Chapter 02

CHASING REFLECTION

Wajah Yoon Jeonghan ditekuk, murung dan mengeluarkan aura hitam. Ia berjalan menunduk sembari membawa kanvas hasil lukisannya yang semestinya diikutsertakan dalam pameran yang diadakan kampusnya minggu depan. Namun ketika lukisan itu ditunjukkan pada dosen pembimbingnya, ia mendapat penolakan kejam.

 

“Lukisan begini mau diikutkan pameran?” komentar pedas itu diutarakan oleh Jeung Hyeonjin-ssi, dosen yang selama ini mendukungnya untuk mengikuti pameran itu karena percaya dengan bakat dan kemampuan Jeonghan.

 

Siapa sangka malah beliau yang menolak mentah-mentah karya Jeonghan. Ia masih mengingat jelas alasan Jeung Hyeonjin-ssi menolak lukisannya.

 

“Bila kau hanya melukis sesuatu tanpa ada makna di baliknya, maka lebih baik kau tidak usah mengikuti pameran. Tiap kali kau melukis, semestinya kau paham benar mengenai objekmu. Jangan asal melukis. Saya tahu kau berbakat, tapi kalau tidak diimbangi dengan kesadaran mengenai seni lukis itu sendiri, apa artinya melukis?”

 

Rasanya penolakan itu membuatnya lemas seketika. Mungkin karena melihat wajah pucat Jeonghan, Jeung Hyeonjin-ssi merasa kasihan padanya lalu memutuskan untuk memberikan satu kesempatan lagi sebelum pameran. Yang jadi masalah, pameran tinggal seminggu lagi. Bagaimana mungkin ia menyiapkan lukisan baru dalam waktu seminggu?

 

Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang merangkul bahunya. Ia sempat terkejut sebentar namun ia tahu satu-satunya orang yang berani bersikap seperti itu hanya Kim Mingyu, sahabatnya sejak SMA. Meskipun mereka seusia, Jeonghan masih terlihat seperti anak SMA karena wajah dan perawakannya yang awet muda.

 

“Ada apa? Murung sekali.” tanya Mingyu.

 

Dengan manja, Jeonghan sedikit menyandarkan kepalanya di bahu Mingyu, “Jeung Hyeonjin-ssi menolak lukisanku. Tapi ia memberiku satu kesempatan lagi dalam waktu seminggu.”

 

Mingyu menghentikan langkahnya, membuat Jeonghan ikut berhenti juga, “Jadi... kau hanya punya seminggu untuk melukis lagi dari awal? Kau sanggup?” Raut wajahnya tampak khawatir.

 

Mingyu sudah paham benar mengenai sahabatnya itu. Diberi waktu seminggu untuk mengerjakan lukisan yang akan dipamerkan? Bisa-bisa selama seminggu Jeonghan tidak makan dan tidak tidur.

 

Masokis. Ya. Itu sebutan Mingyu pada Jeonghan. Ia terlalu serius dengan segala hal yang ia kerjakan sehingga mengakibatkan lupa diri dan waktu. Ia mengandalkan Mingyu yang seperti manajer pribadinya—mengingatkan waktu makan, tidur bahkan mandi.

 

“Aku tidak menolak sih... Lagipula ini keinginanku untuk memamerkan karya di pameran.”

 

Mingyu kini berdiri di hadapannya, “Kau masih semester dua. Masih banyak waktu untuk memamerkan karyamu. Tidak harus tahun ini, kan?”

 

“Tapi....” Jeonghan menunduk.

 

Salah satu tujuannya mengikuti pameran ini adalah untuk menunjukkan pada ayahnya bahwa pilihannya untuk masuk jurusan seni adalah pilihan yang tepat. Selama ini ayahnya menginginkan Jeonghan untuk masuk jurusan kedokteran. Sadar bahwa keinginannya bukanlah menjadi dokter, Jeonghan membantah dan mengambil jurusan seni.

 

Ia sudah mengundang ayahnya untuk datang ke pameran di kampusnya minggu depan. Dengan keadaan yang berubah total seperti ini, ia harus bergegas membuat lukisan baru.

 

“Ayahmu pasti mengerti. Kau tidak usah memaksakan diri, Jeonghan.

 

“Tidak. Ayahku tidak akan mengerti. Hal ini akan jadi alasan bagi ayahku untuk memindahkanku dari jurusan seni.”

 

“Hei, hei,” Mingyu meletakkan kedua tangan di bahu Jeonghan, menghentikan langkah lelaki itu, “Asal kau tidak lupa mengurus dirimu, aku tidak keberatan kau melukis 24 jam.”

 

Jeonghan menganggukkan kepala, lalu tersenyum simpul. Mingyu melihat jam tangannya kemudian berpamitan pada Jeonghan. Meski berada di jurusan yang sama, tetapi Mingyu sering mengambil mata kuliah seni musik yang berbeda dengan Jeonghan.

 

“Akan kuhubungi kau nanti waktu makan siang. Kita ke kantin, oke?” Mingyu mengacak rambut Jeonghan. Sikap Mingyu terkadang berlebihan padahal mereka bukan kekasih.

 

Ia tidak menyahut tetapi ia tahu Mingyu tidak akan membiarkannya pergi hingga ia menjawab, “Baiklah, baiklah. Nanti kita makan siang bersama.”

 

Sepeninggal Mingyu, Jeonghan menghela nafas panjang. Kini ia harus memikirkan ide untuk karya yang akan dipamerkan. Dengan waktu sesingkat itu, ia tidak tahu harus melukis apa. Ia mendorong pintu kayu di ruang lukis yang biasa digunakan mahasiswa seni untuk mencari inspirasi. Tidak biasanya ruangan itu dipenuhi banyak orang. Satu-satunya ruangan yang sepi dan tidak ada seorangpun di sana, adalah ruang penyimpanan. Ruang itu tidak seperti gudang melainkan seperti ruang kelas yang terbengkalai. Letaknya di bagian barat kampus, tidak jauh dari kantin.

