Chapter 06

CHASING REFLECTION

Seungcheol menguap lebar. Sudah hampir satu jam ia membersihkan kamar mandi bersama Seungkwan yang sejak tadi mengeluh khawatir tangannya akan kasar bila harus menggosok kamar mandi. Padahal mereka tidak akan begini bila bukan karena ulah Seungkwan di kelas, yang melempari Seungcheol dengan kertas berisi tulisan mengenai rumor yang beredar di sekolah—dalam arti lain, bergosip. Ulah mereka terpergok guru dan di sinilah mereka sekarang.

 

Ya! Seungkwan-ah! Kau harusnya yang membersihkan kamar mandi sendirian. Aku sudah ada janji dengan Jeonghan-hyung.

 

Seungkwan cemberut, berpura-pura akan menangis karena bentakan Seungcheol, “Kau lebih memerhatikan Jeonghan-hyung, kau memang kejam.”

 

Giliran Seungcheol yang merasa serba salah, ia tidak mungkin meninggalkan Seungkwan mengerjakan semuanya sendirian, “Kau selalu membuatku tidak tega. Melihat wajah masammu itu, kau tahu, Boo Seungkwan!”

 

Belum sempat Seungkwan membalasnya makian Seungcheol, mereka mendengar tepukan tangan dari luar pintu kamar mandi yang sengaja mereka buka. Sosok Jeonghan bersama Jisoo sedang menahan tawa memandang kesibukan dua orang itu di kamar mandi.

 

“Oh! Hyung, kau sudah datang?” Seungcheol berdiri tegak, menyembunyikan kain pel di belakang tubuhnya dan bergaya sok keren. Seungkwan mencibir kesal, “Kau sudah menunggu lama ya? Maaf aku masih harus membersihkan kamar mandi dan belum sempat membalas pesanmu.”

 

Seungkwan menjulurkan lidahnya, “Menyebalkan.”

 

Jeonghan menahan tawa, kemudian melirik Jisoo yang berdiri di sampingnya, “Untung saja Jisoo-ssi mengajakku kemari. Bisa-bisa aku menunggu di ruang sekuriti hingga sore.”

 

“Aku minta maaf!” Ia membungkuk dalam ke arah Jeonghan yang mengakibatkan lelaki itu terbahak-bahak.

 

“Sudah cepat selesaikan. Jisoo-ssi mengajakku berkeliling sekolah dulu. Kuberi waktu hingga aku kembali atau aku pulang saja.” Jeonghan melambaikan tangan pada Seungcheol. Jisoo menyusul di belakang Jeonghan sambil menggelengkan kepala lalu menaik-naikkan alisnya jahil. Seungcheol sendiri tidak tahu sejak kapan Jisoo bisa tampak jahil begitu.

 

Ia menunjuk Seungkwan, memerintahkannya untuk membantunya agar selesai dalam sepuluh menit, “Kita harus cepat atau Jeonghan-hyung pulang.”

 

Seungkwan tidak habis pikir bagaimana sahabatnya ini bisa bersikap seperti ini bila ada hubungannya dengan Jeonghan. Ia melipat tangan di depan dada, menatap Seungcheol penuh tanda tanya, “Jujur padaku, Cheol-ah, kau menyukai Jeonghan-hyung?”

 

Pemuda itu berpikir sebentar sebelum mengedikkan bahu, “Ia nyaman diajak mengobrol. Walau lebih tua dariku, tapi ia menyenangkan. Serasa kita seusia.”

 

Ingin rasanya Seungkwan melempar Seungcheol dengan kain pel, “Ya! Yang kumaksud adalah suka seperti kau menyukai cinta pertamamu! Bukan seperti kau menyukaiku sebagai sahabat, dasar bodoh.”

 

“Kau ini!” Ia sudah bersiap membekap mulut Seungkwan, namun teringat tangannya kotor dan sahabatnya itu pasti tidak menyukai ide bersentuhan dengan kain pel, “Aku tidak menyukainya seperti itu, Seungkwan-ah! Karena kebetulan kami mempunyai masalah yang sama dan harus menyelesaikannya bersama-sama. Itu saja.”

 

Seakan menghina sekaligus meragukan jawaban Seungcheol, Seungkwan menantang sahabatnya itu, “Aku dan Jisoo sebentar lagi akan bertaruh, seberapa lama hingga kau menyatakan perasaanmu pada hyung.

 

“Tunggu pembalasanku, Boo Seungkwan!” Ketika Seungcheol benar-benar mau melempar sikat toilet pada Seungkwan, pemuda itu sudah melesat keluar, meninggalkannya di kamar mandi sendirian untuk merenungi pembicaraannya dengan Seungkwan.

 

Ia menyangkal perasaannya akan sejauh itu pada Jeonghan. Lagipula lelaki macam Jeonghan juga tidak akan menyukainya atau memiliki perasaan berbeda padanya. Mereka hanya kebetulan berada pada situasi yang sama yang mengharuskan mereka harus saling membantu.

 

Kepala Jeonghan melongok di pintu kamar mandi. Ia tersenyum lebar—senyum yang sebelumnya jarang dilihat oleh Seungcheol. Pertama kali bertemu Jeonghan, ia sempat takut karena sikap dingin lelaki itu. Dugaan Seungcheol salah—Jeonghan tidak seperti yang ia kira.

 

“Sudah selesai?”

