Chapter 10-Part 02 [END]

CHASING REFLECTION

Suasana di rumah sakit begitu hening. Sudah lewat jam untuk menjenguk pasien sehingga yang diperbolehkan tinggal hanya keluarga yang berkepentingan. Salah satunya adalah Seungcheol. Meski ia bukan keluarga Yoon, namun ibu Jeonghan mengizinkannya tetap berada di situ untuk menemani beliau sebab Mingyu dan ayah Jeonghan mengurus sesuatu di kantor polisi.

 

Beberapa kali Seungcheol melirik ragu ke arah wanita paruh baya yang duduk tak jauh darinya. Beliau berdiam diri, memejamkan mata sembari menyandarkan kepalanya di dinding. Mereka sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tentu Seungcheol tak berhenti memikirkan Jeonghan yang sedang berjuang di ruang operasi, belum sadarkan diri.

 

Jika dibiarkan, tidak ada seorangpun yang akan memulai pembicaraan hingga beberapa jam ke depan. Seungcheol menegakkan punggungnya, bersiap untuk berjalan menghampiri tempat duduk Nyonya Yoon. Belum sampai ia berdiri, Nyonya Yoon menoleh ke arahnya lalu tersenyum.

 

“Choi Seungcheol-ssi, kemarilah.”

 

Sedikit keraguan timbul di diri Seungcheol saat menghampiri Nyonya Yoon. Ia tidak tahu apa yang akan wanita itu katakan kepadanya. Apakah ia akan menyalahkannya atau memojokkannya?

 

“Ada... yang bisa saya lakukan?” tanya Seungcheol.

 

Nyonya Yoon menggeleng pelan, “Duduklah di sini. Jangan terlalu jauh. Mungkin sebentar lagi Jeonghan sadar.”

 

“Kuharap begitu.”

 

Keheningan menyeruak sekali lagi.

 

“Terimakasih sudah menemani Jeonghan. Bibi tahu ia tidak mudah berteman, kecuali dengan Mingyu. Tapi sepertinya kau tidak keberatan dengan sifatnya yang seperti itu.”

 

Ia mengulum senyum, mengingat Jeonghan sama sekali tidak menggambarkan apa yang dikatakan ibunya, “Jeonghan tidak seperti itu. Ia memang tidak mudah berteman tapi sebenarnya ia ramah.”

 

Bibir Nyonya Yoon tertarik ke atas, menahan senyum membayangkan anaknya, “Jeonghan memang sering menahan diri di depan teman-temannya. Syukurlah ia tidak begitu di hadapanmu. Bibi tidak bisa memaksamu sih, tapi... Bibi harap kau masih mau berteman dengannya setelah semua kejadian ini. Percayalah, Jeonghan anak yang baik.”

 

Sebenarnya Seungcheol ingin tertawa karena perbedaan definisi ‘berteman’ baginya dan bagi ibu Jeonghan. Bibirnya gatal ingin membuka hubungannya dengan Jeonghan, “Sebenarnya kami—”

 

“Apa di sini ada keluarga Yoon Jeonghan?”

 

Setelah mendengar panggilan dokter, Seungcheol mengurungkan niat untuk melanjutkan ucapannya. Ia dan ibu Jeonghan beranjak dari tempat duduk untuk menghampiri dokter tersebut. Tentu saja yang dikhawatirkan ibu Jeonghan adalah keadaan anaknya.

 

“Ia baik-baik saja, Bu. Peluru itu tidak mengenai organ vital Jeonghan-ssi, sehingga pemulihannya bisa lebih cepat. Anda tinggal menunggunya sadar dari obat bius.” Dokter berusaha menenangkan ibu Jeonghan yang tidak menanyakan keadaan Jeonghan.

 

Seakan beban berat terangkat dari bahu Seungcheol, ia menghela nafas panjang. Tidak hentinya ia mengucapkan terimakasih pada dokter tersebut. Ibu Jeonghan tidak dapat menahan tangis harunya. Sembari menghubungi suami dan adik Jeonghan, wanita itu masih menangis sesenggukan. Seungcheol berjalan menjauh untuk memberi kabar Mingyu dan Seokmin.

 

Dari balik sana, Mingyu berteriak bahagia mendengar keadaan Jeonghan baik-baik saja, yang disusul dengan suara meminta maaf—sepertinya karena ia sudah membuat keributan di kantor polisi.

 

“Akan kukabari lagi kalau Jeonghan-hyung sudah sadar.”

 

Meski tidak sedang bertatap muka, Seungcheol dapat melihat senyum lebar Mingyu, “Terimakasih, Seungcheol-ssi. Sampaikan salamku padanya.”

 

Seungcheol mengangguk, “Pasti, hyung.

 

***

 

Terhitung sudah lima hari Jeonghan menghabiskan waktu yang panjang dan membosankan di kamar rumah sakit. Pekerjaannya sehari-hari hanya bermain game di ponsel dan menonton televisi. Pengunjung tetapnya adalah ibunya, Seungcheol dan Mingyu.

 

Yang paling Jeonghan tunggu-tunggu adalah ketika malam menjelang sebab Seungcheol biasa menemaninya hingga ia terlelap. Terkadang kekasihnya itu juga tertidur di kursi kecil di samping tempat tidurnya hingga pagi. Seperti kemarin saat Seungcheol sudah tidak bisa menahan kantuk dan hampir saja terjatuh dari kursi. Bila tidak tertidur, Seungcheol kembali ke rumah.

 

Jeonghan mengecek jam di ponselnya. Seharusnya sebentar lagi Seungcheol muncul. Ia sempat mematut diri dengan bercermin menggunakan ponsel. Sakit bukan berarti harus tampak mengenaskan di depan kekasih, begitu katanya.

 

Dugaannya tepat. Di menit kesepuluh, seperti biasanya, terdengar ketukan halus di pintu. Jeonghan menyuruh Seungcheol untuk segera masuk. Ia membutuhkan seseorang untuk diajak bicara. Kebosanannya sudah memuncak.

 

Kepala Seungcheol menyembul dari balik pintu. Cengiran khasnya menyapa Jeonghan terlebih dahulu, “Boleh masuk?”

 

“Kenapa masih bertanya?”

