Chapter 08

CHASING REFLECTION

Satu hal yang paling dibenci Jeonghan adalah ketika ayah dan ibunya berkumpul di ruang keluarga tanpa menyalakan televisi dan memanggilnya untuk ikut serta. Bahkan kali ini tidak ada adiknya. Pasti mereka akan membicarakan sesuatu yang serius seperti saat mereka mengadili Jeonghan karena memilih jurusan seni. Ayah dan ibunya duduk di sofa besar, berhadapan dengan sofa yang Jeonghan tempati. Biasanya Jeonghan duduk santai sembari menonton televisi. Kini ia bahkan tidak berani bersandar.

 

“Ada yang ingin kami bicarakan.” Ayahnya membuka rapat resmi yang paling dibenci Jeonghan. Dalam hati Jeonghan menebak, kali ini topik apa lagi yang akan dibahas. Jangan sampai ini menyangkut kejadian di pameran itu.

 

“Tentang apa?” tanya Jeonghan yang sudah mulai muak dengan basa-basi.

 

“Tentangmu, Jeonghan-ah,” Giliran ibunya menyahut. Ibunya paling mengerti bahwa satu-satunya yang bisa mereda kemarahan Jeonghan adalah beliau.

 

Jeonghan sudah tahu semua ini tentangnya, tapi yang mana?

 

“Tentang kejadian saat kau masih kecil.”

 

Seakan jantung Jeonghan berhenti berdetak. Baginya membahas kejadian di masa kecilnya merupakan hal tabu. Ia sama sekali tidak ingin mengingat, apalagi membahas bagian hidupnya yang terkelam. Bila sanggup, ia ingin meminum obat untuk melupakan kejadian itu—kejadian di saat ayahnya tidak percaya dengan apa yang ia ucapkan hanya karena ia masih kecil.

 

Tangan Jeonghan mengepal, “Untuk apa Ayah membahasnya lagi? Bukankah Ayah tidak percaya dengan ceritaku dan menganggap itu semua khayalan anak kecil untuk menarik perhatian Ayah?”

 

Ayahnya menunduk. Ini pertama kalinya Jeonghan melihat ayahnya tidak berani menatap Jeonghan seperti biasa.

 

“Ayah minta maaf tidak memercayaimu waktu itu, Nak.”

 

Dan memanggilnya dengan sebutan Nak yang terdengar kaku. Jeonghan merinding, “Kenapa baru sekarang Ayah percaya bahwa aku tidak bohong?”

 

“Karena baru saja Ayah mendapat panggilan dari kepolisian. Kasusmu dibuka kembali karena ada petunjuk baru dan mereka ingin kau datang ke kantor polisi bila saatnya tiba untuk mengidentifikasi.”

 

Perlu beberapa detik bagi Jeonghan untuk mencerna perkataan ayahnya satu persatu. Ia tertegun sejenak, bahkan sempat lupa arti kata ‘identifikasi’.

 

Ibunya beranjak berdiri kemudian duduk di samping Jeonghan. Beliau menarik Jeonghan dalam pelukannya lalu berbisik, “Maafkan Ibu yang selama ini tidak bisa membantu apa-apa... Ibu juga sempat meragukanmu waktu itu. Mulai sekarang, Ayah dan Ibu akan mendukung apapun langkah yang kau ambil untuk menyelesaikan kasusmu.”

 

“....tapi aku tidak ingin mengingat-ingat lagi...” Ia merasakan pelupuk matanya mulai berat dengan air. Jeonghan menengadahkan kepala dan menahan berkedip agar airmata itu tidak mengalir di pipi. Ia tidak ingin dianggap cengeng oleh ayahnya.

 

Terlalu sakit mengingat masa lalu yang ingin ia pendam. Ia sedang berusaha berjalan maju, setelah selama ini hanya berjalan di tempat. Kehidupannya kini mulai penuh warna dengan adanya Mingyu, sebagai sahabat setianya, dan Seungcheol yang menumbuhkan perasaan berbeda di hatinya. Bila ia harus kembali ke masa lalu, mungkin ia kembali terpuruk dalam keputusasaan.

 

“Kau harus membantu polisi untuk menangkap orang yang melakukan—” Ayahnya sempat tercekat sejenak. Airmata Jeonghan sudah tak bisa ditahan lagi, “...yang sudah melecehkanmu, Nak.”

 

Memang Jeonghan tidak ingat detail kejadiannya. Namun, serpihan-serpihan ingatan buram pun sudah membuatnya mual. Ia tidak sanggup bila harus mengulang ingatan itu.

 

Jeonghan menangis di pelukan ibunya. Kedua orangtua Jeonghan tidak lagi melanjutkan pembicaraan itu. Hanya saja ketika ibunya mengantar Jeonghan hingga kamar, beliau menyuruhnya untuk menginap di rumah Mingyu.

 

“Kalau kau butuh orang lain untuk diajak bicara, pergilah. Mungkin perasaanmu akan lebih lega setelah bicara dengan Mingyu. Ibu yang akan meminta izin pada ayahmu.” Lantas ibunya membelai pipi Jeonghan yang sudah dipenuhi aimata, “Ibu akan mendukungmu, Nak. Ibu janji.”

 

Jeonghan tidak menyahut. Ia langsung meraih jaket dan dompetnya, kemudian pamit pada ibunya untuk mengunjungi Mingyu meski sebenarnya bukan Mingyu yang ada di pikiran Jeonghan, melainkan Seungcheol.

 

***

 

Segalanya serba rahasia, bahkan untuk mengucapkan sesuatu pun harus menggunakan nama lain sehingga Jisoo kewalahan bekerja dengan kasus Kepala Sekolah Seo ini. Sudah beberapa hari ia tidak masuk sekolah dengan alasan sakit, meski sebenarnya ia membantu polisi.