 

Bergegas ia membereskan peralatan kamar mandi dan meletakkannya di lemari kecil di belakang pintu. Setelah mencuci tangan, ia menghampiri Jeonghan yang setia menunggunya sejak tadi. Mereka memang janji pergi bersama tapi belum menentukan tujuannya. Semula Seungcheol akan mengajak Jeonghan ke toko barang antik itu, tapi tiba-tiba ia berubah pikiran.

 

Toh hari masih panjang dan sejauh ini tidak terjadi hal buruk pada mereka. Jadi kenapa harus terburu-buru menyelesaikan segalanya?

 

“Kita mau ke mana?”

 

“Bowling?” Melihat wajah Jeonghan yang berubah cerah, Seungcheol sudah tahu jawabannya pasti ya.

 

“Sudah lama aku tidak bermain bowling bersama Mingyu. Ayo kita berangkat!”

 

***

 

Seungkwan sangat sebal bila dalam misi penguntitan, partnernya malah sibuk dengan urusannya sendiri. Seperti yang sekarang Jisoo lakukan—ia tidak bisa lepas dari laptop kesayangannya itu. Seungkwan paham lelaki itu menggilai segalanya yang berhubungan dengan komputer atau mungkin eletronik, namun bukan berarti di tempat bowling ia malah berkutat dengan laptop. Orang macam apa itu?

 

Mereka memang memutuskan untuk mengikuti Seungcheol dan Jeonghan berkencan karena diliputi rasa penasaran. Lagipula mereka sudah bertaruh, jadi tidak ada salahnya mereka menguntit kedua orang itu. Karena Jisoo tidak kunjung merespon panggilan Seungkwan, akhirnya Seungkwan tak peduli lagi. Terserah saja Jisoo mau sibuk sendiri dengan laptop, asalkan Seungkwan bisa mengamati sahabatnya itu.

 

Dari kejauhan, Seungkwan melihat sosok Jeonghan yang sesekali membantu Seungcheol menggelindingkan bola bowling, seakan Seungcheol itu amatiran. Kenyataannya, Seungcheol lebih ahli dari Seungkwan. Seungkwan mendengus kesal. Ia menuduh sahabatnya memanfaatkan keadaan agar Jeonghan bisa lebih dekat dengannya.

 

Kenapa Seungkwan yang sewot?

 

Ia semakin sewot karena matanya tidak bisa memperbesar pemandangan romantis Jeonghan memegang pinggang Seungcheol ketika membantunya bermain bowling, kemudian mereka tertawa-tawa. Seungkwan harus berdiri di atas kursi untuk melihat lebih jelas. Jisoo menarik-narik ujung kemejanya.

 

“Turunlah, Seungkwan-ssi! Nanti mereka melihat kita!” desis Jisoo.

 

“Aku tidak bisa terus menerus duduk manis di sini. Aku harus menyaksikan sendiri agar aku tidak kalah taruhan.” sungutnya sebal.

 

Jisoo memukul Seungkwan sekali lagi agar teman sekelasnya itu menuruti perintahnya, “Turunlah! Kau bisa melihat mereka dari laptopku.”

 

Ditunjukkannya hasil retasan CCTV di sekitar jalur bowling Seungcheol dan Jeonghan. Terdapat empat layar kecil di layar laptop Jisoo yang menunjukkan empat sudut pandang berbeda sehingga mereka benar-benar puas mengawasi Seungcheol dan Jeonghan.

 

Apa yang mereka lihat bukanlah interaksi antar-teman, seperti yang dikatakan Seungcheol pada Seungkwan. Mereka baru bertemu beberapa hari, demi apa tangan Seungcheol tak bisa lepas dari pinggang Jeonghan, begitu pula sebaliknya? Belum lagi bisikan-bisikan mesra antara satu sama lain.

 

Terlalu bersemangat melihat kemesraan sahabatnya, Seungkwan tidak berhenti memukul-mukul lengan Jisoo yang duduk di sampingnya. Lelaki itu menjauh menghindari serangan panik Seungkwan.

 

“Kau kenapa sih?” tanya Jisoo kesal. Seungkwan menggigit jarinya. Matanya tak lepas dari layar laptop.

 

“Aku senang karena aku akan menang taruhan denganmu!” Lalu dijulurkan lidahnya ke arah Jisoo yang memutar mata atas tingkah kekanakan Seungkwan, “Kau sudah merekam itu semua?”

 

“Ya. Aku sekaligus merekamnya. Kenapa?”

 

Seungkwan menjentikkan jari, “Ini bisa kita gunakan untuk mengancam Seungcheol suatu hari bila ia tidak mau menuruti perintahku, Jisoo-ssi. Kau ada di pihakku, kan?”

 

Jisoo menahan tawa. Seungkwan ternyata memang kekanakan.

 

***

 

“Kau juga melihat mereka, hyung?”

 

Jeonghan berpura-pura memutar tubuh dengan cepat, kedua matanya menangkap sosok Seungkwan yang sedang berdiri di atas meja dan Jisoo yang menarik-narik kemeja Seungkwan. Jeonghan menahan tawa lalu mengangguk ke arah Seungcheol.

 

“Apa yang mereka lakukan di sini?” bisiknya.

 

Seungcheol mengedikkan bahu meski ia tahu benar niat busuk Seungkwan dan Jisoo yaitu menguntitnya, “Mungkin mereka ingin tahu apa yang kita lakukan. Sudahlah, tidak usah pedulikan mereka, hyung. Kita lanjutkan saja bermain bowling.” Tanpa sadar ia meletakkan tangannya di pinggang Jeonghan, menggiringnya ke jalur bowling lagi.