 

Seungcheol masuk dengan kedua tangan disembunyikan di belakang punggungnya, membuat Jeonghan penasaran.

 

“Apa yang kau bawa?”

 

“Rahasia.” Cengirannya terlihat mengejek. Jeonghan mengerucutkan bibir.

 

“Seungcheol-ah, apa yang kau sembunyikan itu?”

 

“Nanti kuberitahu setelah hyung memberiku ini...” Kemudian dengan tidak tahu malu, Seungcheol memajukan tubuhnya ke arah Jeonghan, mata terpejam dan bibir dimajukan, “Kiss?”

 

Jeonghan memukul wajah kekasihnya itu dengan bantal. Terdengar lelaki itu mengaduh kesakitan.

 

Hyuuung, apa kau tidak merindukan ciumanku?”

 

“Choi Seungcheol, yang benar saja? Ini di tempat umum.” Ia merasakan wajahnya memanas karena malu.

 

Seungcheol mengedarkan pandangan ke sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada orang sama sekali dan hanya ada mereka berdua. Sangat sulit untuk meyakinkan Jeonghan, “Tidak ada orang. Lagipula ini bukan saatnya perawat memeriksamu, kan?”

 

“Ya tapi—”

 

“Ya sudahlah, nanti saja.” Alih-alih mencuri-curi ciuman seperti yang biasa ia lakukan, Seungcheol mengusap pipi Jeonghan lalu duduk di kursi samping tempat tidur.

 

Tak sedetikpun Jeonghan melepas pandangan dari Seungcheol. Dengan seluruh kejadian buruk yang menimpanya, ia masih tidak menyangka bahwa Seungcheol tetap menemaninya. Tanpa menilai dirinya.

 

“Kenapa melihatku seperti itu, Jeonghan-hyung?”

 

Ia menghela nafas panjang, menarik selimut sebatas dada, “Malam ini kau menginap saja.”

 

“Jadi memang benar kau merindukanku.” Seungcheol menaik-naikkan kedua alisnya, ekspresinya menggoda Jeonghan. Tapi ekspresi menyebalkan itu tidak bertahan lama. Wajah Seungcheol pun berubah serius. Ia mengaitkan jemarinya dengan jemari Jeonghan, lantas mengecup satu persatu buku-buku jari Jeonghan, “Aku juga merindukanmu, hyung. Cepatlah sembuh. Aku sedih melihatmu begini.”

 

Helaan nafas Jeonghan seakan tertahan di tenggorokan.

 

“Segalanya sudah berakhir, hyung. Tidak ada lagi yang perlu kau khawatirkan.”

 

Meski ia nyaris saja berkorban nyawa akibat Seo Dalsoo, namun ia bersyukur lelaki itu sudah tewas. Mungkin bila lelaki itu tetap hidup, ia akan menang di pengadilan. Jadi kejadian buruk itu pun ada hikmahnya.

 

“Yang penting kau selamat dan baik-baik saja.” Tampaknya Seungcheol lebih lega daripada dirinya atau itu hanya perasaannya saja?

 

Jeonghan berdehem untuk menghilangkan kecanggungan yang tiba-tiba timbul di antara mereka, “Kau belum bilang padaku, apa yang kau sembunyikan di balik punggungmu itu?”

 

“Oh!” Seungcheol menoleh sejenak ke belakangnya, “Kubawakan sesuatu untukmu. Aku tahu kau pasti bosan menonton TV atau main game. Aku membelikanmu buku gambar.”

 

Diangsurkannya buku gambar beserta pensil dan pensil warna. Seungcheol sama sekali tidak tahu pensil warna jenis apa yang biasa Jeonghan gunakan, sehingga ia membelikan pensil warna untuk anak kecil.

 

“Uhm, maaf kalau ini buku gambar biasa. Bukan buku sketsa seperti milikmu yang bagus itu. Tapi aku ingin kau menggambar lagi supaya tidak bosan.”

 

Rona bahagia tampak di wajah Jeonghan. Ingin rasanya ia memeluk Seungcheol saat itu juga namun mengingat keadaannya yang baru dioperasi, sangat sulit untuk melakukan hal itu. Akhirnya ia meminta Seungcheol mendekat. Rasanya pantas menghadiahi kekasihnya dengan ciuman setelah apa yang ia lakukan untuknya selama ini. Seungcheol terkejut karena Jeonghan tiba-tiba menciumnya, padahal tadi lelaki itu sempat menolak. Ciuman itu berakhir sebelum otak Seungcheol sempat memproses segalanya.

 

“Terimakasih, Choi Seungcheol.” Jeonghan meletakkan kedua tangan di pipi Seungcheol.

 

“Cepat sembuh, oke?”

 

“Pasti.”

 

Seungcheol kembali mendekatkan wajahnya ke arah Jeonghan, namun ia mengurungkan niat begitu terdengar ketukan di pintu kamar. Tampaknya Jeonghan kesal karena saat-saat kebersamaannya dengan Seungcheol terganggu. Ia berbisik ‘nanti saja’ di telinga Seungcheol tapi kekasihnya menjawab dengan senyum.

 

“Mungkin itu perawat. Kita lanjutkan nanti, hyung.”

 

“Seungcheol-ah~” Tangannya masih menggenggam tangan Seungcheol. Entah darimana munculnya kebiasaan Jeonghan merajuk seperti itu. Ia sedikit berubah semenjak kejadian di pengadilan.

 

Hyung menggemaskan sekali kalau sedang manja.” Dikecupnya puncak kepala Jeonghan sebelum ia membukakan pintu.

 

Seungcheol sama sekali tidak menduga akan mendapatkan kunjungan dari Detektif Ahn. Detektif itu memaksakan senyumnya. Seungcheol membungkukkan tubuhnya sekilas.

 

“Detektif Ahn, silakan masuk.” Seungcheol membukakan pintu untuk lelaki paruh baya itu. Detektif Ahn mengedarkan pandangannya ke tiap jengkal kamar rawat Jeonghan sebelum melangkah masuk. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengamati ruangan yang akan ia masuki, khawatir bila ada seseorang yang tak diinginkan di dalam ruangan.