 

Dengan malas, Jeonghan menuju ruang penyimpanan itu. Gelap dan lembab. Bau jamur serta debu membuatnya menutup hidung dengan tangannya. Ternyata lampunya cukup terang. Ia pun meletakkan kanvas di dekat jendela. Jeonghan memang sangat suka melukis di samping jendela sehingga ketika ia jenuh, ia bisa melemparkan pandangan ke luar.

 

Masalahnya, jendela itu tidak bisa dibuka karena tertutupi sesuatu setinggi tubuhnya. Benda itu dibungkus dengan kain hitam berdebu. Ia berpikir dua kali kalau harus berjibaku dengan debu. Tapi ia tidak mungkin mencari inspirasi di rumah. Ayahnya tak akan mengizinkannya melukis. Jeonghan memindahkan benda itu dengan susah payah hingga tak lagi menutupi jendela. Kain hitam penutupnya terjatuh.

 

Sebuah cermin dengan bingkai ukiran kayu.

 

Jeonghan tertegun sejenak melihat pantulan dirinya di cermin tersebut. Setidaknya ada debu di cermin itu tetapi tidak ada sama sekali. Pantulan dirinya terlihat begitu jernih. Ia bahkan bisa melihat garis samar bekas cukuran kumisnya di pantulan itu.

 

Seakan ketagihan melihat dirinya, Jeonghan memindahkan cermin itu tepat di seberang kanvasnya sehingga ketika melukis ia masih dapat melihat pantulan dirinya. Ia tidak pernah menjadi orang yang narsis begini. Ia tidak menganggap dirinya lebih istimewa atau lebih tampan dari orang lain. Kepercayaan dirinya tidak sebesar itu. Namun entah mengapa, cermin ini seolah memberinya kepercayaan diri yang lebih.

 

Jeonghan memutuskan untuk mulai melukis saja daripada berlama-lama mengagumi dirinya sendiri. Lukisan lama yang ditolak oleh dosen pembimbingnya bertema pemandangan. Mungkin ia perlu mengganti temanya menjadi sesuatu yang lebih personal, yang lebih bermakna. Sempat ia mempertimbangkan untuk melukis ibunya. Ketika ia menengadahkan kepala untuk melirik sejenak ke arah cermin, ia jatuh terjerembab karena terkejut.

 

Tentu saja terkejut bila pantulan yang ia lihat di cermin bukanlah dirinya.

 

Tangannya terulur menyentuh cermin tersebut. Memang benar-benar bukan wajahnya. Bahkan rambutnya pun berbeda. Ia pasti berhalusinasi. Jeonghan mengusap matanya berkali-kali dengan harapan ini semua hanya sesaat. Rupanya tidak ada perubahan apapun.

 

Lelaki di pantulan cermin itu bukanlah Jeonghan. Ia memiliki kedua mata yang bulat, garis rahang yang tegas dan alis yang tebal. Benar-benar wajah yang indah untuk dilukis, batin Jeonghan. Alih-alih ketakutan melihat perubahan pantulan dirinya di cermin, Jeonghan justru menjadikan hal tersebut inspirasi.

 

Ia tidak menunggu lama untuk mulai melukis. Jemarinya menari mengulaskan kuas di kanvas. Garis demi garis mulai membentuk wajah lelaki itu. Jeonghan tersenyum dan pantulan diri lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Jeonghan sangat menyukai senyumnya. Lukisannya akan jauh lebih indah bila lelaki itu tersenyum.

 

Waktu berlalu dengan cepat, Jeonghan lupa bila ia sudah berjanji makan siang bersama Mingyu. Ia tidak menghiraukan panggilan masuk dari sahabatnya itu. Tak terasa sudah hampir tiga jam ia berada di ruang itu. Ketika sadar, ia mengecek ponselnya yang sejak tadi sengaja ia matikan agar tidak mengganggu konsentrasi.

 

Lima belas panggilan masuk dari Mingyu sisanya pesan-pesan dari Mingyu juga. Ia meringis merasa bersalah sudah mengacuhkan Mingyu. Pasti sahabatnya itu marah besar. Tergesa-gesa ia membereskan peralatan melukisnya, membungkus kanvas dengan kain putih miliknya juga tak lupa menutupi cermin magis itu. Untuk terakhir kali sebelum menutupnya, Jeonghan menyentuh pantulan dirinya di cermin.

 

“Sampai jumpa besok,” gumamnya sembari tersenyum.

 

***

 

“Aku minta maaf...” Entah sudah keberapa kalinya Jeonghan meminta maaf pada Mingyu yang sedari tadi mendiamkannya. Ia berjalan mundur di hadapan Mingyu, agar ia bisa melihat wajah Mingyu yang cemberut itu, “Ayolah, Mingyu. Kutraktir makan malam, oke?”

 

Mingyu memutar bola mata, lalu berjalan menghindari Jeonghan. Jeonghan hanya mengikuti dari belakang saja. Mereka melewati etalase pertokoan tanpa berbicara sepatah katapun. Langkah Mingyu terhenti ketika mendengar teriakan Jeonghan. Tak hanya Mingyu yang menoleh ke arah Jeonghan, berpasang-pasang mata yang berada di sekitar mereka pun menatapnya bingung.

 

Jeonghan jatuh terduduk, tangan kiri menutupi wajah sedangkan telunjuk kanannya mengarah ke etalase di sampingnya, “I-itu...”

 

Mingyu berlutut di samping Jeonghan, “Ada apa? Kau kenapa, Jeonghan?”