 

Kantor polisi kini menjadi rumah kedua Jisoo. Terkadang ia menginap di sana. Lebih parahnya lagi, ia jadi merindukan sekolah—satu hal yang luar biasa. Jisoo berjalan lunglai menuju pantry, ia membutuhkan segelas kopi karena matanya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Tidak disangka ia bertemu Detektif Ahn yang sedang memejamkan mata, duduk di atas sofa. Di tangannya ada segelas kopi juga. Jisoo mengendap-endap keluar pantry karena ia sedang malas berbasa-basi dengan Detektif Ahn.

 

“Kau mau ke mana, Hong Jisoo?”

 

Langkah Jisoo terhenti. Ia membalikkan tubuhnya sembari menyeringai aneh, “Uhm, ke toilet.” Ia ingin segera kabur.

 

“Ini pantry, bukan toilet.”

 

“Saya salah masuk, Detektif Ahn. Permisi.”

 

“Duduk dulu.” Lalu lelaki berkumis tebal itu membuka mata dan meletakkan gelas kopinya di atas meja, “Buat segelas kopi dan kita berbincang-bincang dulu. Kau pasti mengantuk seharian bekerja, bukan?”

 

Jisoo mengangguk ragu. Ia mulai menyeduh kopi dan membawanya ke hadapan Detektif Ahn. Ia duduk di sofa yang berseberangan dengan lelaki itu.

 

“Tak perlu takut. Aku tidak akan memasukkanmu ke penjara, Hong Jisoo.”

 

Jisoo tertawa garing, “Saya tahu.”

 

“Kudengar dari Seokmin, kau teman Yoon Jeonghan ya?” tanya Detektif Ahn tanpa basa-basi.

 

Ia terkesiap dengan sikap terbuka Detektif Ahn. Sejak pertama kali mengenal lelaki itu, beliau memang cukup bermulut pedas, “Saya hanya mengenal namanya saja namun belum pernah berbicara panjang lebar dengan Jeonghan-hyung. Ia teman Seungcheol-ssi, teman sekelas saya.”

 

Mulut Detektif Ahn membulat, membentuk huruf O, “Kupikir kau mengenalnya baik. Aku masih ingat saat dulu aku membantu detektif senior menangani kasus Yoon Jeonghan.”

 

“Saya belum tahu cerita lengkapnya, Detektif Ahn.”

 

Menit berikutnya diwarnai dengan cerita mengenai masa lalu Jeonghan yang kelam. Hanya perlu sedikit memancing Detektif Ahn, lelaki itu tak bisa berhenti bercerita.

 

“Jeonghan diculik selama seminggu. Kami pikir ia sudah tewas tapi untungnya tidak. Dari seluruh kasus penculikan dan pelecehan anak-anak, satu-satunya keluarga yang sama sekali tidak kooperatif adalah keluarga Yoon Jeonghan. Mungkin mereka malu anaknya terlibat kasus seperti itu. Mereka benar-benar seperti ingin menutup kasusnya. Kasihan Jeonghan.”

 

“Kalau saya boleh tahu, apa yang terjadi pada Jeonghan-hyung?

 

Detektif Ahn menghembuskan nafas panjang, “Dari hasil visum memang tidak ada tanda pemerkosaan atau memar di tubuhnya, hanya memar di bagian pergelangan tangan dan kaki karena diikat. Mungkin Jeonghan tidak sampai diperkosa, tapi dilecehkan. Sayang sekali trauma membuat Jeonghan tidak mengatakan apa-apa saat itu. Jadi kami juga tidak bisa mengetahui apa yang diperbuat orang itu pada Jeonghan.”

 

Jisoo sungguh kesal. Bukankah pemeriksaan forensik juga bisa membantu kasus terpecahkan tanpa harus menunggu pengakuan? Ia iba pada Jeonghan namun lebih marah pada kepolisian yang tidak berbuat banyak.

 

“Mengapa Anda tidak memeriksa Jeonghan lebih jauh?”

 

“Karena orangtua Jeonghan sangat tidak kooperatif sehingga kami tidak bisa apa-apa. Jeonghan masih sangat kecil untuk mengerti kejamnya dunia luar. Kau tahu... orangtuanya sangat malu kepada tetangga dan kolega. Malu karena anaknya dilecehkan sehingga mereka lebih baik menutupi kasus itu daripada memecahkannya. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku masih asisten.”

 

Detektif Ahn meneguk habis kopinya. Masih dengan pandangan menerawang, beliau melanjutkan ceritanya, “Itu adalah kasus pertamaku sehingga begitu membekas di ingatan terlebih lagi bila melibatkan anak di bawah umur.” Ia menoleh ke arah Jisoo, “Lalu bagaimana kabar Jeonghan sekarang? Ia baik-baik saja, kan?”

 

Jisoo pernah berbincang-bincang sebentar dengan Jeonghan ketika Seungcheol dan Seungkwan dihukum membersihkan kamar mandi. Dari percakapan itu, tidak terlihat ada yang salah ataupun aneh dari Jeonghan.

 

“Setahu saya, ia baik-baik saja. Saya tidak pernah bicara lama dengannya. Tapi... Seungcheol-ssi betah bersamanya.”

 

“Kekasihnya?” tanya Detektif Ahn seolah itu hal biasa.

 

“Uhm,” Ia sendiri tidak tahu status hubungan mereka, “Mungkin. Saya tidak pernah menanyakannya.”

 

“Syukurlah kehidupan pribadi Jeonghan baik-baik saja. Aku mengawatirkan anak itu. Waktu kudengar kasus ini dibuka kembali, aku mengajukan diri sambil berharap aku bisa membantunya lagi.”

 

“Semoga semuanya lancar.”

 

“Ya.”