 

Jeonghan tak kalah terkejutnya dengan Seungcheol ketika melihat sosok yang masuk bersama Seungcheol.

 

“Detektif Ahn, lama tak jumpa.” sapa Jeonghan kaku.

 

Detektif Ahn mengangguk, “Bagaimana kabarmu, Jeonghan-ssi?”

 

“Lebih baik meski lukanya masih sakit.”

 

Ia mengangsurkan sekantung apel pada Seungcheol, “Kubawakan oleh-oleh untuk kalian. Semoga kau tidak ada pantangan makanan, ya.”

 

Jeonghan menggeleng sambil mengucapkan terimakasih atas perhatian detektif tersebut.

 

Sepertinya lelaki paruh baya itu menahan diri untuk mengatakan sesuatu pada Jeonghan. Beberapa kali ia membuka mulut untuk mengucap, tetapi menutupnya kembali. Tampak keraguan di kedua manik matanya. Jeonghan dan Seungcheol tidak berani menyela atau mengajak berbicara.

 

Tiba-tiba lelaki itu membungkukkan tubuhnya ke arah Jeonghan, “Aku minta maaf sebesar-besarnya karena waktu itu tidak melindungimu.”

 

“Uhm, Detektif Ahn, kumohon jangan merasa bersalah. Itu semua adalah salah Seo Dalsoo.” Jeonghan tidak enak hati.

 

“Tidak, ini juga salahku. Aku tidak memperkirakan itu semua. Seharusnya ini sudah menjadi tugasku untuk memastikan keamanan sidang.”

 

“Tapi sungguh, aku tidak menyalahkan Detektif Ahn. Kuharap Detektif Ahn bisa memaafkan diri sendiri karena aku sama sekali tidak menyalahkanmu.”

 

Tersirat seulas senyum kecut di bibir Detektif Ahn, “Terkadang aku tidak paham dengan takdir. Pemuda sebaik dan setulus dirimu harus mengalami semua ini. Bukankah itu tidak adil?”

 

“Mungkin aku tidak akan menjadi pribadi seperti yang kau katakan bila aku tidak mengalami semua itu.” gumam Jeonghan, “Takdir tidak pernah berat sebelah. Selalu akan ada balasan yang setimpal suatu hari nanti untuk segala hal yang kita alami dan lakukan.”

 

Detektif Ahn dan Seungcheol terdiam setelah mendengar perkataan Jeonghan yang sulit untuk disangkal.

 

Jeonghan berdehem, menghilangkan kecanggungan di antara mereka bertiga. Ia perlu mengetahui lebih banyak mengenai nasib persidangannya. Detektif Ahn menyampaikan bahwa persidangan diundur sementara hingga keadaan Jeonghan membaik. Beberapa orang yang membantu kejahatan yang dilakukan oleh Seo Dalsoo berhasil ditangkap. Detektif meminta Jeonghan untuk tidak memikirkan tentang persidangan dan fokus untuk penyembuhan saja.

 

“Detektif, terimakasih banyak atas bantuanmu. Mungkin aku tidak tertolong bila Detektif tidak menembak Seo Dalsoo.”

 

“Itu sudah kewajibanku, Jeonghan-ssi.” Detektif Ahn melirik jam tangannya kemudian berpamitan pada Jeonghan dan Seungcheol, “Sebentar lagi aku ada rapat mendadak.”

 

“Oh, baiklah. Terimakasih banyak, Detektif Ahn.” Seungcheol membungkukkan tubuh ke arah lelaki itu. Begitu pula Jeonghan yang hanya bisa mengangguk pelan.

 

“Oh ya,” Tiba-tiba lelaki itu berhenti di depan pintu, tubuh membelakangi mereka, “Semoga hubungan kalian bertahan sampai nanti.” Dan tanpa menolehkan kepala, Detektif Ahn menutup pintu.

 

Jeonghan dan Seungcheol berpandangan dengan mata terbelalak. Ngeri.

 

“Bagaimana ia tahu hubungan kita?”

 

Seungcheol mengedikkan bahu.

 

Mereka terdiam cukup lama setelah Detektif Ahn tidak lagi berada di situ. Jeonghan beringsut memberi sedikit ruang bagi Seungcheol agar bisa duduk di atas tempat tidurnya. Seungcheol menuruti kemauan kekasihnya lalu meletakkan kepala Jeonghan untuk bersandar di bahunya.

 

Hyung,”

 

“Ya?”

 

“Aku mendaftar di universitasmu.”

 

“Yang benar?” Jeonghan terkejut sehingga bekas jahitannya terasa sakit, membuatnya memegangi perut. Seungcheol ikut panik dan hampir saja menekan tombol untuk memanggil perawat seandainya tidak dihentikan oleh Jeonghan, “Aku tidak apa-apa, jangan panggil perawat. Sekarang tolong katakan padaku kenapa kau tiba-tiba menjadi penguntitku? Aku tidak memintamu berada di dekatku selama 24x7.”

 

“Kau kejam sekali, hyung. Apa kau tidak suka kalau aku berada di dekatmu?

 

“Bukan itu maksudku,” Jeonghan melingkarkan tangannya di lengan Seungcheol, “Aku ingin kau memilih fakultas yang sesuai dengan keinginan dan cita-citamu, bukan karena aku. Aku ingin Choi Seungcheol menjadi orang yang dibanggakan keluarganya dan tentunya kubanggakan juga. Seungcheol-ah, jalanmu masih panjang dan kau punya banyak pilihan. Jangan tutup kemungkinan-kemungkinan itu hanya karena kekasihmu berada di universitas itu. Kita masih bisa bersama dengan cara lain.”

 

Wajah Seungcheol terlihat sangat kecewa. Ia berharap mendapat dukungan dari Jeonghan, yang terjadi justru sebaliknya.

 

“Memangnya ada cara lain? Sebentar lagi kau akan sibuk dengan proyek kelulusanmu sedangkan aku sibuk menjadi mahasiswa baru.”

 

“Sebenarnya aku sudah berencana sejak dulu tapi aku tidak ingin mengajak Mingyu makanya kuurungkan niatku. Uhm, aku ingin menyewa apartemen sendiri. Bagaimana kalau kita...”

