermin— dan ada saat di mana cermin itu kosong, sama sekali tidak memantulkan apapun. Dan ada satu hal yang Sooyoon ingat dengan jelas. Ada suatu saat di mimpinya, saat cermin terlihat sangat kosong, ia mendengar langkah kaki dan suara-suara samar. Saat itu Baekhyun yang sedang duduk di tepi tempat tidur terdiam. Ia tampak menajamkan pendengarannya. Ia sama sekali tidak bergerak. Ia mendengarkan semua suara dengan seksama. Langkah kaki itu mendekat, kemudian menjauh. Hal itu entah mengapa membuat Baekhyun kesal. Ia kembali menghentakkan kaki dengan keras ke lantai dan setelah itu yang Sooyoon dengar adalah suara pintu-pintu tertutup dengan keras, dan juga suara jeritan. Sepi kembali menyelimuti kamar saat suara-suara menjerit itu terdengar menjauh dan menghilang.

Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Mengapa mimpi-mimpi itu selalu datang?

“Sooyoon?”

Sooyoon terhentak di kursinya. Baekhyun di seberang telepon memanggilnya. Sooyoon berdeham dan mengutuk dirinya sendiri mengapa ia begitu terhanyut dalam lamunan. “Y-ya?” katanya dengan gagap.

“Kau akan datang, bukan? Pertandingannya akan di mulai pukul 3,” kata Baekhyun dengan latar suara-suara menggema dan sorak sorai. Ia pasti sedang berada di gedung olahraga pusat kota.

Sooyoon mengecek jam tangannya di pergelangan tangan kanan. Pukul 1:17. Ia buru-buru berkata,”Ya, aku akan datang. Tentu saja aku akan datang.”

Baekhyun tertawa kecil di seberang. Sooyoon yang mendengarnya melengkungkan senyum. Hari ini pertandingan Hapkido marathon itu tiba di Seoul. Baekhyun sudah tiba di Seoul sejak dua hari yang lalu namun ia belum sempat bertemu dengan Sooyoon. Hari ini, setelah sebulan lebih, mereka akan bertemu. Sungguh Sooyoon sangat menanti-nantikan hari ini.

“Sampai nanti.”

Sooyoon menutup telpon. Ia membuang napas panjang. Hal yang ia pikirkan saat ini apakah nanti ia harus menceritakan mimpi-mimpi anehnya kepada Baekhyun? Selama ini ia tidak pernah menceritaknnya, ia pikir pemuda itu sudah tahu. Pemuda itu selalu tahu apa yang ada dalam pikiran Sooyoon, bukankah begitu? Namun, pemuda itu tidak mengatakan apa-apa. Entah pemuda itu sudah tahu namun hanya diam atau apa. Sooyoon sendiri kadang berpikir pemuda itu tidak selalu bisa membaca pikirannya setiap waktu.

Ia mengangkat bahu. Sebaiknya ia tidak perlu memikirkan hal ini. Ia bangkit dan berjalan menuju lemarinya. Saat ia sibuk memilih jaket, ponselnya berdenting dua kali. Ada sebuah pesan masuk.

 

Dari : Do Kyungsoo

Sooyoon, bisakah kau menemaniku pergi? Besok ulang tahun ibuku, aku akan membelikannya hadiah. Tolong bantu aku memilihkan hadiah yang cocok. Aku akan tiba di rumahmu lima belas menit lagi. – Kyungsoo

 

Mata Sooyoon melebar. Kyungsoo akan datang ke rumahnya dan mengajaknya pergi? Mengapa begitu mendadak?

 

п

 

Sooyoon dengan gelisah melirik jam tangannya di pergelangan tangan kanannya. Pukul 5.22 sore. Ia membuang napas. Ia sudah melewatkan berjam-jam untuk datang ke gedung olahraga di pusat kota. Ia dengan perlahan melirik Kyungsoo yang sibuk berjalan menuju etalase satu ke yang lainnya. Pemuda itu sekilas tampak bingung. Sejak tadi ia tidak menemukan hadiah yang cocok untuk ibunya meski mereka sudah berputar-putar di mall ini. Sebenarnya Sooyoon ingin menyaksikan Baekhyun bertanding, tapi ia sendiri tidak mengerti mengapa ia tidak bisa menolak permintaan Kyungsoo. Saat ia ingin menelpon Kyungsoo untuk menolak ajakan itu, pemuda itu malah sudah muncul dan memencet bel pintu rumahnya. Sooyoon menjadi serba salah. Ia rasa ia tidak bisa menolak permintaan Kyungsoo karena ia tidak ingin hubungan pertemanan mereka kacau lagi.