 

***

 

Seungcheol menghela nafas panjang. Ia tak habis pikir siapa yang ada di sampingnya sekarang ini—di ranjang. Seorang Yoon Jeonghan yang sejak tadi meringkuk sembari menangis. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan lelaki itu atau siapa yang membuatnya menangis seperti itu. Ketika Seungcheol akan menghubungi Mingyu, Jeonghan melarangnya. Seungcheol curiga Mingyu penyebab semua itu. Namun ia memutuskan untuk diam dan menunggu hingga tangis Jeonghan berhenti

 

Beberapa kali Nyonya Choi mengetuk pintu kamar Seungcheol untuk memastikan keadaan Jeonghan baik-baik saja. Beliau juga membawakan minum dan kue untuk Jeonghan yang sejak tadi tak disentuh.

 

“Bagaimana keadaannya?” tanya Nyonya Choi. Beliau berusaha mengintip dari celah pintu Seungcheol yang terbuka sedikit. Seungcheol bergegas menutup pintu, kemudian mengedikkan bahu.

 

“Sejak tadi ia seperti itu. Nanti ia akan bercerita padaku, Bu.”

 

Nyonya Choi memandang Seungcheol penuh arti. Pikiran Seungcheol sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi mengingat ia khawatir ibunya akan menanyakan hubungannya dengan Jeonghan. Mengapa Jeonghan bisa seakrab itu dengannya meski bukan teman sekolah.

 

“Sepertinya Jeonghan membutuhkan orang yang bisa menjaganya.”

 

Kedua mata Seungcheol membulat, tak menyangka ibunya akan berkata demikian, “Menjaga Jeonghan-hyung?”

 

“Ya. Lagipula mungkin ia juga butuh teman bicara. Temani Jeonghan, Cheol-ah. Pastikan ia baik-baik saja.” Nyonya Choi membelai pipi Seungcheol, “Masuklah.”

 

Sepengetahuan Seungcheol, ibunya sangat cerewet dalam segala hal. Sikap ibunya yang sekarang ini sungguh mengejutkannya—seolah wanita di hadapannya itu bukan ibunya.

 

“Ba-baiklah, Bu.”

 

“Panggil Ibu kalau kau membutuhkan sesuatu.”

 

Sekembalinya Seungcheol ke dalam kamar, Jeonghan sudah duduk bersandar di dinding dekat ranjang. Matanya sembab, sebagian rambutnya terurai menutup pipi. Tangannya memegang mug berisi cokelat hangat dari Nyonya Choi.

 

“Maaf merepotkanmu.” gumamnya pelan sekali, hampir tak terdengar oleh Seungcheol.

 

“Tidak masalah, hyung.” Seungcheol beringsut duduk di sampingnya. Diambilnya mug kosong dari tangan Jeonghan dan diletakkan di atas meja belajar. Kemudian ia mengecup dahi Jeonghan, “Aku mengawatirkanmu, hyung. Maukah kau menceritakan apa yang terjadi?”

 

Masih terdengar nafas tersenggal dari arah Jeonghan. Seungcheol melingkarkan tangan di bahu lelaki di sampingnya itu. Jeonghan menyandarkan kepala di bahu Seungcheol. Ia merasa damai seperti ini. Jeonghan merasa ia lebih baik tidak bercerita apa-apa agar suasananya tetap tenang begini.

 

“Sebenarnya ada yang ingin kuceritakan padamu, Seungcheol-ssi. Tentang masa laluku. Tapi aku tidak tahu harus memulai darimana. Aku hanya takut kalau kau mendengar semuanya, kau akan menjauhiku—”

 

“Aku janji tidak akan menjauhimu, hyung.” Buru-buru Seungcheol memotong perkataan Jeonghan.

 

Jeonghan menatapnya nanar, “Tolong jangan berjanji akan sesuatu yang belum pasti kau tepati, Seungcheol-ssi.” Ia kembali menundukkan kepala—tidak ingin melihat tatapan Seungcheol yang seakan menembusnya, “Kau pasti akan menjauhiku bila sudah mendengar semuanya.”

 

Seungcheol sudah tahu apa yang akan diceritakan Jeonghan bila itu berkaitan dengan masa lalu. Ia tidak ingin membebani Jeonghan dengan cerita panjang yang nantinya akan menyakiti lelaki itu. Meski Seungcheol sebenarnya ingin mengetahui detailnya, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengetahui hal itu.

 

“Jeonghan-hyung, aku sudah tahu.”

 

“Tahu apa?” Giliran Jeonghan yang menatapnya bingung.

 

“Tahu tentang masa lalumu...”

 

“Bagaimana...” Jeonghan melepaskan diri dari pelukan Seungcheol, “Siapa yang memberitahu?”

 

Kedua tangan Seungcheol terangkat, “Hyung, kumohon dengarkan dulu.” Seungcheol malah merasa terpojok dengan pandangan Jeonghan yang penasaran sekaligus menuduh, “Sepupu Jisoo-ssi yang bekerja di kepolisian yang memberitahu kami. Tapi aku hanya tahu sebatas...” Ia memalingkan wajah, “Sebatas kau... dilecehkan saat kecil.”

 

“Seungcheol...” Suara Jeonghan bergetar, menahan tangisnya lagi, “Seungcheol-ssi...” Ia menutupi kedua wajahnya lantas kembali ke posisi semula, meringkuk sambil menangis.

 

Seungcheol merasa menjadi orang paling kejam di seluruh dunia karena telah membuat Jeonghan menangis lagi, “Maaf hyung, maaf. Tapi aku janji tidak akan menjauhimu.” Ia memeluk tubuh Jeonghan dari belakang. Jeonghan beringsut menjauh.

 

“Kau pasti akan jijik denganku...”

 

Hyung,” Seungcheol membalikkan tubuh Jeonghan, mereka berhadapan. Tangis lelaki itu sudah mereda, wajahnya basah karena airmata. Tangan Seungcheol menghapus sisa airmata di pipi Jeonghan, “Aku tidak jijik denganmu. Tidak akan.”