 

“Jadi ini rencanamu?” Jeonghan berbisik di telinganya. Hangat nafasnya berhembus di leher Seungcheol, membuat bulu kuduknya berdiri, “Menunjukkan apa yang kita lakukan?”

 

“Ma-maksud hyung?” Wajah Seungcheol dapat dipastikan bersemu merah seandainya suasana tempat bowling tidak remang-remang.

 

Jeonghan menunjuk tangan Seungcheol yang masih melekat di pinggangnya. Dengan cepat, ia melepaskan tangannya sambil meminta maaf. Alih-alih marah, Jeonghan justru menertawakan Seungcheol yang salah tingkah. Seungcheol mengutuk dirinya—kalau sampai ia tidak bisa mengendalikan debaran jantungnya di dekat Jeonghan, ia harus mengguyur kepalanya dengan seember air es.

 

Oke, ia menyukai Jeonghan, tapi karena lelaki itu menyenangkan. Itu saja.

 

“Choi Seungcheol, hanya begitu saja kemampuanmu?” tantang Jeonghan. Bola bowling merah kini di tangannya, bersiap digelindingkan ke jalurnya. Seungcheol tentu saja menerima tantangan lelaki itu. Selama ini ia jago bowling, hanya saja berpura-pura menjadi orang awam di depan Jeonghan sebab menyenangkan sekali melihat Jeonghan tersenyum atau menertawakannya karena ia tidak bisa menjatuhkan pin bowling sama sekali.

 

Ketika malam menjelang, mereka tak lagi menemukan sosok Seungkwan dan Jisoo yang menguntit mereka. Mungkin kedua orang itu sudah bosan melihat permainan bowling yang hanya begitu saja. Seungcheol meluruskan kakinya di lantai, cukup lelah meski mereka hanya berdua saja. Jeonghan duduk di sampingnya, senyum cerah masih terukir di bibirnya.

 

“Ah, ada sesuatu di wajahmu,” Seungcheol tidak menyangka ketika jemari Jeonghan sudah ada di wajahnya, seakan menghapus sesuatu di pipinya, “Nah, beres.”

 

Seungcheol tak bisa berkedip, terlalu syok. Terlebih lagi ketika mendengar ucapan Jeonghan, “Kurasa kita tak lagi membutuhkan cermin bila kita saling membantu seperti ini.”

 

Perasaan Seungcheol menghangat dengan semua perkataan lelaki di sampingnya itu. Ya. Apalah arti sebuah pantulan? Selama ia memiliki Jeonghan dan Jeonghan memilikinya?

 

Tidak, tidak bisa. Pikiran Seungcheol jadi begitu posesif, sedangkan ia dan Jeonghan bukan siapa-siapa—hanya dua manusia yang baru saja bertemu. Lagipula ia tidak bisa berharap terlalu banyak.

 

“Ya.” Bibir Seungcheol menyunggingkan senyum, “Kau bisa membantuku merapikan rambut, kan hyung?”

 

“Sekarang?” Tak sadar hal itu dimaksudkan Seungcheol sebagai gurauan, Jeonghan mengulurkan tangannya merapikan rambut Seungcheol dengan seksama. Terlalu serius, alisnya bertaut dan tak menyadari kedua manik mata Seungcheol memperhatikan detail wajah Jeonghan, merekamnya dalam memori. Mungkin situasinya tidak akan seperti ini seandainya bukan Jeonghan yang bertukar pantulan dengannya, “Oke beres.” ujar Jeonghan, membuyarkan khayalan Seungcheol.

 

Bersama Jeonghan, ia tidak ingin malam cepat berlalu. Setelah Jeonghan merapikan rambutnya, ia berdiri lalu mengulurkan tangan ke arah Jeonghan.

 

“Kita ke mana lagi?” Tatapan mata Jeonghan menyiratkan rasa penasaran juga kegembiraan, yang tak tampak sewaktu ayahnya datang ke pameran.

 

“Ke mana saja, terserah hyung. Aku mengikutimu.”

 

Jeonghan menyambut uluran tangan Seungcheol.

 

***

 

Instalasi karya seni itu diletakkan di tengah taman, terbuat dari pecahan-pecahan cermin yang disusun sedemikian rupa ditempelkan di patung berbentuk dua daun yang saling menangkup satu sama lain. Ukurannya dua kali tinggi Jeonghan—begitu besar dan menjulang. Seni tersebut memang dipajang selama dua bulan di taman setelah sebelumnya menjadi karya utama di Seoul Museum of Art.

 

Semula Jeonghan berdiri di depannya, tersirat kekaguman di pandangan matanya. Seungcheol sama sekali tak mengerti karya seni. Ia hanya mengikuti Jeonghan saja. Baginya karya itu sama dengan patung-patung lainnya namun Jeonghan menegurnya dan mengatakan itu bukan patung.

 

Mungkin memang benar, kebanyakan orang tidak menyukai karya seni sebagaimana semangat yang ditunjukkan Jeonghan terhadap karya itu. Buktinya taman tampak lengang dan tak seorangpun berdiri di depan daun raksasa itu, kecuali Jeonghan.

 

“Seungcheol-ssi, kemarilah!” Ia mengayunkan tangan mengajak Seungcheol mendekat.