 

“Kupikirituhanyaterjadidiruanganpenyimpanankenapabayanganitumengikutiku?” cerocos Jeonghan tanpa henti. Mingyu mengerutkan dahi, tak mengerti satu katapun yang keluar dari bibir sahabatnya.

 

“Bicara lebih pelan, Jeonghan-ah. Aku tidak mengerti sedikitpun. Kau sakit?”

 

Dari balik jemari, Jeonghan mengintip ke etalase. Lalu ia berteriak kembali sambil menutupi wajahnya, “LELAKI ITU MUNCUL LAGI!”

 

“Siapa? Di mana?” Mingyu sudah bersiap akan memukul orang yang dimaksud oleh Jeonghan. Ia khawatir Jeonghan dikuntit orang aneh lagi, seperti saat mereka masih SMA.

 

“Itu!” Jeonghan menunjuk etalase toko.

 

Mingyu hanya melihat manekin yang dipasang di balik etalase serta pantulan mereka, “Manekin hantu?” tebaknya.

 

“Bukan! Wajah lelaki itu di pantulan wajahku.”

 

“Aku masih tidak mengerti. Wajah lelaki siapa? Aku hanya melihat wajah kita dan manekin itu.”

 

Perlahan Jeonghan menurunkan tangan yang menutupi wajahnya, “Jadi kau tidak melihat apa yang kulihat?” Yang disahuti oleh gelengan kepala Mingyu, “Bagaimana bisa?”

 

“Entahlah. Aku sendiri tak mengerti arah pembicaraanmu—” Belum sampai Mingyu menyelesaikan perkataannya, Jeonghan sudah menarik pergelangan tangannya, mengajaknya berlari ke arah kampus, “Kita mau ke mana?”

 

“Kita harus kembali ke kampus!”

 

***

 

Cermin itu berdiri kokoh di dekat jendela, menunjukkan pantulan Mingyu. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang berbeda. Mingyu membalikkan tubuh untuk meminta penjelasan pada Jeonghan yang tampaknya juga tidak bisa memahami apa yang terjadi.

 

“Kenapa kau tidak berubah?” gumam Jeonghan.

 

“Apa aku harus berubah jadi superhero?”

 

“Bukan superhero—” Kemudian giliran Jeonghan berdiri menghadap cermin. Ia melihat pantulan lelaki itu di cermin, namun saat Mingyu melihat pantulannya, ia tetaplah seorang Jeonghan, “Itu bukan wajahku.”

 

“Itu wajahmu, Jeonghan. Kau apa-apaan sih? Sebaiknya kita lekas makan malam karena kau tidak makan sejak tadi siang makanya kau berkhayal.”

 

“Aku tidak berkhayal!!” Ia kesal sekali, bahkan sahabatnya pun tidak memihaknya.

 

Semula Jeonghan memang tidak mempermasalahkan perubahan pantulan dirinya di cermin sebab ia mengira hanya cermin ini yang memberikan keajaiban. Lagipula ia mendapatkan inspirasi dari cermin itu. Tetapi saat ia menyadari pantulannya sudah berubah—tidak peduli cermin manapun itu—Jeonghan merasa tidak nyaman.

 

Bagaimana ia bisa konsentrasi bila ia terus melihat wajah pria lain?

 

“Cermin ini yang membuatku seperti ini. Ia yang mengubahku. Kumohon percaya padaku, Mingyu-yah. Aku tidak mengada-ada atau berkhayal. Cermin ini bukan cermin biasa.”

 

Mingyu menatapnya seakan Jeonghan mengatakan hal paling gila. Jeonghan sendiri tak percaya Mingyu akan menatapnya dengan kekecewaan seperti itu. Rasa percaya diri Jeonghan langsung runtuh. Ia menutupi cermin itu seperti semula.

 

“Sudahlah, tidak perlu kita bahas lagi.”

 

Terdengar helaan nafas panjang dari arah Mingyu. Tangan hangat itu menepuk bahu Jeonghan, “Kau pasti terlalu lelah memikirkan pameran itu, Jeonghan. Lebih baik kau istirahat dan lanjutkan melukis besok saja. Kuantar pulang?”

 

Jeonghan menepis tangan Mingyu, “Tidak usah. Aku pulang sendiri.”

 

Entah pada siapa lagi Jeonghan harus mengadu.

 

***

 

Ini pertama kalinya Jeonghan benar-benar menikmati memandang pantulan wajahnya di cermin. Ia bahkan memindahkan kursi di depan cermin seukuran tubuh agar ia bisa melukis pantulan lelaki tersebut. Jeonghan memang tidak pernah membawa kanvasnya ke rumah. Ia tidak ingin ayahnya melihatnya melukis. Jeonghan hanya berusaha bersikap baik di depan ayahnya, menghargai keinginan ayahnya agar ia mengambil jurusan kedokteran. Tetapi di balik itu, ia melawan segenap hati.

 

Jeonghan mengamati wajah lelaki itu dengan seksama. Ada sesuatu unik pada lelaki tersebut yang seolah menghipnotis Jeonghan untuk melukisnya. Ia menggunakan buku sketsanya. Berbekal pensil, ia menghasilkan sebuah sketsa wajah lelaki tersebut. Jeonghan tersenyum puas. Ternyata menyenangkan juga menggunakan diri sendiri sebagai objek lukis, meski kenyataannya yang tampak bukanlah wajahnya.

 

Dalam hitungan jam, buku sketsa Jeonghan sudah terisi dengan berbagai macam pose lelaki tersebut. Semakin lama Jeonghan memandangi pantulan dirinya, semakin ia menyukainya. Ia memutuskan untuk menyudahi kegiatan melukisnya. Seperti biasa, seusai melukis sketsa, Jeonghan pasti memindai lalu mengunggah karyanya di akun Instagram miliknya yang selama ini menggunakan nama samaran. Ia ingin orang lain menghargai karyanya. Meski dalam kehidupan nyata Jeonghan tidak terkenal, tetapi ia memiliki penggemar cukup banyak di Instagram.