 

“Tapi,”

 

“Sssh, sudahlah. Aku tidak ingin kau membahas masa lalumu lagi.”

 

“Alasanku kemari karena ada hubungannya dengan masa laluku.” gumamnya pelan, “Polisi menghubungi ayahku. Mereka bilang... kasusku dibuka kembali.”

 

“Bukannya waktu itu kasusmu mengalami jalan buntu?”

 

Jeonghan mengangguk lemah, “Lebih baik mengalami jalan buntu daripada aku dipaksa mengingat tentang saat itu. Aku tidak mau.”

 

“Kau tidak ingin menemukan pelakunya?”

 

“Tidak,” Jeonghan kemudian ragu, “Sebenarnya ingin, tapi aku tidak berani menghadapi masa lalu yang sedang berusaha kulupakan.”

 

Perkataan Jeonghan ada benarnya. Terkadang untuk melupakan luka masa lalu membutuhkan waktu lebih lama dan bila luka itu terbuka lagi, akan sulit untuk menutupnya kembali. Seungcheol menarik Jeonghan dalam pelukannya. Perasaannya pada Jeonghan memang belum sebesar itu, namun ia berjanji akan menemani Jeonghan bila dibutuhkan.

 

“Aku akan menemanimu, hyung. Mingyu-hyung juga pasti tidak akan keberatan menemanimu. Kami semua berusaha ada untukmu.”

 

“Mingyu tidak tahu...”

 

“Meski ia tidak tahu, kurasa Mingyu-hyung tetap akan mendukung apapun keputusanmu.”

 

Tidak ada sahutan dari arah Jeonghan. Seungcheol ingin sekali menghubungi Jisoo untuk menanyakan kabar terbaru kasus Jeonghan, sebab apabila benar kasusnya dibuka kembali, seharusnya Jisoo sudah memberitahunya namun teman sekelasnya itu sudah tidak masuk beberapa hari.

 

Kini pikirannya terpecah—antara menenangkan Jeonghan dan keinginannya untuk mengetahui perkembangan terbaru kasus Jeonghan. Namun ketika melihat sosok lelaki di sampingnya yang meringkuk putus asa, rasanya perih. Benar kata ibunya, lebih baik ia menemani Jeonghan. Seungcheol kemudian ikut merebahkan tubuh di samping Jeonghan, membiarkannya hingga ia tenang.

 

Dugaan Seungcheol benar. Setelah Jeonghan lebih tenang dan tak lagi menangis, ia membalikkan tubuh menghadap Seungcheol. Ditariknya jemari Seungcheol, lalu Jeonghan menautkan jemari mereka.

 

Seungcheol merasakan berat di bagian dadanya ketika Jeonghan menyandarkan kepala di situ. Ia mulai panik. Bagaimana tidak—degupan jantungnya keras sekali seperti setelah berlari beberapa kilometer. Jeonghan pasti bisa merasakannya. Tetapi ia mengikuti instingnya untuk melingkarkan tangan di pinggang Jeonghan, mendekapnya lebih erat.

 

“Waktu itu kau bertanya apa aku juga menyukaimu.” Jeonghan menengadah menatap kedua mata Seungcheol, “Meski mungkin waktunya tidak tepat, tapi akan kujawab. Ya, Seungcheol-ssi, ya.”

 

Entah mengapa terasa berbeda mendengar kata-kata itu terucap dari bibir Jeonghan. Membuat hatinya lega. Seungcheol sudah terlibat terlalu jauh dengan Jeonghan dan ia yakin sejak hari itu, ia tak ingin mundur.

 

Jemari Jeonghan membelai pipi Seungcheol, “Aku menyukaimu. Aku tidak peduli meski selamanya pantulanku adalah pantulanmu—”

 

“Jeonghan-hyung, aku juga tidak peduli dan mungkin lebih baik seperti ini keadaannya agar kita bisa selalu mengingat satu sama lain.”

 

“Hmm, benar juga.” Jeonghan mulai bisa tersenyum. Seungcheol berharap seulas senyum itu bisa mengangkat sepersekian beban Jeonghan.

 

Mereka terdiam dalam posisi itu untuk waktu yang cukup lama hingga Jeonghan bersuara, “Maukah kau menemaniku ke kantor polisi bila nanti aku dipanggil, Seungcheol-ssi?”

 

“Ya, tentu saja. Kalau boleh, aku akan duduk di sampingmu, hyung.”

 

Jeonghan menahan tawa, “Sepertinya tidak boleh. Tapi setidaknya ada kau, aku bisa tenang.”

 

Seungcheol menganggukkan kepala. Ia sedikit menunduk untuk mengecup lembut bibir Jeonghan. Ciuman manis itu tidak bertahan lama setelah dering ponsel Seungcheol berteriak seakan minta diperhatikan. Ia tidak suka ketika saat-saat bersama Jeonghan harus diganggu oleh ponselnya.

 

“Mungkin ada kabar penting, Seungcheol-ssi.

 

Seungcheol beranjak dari ranjang untuk meraih ponselnya. Tertera nama Mingyu di layar ponsel, “Mingyu-hyung.

 

Jeonghan terduduk seketika, “Tidak usah dijawab.” Ia memperingatkan.

 

Ia menuruti perkataan Jeonghan dan kembali meletakkan ponselnya. Namun baru beberapa detik, muncul pesan dari Mingyu yang berbunyi:  jawab panggilanku, Bodoh. Aku di depan rumahmu.

 

Hyung, gawat. Ia sudah ada di depan rumahku.”

 

“Mingyu?” Jeonghan semakin panik. Ia mengintip dari jendela kamar lantas menatap Seungcheol dengan pandangan bingung, “Bagaimana ini? Itu Mingyu ada di depan rumahmu. Apa yang ia lakukan di sini?”