 

Belum apa-apa, Seungcheol sudah kegirangan menjawabnya, “Ya! Aku mau, hyung! Aku mau! Sangat setuju dengan rencanamu.”

 

“Kau ini! Aku belum selesai bicara.”

 

“Tapi aku sudah bisa menebak kelanjutannya, hyung.

 

Dan gelak tawa mereka terdengar hingga luar kamar. Mungkin sebentar lagi perawat akan datang untuk menegur, namun sepasang kekasih itu tidak peduli.

 

Ada beribu cara semesta mempertemukan dua manusia, salah satunya adalah melalui sebuah cermin.

 

***

 

Jeonghan menatap pantulan dirinya di depan cermin. Perlahan jemarinya menyentuh permukaan cermin itu. Pantulan Choi Seungcheol, kekasihnya yang sudah lima tahun ini tinggal bersamanya. Waktu berjalan sangat cepat. Tak terasa ia kini sudah bekerja. Ia juga berhasil membuktikan pada ayahnya bahwa meskipun tidak mengikuti pilihan ayahnya, Jeonghan tetap bisa jadi anak yang membanggakan orangtuanya.

 

Ia terlalu fokus pada kenangan-kenangan masa lalunya sehingga tak sadar seseorang sudah melingkarkan tangannya di pinggang Jeonghan. Seseorang yang telah menghiasi hari-harinya dengan kenangan-kenangan yang lebih indah lagi. Seseorang yang kini mengecup lembut daun telinganya—tahu betul bahwa itu adalah titik lemahnya.

 

Jeonghan menggeliat geli, “Hentikan,”

 

Tawa renyah yang sangat Jeonghan sukai itu terdengar sangat dekat di telinganya.

 

“Tapi aku sudah memanggilmu lebih dari dua kali dan kau tidak menyahut. Seungkwan sudah datang menjemput kita. Kau mau kita terlambat di acara penting bagi sahabatmu itu, Sayang?”

 

“Tidak juga sih,” Jeonghan membalikkan tubuh menghadap Seungcheol. Jemari Seungcheol sibuk membenarkan dasi yang dikenakan Jeonghan. Memakai dasi bukanlah keahlian Jeonghan dan ia selalu gagal sebelum mencoba. Berbeda dengan kekasihnya itu yang dengan telaten memakaikannya dasi sebelum berangkat kerja dan juga untuk acara-acara resmi.

 

“Sudah beres. Ayo kita berangkat.”

 

“Tunggu, ada yang harus kuambil. Kau duluan saja.”

 

Meski sedikit curiga dengan sikap Jeonghan, Seungcheol menurut saja. Lebih baik ia menemui Seungkwan yang pastinya sudah mati kebosanan.

 

Seungkwan yang sedari tadi menunggu mereka sembari menonton TV mulai mengeluarkan omelan panjang mengenai apa saja yang dilakukan pasangan itu di kamar—mengapa begitu lama. Seungcheol memutusnya dengan menghina Seungkwan bahwa ia berisik seperti kicauan burung kemudian lelaki itu terdiam. Tak lama kemudian Jeonghan keluar dari kamar tanpa merasa bersalah karena sudah membuat Seungkwan menunggu lama.

 

Sepanjang perjalanan menuju restoran, Jeonghan terus memandang ke luar melalui jendela mobil. Ia tidak menyangka hari pertunangan Mingyu akan datang lebih dahulu daripada pertunangannya, padahal selama ini ia mengira sebaliknya.

 

Ya. Hari ini adalah hari pertunangan Mingyu. Akhirnya sahabat Jeonghan itu memiliki keberanian untuk menyatakan cinta pada Wonwoo setelah dukungan dari berbagai pihak. Pertunangan ini sebenarnya dirahasiakan dari Wonwoo. Mingyu berencana mengejutkan kekasihnya tepat di perayaan ulang tahunnya. Bisa dibilang Wonwoo akan merasa dibodohi karena ia satu-satunya orang yang tidak tahu bahwa hari ini adalah hari pertunangannya, sedangkan tamu-tamu mereka sudah tahu.

 

Jeonghan diam-diam menatap ke arah Seungcheol yang asyik bergosip dengan Seungkwan. Kekasihnya itu tidak tahu bahwa Jeonghan juga menyiapkan kejutan juga. Ia merogoh saku celananya untuk memastikan bahwa kotak cincin itu masih ada di sana.

 

Mungkin Seungcheol belum cukup berani untuk melamar Jeonghan, tetapi tidak dengan Jeonghan yang sangat siap dengan keputusannya. Ia tidak ingin hari ini hanya menjadi hari bahagia Mingyu dan Wonwoo saja.

 

“Ya kan, hyung?” Suara Seungkwan mengagetkan Jeonghan. Ia terkesiap, “Hyung, kau melamun?”

 

Seungcheol yang menyahuti pertanyaan Seungkwan, “Sedari tadi Jeonghan-hyung melamun. Aku tidak tahu kenapa.” Seungcheol menolehkan kepalanya ke arah Jeonghan yang duduk di kursi penumpang belakang, “Sayang, kau memikirkan pekerjaan? Hari ini kan libur. Bersantailah sedikit.”

 

“Aku tidak memikirkan pekerjaan, Seungcheol-ah.” potong Jeonghan dengan cepat.

 

“Jeonghan-hyung, apa kau lupa menyiapkan pidato untuk Mingyu dan Wonwoo?”

 

“Aku ingat, kok.”

 

“Sudahlah, biarkan Jeonghan-hyung melamun. Kau fokus menyetir saja, Seungkwan-ah.

 

Mereka tidak tahu bahwa Jeonghan tak kalah gugupnya dengan Mingyu karena mereka sama-sama akan melamar kekasih hati masing-masing.

 

***

 

Baru selangkah Jeonghan memasuki restoran, Mingyu sudah menarik tangannya dan membawanya ke sudut di mana tamu-tamu tidak bisa mencuri dengar pembicaraan mereka, termasuk Seungcheol dan Seungkwan.

 

“Aku gemetar. Coba rasakan, tanganku dingin kan?” Mingyu menggenggam tangan Jeonghan untuk menyalurkan rasa gugupnya sebelum Wonwoo datang.