 

Ia tersenyum puas saat sketsanya mendapat like sebanyak lima puluh dalam beberapa menit setelah diunggah. Ia merebahkan diri di atas ranjang, sembari menunggu bertambahnya like beserta komen.

 

Bagus sekali sketsanya!

 

Wah! Tampan sekali! Ini pasti kekasih Unni!

 

Unni! Kekasihmu tampan. Bolehkah untukku saja?

 

Noona, ternyata kau sudah punya kekasih. ><

 

Jeonghan menahan tawa membaca komen tersebut. Ia sudah terbiasa dengan penggemar yang mengira dirinya adalah seorang wanita. Ia membalasnya dengan ucapan terimakasih singkat, tidak mengiyakan mengenai status lelaki dalam sketsa itu.

 

Tiba-tiba notifikasi menunjukkan akun Mingyu memberi komen untuk sketsanya, Siapa orang ini?

 

Dan tak lama kemudian Mingyu menghubunginya. Jeonghan belum sempat mengucapkan halo, Mingyu sudah menanyakan hal yang sama seperti komentarnya.

 

“Siapa orang ini? Kau mengenalnya? Kenapa sampai menggambar sketsanya?”

 

“Uhm... orang itu yang ada di pantulan cerminku.”

 

Menyadari kesalahannya karena tidak memercayai ucapan Jeonghan, Mingyu tidak menyahut selama beberapa saat. Hingga akhirnya ia mengucapkan maafnya, “Maafkan aku, Jeonghan-ah. Kupikir kau bergurau.”

 

“Tidak. Aku tidak mungkin bergurau untuk masalah serius seperti ini. Sekarang kau percaya padaku?”

 

“Ya. Sekarang aku percaya padamu.” Meski masih terdengar sedikit keraguan dalam ucapannya, namun setidaknya Mingyu kini berada di pihak Jeonghan, “Bagaimana ini bisa terjadi? Kau tidak takut?”

 

Jeonghan mengedikkan bahu seolah Mingyu dapat melihat bahasa tubuhnya, “Anehnya aku tidak takut dan sama sekali tidak peduli. Setidaknya aku bisa menikmati bercermin, tidak seperti dulu.”

 

Mingyu mendengus, “Yang benar saja, dulu kau tidak menikmati bercermin? Apa kau tidak sadar wajahmu itu sempurna?”

 

“Kau bicara apa sih, Mingyu? Sempurna apa? Tidak kok.”

 

“Entah kau ini ingin menyombong dengan cara merendah atau kau memang tidak sadar.”

 

“Aku memang tidak sempurna.” Jeonghan beranjak dari tempat tidur menuju cermin. Dengan seksama ia mengamati rahang kokoh yang kini menjadi miliknya—walau hanya dalam pantulan, “Kau tahu, rahangku sekarang kokoh, kedua mataku bulat... Tapi aku tidak suka rambutku. Seperti mangkuk.”

 

Tawa Mingyu meledak, “Ya, Yoon Jeonghan! Ini adalah reaksi paling gila yang pernah kudengar! Wajahmu berubah di cermin, kenapa kau tenang sekali? Kau ini sebenarnya manusia atau alien?”

 

“Itu benar kan? Lelaki ini memiliki wajah tampan.”

 

“Setiap hari kau bersama lelaki tampan, tak kusangka kau malah memuji lelaki lain.”

 

“Astaga Kim Mingyu, memalukan sekali kata-katamu. Hentikan atau kumatikan teleponnya.”

 

“Hahaha baiklah. Gambarlah sketsanya lagi. Nanti kubantu untuk mencari identitasnya.”

 

Jeonghan tercekat, “Uhm, tidak usah. Aku lebih baik tidak usah bertemu dengannya. Aku ingin ia menjadi inspirasi jadi tidak perlu bertemu.”

 

“Oh, baiklah kalau begitu. Sampai jumpa besok di kampus. Aku akan menjemputmu waktu makan siang biar kau tidak lupa waktu.”

 

“Ugh, kau lebih cerewet dari ibuku....:

 

***

 

Bukannya Mingyu tidak memercayai omongan Jeonghan, tapi ia harus membuktikan sendiri bahwa sahabatnya itu tidak berhalusinasi. Ia mengecek ruang penyimpanan, tempat cermin tersebut. Setelah membuka kain hitam penutupnya, Mingyu menatap lekat-lekat pantulan dirinya di dalam cermin. Sungguh tidak ada yang berubah. Ia bahkan berjalan dari ujung ruangan bak model, tapi tetap tidak ada perubahan pada pantulannya.

 

Dengan seksama, ia mengamati ukiran di cermin tersebut. Sepertinya cermin antik. Siapa yang meletakkannya di ruang penyimpanan? Mingyu beberapa kali memfoto cermin itu untuk berjaga-jaga siapa tahu ia menemukan pemiliknya.

 

Hari ini ia tidak ada jadwal kuliah, berbeda dengan Jeonghan yang jadwalnya penuh dari pagi hingga sore. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi sahabat yang baik. Untuk memercayai Jeonghan, ia butuh bukti agar ia sendiri bisa percaya dengan keajaiban cermin tersebut. Maka Mingyu melacak lokasi toko yang menjual barang antik. Setidaknya ia memiliki waktu sekitar empat jam sebelum makan siang.

 

Ia tidak menyangka cukup banyak toko barang antik di Seoul, seakan ia mencari jarum dalam tumpukan jerami. Tapi ia mencoba mengunjungi toko yang terdekat dengan kampusnya. Tiga dari empat toko antik yang letaknya hampir bersebelahan itu sama sekali tidak mengetahui mengenai cermin antik itu. Mingyu berpura-pura sedang mencari tahu di mana ia bisa membeli cermin itu, meskipun cermin itu ada di ruang penyimpanan kampusnya.