 

“Kita ke bawah saja, hyung.” Seungcheol menyerah, lalu menepuk bahu Jeonghan untuk mengajaknya menemui Mingyu di bawah. Sebelumnya ia sempat membenahi rambut Jeonghan yang berantakan juga wajahnya yang dipenuhi bekas airmata, “Kau cuci muka saja dulu. Lalu susul aku di bawah.”

 

Sesampainya di bawah, Mingyu sudah dipersilakan masuk oleh Nyonya Choi dan mereka sedang berbincang-bincang. Melihat sosok Seungcheol yang turun sendirian, Nyonya Choi tampak terkejut lalu menanyakan keberadaan Jeonghan.

 

“Ia sedang membasuh wajah di kamar mandi, Bu.” jawab Seungcheol.

 

“Oh, begitu. Sebab Mingyu-ssi mencarinya.”

 

Seungcheol tersenyum ke arah ibunya, “Bu, bolehkah aku bicara berdua saja dengan Mingyu-hyung?”

 

Ibunya mengangguk mengerti lalu meninggalkan mereka berdua. Seperti dugaan Seungcheol, Jeonghan pasti tidak lekas turun untuk menemui sahabatnya sendiri. Ia tahu ia belum bisa berterus terang pada Mingyu.

 

“Jeonghan kenapa?” tanya Mingyu tanpa basa-basi.

 

Seungcheol menghela nafas panjang, “Untuk cerita lebih jelasnya, sepertinya hanya Jeonghan-hyung yang berhak bercerita padamu. Aku tidak bisa bilang apa-apa. Tapi ia membutuhkan dukunganku dan tentu saja dukunganmu sebagai sahabatnya yang paling dekat. Dan... kuharap kau tidak menghakiminya.”

 

Sejenak Mingyu mengerutkan dahi, berpikir ke mana arah pembicaraan Seungcheol. Ketika sosok Jeonghan muncul dengan wajah lesu dan sembab, barulah Mingyu menyadari ada yang tidak beres. Ia buru-buru menghampiri Jeonghan dan menariknya ke dalam pelukan. Hati Seungcheol mencelos melihatnya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa mengingat bahwa berpelukan bukan hal tabu dalam persahabatan Mingyu dan Jeonghan. Jeonghan memundurkan tubuhnya, berusaha melepas pelukan Mingyu.

 

“Aku tidak apa-apa, Mingyu-yah.

 

“Kau kan tidak pandai berbohong.” Mingyu menyentil ujung hidung Jeonghan. Seungcheol memutar bola mata, “Cepat ceritakan apa yang terjadi.”

 

Jeonghan bergantian menatap Seungcheol dan Mingyu. Pandangannya terlihat memohon ke arah Seungcheol, yang membuat lelaki yang lebih muda darinya itu berjalan menghampiri Mingyu dan memberi jarak antara Jeonghan dan Mingyu.

 

Hyung, Jeonghan-hyung belum siap bercerita sekarang. Bisakah kau menunggu?”

 

Awalnya Mingyu tampak geram, namun saat memandang wajah letih Jeonghan di hadapannya, ia tak tega, “Baiklah, baiklah. Tolong antarkan Jeonghan ke rumahku setelahnya sebab ibu Jeonghan mengira ia menginap di rumahku, kau tahu?”

 

Seungcheol membelalak, ia tidak tahu Jeonghan menipu ibunya agar ia bisa kemari, “Apa benar, Jeonghan-hyung?”

 

Jeonghan menggigit bibir, merasa bersalah, “Maaf Seungcheol. Tapi ibuku hanya mengenal Mingyu. Jadi...”

 

Setelah memastikan Jeonghan baik-baik saja, membuat Seungcheol berjanji untuk mengantar Jeonghan ke rumahnya, Mingyu pun berpamitan dan tidak lagi mengganggu mereka. Seungcheol masih penasaran mengapa Jeonghan belum ingin menceritakan masalahnya pada sahabatnya.

 

“Jeonghan-hyung, bagaimana kalau kita keluar mencari udara segar?”

 

***

 

Wonwoo tidak menyangka ketika pelanggan setianya, Seo Dalsoo tiba-tiba memutuskan untuk menjual sebagian besar koleksi barang antiknya. Padahal selama ini ia tahu beliau sangat mencintai barang-barang tersebut melebihi apapun dan bahkan sudah meresmikan ruangan khusus yang nantinya akan dibuat museum mini.

 

Kini petugas mengangkat barang-barang itu dengan hati-hati, di bawah pengawasan Wonwoo kemudian meletakkannya di gudang toko. Wonwoo sendiri belum bertemu dengan Seo Dalsoo secara langsung, hanya melalui telepon saja dan saat itu beliau seperti terburu-buru. Tidak hanya itu, pembayarannya pun sangat jauh dari harga pasaran, seolah Seo Dalsoo membanting semua harganya. Saat awal mendengar beliau menjual sebagian besar barang antiknya pada Wonwoo, tentu ia menolak karena dana yang bibinya miliki pasti tidak cukup untuk semuanya. Namun ketika diberitahu bahwa itu semua dijual setengah harga, bibinya tak bisa menolak.

 

Yang lebih mengejutkan lagi, Seo Dalsoo juga menjual cermin antik yang sebelumnya ia beli dari toko milik Paman Wonwoo.

 

Setelah menghitung jumlah barangnya, Wonwoo menghubungi Seo Dalsoo untuk mengabarkan bahwa barang-barangnya sudah diterima dalam keadaan baik.

 

“Kau atur saja kapan kau bisa mengirimkan uangnya padaku.”

 

“Mungkin bulan depan, Paman. Apa tidak masalah?”