 

“Kau tenang saja, Bodoh.” Jeonghan tersenyum lebar, berusaha menenangkan, “Wonwoo pasti menerima.”

 

“Bagaimana kalau tidak? Aku pasti malu.”

 

“Itu artinya kau harus mencoba lagi di tempat yang lebih sepi, di mana tidak ada orang yang menonton.”

 

Nyawa Mingyu seakan terangkat keluar dari tubuhnya. Ia ternganga, “Jadi... maksudmu... melamar Wonwoo di hadapan orang banyak itu bukan ide bagus? Jadi maksudmu.... ada kemungkinan ia akan menolakku?”

 

Jeonghan berniat menggoda sahabatnya itu. Ia memang jahil, “Entahlah. Sepertinya Wonwoo-ssi orang yang pemalu. Jadi aku juga bingung kenapa kau memilih cara seperti ini untuk melamarnya.”

 

“Kenapa kau tidak bilang dari kemarin waktu kumintai pertimbangan, Yoon Jeonghan? Aku benar-benar kesal padamu.”

 

Ia mengedikkan bahu, “Aku lupa.”

 

“Ya Tuhan!” Mingyu semakin panik. Berkali-kali ia mengusap wajah dengan kedua tangan. Tak lupa juga mengacak rambutnya yang sudah ditata sedemikian rupa di salon.

 

“Bisakah kau tenang?”

 

“Tidak bisa, Yoon Jeonghan!” Sudah menjadi kebiasaan Mingyu menyebut nama lengkap Jeonghan kapanpun ia merasa gugup atau marah. Mingyu menghirup dan menghela nafas seperti senam ibu hamil, membuat Jeonghan menahan tawa.

 

“Kau kan sudah berlatih. Pasti akan lancar mengucapkannya. Oh ya, sudah kusiapkan pidato untukmu.”

“Baiklah, terimakasih. Sekarang aku harus menghapalkan kalimat yang harus kuucapkan nanti.” Mingyu bergumam dengan mata terpejam sambil sesekali melirik ke arah kertas kecil yang penuh tulisan. Entah berapa paragraf yang akan ia ucapkan di hadapan Wonwoo.

 

Jeonghan memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya di samping Seungcheol namun buru-buru Mingyu menggenggam pergelangan tangannya.

 

“Temani aku di sini. Aku gugup. Rasanya ingin muntah.”

 

“Kim Mingyu, ini belum apa-apa. Kau belum merasakan mengucapkan janji setia di depan altar.” protes Jeonghan namun sepertinya sahabatnya itu tidak mendengar perkataan Jeonghan.

 

Baru beberapa menit Mingyu berlatih, tiba-tiba Seungcheol berjalan menghampiri mereka. Ia memberi kode pada Jeonghan bahwa Wonwoo sudah datang.

 

“Ia sudah datang.” bisik Jeonghan berusaha untuk tidak mengagetkan Mingyu yang sedang berkonsentrasi penuh. Benar dugaannya, kepanikan pun melanda Mingyu, “Cepat sambut Wonwoo sebelum ia curiga karena banyak tamu di sini.”

 

“Bagaimana senyumku?” Mingyu mempraktekkan senyum seperti ikan mati dan Jeonghan menahan tawa.

 

“Tidak bagus sama sekali. Sudah, sudah cepat ke sana. Ia menunggumu.”

 

“Tunggu—” Mingyu sempat berbalik sebentar hanya untuk merengkuh Jeonghan dalam pelukannya, seraya berbisik, “Cepat menyusul.”

 

Jeonghan tidak bereaksi apa-apa, terutama karena Seungcheol mengawasinya dari jauh. Sangat sulit berbohong pada Seungcheol. Kekasihnya itu bisa menebak apapun yang ia sembunyikan.

 

***

 

Wonwoo berhenti sejenak di depan restoran yang sangat ramai itu. Sepertinya seseorang telah menyewa restoran itu untuk sebuah pesta. Ia sedikit kecewa karena perayaan ulang tahunnya pasti akan berisik, mengingat restoran yang seharusnya tidak begitu ramai itu akan digunakan untuk pesta orang lain. Tetapi saat melihat wajah-wajah yang tak asing itu, Wonwoo mulai berspekulasi bahwa Mingyu berniat memberinya kejutan dengan mengundang orang-orang yang ia kenal.

 

Benar saja. Saat ia melihat sosok Mingyu yang menghampirinya seraya tersenyum kecut—seakan baru saja melakukan kesalahan dan ingin meminta maaf padanya.

 

“Kejutan,” ujarnya ragu.

 

Wonwoo menautkan alisnya, “Kau kan tahu, aku tidak suka kejutan ramai seperti ini.”

 

“Maaf,” Mingyu menundukkan kepala. Wonwoo iba melihat kekasihnya yang sudah berusaha keras memberinya kejutan. Ia seharusnya menghargai jerih payah Mingyu meski sebenarnya ia tidak suka.

 

“Tidak apa-apa, Mingyu-yah. Terimakasih.” Ia meraih jemari Mingyu dalam genggamannya, “Tapi akan lebih baik kalau kita merayakan hanya berdua saja.”

 

“Uhm, sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu.” Kegugupan Mingyu tidak bisa disembunyikan di balik senyumnya. Wonwoo langsung menebak ada yang tidak beres dari sikap Mingyu.

 

“Kau...,” Jantung Wonwoo berdebar semakin cepat. Ia berkeringat dingin, “Kau ingin putus?” Suaranya mengecil.

 

Mingyu tampak terkejut, “A-apa? Siapa bilang?”

 

“Mingyu-yah, ini semua terlihat mencurigakan. Aku pulang saja.” Wonwoo berbalik arah menjauhi restoran. Mingyu mulai panik, tak menyangka Wonwoo berlalu begitu saja.

 

“Wonwoo-yah, tunggu! Dengarkan penjelasanku dulu!” Ia meraih lengan Wonwoo untuk mencegahnya pergi.

 

Wonwoo sempat menoleh sekejap, “Kalau kau ingin memutuu, jangan di tempat ramai.” Kemudian semakin menjauhi restoran. Wonwoo melihat sosok Jeonghan berlari keluar restoran, akan mengejarnya juga. Tapi Wonwoo tidak peduli lagi. Entah apa yang direncanakan kekasihnya itu hingga harus mengundang begitu banyak tamu. Kalaupun ada yang ingin dibicarakan, seharusnya di tempat yang privat di mana hanya ada mereka berdua.