 

Mereka berdiri berdampingan di depan cermin raksasa berbentuk daun. Karena terbuat dari pecahan kaca, maka pantulan mereka tidak sejernih biasanya. Seungcheol mengulum senyum. Sudah lama ia tidak melihat dirinya sendiri. Dengan adanya Jeonghan di sampingnya, ia dapat melihat pantulannya. Hal yang sama terjadi pada Jeonghan.

 

“Poniku mulai memanjang.” komentar Seungcheol, setelah sekian lama tak menjumpai wajahnya sendiri. Ia memang tidak seimut Jeonghan tapi tetap merindukan wajahnya.

 

Jeonghan membenahi poni Seungcheol, “Kau harus segera memotongnya atau bentuknya akan jelek. Wajahku juga terlihat lebih... lelah?”

 

“Kau terlalu banyak pikiran, hyung. Kurang tidur?”

 

Jeonghan menggumam pelan. Mereka merindukan menatap diri masing-masing. Ketika dulu mereka bisa melakukannya setiap hari, kerinduan seperti ini tak pernah mereka rasakan. Namun ketika kehilangan, barulah mereka mensyukuri apa yang pernah mereka miliki. Begitulah manusia.

 

“Akan lebih baik kalau kita seperti ini saja.” celetuk Jeonghan.

 

Meski tak dijabarkan lebih lanjut, Seungcheol paham yang dimaksudkan Jeonghan. Bahwa ketika mereka selalu bersama—tak harus pusing memikirkan cara mengembalikan pantulan—mereka tetap bisa melihat diri masing-masing.

 

Setuju dengan pendapat Jeonghan, Seungcheol menautkan jemarinya dengan jemari lelaki di sampingnya itu. Mereka bertukar pandang, saling tersenyum. Hitungan hari atau hitungan tahun akan sama artinya, bila mereka bisa mengerti satu sama lain. Entahlah apa sebenarnya hubungan mereka tetapi Seungcheol tidak lagi terlalu memaksakan untuk mengejar pantulannya. Toh bila ia bersama Jeonghan, ia bisa melihat pantulan dirinya kapan saja.

 

“Sudahlah hyung, pantulan tidak penting asal kita masih hidup. Begitu saja.”

 

“Tapi apa kau tak keberatan?” Jeonghan rupanya masih ragu-ragu.

 

“Keberatan? Tentu saja.” jawab Seungcheol seenaknya. Dari pantulan, tampak raut wajah Jeonghan berubah sedih. Ia sedikit menundukkan kepalanya, sehingga separuh poninya menutupi wajah agar tidak bisa diperhatikan Seungcheol, “Aku lebih keberatan bila kita tidak bertemu sama sekali.”

 

Ia dapat melihat ujung bibir Jeonghan tertarik ke atas, menunjukkan senyum tipisnya. Seungcheol berdebar-debar. Suasananya berubah canggung, terutama dengan keadaan sekitar yang sepi. Seungcheol kehilangan bahan pembicaraan.

 

“Apa kau tidak keberatan, hyung?”

 

Jeonghan menatap lurus ke manik mata Seungcheol. Ini kali pertamanya memandang Jeonghan dengan tatapan serius. Sorot matanya seolah menyihir Seungcheol untuk berhenti bicara. Kata-katanya tertahan.

 

“Sudah kubilang sejak awal, aku tidak pernah keberatan. Karena kejadian ini membuat hidupku sedikit berbeda dari rutinitas biasanya. Aku bertemu dengan orang-orang baru yang mempercayaiku, bahkan melebihi sahabatku sendiri. Sesuatu yang tidak akan kudapat bila aku hanya berkutat dengan tugas kampus.”

 

Kepedihan tersirat jelas di mata Jeonghan. Seungcheol memikirkan apa yang terjadi antara Jeonghan dan ayahnya di pameran. Rasa iba menyeruak di hatinya. Seorang Yoon Jeonghan yang ia kira memiliki kehidupan serba lancar, mengingat ia memiliki perawakan yang sangat tampan, ternyata tidak seperti dugaannya.

 

Keinginan Seungcheol untuk merengkuhnya begitu besar hingga detik berikutnya Jeonghan sudah berada dalam pelukannya. Ia mendekap Jeonghan erat, mengusap lembut rambutnya.

 

“....Seungcheol-ssi?”

 

“Ya?”

 

Ia merasakan Jeonghan menggelengkan kepala dalam dekapannya, “Tidak apa-apa.” Sejurus kemudian tangan Jeonghan melingkar di pinggangnya, “Begini saja...”

 

“Ya, begini saja.”

 

***

 

Jisoo terbangun mendengar denting notifikasi dari laptopnya. Dahinya mengerut—sejak kapan ia memasang notifikasi untuk laptopnya, ia bahkan tidak ingat. Biasanya ponselnya yang bergetar-getar bila terdapat kejadian heboh seputar teman-teman sekolahnya. Ia beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju meja belajarnya. Sambil setengah mengantuk, ia menggerakkan kursor sehingga layar laptopnya kembali menyala. Terbiasa tidak mematikan laptopnya ketika ia tidur.

 

Sekembalinya dari rumah Kepala Sekolah Seo, ia memang memasang penyadap kecil di ruang kerja Kepala Sekolah Seo beserta laptopnya. Sempat beberapa menit ia masuk ke ruang kerja beliau untuk mengambilkan kacamata baca yang tertinggal di meja kerja kepala sekolahnya tersebut. Mengingat kejadian-kejadian sebelumnya yang berhubungan dengan Seungcheol, maka akan lebih baik bila ia berjaga-jaga memasang penyadap dan pelacak di laptop beliau.