 

Toko terakhir yang ia kunjungi hari ini terletak kurang lebih satu kilometer dari toko sebelumnya. Perutnya sudah berbunyi menandakan lapar, tapi Mingyu tetap bersikeras mencari tahu. Ini demi memuaskan rasa penasarannya.

 

Dalam perjalanan menuju toko antik, ia berpapasan dengan dua orang siswa berseragam. Mingyu berhenti sejenak, melihat punggung kedua orang itu yang berangsur-angsur menghilang dari pandangan. Sepertinya seragam sekolah itu tak asing di ingatannya. Tiba-tiba Mingyu teringat akan kejadian tawuran semasa SMA. Mingyu bukan termasuk anak teladan yang hanya belajar dan duduk manis di sekolah. Ia salah satu siswa yang hobi tawuran dan salah satu SMA yang pernah menjadi korban tawurannya adalah SMA dua siswa itu tadi.

 

“Hyongu High school. Rasanya jadi rindu masa-masa SMA.” Ia menggumam sambil menahan senyum, “Ah sudahlah, sebentar lagi aku harus memaksa Jeonghan makan siang. Aku harus bergegas.”

 

Toko barang antik itu sudah terlihat dari kejauhan. Di antara tiga toko yang sudah ia kunjungi, toko inilah yang paling berbeda—terlihat modern. Mingyu sempat mengagumi desain gedungnya, namun ketika ia masuk, ia sudah disambut dengan seorang nenek berwajah ketus dengan pakaian serba hitam. Gedung toko memang modern tapi penjaganya tidak modern.

 

“Selamat siang, saya ingin mencari barang antik.” Mingyu membungkukkan tubuh, menyapa nenek tersebut.

 

“Kau bisa berkeliling dan cari sendiri ya.” ujar nenek itu, tidak ramah. Mingyu mencibir.

 

Ia mendekati nenek tersebut lalu menujukkan foto cermin yang ada di ponselnya, “Apa Nenek menjual cermin seperti ini?”

 

“Kau panggil aku nenek? Panggil aku Bibi! Aku ini belum memiliki cucu dan—” omelan panjang nenek itu terhenti seketika melihat gambar tersebut. Ia membelalakkan mata lalu mengarahkan telunjuk ke arah Mingyu, “Ka-kau.... siapa yang menyuruhmu datang kemari?”

 

“Tidak ada. Saya memang mencari cermin itu.”

 

“Kau jangan bohong! Jangan-jangan kau bekerjasama dengan dua bocah SMA itu ya? Kalian mau mengerjaiku ya?”

 

“Saya tidak mengerti maksud Nenek...”

 

Nenek itu mendorong tubuh Mingyu hingga pintu keluar, “Sudah, sudah kau keluar saja! Tidak ada cermin itu! Tidak ada!”

 

“Ta-tapi...”

 

“Aku tidak ingin mendengarmu menceritakan kisahmu melihat pantulan orang lain di cermin itu!” Nenek itu tidak sampai benar-benar mengusir Mingyu karena seorang pegawainya melerai mereka. Lelaki yang juga berpakaian serba hitam itu berdiri menegahi mereka.

 

“Bibi, kenapa bersikap tidak sopan pada pelanggan?” tanya lelaki itu yang berdiri membelakangi Mingyu.

 

Nenek itu mengarahkan telunjuknya pada Mingyu, “Ia bekerjasama dengan bocah SMA itu untuk mengerjai Bibi. Mereka bukan pelanggan!” Segera setelah mengatakan hal itu, nenek tersebut berjalan masuk ke bagian belakang toko.

 

Pegawai lelaki itu membungkukkan tubuh meminta maaf pada Mingyu, “Maafkan Bibi saya. Bibi sedang banyak pikiran. Ada yang bisa saya bantu?”

 

Mingyu tersenyum kecut, mengingat beberapa menit lalu ia hampir diusir paksa oleh nenek itu. Ditunjukkannya foto cermin di ponselnya, “Aku sedang mencari cermin ini.” Mingyu berbohong.

 

Lelaki di hadapannya itu mengerutkan dahi, “Kau ingin membeli cermin ini? Kurasa kemarin aku sudah menjualnya pada kolektor barang antik.”

 

Mingyu tertegun. Cermin yang ada di gudang itu sepertinya sudah lama terongok di situ, tidak mungkin baru dikirim kemarin. Berarti cermin berbeda?

 

“Apakah pemiliknya tinggal di sekitar Universitas Seni Seoul?”

 

Lelaki itu menyuruh Mingyu menunggu sebentar, sementara ia mengecek data barang antik yang telah terjual, “Bukan. Kolektor itu kepala sekolah Hyongu High School. Kalau boleh saya tahu, apa Anda benar-benar menginginkan cermin itu? Anda juga kolektor?”

 

Bibir Mingyu mengulum senyum. Ia tidak yakin apa cukup bijak bila ia menceritakan alasannya mencari cermin tersebut pada orang yang baru dikenal.

 

“Saya bukan kolektor. Saya hanya penasaran karena ada sesuatu terjadi yang berkaitan dengan cermin itu.”

 

“Ah!” Tiba-tiba lelaki itu menjentikkan jari, “Apa Anda seorang pendeta yang akan mendoakan cermin itu?”

 

Pendeta?! Baru kali ini seseorang menyangkanya pendeta.

 

“Bu-bukan! Saya mahasiswa jurusan seni musik.” Seakan kehilangan kata-kata, Mingyu hanya tersenyum bodoh sambil menggaruk kepalanya.

 

Lelaki itu menahan tawa. Ia kemudian menyerahkan kartu namanya pada Mingyu, “Hubungi saya kalau Anda memang benar-benar membutuhkan cermin itu. Mungkin saya bisa membantu menegosiasikan dengan kolektornya.”