 

Dan Wonwoo pun berencana membawa Mingyu agar mengikutinya ke tempat yang lebih tenang.

 

“Wonwoo-yah, kumohon dengarkan dulu!” Tidak seberapa jauh di belakangnya, Mingyu berlari mengejar Wonwoo.

 

Hingga Wonwoo yakin bahwa mereka cukup jauh dari restoran dan juga keramaian, ia pun menghentikan langkahnya dan membiarkan Mingyu mengejarnya. Kedua lengan Mingyu merengkuhnya dari belakang, tidak membiarkannya berlari lagi.

 

“Kumohon, dengarkan aku...” Mingyu mengatur nafasnya yang terengah-engah. Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan apapun yang ingin ia katakan, barulah Wonwoo membalikkan tubuh menghadap ke arah lelaki yang lebih muda itu.

 

“Ya. Aku akan mendengarkan penjelasanmu.”

 

“Tunggu sebentar,” Ia meraih secarik kertas dari saku celananya. Kertas lusuh dan penuh dengan tulisan sangat kecil. Kertas yang sudah berkali-kali diremas lalu dibuka untuk dibaca kembali.

 

Pandangan Wonwoo seakan sedikit menghina, “Apa itu?”

 

“Tanda cintaku padamu.” ujar Mingyu cepat.

 

“Manis sekali ucapanmu. Belajar di mana?” Terkadang komentar Wonwoo sungguh pedas.

 

“Wonwoo-yaaah,” Mingyu mengerucutkan bibir, kesal karena belum apa-apa Wonwoo sudah menghinanya, “Ah sudahlah. Langsung pada intinya saja.” Ia memasukkan kertas itu ke dalam sakunya lagi, “Wonwoo-yah, menikahlah denganku.”

 

Terdapat jeda sepersekian detik ketika Wonwoo sama sekali tak berkedip dan hanya memandang Mingyu dengan takzim.

 

“Maksudmu?”

 

Mingyu memasangkan cincin di jari manis Wonwoo sambil menjelaskan, “Mungkin kita tidak bisa menikah secara resmi, tapi aku ingin bersamamu selalu. Aku ingin kau tahu bahwa aku bersungguh-sungguh dalam hubungan kita.”

 

Sekarang Wonwoo benar-benar kehilangan kata-kata, padahal ia tidak pernah seperti itu sebelumnya. Sikap terus terang Mingyu menggerakkan hatinya. Kedua tangan Wonwoo berada di pipi Mingyu.

 

“Ya, Mingyu-yah. Kapan?” gumamnya dengan wajah bersemu. Ia sudah menduga Mingyu tidak menyangka ia akan menjawab ya dalam waktu cepat.

 

“Secepatnya.” Mingyu menghadiahi Wonwoo dengan kecupan demi kecupan di pipi kekasihnya itu, tapi sebelum ia mendaratkan kecupan ketiga, tangan Wonwoo menahan bibirnya.

 

“Kau tidak malu, Mingyu-yah? Ini di depan umum, kan?” Wonwoo melepaskan tangannya, “Kita lanjutkan nanti di rumah.”

 

Dan Mingyu pun tergelak.

 

***

 

Bersandar pada tiang halte bus, di mana Jeonghan berusaha menyembunyikan diri dari Mingyu dan Wonwoo, helaan nafas lega terdengar arah Jeonghan. Melihat Wonwoo yang melarikan diri dan Mingyu yang panik mengejarnya, Jeonghan menyangka lamaran Mingyu akan ditolak dan semua rencana sahabatnya itu sia-sia.

 

Namun setelah mencuri dengar jawaban Wonwoo, Jeonghan merasa sangat lega—mungkin kelegaannya melebihi Mingyu. Kekhawatirannya menguap begitu saja. Kini ia harus kembali ke restoran sebelum Mingyu dan Wonwoo memergokinya.

 

Baru berjalan dua langkah, seseorang menepuk bahunya sambil menyapa, “Hei,”

 

“Seungcheol-ah, kau juga menyusul mereka?”

 

Seungcheol mengulum senyum, “Aku menyusulmu, Sayang. Mana mungkin aku membiarkanmu mengejar mereka sendirian. Oh ya, bagaimana situasinya?”

 

“Sangat baik!” Jeonghan bersemangat saat menjawabnya, “Kupikir Wonwoo akan berkata tidak, lalu Mingyu frustasi dan—”

 

Jeonghan menghentikan ucapannya ketika melihat benda yang dibawa Seungcheol dan kini ditunjukkan di hadapannya.

 

Kotak cincin miliknya yang seharusnya berada di saku celananya. Segera ia meraba saku celananya yang kosong. Wajahnya memucat.

 

“Kau menjatuhkan ini saat berlari, Sayang.” Seungcheol tersenyum simpul.

 

“A-aku bisa jelaskan. Aku—”

 

Seungcheol membuka kotak tersebut kemudian mengenakan cincin itu di jari manisnya.

 

“Seungcheol-ah, aku belum mengatakan apapun.” Suara Jeonghan tercekat. Seharusnya ia meminta Seungcheol menikahinya dalam suasana romantis, bukannya karena kotak cincin itu tak sengaja terjatuh.

 

“Kalau begitu, kita mengatakannya bersama-sama.”

 

Kejutan selanjutnya cukup membuat lutut Jeonghan melemas. Seungcheol mengeluarkan kotak cincin berbeda dari saku celananya. Kekasihnya itu memasangkan sebuah cincin tersebut ke jari manis Jeonghan yang gemetar hebat.

 

“Aku tahu kau sudah menyembunyikan cincin ini selama beberapa minggu. Tapi aku lebih parah lagi—kusimpan selama hampir setengah tahun dan aku tidak punya keberanian untuk mengatakan apapun padamu, hyung. Lalu hari ini kulihat kau membawa cincin itu ke acara pertunangan Mingyu. Kupikir ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk mengatakan hal yang sama.”

