“Unnie, keluarlah, sudah 3 minggu unnie mengurung diri seperti ini. Kami sangat khawattir unnie.” Bujuk Sooyoung yang masih setia menemani Joohyun di istana Han, ia juga sudah meminta izin pada Seulgi untuk lebih lama menemanni Joohyun. Setelah mendapat kabar bahwa Seungwan meninggal dunia, Joohyun lebih memutuskan untuk mengurung dirinya di kamar. Ia menangis seharian, hanya membuka pintu kamar jika pelayan mengantar makanan, itu pun jarang iya sentuh.

“unnie aku mohon.” Ujar Sooyoung putus asa, akhirnya mendengar Sooyoung yang putus asa, Joohyun membukakan pintu dan meminta Sooyoung untu masuk.

“Unnie..” sooyoung tidak percaya dengan apa yang ia lihat, tubuh Joohyun semakin kurus, wajahnya terlihat sangat cekung. Sooyoung lalu memeluk Irene, ia tak bisa menahan kesedihannya melihat Irene yang seperti itu.

“Aku hanya ingin bersama Seungwan, Sooyoung ah.”

“Unnie, pangeran Seungwan sudah tiada, aku yakin ia tidak ingin melihat unnie seperti ini.” Joohyun hanya terdiam.

“Unnie, makan lah walau sedikit.” Joohyun teringat, Seungwan juga pernah mengatakan hal seperti itu padanya, walaupun Joohyun dalam ke adaan marah sekalipun, ia harus tetap memakan makanannya.

“Unnie, aku mohon, jangan siksa dirimu sendiri seperti ini.”

“Aku tidak ada di sisinya Sooyoung ah. Seharusnya aku tidak pergi.”

“Unnie sudahlah, hal seperti ini tidak bisa kita atur, ini semua adalah jalan dari Tuhan.” Joohyun kembali menangis, entah berapa kali ia menangis satu hari.

Setelah bicara dengan Sooyoung akhirnya Joohyun mulai mau keluar kamar. Kali ini ia berjalan menuju hutan dengan seekor kuda seorang diri tanpa di temani siapapun. Ia memacu kudanya cukup kencang dengan air matanya yang tetap jatuh karena ia masih menyesal mengapa ia tidak ada di sisi Seungwan. Ia tidak seharusnya menuruti sang ayah, ia tidak bisa mendapat akses apapun tentang Seungwan. Hanya surat dari Seulgi yang menjadi sumber informasinya.

Ia turun dari kudanya menuju sebuah danau.

“Seungwan ah, aku merindukanmu.” Ia memalingkan wajahnya ketika ia sadar ada seseorang dengan kuda mengikutinya dari belakang. Ia mengeluarkan sebilah pisau yang pernah di berikan Seungwan padanya.

“Siapa kau?” pria itu semakin mendekat pada Joohyun, pria itu menggunakan topeng hitam. Perlahan pria itu menurunkan topengnya memperlihatkan wajahnya pada Joohyun.

“Seungwan?” pria itu hanya tersenyum dan langsung memeluk Joohyun.

“Apa kau benar Seungwan ku?”

“Ya Joohyun, aku Seungwan mu.” Joohyun melepas pelukannya, ia mencubit pipi Seungwan, dan lelaki itu meringis kesakitan.

“Aku kira akan mendapatkan ciuman dari mu, ternyata kau mencubit ku.” Seungwan sambil tersenyum. Joohyun kembali memeluk Seungwa dengan erat. Seungwan mengelus pucak kepala Joohyun dan mengecup nya perlahan. Ia sangat merindukan istirnya, sudah lama ia memimpikan hal ini.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Wan ah.” Seungwan hanya diam.

“Joohyun ah, apakah kau mau ikut bersama ku?,” Joohyun melihat Seungwan dengan lekat.

“Aku bukanlah seorang pangeran lagi,”

“Seungwan ah, aku mencintaimu.” Seungwan merangkul pundak Joohyun, dengan reflek Joohyun merebahkan kepalanya di kepal Seungwan.

“Izinkan aku ikut kemana pun kau pergi Wan ah.”

“Apa kau yakin?”

“Aku tidak ingin kehialangan mu lagi Wan ah, Tuhan memberikan ku kesempatan sekali lagi untuk bersama mu. Aku tidak akan menyia-nyiakan itu.” Seungwan mengecup bibir Joohyun yang terlihat kering namun tetap masin baginya.