 

Jeon Wonwoo – Arts and Antique

 

Mingyu membaca kartu nama lelaki itu dalam hati selagi menyimpan wajahnya dalam memori. Sebenarnya ia ingin memberitahu bahwa cermin tersebut ada dua namun nenek itu keluar menghampiri mereka untuk mengusir Mingyu.

 

“Kau! Kenapa kau belum keluar dari sini?”

 

Wonwoo menghampiri nenek itu, “Bibi, kumohon bersikaplah baik kepada tamu...”

 

“Ia bukan tamu! Ia ingin menipu kita.”

 

“Bibi, sudahlah Bibi, ayo kita masuk ke dalam.” Wonwoo membungkukkan tubuh sekilas ke arah Mingyu sambil berbisik mian.

 

Mingyu tak habis pikir.

 

***

 

Seungkwan mengusap bahu Seungcheol. Sejak tadi sahabatnya berhenti bicara padahal biasanya ia tak kalah dengan mercon meletus.

 

“Kau tidak apa-apa, Seungcheol?”

 

Ia menatap Seungkwan dengan wajah memelas, bibir mengerucut, persis ikan peliharaan Seungkwan, “Kau berharap aku baik-baik saja setelah diusir wanita tua itu? Aku putus asa, Seungkwan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau tidak segera menemukan lelaki itu!”

 

“Kita pasti akan menemukannya. Tenang saja.”

 

“Bagaimana kalau aku mati?”

 

“Kalau kau mati, langkahi dulu mayatku!” Seungkwan berlagak sembari menunjukkan lengannya yang berlemak, bukan berotot. Seungcheol terbahak-bahak.

 

“Peribahasamu tidak cocok!” Ia memukul bahu sahabatnya itu. Seungcheol kembali bersedih bila teringat situasinya. Ia menunduk lagi, “Aku benar-benar takut mati muda, Seungkwan...”

 

“Kau tidak akan mati muda. Kau akan bertemu cinta sejatimu, lalu menikah dan memiliki empat anak seperti cita-citamu. Lagian siapa sih yang bilang bahwa kau akan mati muda? Itu hanya asumsimu!”

 

Kali ini Seungcheol hanya tersenyum miris, “Kenapa aku yang dikutuk? Kenapa bukan Kepala Sekolah Seo?”

 

Seungkwan mengerutkan hidungnya, “Ewww... aku tidak bisa membayangkan apa jadinya bila Kepala Sekolah Seo memiliki pantulan seorang lelaki muda yang imut. Ewww... ewww.. Pasti pikirannya mesum!”

 

Kegundahan mereka dibuyarkan oleh suara nada dering Seungkwan yaitu suara ayam berkokok. Di era milenium begini, Seungkwan malah memilih nada dering norak sekali. Alasannya karena ia penyuka hewan.

 

“Ah, Jisoo-ssi. Ada apa?” Seungkwan sengaja mengeraskan suara peneleponnya agar Seungcheol juga bisa mendengar.

 

“Aku meminta bantuan sepupuku. Ia magang di kepolisian sebagai pelukis sketsa. Ia bisa melukiskan lelaki yang dilihat Seungcheol-ssi. Kau dan Seungcheol-ssi cepat datang ke rumahku agar lelaki itu bisa cepat dilukis.”

 

“Oh, oke. Tunggu—bagaimana kau tahu aku sedang bersama Seungcheol?”

 

Terdengar tawa Jisoo dari seberang, “Kalian berdua membolos mata pelajaran terakhir. Tentu saja aku tahu!”

 

Mereka meringis jahil. Memang mereka tidak sabar menunggu bel pulang dan melompati pagar sekolah agar bisa pergi ke toko barang antik—yang pada akhirnya tidak menghasilkan apapun. Seungkwan mematikan sambungan telepon lantas menaik-naikkan alisnya di depan Seungcheol yang juga tersenyum lebar.

 

“Ayo kita ke rumah Jisoo!”

 

***

 

Jeonghan ragu-ragu melangkahkan kaki ke dalam rumah sewaktu melihat mobil sedan terparkir di halaman rumahnya. Mobil ayahnya. Hari ini kebetulan ia membawa pulang kanvasnya karena harus segera menyelesaikan lukisan untuk pameran. Bila ayahnya memergokinya membawa kanvas, beliau pasti marah. Walau ayahnya tahu ia mengambil jurusan seni, namun di benak ayahnya ia tetaplah melakukan kesalahan besar. Sehingga apapun yang Jeonghan lakukan, selama itu berhubungan dengan seni, maka akan dianggap salah di mata ayahnya.

 

Ia berusaha mengendap-endap agar tidak ketahuan ayahnya, namun baru beberapa langkah, terdengar suara deheman ayahnya. Jeonghan berjengit kaget.

 

“Kenapa pulang malam?”

 

Jeonghan membungkukkan tubuh ke arah ayahnya, “Maaf Ayah, aku mengerjakan tugas kelompok.”

 

“Kenapa tidak memberi kabar?”

 

Hampir saja ia menjawab : karena aku sudah dewasa. Tetapi ia masih sayang nyawa.

 

“Baterai ponselku habis dan tidak bisa menghubungi rumah.” Ia beralasan.

 

Pandangan ayahnya beralih ke kanvas yang tertutup kain putih, “Lalu itu apa? Bukankah ayah tidak suka melihat kanvas di rumah?”

 

Jeonghan menundukkan kepala, “A-aku belum mengumpulkan tugasku.” Ia tidak berani menatap ayahnya, “Tapi aku tidak melukis di rumah. Aku hanya membawanya pulang karena khawatir akan rusak.”

 

“Oh,” Ayahnya mengangguk paham. Diam-diam Jeonghan menghela nafas lega sambil berharap jangan sampai ayahnya memaksa untuk melihat lukisannya, “Boleh Ayah lihat?”