 

Seungcheol membawa telapak tangan Jeonghan ke hadapannya kemudian dengan telunjuknya, ia menuliskan kata ‘menikah’ yang diakhiri dengan tanda tanya. Jeonghan tak pernah merasa segembira ini. Ia pun membalasnya dengan menuliskan ‘ya’ di telapak tangan Seungcheol.

 

Rasanya Seungcheol sudah akan mencium bibir Jeonghan bila saja ia tidak ingat bahwa mereka tidak berada di apartemen, melainkan di pinggir jalan.

 

“Ada banyak hal yang harus kita bicarakan, hyung.

 

“Uhm, bagaimana kalau kita pulang saja?”

 

“Maksudmu? Kita tidak jadi mengikuti acara pertunangan Mingyu-hyung? Bagaimana dengan pidatomu?”

 

Jeonghan tersenyum jahil seraya mengedikkan bahu, “Kurasa Mingyu akan mengerti situasi kita. Aku akan mengirim pesan padanya, jadi tenang saja.”

 

“Kalau begitu...” Seungcheol mendekatkan bibirnya di telinga Jeonghan, “... kita rayakan di kamar favorit kita?”

 

Langsung terdengar pekikan seketika Jeonghan menginjak kaki Seungcheol lantas meneriakinya lelaki mesum.

 

***

 

Jeonghan sudah tidak pernah lagi terbangun tengah malam karena mimpi buruknya. Ia juga tidak lagi terbayang-bayang kilasan masa lalunya. Yang jelas ia terbangun tiap pagi bila suara dengkuran Seungcheol semakin menjadi-jadi. Kekasihnya itu hanya mendengkur bila terlalu lelah bekerja atau sering lembur.

 

Dan di antara malam-malam sebelumnya, Seungcheol justru memilih untuk mendengkur di malam ketika Jeonghan sudah terlalu lelah untuk bergerak akibat olahraga rutin mereka di ranjang. Jeonghan butuh istirahat, tetapi tiap kali memejamkan mata ia akan mendengar dengkuran Seungcheol yang terdengar dua kali lebih keras karena kekasihnya itu selalu tidur dalam posisi memeluknya dari belakang.

 

“Cheol-ah,

 

Seungcheol tidak terbangun sama sekali. Jeonghan menggerutu kesal. Ia benar-benar tidak diizinkan untuk memejamkan mata walau hanya sedetik.

 

Untung perhatiannya teralihkan dengan cincin di jari manisnya. Senyum merekah di bibir Jeonghan. Tidak disangka ia dan Seungcheol memiliki keinginan dan niat yang sama, sehingga hal itu meyakinkan Jeonghan untuk sepenuhnya mempercayai Seungcheol untuk menikahinya.

 

Ia berdebar-debar lagi. Sungguh reaksi kekanakan, padahal mereka sudah bersama cukup lama tetapi hanya dengan melihat cincin di jari manis bisa membuat Jeonghan berdebar.

 

Jeonghan sedikit menolehkan kepalanya ke samping, “Seungcheol-ah, aku mencintaimu.” bisiknya. Seungcheol menyahut dengan dengkurannya. Jeonghan menahan tawa.

 

Tangannya menggapai ke arah nakas di samping tempat tidur, mencari letak ponselnya. Di kegelapan malam ia biasanya mengecek jam menggunakan ponselnya. Alangkah terkejutnya Jeonghan ketika melihat pantulannya di layar ponsel. Meski gelap, ia bisa membedakan mana wajahnya dan wajah Seungcheol. Setelah sekian lama ia terbiasa menatap kekasihnya di pantulan cermin, ia hafal betul tiap jengkal wajah Seungcheol. Namun kali ini ia tidak melihat pantulan Seungcheol.

 

Yang dihadapannya adalah pantulan wajahnya sendiri.

 

“Cheol-ah, bangun!” Satu tangannya menggerak-gerakkan lengan Seungcheol yang melingkar manis di pinggangnya, sedangkan tangan lainnya masih memegangi ponsel, “Cheol-ah!”

 

Seungcheol menggeram. Posisinya bergeser sedikit.

 

“Choi Seungcheol!”

 

Begitu mendengar bentakan Jeonghan, barulah kedua mata Seungcheol terbuka lebar.

 

“Ada apa? Ada apa?” Ia terduduk dengan wajah bingung, “Kebakaran?” tanya Seungcheol.

 

Jeonghan tidak memedulikan kekagetan kekasihnya, alih-alih langsung menyalakan lampu kamar. Merasa silau, Seungcheol menutupi wajahnya dengan bantal.

 

“Sayang, kau kenapa sih?” protesnya.

 

“Kemarilah!” Jeonghan memerintahkannya untuk berjalan ke arah cermin kamar mereka yang berukuran besar. Dengan mata setengah terpejam, Seungcheol menurut saja. Mereka berdiri bersebelahan, “Lihat pantulan kita.”

 

Kesadaran Seungcheol sepenuhnya kembali setelah menyadari apa yang terjadi. Pantulan mereka tidak lagi tertukar. Seungcheol berwajah Seungcheol dan Jeonghan berwajah Jeonghan.

 

Setelah bertahun-tahun mereka sudah terbiasa dengan wajah masing-masing, entah bagaimana pantulan mereka akhirnya kembali.

 

“Sayang, kau melakukan sesuatu agar pantulan kita kembali?” Seungcheol menatap Jeonghan penuh tanda tanya.

 

“Tidak. Aku tidak melakukan apapun. Tiba-tiba seperti ini.”

 

Seungcheol memajukan tubuhnya di depan cermin, “Hmm, sayang sekali sih. Aku sudah terbiasa melihat wajahmu. Pasti aku sangat merindukan wajah indah itu.”

 

“Aku juga,” Jeonghan menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya, “Tapi tidak apa-apa. Aku bisa melihatmu tiap hari.”

 

Seungcheol mengecup dahi kekasihnya, “Terimakasih selalu ada di sampingku. Aku mencintaimu, Yoon Jeonghan.”

 

“Aku mencintaimu, Choi Seungcheol.”

 

 

 

 

 

Terkadang tidak diperlukan penjelasan logis ataupun berlapis-lapis alasan untuk menerangkan sebuah takdir.