 

“Aku kan sudah mengenal keluargamu. Jadi tidak apa-apa. Kapan saja kau sempat.”

 

“Hmm, terimakasih Paman. Tapi kalau boleh tahu, kenapa Paman menjual semuanya?”

 

“Kebetulan sekali teman Paman yang dari luar negeri membawakan beberapa barang baru dan Paman suka sekali. Sedangkan ruanganku sudah tidak cukup lagi.”

 

Wonwoo mengerutkan dahi, mustahil. Ruangan khusus barang antik di rumah Seo Dalsoo sangat luas. Bertambahnya barang mana mungkin hingga menghabiskan seluruh area di ruangan itu. Namun Wonwoo menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut, selama cermin yang dicari Mingyu dan Jeonghan sudah ada di tangannya. Ia harus menyelamatkannya terlebih dulu.

 

“Baiklah Paman. Seandainya Paman membutuhkan barang-barang ini lagi dan saya masih menyimpannya, Paman bisa membeli lagi dengan harga sama seperti sekarang.”

 

“Ya, tidak usah kau pikirkan. Jual saja ke orang lain.”

 

Kecurigaan Wonwoo pada lelaki itu semakin memuncak, “Sepertinya Paman tidak suka dengan barang-barang ini lagi, ya?”

 

Gelagapan, Seo Dalsoo tidak langsung menjawab pertanyaan Wonwoo, “Suka sekali. Tapi seperti yang tadi kubilang, aku membutuhkan ruangan luas dan mengganti seluruh koleksiku. Ya sudah, Wonwoo-ssi. Kita lanjutkan pembicaraan ini. Aku harus pergi.”

 

Wonwoo mengedikkan bahu, berusaha menganggapnya sambil lalu kemudian segera menghubungi Mingyu untuk mengabarkan bahwa cermin itu sudah berada di tangannya. Tidak biasanya Mingyu menjawab dengan lesu tanpa semangat.

 

“Nanti saja, Wonwoo-ssi. Ini bukan waktu yang tepat untuk Jeonghan. Ia sedang ada masalah.”

 

Kini Wonwoo semakin bingung. Bukankah permasalahan cermin ini cukup besar? Masalah besar apalagi yang menyerang Jeonghan hingga ia melupakan tentang pantulan itu?

 

***

 

Jisoo tidak menyangka sosok itu dapat secepat itu berada di ruang interogasi polisi. Sosok Kepala Sekolah Seo yang mengenakan jas kerja, masih tetap saja tampak arogan dan didampingi seorang pengacara. Jisoo tidak tahu atas alasan apa beliau berhasil dipanggil ke kantor polisi.

 

Seokmin tiba-tiba berdiri di sampingnya dengan tangan dilipat di depan dada, “Kusarankan sebaiknya kau bersembunyi. Kau tidak mau ketahuan bersengkongkol dengan polisi untuk menangkap kepala sekolahmu, kan?”

 

Karena Jisoo tidak kunjung mengerti arti kata ‘bersembunyi’, maka dengan cepat Seokmin menggeretnya menuju pantry untuk membicarakan hal itu lebih lanjut. Nasib Jisoo bisa bahaya bila Kepala Sekolah Seo melihatnya. Jisoo tampaknya masih penasaran ingin menyaksikan interogasi kepala sekolahnya oleh Detektif Ahn.

 

“Bagaimana beliau bisa di sini? Ada bukti yang ditemukan?”

 

“Ya. Berkaitan dengan kasus pemalsuannya.” Seokmin mengangguk-angguk sok tahu, “Salah satu partnernya tertangkap lalu melaporkannya. Sekarang polisi akan mencoba menggunakan bukti dari penyadap yang kaupasang untuk memancing kepala sekolahmu agar bicara.”

 

“Tapi bagaimana dengan kasus Jeonghan-hyung?”

 

Pandangan Seokmin menerawang, memikirkan nasib kasus Jeonghan yang tidak menentu itu, “Entahlah. Detektif Ahn tidak pernah membahasnya di depan kami.” Ia tersenyum kecut.

 

Hingga saat itu, Jisoo belum berani memberitahu Seungcheol bahwa kasus Jeonghan dibuka kembali karena ia sendiri tidak yakin pelakunya akan tertangkap. Jadi ketika salah satu polisi memanggil Seokmin untuk membantu di balik ruang interogasi karena seseorang bernama Yoon Jeonghan sudah tiba, Jisoo langsung berjengit kaget.

 

“Apa? Yoon Jeonghan ada di sini?”

 

“Ya. Ia baru saja tiba dengan keluarga dan teman-temannya.” jawab polisi tersebut.

 

Seokmin dan Jisoo bertukar pandangan. Tidak perlu menunggu lama, Jisoo beranjak menuju ruang tunggu di depan untuk menyambut Seungcheol. Entah mengapa ia yakin sekali teman yang disebut-sebut itu salah satunya adalah Seungcheol. Benar dugaannya. Seungcheol berdiri jauh dari ayah ibu Jeonghan, serta seorang laki-laki muda yang kira-kira seumuran mereka—tidak ada sosok Jeonghan. Jisoo terkejut ternyata Seungcheol sudah tahu mengenai kasus Jeonghan yang dibuka kembali. Syukurlah ia tidak perlu memberitahu temannya itu.

 

“Seungcheol-ssi,” panggil Jisoo ragu. Seungcheol menengadah menoleh ke arah asal suara. Binar bahagia terlihat di wajahnya saat melihat ada orang yang dikenalnya. Ayah-ibu Jeonghan serta lelaki itu ikut menoleh. Jisoo tersenyum canggung menyapa mereka. Seungcheol menghampirinya dengan gembira.

 

“Jisoo-ssi, ternyata kau di sini. Beberapa hari kau tidak masuk, apa karena kau di kantor polisi?”