 

Otaknya berputar mencari alasan yang tepat untuk menolak. Satu-satunya alasan yang terpikir adalah pameran tersebut. Jeonghan yakin bahwa lukisannya kali ini akan diterima oleh dosen pembimbingnya. Maka ia mengeluarkan secarik tiket dari dalam tasnya. Ia menyerahkan tiket itu pada ayahnya.

 

“Ayah, kumohon datanglah ke acara pameran lukisan di kampusku. Aku ingin Ayah datang dan melihat hasil karyaku. Aku ingin Ayah bangga padaku...”

 

Ayahnya membaca tiket itu, tanpa berkomentar. Jantung Jeonghan berdebar. Reaksi ayahnya memang tak pernah bisa ditebak, terkadang baik, terkadang tidak.

 

“Pameran apa?”

 

“Pameran lokal. Dengan seleksi ketat, mahasiswa baru bisa memamerkan karyanya. A-aku berhasil masuk menjadi salah satu mahasiswa semester awal yang bisa mengikuti pameran.” Meski belum diterima, ia berdusta agar ayahnya bersedia datang.

 

Tatapan ayahnya seakan meremehkan, “Oh ya? Kau berhasil?”

 

Jeonghan tersenyum kecut. Ia terbiasa diperlakukan seperti itu. Namun kali ini harapannya sungguh besar pada ayahnya, “Ya. Semoga Ayah mau datang...”

 

“Hmm, akan kupertimbangkan lagi.” Ayah menepuk bahu Jeonghan pelan, “Kau lekas tidur. Ini sudah malam.”

 

Mendengar itu, ia hampir saja berteriak kegirangan seandainya tidak ingat di situ ada ayahnya.

 

***

 

“Bagaimana? Sudah jadi?” Seungcheol memegang bantal sofa Jisoo seraya mengamati Seokmin-hyung, sepupu Jisoo, yang sedang asyik mengarsir sketsanya.

 

“Yang sabar, Seungcheol! Kau bisa mengganggu konsentrasi Seokmin-hyung!” Seungkwan memukul kepala Seungcheol.

 

“Aku kan tidak sabar ingin membuktikan pada kalian bahwa aku tidak berkhayal!” Ia kembali fokus pada Seokmin, “Bagaimana hyung? Penjabaranku bagus kan?”

 

“Ya... ya...” Seokmin tidak memedulikan Seungcheol.

 

Tak lama kemudian, Seokmin menyerahkan sketsa itu pada Seungcheol untuk meminta pendapatnya—apakah sudah sesuai dengan keinginan Seungcheol. Ia membawa sketsa itu di hadapan cermin, lalu menyamakan pantulan di cermin dengan sketsa tersebut. Wajah Seungcheol berubah cerah seakan ia menang lotere milyaran won.

 

“Ya! Benar! Ini dia!” Lantas ia berbalik menyalami Seokmin, “Seokmin-hyung terimakasih banyak bantuannya!” Dengan gembira ia menunjukkan sketsa itu pada Seungkwan dan Jisoo yang sudah penasaran tingkat dewa. Mereka berlari mendekat secepat kilat.

 

Reaksi pertama yang mereka lakukan adalah berteriak dan bersiul seperti orang kampungan, karena sketsa Seokmin seolah nyata dan juga karena lelaki yang selama ini ada dalam pantulan cermin itu memang terbukti luar biasa imut. Seungkwan benar-benar tidak bisa mengendalikan diri. Ia melompat bahagia lalu memegang tangan Seungcheol.

 

“Apa ia bukan artis? Wajahnya seperti artis!”

 

“Aku tidak tahu, tapi ia memang seperti orang terkenal.”

 

“Jisoo-ssi, Jisoo-ssi! Cepat pindai gambar ini ke laptopmu, lalu kita cari orang ini!” Seungcheol mengomando Jisoo untuk memindai gambar lalu mencari kesamaan pada database kepolisian. Seokmin yang magang di kantor polisi sama sekali tidak keberatan dengan tindakan ilegal Jisoo, walau sebelumnya ia sempat memberi peringatan.

 

Jisoo menghentikan kegiatannya di depan laptop. Ia menatap Seungcheol, Seokmin dan Seungkwan, “Uhm, kurasa aku tidak bisa menemukan lelaki ini di database polisi. Ia bukan kriminal.”

 

Mereka bertiga lesu seketika. Baru teringat bahwa seharusnya Jisoo meretas departemen kependudukan, bukannya kepolisian. Tapi kata Jisoo, pengamanan di departemen kependudukan justru lebih ketat sehingga susah untuk meretas.

 

Putus asa, Seungcheol memegangi kepalanya lalu meringkuk di lantai. Seungkwan dan Jisoo memandangnya iba. Sedangkan Seokmin yang tidak tahu apa-apa mengenai hal itu, menyarankan sesuatu yang tidak perah terpikir oleh mereka bertiga.

 

“Kita sebarkan secara online saja. Kalian tahu kan, ketika sesuatu sudah viral, sangat mudah menemukan seseorang.” usul Seokmin. Wajah Seungcheol kembali cerah. Ia bersemangat sekali untuk menyebarkan sketsa itu secara viral di internet.

 

Seungcheol menghubungi seseorang untuk minta bantuan. Ternyata Lee Chan, salah satu teman sekolahnya yang memiliki teman-teman dari berbagai SMA. Link-nya begitu luas hingga foto nista Seungcheol bersama Kepala Sekolah Seo yang waktu itu bisa sampai ke tangan murid-murid di SMA lainnya.

 

“Chan-ssi, sebagai balasan yang waktu itu—kau menyebarkan fotoku dengan Kepala Sekolah Seo—sekarang kau harus membantuku. Sebarkan sketsa yang kukirim lewat DM Twitter-mu.”