Hubungan mereka memang telah kembali seperti sedia kala meski Kyungsoo telah mengutarakan hal aneh kepada Sooyoon. Kyungsoo sendiri tidak mengatakannya secara jelas, namun Sooyoon tidak berani membayangkan hal itu. Mereka kembali seperti biasa meski sekarang Kyungsoo terkesan ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Seperti saat ini. Anak itu sudah mengajakku pergi di saat yang tidak tepat, batin Sooyoon. Ia merasa sangat bersalah dengan Baekhyun. Pemuda itu sangat mengharapkan kedatangannya dan ia sendiri sangat ingin bertemu dengan pemuda itu. Ia harus bagaimana?

“Sooyoon,” Kyungsoo berbalik dan menghampiri Sooyoon yang masih berjalan jauh di belakang. Wajah pemuda itu berkerut cemas. “Apakah kau lelah?”

Sooyoon  tersenyum dan menggeleng. “Tidak, tidak,” sahutnya dengan cepat.

“Kau terlihat merisaukan sesuatu.” Kyungsoo mengerutkan alis.

Benarkah? Mata Sooyoon melebar. Apakah terlihat jelas?

“Tidak ada yang kurisaukan.” Ia berbohong, gerak gerik dan suaranya mulai berubah aneh.

Kyungsoo menatap Sooyoon dalam bingung. Lalu ia menatap sekeliling dengan tatapan bingung yang sama. “Bagaimana menurutmu? Hadiah apa yang cocok untuk ibuku?” tanyanya. “Kita sudah berkeliling dan aku merasa aku belum menemukan hadiah yang cocok.”

“Apakah ibumu menginginkan sesuatu akhir-akhir ini? Mungkin itu bisa jadi hadiah yang bagus,” saran Sooyoon, meski ia merasa ide itu tidak terlalu brilliant.

“Sepertinya ibuku memang menginginkan sesuatu, tapi aku sendiri lupa apa itu,” kata Kyungsoo sambil mengusap bagian belakang kepala sambil tertawa kecil. Ia melirik jam di ponsel yang ia ambil dari saku jaketnya. “Masih ada waktu untuk berkeliling sebelum makan malam. Apakah kau sudah merasa lapar?”

Ya Tuhan, ia sama sekali tidak merasa lapar. Sooyoon memandang Kyungsoo dengan ragu. Ia tidak bisa menunggu lebih dari jam makan malam. Ia harus menemui Baekhyun. Ia ingin melihat pemuda itu bertanding. Sooyoon menggigit bibir. Kemungkinan pertandingannya sudah selesai, pikirnya. Astaga. Ia memang sudah sangat terlambat, bukan?

“Sooyoon? Kau yakin tidak ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Kyungsoo. Ia menatap Sooyoon dengan kedua matanya yang besar hitam. Ia terlihat ragu.

Sooyoon berpikir cepat. “Kita akan melanjutkan mencari hadiah nanti, apakah tidak apa-apa? Sekarang apakah kau mau menemaniku ke suatu tempat?”

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
morinomnom
#1
Chapter 8: Oh my god. Akhir ceritanya so sweet bgt ;_; dan rasanya kayak terbangun dari mimpi buruk. Off to your other stories~
weirdoren
#2
Chapter 8: Suho jadi org jahat ;_; tapi asli intinya ini BAGUSSSS bgttt ;;;;;;;
nora50
#3
Baekyhun fanfic?! Oh...update plizz
weirdoren
#4
oke hohoho ditunggu ^^
nammyunghee
#5
@weirdoren : mian, masih dalam proses lol~ kkk ^^;
weirdoren
#6
Updatenya pls T~T