 

“Ya, benar. Aku membantu Seokmin-hyung menangani kasus.” Ia sengaja memelankan suaranya agar keluarga Jeonghan tidak menguping.

 

“Apa... kasus itu?” Seungcheol memberi tanda kutip saat menyebut kata ‘itu’.

 

“Yang mana?”

 

Seungcheol memberi isyarat mata melirik ke arah keluarga Jeonghan, “Yang itu.”

 

“Oh, ya benar. Tapi tidak hanya itu, Kepala Sekolah Seo juga.”

 

“Maksudnya apa?”

 

Belum sempat Jisoo menerangkan lebih lanjut, Seokmin menyusul mereka untuk memberitahu keluarga Jeonghan agar menunggu terlebih dulu selama Jeonghan berbicara dengan polisi. Ibu Jeonghan memaksa masuk untuk menemani anaknya namun Seokmin malah melirik Seungcheol ragu-ragu.

 

“Saya minta maaf, namun Jeonghan-ssi meminta agar Seungcheol-ssi menemaninya.”

 

“Tapi Seungcheol itu bukan siapa-siapa. Hanya temannya.” potong Ayah Jeonghan yang memelototi Seungcheol. Sejak kejadian di pameran itu tentu saja Ayah Jeonghan tidak suka dengan Seungcheol.

 

Seungcheol segera menengahi, “Seokmin-hyung, bagaimana kalau saya dan Nyonya Yoon yang masuk ke dalam? Bolehkah?”

 

Jisoo memberi isyarat mata agar Seokmin mengizinkan mereka berdua masuk sebelum Ayah Jeonghan membuat keributan.

 

“Baiklah, silakan masuk.” Seokmin membukakan pintu untuk Ibu Jeonghan dan Seungcheol.

 

Jisoo mengikuti dari belakang kemudian berbisik, “Kepala Sekolah Seo ada di sini. Jangan sampai ia melihatmu. Nanti ia akan mengira kau ditangkap polisi lalu besok diskors.” Sengaja Jisoo tidak menceritakan bahwa Kepala Sekolah Seo sedang diinterogasi karena berkaitan dengan kasus Jeonghan. Ia tidak ingin Seungcheol meledak karena emosi.

 

Seungcheol mengacungkan jempol pada Jisoo. Ia tidak mengerti kenapa keadaannya jadi seperti ini. Dari jauh ia mengawasi hingga Seungcheol dan Nyonya Yoon masuk ke dalam ruangan tempat Jeonghan berada.

 

“Seokmin-hyung, kenapa Jeonghan-ssi ditempatkan di ruang pengawasan interogasi? Bukankah ruangan itu bersebelahan dengan tempat Kepala Sekolah Seo diinterogasi?”

 

Seakan pertanyaan Jisoo adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah didengar Seokmin, lelaki itu mengernyitkan dahi heran, “Jadi kau tidak tahu bahwa Jeonghan akan diminta mengidentifikasi pelaku pelecehannya dengan melihat melalui cermin yang terhubung dengan ruang interogasi Kepala Sekolah Seo?”

 

“Tu-tunggu... jadi artinya Seungcheol-ssi juga akan melihat Kepala Sekolah Seo?”

 

“Ya, benar. Memangnya kenapa?”

 

“Bagaimana kalau ia kalap dan mengamuk?” Jisoo tidak pernah sepanik ini, “Aku harus menyuruhnya keluar dari situ.”

 

“Jisoo-yah, jangan!” Seokmin mencengkeram tangan Jisoo, “Kau jangan melakukan hal ceroboh! Sudah biarkan saja.”

 

“Seokmin-hyung, tolong bawa Seungcheol keluar dari situ.”

 

“Sudah terlambat. Ia pasti sudah menyaksikan itu semua.”

 

Tak bisa lagi berkata-kata, Jisoo memilih menunggu di pantry sembari mengawasi dari jauh. Meskipun ia tidak mengenal Seungcheol secara dekat, tapi ia bisa menduga teman sekelasnya itu tidak bisa mengendalikan emosi dengan mudah. Ia hanya khawatir semua kasus yang sudah disusun dengan baik akan dikacaukan dengan kemarahan Seungcheol.

 

***

 

Seungcheol hanya bisa mengamati punggung Jeonghan yang duduk di hadapan seorang polisi wanita. Ia sengaja berdiri di dekat pintu ruangan. Nyonya Yoon duduk di samping Jeonghan, ekspresi wajahnya khawatir. Posisi mereka menghadap jendela besar yang ditutupi tirai hitam.

 

Jeonghan menoleh ke belakang, pandangannya bertemu dengan Seungcheol. Seungcheol mengacungkan jempol, sembari tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang rapi. Nampaknya setelah itu Jeonghan terlihat lebih tenang.

 

“Kenapa banyak sekali orang yang masuk?” Polisi wanita itu menatap tajam ke arah Seungcheol.

 

Jeonghan buru-buru menengahi. Ia tidak ingin Seungcheol diusir, “Ia teman baik saya. Tolong izinkan ia menunggu di sini.”

 

“Ada ibumu yang menemanimu di sini, untuk apa temanmu juga? Lagipula apa ia mengetahui tentang kasusmu?”

 

Ragu-ragu Jeonghan mengangguk pelan. Nyonya Yoon menahan pekikan pelan. Tentu saja terkejut, hal sepenting itu diberitahukan pada seseorang yang baru Jeonghan kenal beberapa saat—itu luar biasa.

 

Polisi wanita itu mendengus kemudian tidak jadi mengusir Seungcheol, “Ya sudah. Tunggu saja di situ. Jangan berpindah posisi.”

 

Menit berikutnya, polisi wanita itu menyerahkan berkas-berkas yang harus dibaca dan ditandatangani oleh Jeonghan, “Hari ini kau akan mengidentifikasi seseorang yang kami duga sebagai tersangka dalam kasusmu.”