 

Ia memandang layar laptopnya, bibir tersenyum penuh arti, kemudian mengetikkan sesuatu. Ia menggerakkan mouse-nya ke bawah, menyimpan data yang ia perlukan untuk masa depan. Di menit keduapuluh ia menguntit Kepala Sekolah Seo melalui penyadapnya, Jisoo tertegun. Telunjuk yang sedang menggerakkan kursor mouse- nya pun terhenti sejenak—terlalu terkejut hingga tak bisa bergerak.

 

Ia menyadap secara ilegal, tentunya apa yang ia miliki tidak bisa digunakan sebagai bukti. Namun apapun yang ia dapat, ia tetap harus menyimpannya untuk berjaga-jaga. Jisoo tahu bahwa kepala sekolahnya adalah orang yang menyebalkan, tapi tak pernah disangka selicik itu. Sebelum segalanya terbukti, Jisoo tak ingin mengatakan apapun pada Seungcheol ataupun Seungkwan.

 

Keesokan harinya sepulang sekolah, Jisoo mampir ke tempat kerja Seokmin. Lelaki yang terkenal ramah dan selalu tersenyum itu sedang membantu polisi untuk menuliskan laporan. Beberapa polisi memang terlalu malas untuk menulis laporan setelah menyelesaikan kasus. Karena pekerjaan Seokmin tidak terlalu berat dan statusnya sebagai pegawai magang, membuatnya harus rajin membantu senior-seniornya.

 

Jisoo duduk di samping kursi Seokmin yang berkutat dengan tumpukan dokumen di samping komputer, “Hyung aku ingin bertanya sesuatu. Apa tetap bisa dijadikan barang bukti bila cara mendapatkannya adalah secara ilegal?”

 

Seokmin menatap Jisoo dengan pandangan yang menyiratkan bahwa Jisoo sudah gila, “Ya tidak bisa dong.”

 

“Tapi,” Ia mengecilkan volume suaranya, “Ketika dulu aku membantu kepolisian menangkap penculik anak-anak kecil, aku meretas data penculiknya itu. Bukankah itu juga ilegal?”

 

“Jisoo-yah, kau masih belum mengerti ya?” Seokmin menghadap ke arahnya, “Saat itu kau bekerja di bawah kepolisian. Bekerja untuk mereka. Jadi meskipun kau meretas, yang kau lakukan itu atas perintah mereka. Tentu saja legal.”

 

“Jadi tanpa kerjasama dengan mereka, aku tidak akan bisa menggunakan penemuanku sebagai barang bukti?” Yang segera disahut dengan gelengan oleh Seokmin.

 

“Memangnya siapa sih yang mau kau penjarakan?”

 

Jisoo tersenyum kecut, “Aku tidak ingin memenjarakan siapapun. Hanya saja...” Ia berusaha melupakan ide-ide konyolnya itu, “Sudahlah hyung, otakku hanya terlalu kreatif memikirkan sesuatu.”

 

“Jisoo-yah, berjanjilah padaku kau akan meminta bantuanku lagi bila itu berkaitan dengan kepolisian. Kau jangan gegabah. Aku tidak ingin sesuatu terjadi denganmu. Bisa-bisa paman dan bibi membunuhku. Mereka menitipkanmu padaku, jadi aku yang bertanggung jawab atas dirimu. Kau mengerti, Hong Jisoo?”

 

Jisoo tersenyum simpul. Ia tahu kakak sepupunya ini begitu mengawatirkannya bahkan menganggapnya sebagai anak kecil.

 

“Aku bisa mengurus diriku sendiri, hyung.” Jisoo mengerucutkan bibirnya.

 

“Kau tidak perlu berlagak imut di depanku. Aku tidak akan terpengaruh.” Seokmin kembali berkonsentrasi dengan dokumen yang harus ia salin.

 

Jisoo begitu bosan. Ia menawarkan untuk membantu Seokmin menyalin dokumen-dokumen tersebut, namun Seokmin melarangnya karena ia tahu sepupunya pasti akan melakukan apapun untuk melihat-lihat data kepolisian. Baru saja hal itu tersirat di otak Seokmin, tiba-tiba Jisoo tersenyum lebar seraya menunjukkan layar ponselnya.

 

Hyung lihat. Aku bisa menyambungkan ponselku dengan seluruh data kepolisian di sini. Masih terbatas di kantor ini saja sih. Mungkin sebentar lagi aku akan membuat program yang lebih menyeluruh.”

 

Ya! Hong Jisoo! Kau jangan mengacau! Ayo cepat hapus programmu. Keluar dari data-data kepolisian.” desis Seokmin panik.

 

Jisoo menjulurkan lidahnya, “Tenang saja hyung, datanya masih tetap di komputer kantormu tapi aku bisa mengintipnya melalui ponselku. Aku juga bisa mencari sesuatu. Oke, kucoba ya...” Ia mengetikkan namanya di kotak pencarian di program ponselnya. Hasil pencarian nihil.

 

Seokmin tiba-tiba tergoda untuk ikut serta, “Coba ketik namaku. Apa aku pernah membuat pelanggaran?”