 

“Harus sekarang? Apa captionnya?”

 

Seungcheol melirik Seungkwan untuk meminta bantuan. Sahabatnya itu memutar bola mata lalu merebut ponsel dari genggaman Seungcheol, "Caption-nya : Choi Seungcheol melakukan kesalahan besar pada lelaki ini dan ingin meminta maaf secara pribadi. Tolong bantu Seungcheol untuk berbuat baik. P/S : permintaan maaf akan disiarkan secara live melalui Vine.

 

Suara Chan terdengar begitu bersemangat menerima tugas mulia itu, “Sungguh? Wah ini pasti keren dan sensasional. Aku akan membantu menyebarkannya!”

 

“Jangan lupa tulis ID Twitter Seungcheol agar mereka bisa menghubunginya. Oke, terimakasih Chan-ssi.

 

Mereka berempat memutuskan untuk makan malam sembari menunggu laporan dari Chan seusai menyebarkan sketsa tersebut. Ponsel Seungcheol bergetar-getar karena notifikasi dari Twitter namun ia masih cuek dan lebih memilih melahap makan malam.

 

Ucapan Jisoo lah yang membuat mereka terkejut, “Teman-teman, sepertinya Chan mengubah caption-nya....” Ia menujukkan timeline Twitter yang penuh dengan retweet mengenai Seungcheol dan lali-laki sketsa itu.

 

 

Choi Seungcheol akan menyatakan cinta pada lelaki ini tapi ia tidak bisa menemukannya. Bantu Seungcheol menemukan cinta sejatinya. Pernyataan cinta akan disiarkan secara live melalui Vine

 

 

“CHAN BEDEBAAAAAH!!!”

 

 

Alih-alih khawatir, mereka bertiga malah menertawakan Seungcheol sambil berkomentar tentang kesialan yang bertubi-tubi melanda lelaki itu.

 

“Tidak apa-apa Seungcheol, toh ini akan mempermudah penyebaran sketsa itu. Segala sesuatu yang berkaitan dengan cinta itu pasti akan lebih banyak yang membantu. Lagipula mereka ingin tahu bagaimana kelanjutan pernyataan cintamu itu.” Seokmin menepuk bahu Seungcheol sambil menahan tawa.

 

“Sudah, kita tunggu saja hasilnya. Siapa tahu ada yang mengenali lelaki itu.”

 

Baru saja Jisoo mengakhiri kalimatnya, notifikasi Twitter Seungcheol menyala. Seseorang mengirim DM kepadanya.

Mereka berempat mengitari ponsel Seungcheol untuk membaca DM itu.

 

@eunha0215

Choi Seungcheol-ssi, maaf mengganggu. Sepertinya saya mengenal lelaki ini, tapi dulunya ia berambut pendek. Ia sunbae-nim di SMA ku. Namanya Yoon Jeonghan. Ini foto kelulusannya.

 

Seungcheol memperbesar foto yang dikirim oleh orang itu. Terdapat beberapa kesamaan antara sketsa dan foto itu, namun lelaki di foto itu memiliki pipi yang lebih berisi serta wajah muram. Tidak seperti sketsa buatan Seokmin—lelaki itu tersenyum lebar dan sangat manis.

 

@cscheol

Kau tahu di mana aku bisa menemukan Yoon Jeonghan?

 

@eunha0215

Maaf, aku tidak tahu ia kuliah di mana. Ia sunbae yang muram, aku tidak berani mendekatinya.

 

@cscheol

Apa boleh kuhubungi kau lagi bila aku membutuhkan bantuan?

 

@eunha0215

Boleh. Semoga Yoon-sunbaenim cepat kau temukan. Jangan lupa kirim link Vine nya padaku. Terimakasih.

 

@cscheol

Terimakasih.

 

 

Seungcheol membanting ponselnya di sofa, “Aku hanya tahu namanya.... Yoon Jeonghan. Tidak ada yang tahu keberadaannya sekarang.”

 

Jisoo mengangkat telunjuknya, “Bisa kucoba sesuatu.” Lagi-lagi ia mengetikkan sesuatu di laptop, lalu tak lama kemudian senyumnya melebar. Ia menunjukkan layar laptop pada mereka bertiga, “Kupersembahkan : Yoon Jeonghan. Mahasiswa semester dua jurusan seni, Universitas Seni Seoul.”

 

Di layar laptop terpampang pas foto yang mirip sekali dengan sketsa buatan Seokmin. Seketika bulu kuduk Seungcheol berdiri. Ia tidak menyangka apa yang selama ini ia lihat dalam pantulan cermin itu adalah orang yang nyata.

 

Yoon Jeonghan.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
caratsfiction
Update Chasing REFLECTION 04

Comments

You must be logged in to comment
lily199iusinger
#1
Chapter 2: I, too, want to use google translate. I saw the translated english version of this on ao3. The story is just so perfect! I‘m currently left hanging, thanks for this!
pinkrose8899 #2
Chapter 11: finally~ thank you for making this lovely story, author nim!^^
pinkrose8899 #3
Chapter 9: yay, finally official~~~
pinkrose8899 #4
Chapter 3: when you lowkey ship gyuhan :3
pinkrose8899 #5
Chapter 2: eak jww gak tsundere :3
pinkrose8899 #6
Chapter 1: daku jadi inget ftv trans tv masa yg toko kramat itu xD
Shirsha23 #7
i'm getting tempted to use google translate istg!! can't wait for you to update the eng ver. but of course (its hard to say) take your time~~~
Shirsha23 #8
teach me your language lol!!! i want to read this so much i'd cry!!!!
zyx1004 #9
Chapter 11: Gils ceritanya mindblowing tapi seru!
nurhusnamustafa #10
Chapter 11: This is the best !!!!