 

Jeonghan membeku. Pandangannya beralih ke arah jendela yang masih tertutup tirai itu, “Orangnya ada di situ?”

 

“Ya.”

 

Degupan jantung Seungcheol menjadi semakin cepat. Padahal bukan ia yang menjadi korban namun rasanya ingin membalas dendam.

 

“Kau siap?” Polisi wanita itu bersiap membuka tirai. Nyonya Yoon menggenggam tangan Jeonghan, tetapi lelaki itu melepaskan genggaman ibunya dan mengatupkan kedua tangannya di pangukuan.

 

Jeonghan mengangguk, “Siap.”

 

Tirai mulai dibuka, menampakkan punggung seorang laki-laki dan di hadapan lelaki tersebut ada seseorang yang sangat dikenal Seungcheol. Kedua manik mata Seungcheol membelalak lebar—seakan melihat setan. Tubuhnya gemetar, bahkan mungkin lebih gemetar daripada Jeonghan.

 

Sosok yang dilihat Seungcheol adalah kepala sekolahnya, Seo Dalsoo.

 

Telunjuk Jeonghan terangkat, terlihat gemetar juga, “O-orang itu...”

 

“Apa benar ia orang yang menyakitimu, Jeonghan-ssi?” Polisi wanita itu memastikan.

 

“Ya.... i-itu orangnya....”

 

“Kau yakin?”

 

Suara Jeonghan tergagap, “Yakin...”

 

Lutut Seungcheol lemas. Ia berpegangan pada kenop pintu untuk mencegahnya jatuh. Emosinya sudah mencapai ubun-ubun dan ingin sekali ia membunuh Kepala Sekolah Seo. Ia tidak tahan, sungguh tidak tahan. Akhirnya Seungcheol keluar ruangan dan berjalan menuju ruangan Kepala Sekolah Seo sedang diinterogasi. Ia melangkah secepatnya, dengan semangat membara, berniat memberi hukuman bagi lelaki tua mesum itu.

 

Baru beberapa langkah ia berjalan, dua orang menangkap tubuhnya, menariknya menjauhi ruang interogasi. Seungcheol memberontak dan berteriak, namun salah satu dari kedua orang tersebut sudah membekap mulutnya. Beberapa polisi langsung mengamankan Seungcheol dan membawanya ke ruang tunggu.

 

Di ruang tunggu barulah ia menyadari yang menariknya tadi adalah Jisoo dan Seokmin, “Kenapa kau cegah aku? Aku ingin mencabik orang mesum itu! Biadab sekali kelakuannya!”

 

“Ssst! Seungcheol-ssi, kau sedang ada di kantor polisi. Tolong jangan merencanakan balas dendam atau pembunuhan, karena bisa didengar oleh semua polisi di sini,” desis Jisoo.

 

Mingyu dan Tuan Yoon mendekati Seungcheol yang masih dikelilingi oleh Jisoo, Seokmin dan polisi-polisi.

 

“Ada apa ini?” tanya Tuan Yoon.

 

Seokmin membungkukkan tubuh, meminta maaf pada Tuan Yoon, “Maaf, tadi Seungcheol-ssi tidak bisa mengendalikan emosi melihat pelaku pelecehan Jeonghan-ssi.

 

“Jadi pelakunya ada di sini?!” Mingyu juga tak kalah emosi dan hampir saja berlari ke arah ruang interogasi, bila Tuan Yoon tidak cepat menarik lengan Mingyu, “Paman! Aku ingin sekali membunuh orang itu!”

 

Seungcheol setuju sekali dengan rencana Mingyu.

 

“Kalian berdua sebaiknya menunggu di luar saja!” bentak Tuan Yoon agar adil. Mingyu dan Seungcheol memekik tidak setuju namun sepertinya polisi-polisi di situ juga setuju dan segera menarik lengan Seungcheol dan Mingyu keluar dari kantor polisi.

 

 

 

BERSAMBUNG

 

 

A/N:

Maaf ya temen-temen, update nya lama. Hahaha. Selain karena kesibukan di dunia nyata, juga karena gagal move on setelah nonton fanmeeting cebong dan dengan mata kepala sendiri menyaksikan keindahan cinta JeongCheol.

 

Anyway, thanks a lot yang masih ngikutin cerita ini dan juga komen dan vote (atau subscribe buat yang di AFF). Kami sangat menghargai hal itu karena sangat berarti banget buat kami yang ngantuk-ngantuk, cape-cape masih nulis hahaha..

 

Yang jelas kami ikhlas nulisnya karena sukak ama JeongCheol. <3

 

Sampai ketemu di chapter selanjutnya.

 

Love you!

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
caratsfiction
Update Chasing REFLECTION 04

Comments

You must be logged in to comment
lily199iusinger
#1
Chapter 2: I, too, want to use google translate. I saw the translated english version of this on ao3. The story is just so perfect! I‘m currently left hanging, thanks for this!
pinkrose8899 #2
Chapter 11: finally~ thank you for making this lovely story, author nim!^^
pinkrose8899 #3
Chapter 9: yay, finally official~~~
pinkrose8899 #4
Chapter 3: when you lowkey ship gyuhan :3
pinkrose8899 #5
Chapter 2: eak jww gak tsundere :3
pinkrose8899 #6
Chapter 1: daku jadi inget ftv trans tv masa yg toko kramat itu xD
Shirsha23 #7
i'm getting tempted to use google translate istg!! can't wait for you to update the eng ver. but of course (its hard to say) take your time~~~
Shirsha23 #8
teach me your language lol!!! i want to read this so much i'd cry!!!!
zyx1004 #9
Chapter 11: Gils ceritanya mindblowing tapi seru!
nurhusnamustafa #10
Chapter 11: This is the best !!!!