 

Terkadang hanya diperlukan keyakinan bahwa terdapat setitik kebahagian di balik jalan terjal yang harus dilalui. Dan untuk melaluinya kita membutuhkan seseorang. Bukan untuk menjadi pahlawan dalam kisah kita, melainkan untuk menyalurkan kekuatannya melalui genggaman tangan, pelukan hangat, atau dengan kata-kata penyemangat saja.

 

 

 

 

 

 

EPILOGUE

 

 

Di sebuah kuil yang jauh dari hiruk pikuk kota Seoul, Kang Soohyeok menatap pantulan dirinya di cermin besar itu. Tak berkedip. Hanya bisa termenung sebab ia melihat pantulan dirinya sendiri, bukan pantulan almarhumah istrinya.

 

“Mengapa baru datang sekarang, Tuan?” tanya biksu tua yang menemaninya sejak tadi.

 

Kang Soohyeok memaksakan senyumnya. Kemudian ia merogoh sapu tangan dari saku celana untuk menutupi mulutnya ketika terbatuk. Dengan cepat disembunyikannya sapu tangan itu karena ia tidak ingin biksu di sampingnya itu melihat bercak darahnya.

 

“Beberapa tahun belakangan ini saya mencari informasi dari keluarga besar dan baru saya temukan kuil ini sekarang. Hidup saya tak lama lagi. Saya ingin menutupnya dengan ketenangan. Menemukan jawaban dari keajaiban cermin ini adalah ketenangan yang saya butuhkan.”

 

Biksu tua itu mengangguk paham. Kemudian beliau mengatupkan kedua tangannya untuk berdoa sejenak.

 

“Kalau boleh kuceritakan sedikit mengenai cermin ini.” ujar biksu tua tersebut, “Yang anda tahu pasti hanya ada sepasang cermin yang diukir oleh ayah anda, bukan? Satu untuk keluarga Kang dan satunya untuk sahabat keluarga Kang. Cermin ketiga ini dibuat khusus oleh ayah anda dengan maksud sebagai tanda terimakasih untuk kuil ini. Selama bertahun-tahun guru kami merasa ada yang tidak beres pada cermin ini maka beliau menyimpannya di gudang dan menutupnya dengan kain. Tapi kami tidak berani menghancurkannya.”

 

Jemari Kang Soohyeok meraba permukaan cermin itu. Entah permohonan apa yang diucapkan ayahnya di kuil hingga keajaiban cermin itu pun berlaku bahkan untuk orang lain yang bukan anggota keluarga Kang.

 

“Akan saya coba menghancurkannya.” gumam Kang Soohyeok, “Kalau saya diizinkan oleh kuil ini untuk menghancurkannya.” Ia membungkukkan tubuh ke arah biksu tua itu.

 

Biksu itu tersenyum simpul, “Kalau boleh saya tahu, mengapa anda ingin menghancurkannya?”

 

“Seperti yang sudah anda dengar, hidup saya tinggal menghitung hari. Saya sadar sudah tidak ada gunanya saya menghancurkan cermin ini. Namun... saya berhutang penjelasan pada dua pemuda yang ikut terkena akibat dari dua cermin milik keluarga saya. Bila diizinkan, saya ingin menghancurkannya demi dua pemuda itu. Dan semoga setelahnya, pantulan mereka akan kembali.”

 

Penjelasan itu dirasa cukup bagi sang biksu untuk memberi izin Kang Soohyeok untuk menghancurkan cermin dengan ukiran indah di sekelilingnya itu.

 

“Kuharap di masa mendatang, tidak ada lagi orang yang membuat permohonan tanpa pemikiran yang bijaksana.”

 

Kang Soohyeok menganggukkan kepala. Kemudian mulai meraih sebongkah kayu yang diangsurkan oleh biksu tua tersebut.

 

“Semoga semuanya kembali seperti semula.” gumamnya sebelum memukulkan bongkahan kayu itu ke arah cermin.

 

Dan ketika doa dipanjatkan oleh biksu, tubuh Kang Soohyeok melemas. Di pukulan terakhir, ia tahu tubuhnya tidak lagi kuat menahan penyakitnya.

 

Senyum terakhir ia persembahkan untuk almarhumah istrinya.

 

Ia berharap akan bertemu dengannya di alam lain, bukan hanya dari pantulan cermin.

 

 

 

 

TAMAT.

 

 

A/N:

Mohon maaf sebesar-besarnya karena udah PHP-in kalian selama beberapa bulan.   m(_  _)m

Akhirnya bisa selesaiin Chasing Reflection. /YAY/

Dan sesuai quote favorite kami, "If you want a happy ending, that depends on where you stop you story." (Orson Welles).

Meskipun endingnya nggak se-WOW itu, tapi kami pikir ini adalah ending terbaik dan terbahagia bagi segala pihak.

Semoga setelah ini kami bisa terus lanjutin FF kami yang laennya, di sela kesibukan kerja dan sekolah. (dan mager dan writer's block dan segala macam alasan bull lainnya).

Makasih udah ngikutin Chasing Reflection dari awal.

WE LOVE YOU ALL.

See you.

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
caratsfiction
Update Chasing REFLECTION 04

Comments

You must be logged in to comment
lily199iusinger
#1
Chapter 2: I, too, want to use google translate. I saw the translated english version of this on ao3. The story is just so perfect! I‘m currently left hanging, thanks for this!
pinkrose8899 #2
Chapter 11: finally~ thank you for making this lovely story, author nim!^^
pinkrose8899 #3
Chapter 9: yay, finally official~~~
pinkrose8899 #4
Chapter 3: when you lowkey ship gyuhan :3
pinkrose8899 #5
Chapter 2: eak jww gak tsundere :3
pinkrose8899 #6
Chapter 1: daku jadi inget ftv trans tv masa yg toko kramat itu xD
Shirsha23 #7
i'm getting tempted to use google translate istg!! can't wait for you to update the eng ver. but of course (its hard to say) take your time~~~
Shirsha23 #8
teach me your language lol!!! i want to read this so much i'd cry!!!!
zyx1004 #9
Chapter 11: Gils ceritanya mindblowing tapi seru!
nurhusnamustafa #10
Chapter 11: This is the best !!!!