 

Jisoo menurut dan mengetik nama sepupunya itu di kotak pencarian. Hasil pencarian nihil. Seokmin mengepalkan tangan di udara karena bahagia. Iseng, ia juga mengetikkan nama keluarganya satu-satu yang menghasilkan pencarian nihil. Sasaran selanjutnya adalah kedua temannya yang baru-baru ini dekat dengannya karena sebuah cermin, Seungcheol dan Seungkwan. Hasil pencarian nihil.

 

Jisoo bosan. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Dengan malas-malasan, ia mengetikkan nama Yoon Jeonghan yang sempat terlintas di benaknya tiap kali mengingat Seungcheol.

 

Satu dokumen ditemukan.

 

Jisoo dan Seokmin menegakkan tubuh, terlalu terkejut melihat layar ponsel Jisoo. Mereka saling bertatap pandang. Akhirnya Seokmin tergoda untuk mengetikkan nama Yoon Jeonghan di komputer kantor. Hasilnya sama yaitu satu dokumen ditemukan. Ketika Seokmin menekan tombol enter untuk memasuki dokumen itu, permintaannya ditolak karena dokumen dikunci menggunakan password.

 

“Tapi... waktu itu aku mencari datanya di data kepolisian, tidak ada....” gumam Jisoo. Tatapannya berubah ngeri, “Jeonghan... pelaku kriminal?”

 

“Tidak tahu.... dokumennya tidak bisa dibuka.”

 

Hyung, kau tahu kenapa dokumen ini dikunci dengan password?”

 

Seokmin berpikir sejenak, “Karena super rahasia, classified, atau karena kasusnya sudah ditutup karena waktu penyelidikannya sudah kadaluwarsa.”

 

Hyung, kenapa aku jadi mengawatirkan keselamatan Seungcheol, ya? Bagaimana kalau Jeonghan memang pelaku kriminal?”

 

“Jadi maksudmu Jeonghan melakukan tindak kriminal waktu masih kecil?”

 

Jisoo tidak bisa menjawab karena ia sendiri sudah bertemu dan berbincang-bincang dengan Jeonghan selama menunggu Seungcheol membersihkan kamar mandi. Tidak ada yang namanya tipikal psikopat pada kepribadian Jeonghan yang manis dan menyenangkan itu.

 

“Seungcheol sekarang sepertinya sudah mulai menyukai Jeonghan...”

 

Seokmin menatap Jisoo ngeri, “Apa yang akan ia lakukan pada Seungcheol?”

 

Jisoo tidak menjawab lalu memotret layar komputer Seokmin sebagai bukti untuk ditunjukkan pada Seungcheol dan Seungkwan.

 

Ia bukan tipe orang yang akan menelan bulat-bulat apa yang ia temukan, meskipun penemuannya itu merupakan dokumen di kantor polisi. Baginya, sesuatu memiliki dua sisi yang tidak bisa disamakan. Ia perlu melihat sesuatu dari kedua sisi tersebut sebelum menghakimi seseorang—memutuskan apakah orang tersebut pantas ia musuhi atau tidak.

 

Maka ia menyelidiki lebih dalam. Ketika google yang selama ini sudah ia lupakan, malah menjadi tujuan utama ketika sampai rumah. Bukannya ia tidak mempercayai mesin pencari terbesar itu, ia hanya lebih suka meretas data-data pemerintahan yang lebih dapat dipastikan kebenarannya daripada sekedar rumor yang dipasang di google.

 

Ada beberapa nama Yoon Jeonghan yang keluar ketika ia mencarinya di google, namun tidak satupun yang merupakan Jeonghan yang dikenal Seungcheol. Meskipun masih tergolong muda ternyata Jeonghan bukan orang yang aktif di sosial media. Mungkin ia menggunakan nama samaran. Kalau sudah begitu, menyerah saja.

 

Sekarang otaknya dipenuhi berbagai macam spekulasi mengenai siapakah Yoon Jeonghan itu.

***

 

Jisoo tidak tenang, terutama mendengar Seungcheol ada janji menemui Jeonghan di kampusnya seusai jam sekolah. Ini sudah lebih dari dua minggu mereka berhubungan akrab dan Jisoo sendiri tidak tahu apa status mereka. Ingin rasanya menceritakan penemuannya pada Seungkwan untuk meminta bantuan memperingatkan Seungcheol, sebab Seungkwan lebih akrab dengan Seungcheol. Namun hingga detik itu Jisoo belum berani menceritakan apapun.

 

“Kau tidak pulang, Jisoo-ssi?” tanya Seungkwan yang melihat dirinya masih berkutat sendiri di bangku sekolah.

 

“Di mana Seungcheol-ssi?”

 

Seungkwan mengangguk, “Ia pergi ke kampus Jeonghan-hyung. Kau ada perlu dengannya?”

 

“Bukan begitu,” Jisoo menggaruk tengkuknya, senyum kaku terpampang di wajahnya. Ia tidak ingin membuat Seungkwan khawatir tapi ia juga mengawatirkan Seungcheol, “Kau tidak ada rencana menguntitnya lagi?”

 

Seungkwan memasang wajah penuh penyesalan, “Tadinya aku berencana begitu sih. Tapi noona memintaku menemani ke mall. Aku harus langsung pulang. Kalau kau mau mengikutinya, jangan lupa ambil foto yang banyak. Ah! Video juga. Chan ingin sekali memasangnya di Twitter. Kalau begitu aku pergi dulu, Jisoo-ssi. Sampai jumpa!”

 

Dan di sinilah Jisoo—di kampus Jeonghan—seperti anak hilang. Mata memandang sekeliling, mencari sosok Seungcheol. Ia tidak ingin sampai ketahuan sedang menguntit, tapi ia sendiri tak tahu di mana kedua orang itu. Seandainya ia memasang pelacak pada ponsel Seungcheol.

 

Ia berdiri di depan gedung jurusan seni, tak tahu arah. Ia membiarkan ke manapun kakinya melangkah. Tentu saja ke kantin, mengingat perutnya sudah protes meminta makan siang sejak tadi. Di kantin yang penuh dengan mahasiswa dan mahasiswi yang mengenakan baju bebas, sedangkan ia masih berseragam. Rasa percaya dirinya langsung berkurang ke titik terbawah, terutama ketika berpasang-pasang mata memandanginya bingung.

 

Untung saja kedua matanya cepat menangkap sosok Seungcheol yang duduk berhadapan dengan Jeonghan. Mereka sedang makan siang dan tampaknya Seungcheol sangat sangat bahagia berada di dekat Jeonghan, begitu pula sebaliknya. Jeonghan tidak terlihat seperti orang yang mencurigakan, yang pernah bertindak kriminal di masa lalunya. Jisoo merasa tidak enak hati menuduh Jeonghan yang tidak-tidak, tapi selama ia belum bisa membuka dokumen di kepolisian, ia tak bisa tenang.

 

Di tengah kegundahan hatinya, ponselnya bergetar. Seokmin menghubunginya. Sontak, keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya. Ia tahu Seokmin jarang menghubunginya kecuali ada sesuatu yang benar-benar penting. Dan sejak kemarin pembicaraan mereka hanya seputar dokumen rahasia Yoon Jeonghan, jadi wajar saja Jisoo berdebar-debar.

 

Hyung, tolong katakan kau berhasil mendapatkan password-nya.”

 

Terdengar helaan nafas dari arah Seokmin, “Lebih dari itu, Jisoo-yah. Bisakah kau ke kantorku sekarang?” Suaranya terdengar lesu. Degupan jantung Jisoo semakin kencang. Ia tak tahu apa yang akan ia lihat setelah ini.

 

“Ya, aku segera ke sana, hyung.” Sebelum meninggalkan kantin, ia melirik ke arah Seungcheol dan Jeonghan. Mereka masih bergurau seolah di dunia ini hanya ada mereka berdua. Tidak ada beban dalam senyuman Seungcheol. Dengan berat hati, Jisoo berlalu meninggalkan kantin menuju ke kantor polisi.

 

***

 

Sungguh, Jisoo tidak pernah merasakan kegugupan seperti sekarang ini. Meski ia harus mengerjakan ujian sesulit apapun, ia tidak pernah gugup. Entah apa yang membuatnya begitu khawatir. Ia memainkan jemarinya, menunggu Seokmin berbicara dengan rekan kerjanya. Begitu selesai berdiskusi cukup lama, ia tergesa-gesa menuju mejanya, menghampiri Jisoo.

 

Hyung, Jeonghan kenapa?”

 

Seokmin mengangkat telunjuknya seakan menyuruh Jisoo menunggu sementara ia memasukkan password pada komputernya, “Kau bisa sedikit tenang, Jisoo-yah, ia bukan kriminal.”

 

Seakan terangkat semua bebannya, Jisoo menghela nafas lega lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya bila benar Jeonghan adalah pelaku kriminal, “Lalu kenapa datanya ada di sini?”

 

Seokmin mengarahkan layar komputer pada Jisoo. Senyumnya hilang seketika. Jisoo harus berkali-kali membaca ulang dokumen tersebut untuk meyakinkan dirinya.

 

“Ia bukan pelaku kriminal, tapi korbannya.” Suara Seokmin begitu pelan.

 

Lutut Jisoo lemas.

 

***

 

Jeonghan tak berhenti tertawa mendengar cerita Seungcheol tentang saat ia dihukum oleh Kepala Sekolah Seo akibat terlambat. Juga tentang fotonya yang menindih Kepala Sekolah Seo dan berubah viral di Twitter. Mungkin ceritanya biasa saja, namun cara penceritaannya yang konyol dan interaktif itu berhasil menggugah gelak tawa Jeonghan. Ia sudah jarang terbahak-bahak seperti ini.

 

Tiap hari mereka bertemu. Sudah seperti agenda rutin, entah Seungcheol datang ke kampus Jeonghan atau Jeonghan menjemput Seungcheol sepulang sekolah. Tak ada hari yang mereka lalui tanpa satu sama lain. Bahkan bila Jeonghan harus mengerjakan tugas di kampus, Seungcheol pasti menemaninya.

 

Namun hubungan Jeonghan dengan Mingyu mulai merenggang. Ia masih bertemu dengan Mingyu saat perkuliahan atau di kantin, namun tiap kali melihat sosok Seungcheol, Mingyu pasti tampak kesal lalu pergi begitu saja. Jeonghan menganggap sikap Mingyu kekanakan.

 

Seungcheol menghentikan langkahnya, diikuti oleh Jeonghan. Tak terasa, mereka sudah sampai di depan rumah Seungcheol. Mereka juga bergantian mengantar satu sama lain pulang ke rumah masing-masing dan hari ini giliran Jeonghan mengantar Seungcheol.

 

“Terimakasih sudah mengantarku, hyung.” Seungcheol membungkuk ke arah Jeonghan.

 

“Resmi sekali.” protes Jeonghan. Terkadang Seungcheol bersikap kaku di hadapannya karena menghormati Jeonghan sebagai orang yang lebih tua, “Terimakasih sudah mentraktirku makan siang hari ini.” Jeonghan pun membalas sikap resminya. Seungcheol tertawa.

 

“Baiklah, kita akan terus membungkuk seperti ini ya?” Seungcheol membungkuk sekali lagi kemudian mendapat pukulan di lengannya oleh Jeonghan.

 

Bisa dibilang Jeonghan bersyukur Seungcheol tidak lagi membahas tentang cermin itu. Ia sudah bosan mendengarnya. Terbukti hingga kini mereka baik-baik saja, malah lebih baik dari sebelumnya. Jeonghan merasa hatinya lebih lega bila ada Seungcheol di dekatnya. Ia tidak bisa mengartikan perasaannya sendiri.

 

Apakah jantungnya berdebar bila ada Seungcheol? Ya.

 

Apakah ia tersipu bila Seungcheol memujinya? Ya.

 

Oh, sungguh menyebalkan perasaan ini. Jeonghan paling tidak suka harus mengalami kegugupan dan keringat dingin di samping pemuda itu.

 

“Kau tidak masuk ke dalam?” Jeonghan sengaja menyuruh Seungcheol masuk agar ia tidak lama-lama menahan debaran jantungnya.

 

Alih-alih masuk ke dalam, Seungcheol justru mengulum senyum seakan sedang memikirkan sesuatu. Ragu-ragu, Seungcheol melangkah maju, menarik Jeonghan dalam pelukannya. Kedua mata Jeonghan membelalak. Ia tidak menduga Seungcheol akan memeluknya lagi, seperti waktu itu di taman.

 

Pelukan hangat. Jeonghan sangat menikmatinya.

 

Seungcheol mengurai pelukannya, menatap Jeonghan dengan mata yang menyiratkan senyum, “Selamat malam, Jeonghan-hyung. Hati-hati di jalan.”

 

Jeonghan kehilangan kata-kata. Ia tak menunjukkan reaksi apapun hingga Seungcheol berjalan masuk ke dalam rumah. Ia terdiam menatap punggung Seungcheol. Sebagian dari dirinya berteriak, memaksa agar Jeonghan melakukan sesuatu. Selama ini ia terlalu banyak berpikir, tapi jarang merealisasikan keinginannya.

 

“Seungcheol-ssi!”

 

Seungcheol membalikkan tubuh, menatap Jeonghan bingung, “Ada apa, hyung?”

 

Persetan dengan semuanya, pikir Jeonghan ketika menghampiri Seungcheol dan menciumnya. Ya. Ia sendiri tak tahu apa yang merasukinya, tapi ketika terjadi, semua terasa benar. Terlebih lagi saat Seungcheol merengkuh pinggang Jeonghan, membalas ciumannya.

 

“...hyung?”

 

Jeonghan mencari-cari rasa penyesalan di manik mata Seungcheol, namun ia justru menemukan binar bahagia. Ia menyandarkan dahinya di dahi Seungcheol, menikmati tiap detik kebersamaan mereka. Tangan Seungcheol yang kokoh mengusap pipinya.

 

“Tetaplah seperti ini,” gumam Jeonghan.

 

Seungcheol hanya bisa mengulum senyum, “Baiklah.”

 

 

 

BERSAMBUNG

 

 

 

 

Kira-kira Jeonghan kenapa niih guys?? XD

 

JeongCheol heboh di dunia mereka sendiri. Sampe lupa ya temen-temennya pada bingung sendiri nyariin cermin.

 

Semoga kalian suka update yang ini. Itung-itung hadiah lebaran buat yg merayakan. Author Dan bakal merayakan lebaran jadi tinggal selesaiin TEARS chapter 03 bareng Author Marrie, lalu post dan libur lebaran bakal lebih tenang.

 

Thanks for reading dan ngikutin perkembangan CHASING REFLECTION. Jangan lupa vote, komen or subscribe (buat AFF) yaa~  Thanks a lot yang udah meluangkan waktu buat komen fangirling dengan hebohnya. We appreciate it.

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
caratsfiction
Update Chasing REFLECTION 04

Comments

You must be logged in to comment
lily199iusinger
#1
Chapter 2: I, too, want to use google translate. I saw the translated english version of this on ao3. The story is just so perfect! I‘m currently left hanging, thanks for this!
pinkrose8899 #2
Chapter 11: finally~ thank you for making this lovely story, author nim!^^
pinkrose8899 #3
Chapter 9: yay, finally official~~~
pinkrose8899 #4
Chapter 3: when you lowkey ship gyuhan :3
pinkrose8899 #5
Chapter 2: eak jww gak tsundere :3
pinkrose8899 #6
Chapter 1: daku jadi inget ftv trans tv masa yg toko kramat itu xD
Shirsha23 #7
i'm getting tempted to use google translate istg!! can't wait for you to update the eng ver. but of course (its hard to say) take your time~~~
Shirsha23 #8
teach me your language lol!!! i want to read this so much i'd cry!!!!
zyx1004 #9
Chapter 11: Gils ceritanya mindblowing tapi seru!
nurhusnamustafa #10
Chapter 11: This is the best !!!!