Chapter 03

CHASING REFLECTION

“Yoon Jeonghan-ssi,” panggilan dosennya membuyarkan lamunan Jeonghan seketika, “Bisa kau jawab pertanyaanku barusan?”

 

Matilah dirinya. Sedari tadi ia hanya memikirkan lukisannya untuk pameran—lebih tepatnya memikirkan modelnya, yaitu seseorang di pantulan cermin yang identitasnya masih misterius hingga kini. Mana bisa ia menjawab pertanyaan dosennya?

 

Panik, ia melirik ke arah Mingyu yang duduk di sampingnya tetapi terpisah jalan. Mingyu mengatakan sesuatu tanpa bersuara tapi ia tak bisa menangkap gerakan bibir Mingyu.

 

“Yoon Jeonghan-ssi!” Kini dosennya mulai naik pitam. Jeonghan menggigit bibir, “Kalau kau memang tidak mendengarkan perkuliahanku, lebih baik kau keluar saja.”

 

“T-tapi, Pak...”

 

“Pintunya tidak dikunci. Silakan keluar.” Dosennya menunjuk ke pintu keluar yang terletak di bagian belakang ruang kelas. Dengan berat hati, ia mengemasi barang-barangnya lalu berjalan keluar kelas. Ketika ia akan menutup pintu, sebuah tangan menghalanginya.

 

Ternyata Mingyu.

 

“Apa yang kaulakukan? Kau kan tidak diusir?” desis Jeonghan.

 

Mingyu tersenyum lebar, “Anggap saja aku membolos.” Ia merangkul bahu Jeonghan lalu mengedarkan pandangan ke sekitar, “Hmm, hari ini cerah. Bagaimana kalau kutemani kau melukis di taman?”

 

Jeonghan mendengus, “Siapa yang ingin melukis di taman? Aku tidak terbiasa melukis di keramaian.”

 

Mingyu mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. Sebuah cermin. Kedua mata Jeonghan membelalak.

 

“Aku pinjam cermin milik adikku, jadi jangan tanya kenapa cermin ini warnanya pink.” Tampaknya Mingyu menahan malu karena membawa cermin pink. Jeonghan tetap memasang wajah pura-pura bodoh. Mingyu menghela nafas panjang, “Aku tahu kau ingin melukis pantulan dirimu di cermin. Kubawakan cermin agar kau tidak perlu melukis di ruang penyimpanan yang penuh debu itu. Tidak baik untuk kesehatan paru-parumu, Jeonghan-ah.

 

“Ah, terimakasih, Mingyu-yah.” Jeonghan menerima cermin itu dengan takjub. Ia kembali bercermin dan tersenyum sendiri. Kemudian ia mengamit lengan Mingyu, “Ayo kita berangkat!”

 

“Cih, senang sekali begitu mendapat cermin...” omel Mingyu yang tak dipedulikan Jeonghan.

 

***

 

Seungcheol merasa seperti orang tolol—berdiri sendirian di area kampus sembari mengenakan seragam sekolahnya, tangannya memegangi ponsel dengan foto Yoon Jeonghan di layarnya dan menelisik satu-persatu mahasiswa yang lewat. Hari ini Seungkwan kedatangan saudara jauhnya sehingga tak bisa menemani Seungcheol dalam pencarian Yoon Jeonghan. Sedangkan Jisoo membantu Seokmin di kantor polisi.

 

Beberapa mahasiswa melewatinya dengan tatapan bermacam-macam—dari penasaran hingga meremehkan. Ia sempat merasa tidak nyaman tapi ia harus berusaha keras untuk menemukan Yoon Jeonghan atau hidupnya tidak akan tenang. Seungcheol pun memutuskan untuk menuju gedung jurusan seni, siapa tahu ia bisa menemukan Yoon Jeonghan. Ia mempertajam pandangannya layaknya lensa super dekat.

 

Nihil. Tidak ada sosok Yoon Jeonghan di manapun. Mungkin Jisoo membuat kesalahan. Dengan langkah gontai, Seungcheol mengintip satu persatu ruang kelas. Tentu saja sangat susah untuk melihat satu-persatu mahasiswa yang duduk di ruang kelas.

 

Alih-alih menemukan Yoon Jeonghan, justru perut Seungcheol berbunyi keras menandakan lapar. Ia tidak tahu di mana kantin kampus berada, jadi hanya berbekal nekat, ia berkeliling jurusan itu. Langkahnya berhenti di depan ruang dengan tulisan ‘Radio Kampus-ON AIR’ di pintunya.

 

Tanpa ragu ia membuka pintu tersebut. Ia melihat punggung seseorang yang mengenakan headset dan sedang siaran. Orang tersebut membalikkan tubuh dan terkejut dengan kedatangan Seungcheol. Bergegas ia memutarkan lagu untuk selingan lalu menghampiri Seungcheol.

 

“Apa yang kaulakukan di sini? Kau tidak lihat aku sedang siaran?” bentak lelaki itu.

 

Seungcheol membungkukkan tubuh meminta maaf, “Maaf hyung, tapi saya ingin mencari kakak saya.”

 

“Huh? Mencari kakakmu? Memangnya kau anak hilang? Ini bukan tempat informasi. Ini adalah radio kampus. Kalau mencari kakakmu, hubungi ponselnya saja.”

 

“Tidak bisa, hyung. Ini keadaan darurat!” Tidak ada yang bisa menghentikan Seungcheol. Ia berlari menuju mikrofon lalu meneriakkan nama lelaki yang dicarinya, “YOON JEONGHAN! AKU MENCARIMU! TEMUI AKU DI RADIO KAMPUS! YOON JEONGHAAAAN!”

 

Ya! Kurang ajar sekali kau!” Penyiar radio itu menarik tubuh Seungcheol yang masih berusaha untuk berteriak.

 

“YOON JEONGHAN-SSI!

 

“Hentikan!” Penyiar radio akhirnya berhasil memisahkan Seungcheol dari mikrofon.

 

“Aku harus memanggil kakakku!” Seungcheol memberontak, “YOON JEONGHAAAAAN!!”

 

***

 

Mingyu menyesal meminjamkan cermin itu dan menyuruh Jeonghan melukis di taman sebab kini ia bertugas membawakan cermin itu, mengarahkannya tepat di depan wajah Jeonghan, sementara lelaki itu melukis sketsa. Rasanya bosan sekali. Tangannya pun kram. Ia sempat menggerakkan tangannya sedikit namun Jeonghan meneriakinya agar jangan bergerak.

 

“Jeonghan... aku lelah.” Mingyu menundukkan kepalanya.

 

Jeonghan berteriak lagi, “Ya! Jangan bergerak terus! Aku tidak bisa melihat pantulannya.” Melihat Mingyu berhenti mengeluh, seulas senyum muncul di bibir Jeonghan, “Kau memang baik sekali, Mingyu-yah.

 

“Ya tapi tidak begini caranya. Pokoknya kau harus membelikanku makan siang, makan malam dan es krim. Aku juga ingin pancake, lalu—”

 

“AH! Mahasiswa jurusan seni musik!”

 

Sontak mereka berdua menolehkan kepala ke arah asal suara. Seorang lelaki berdiri di belakang mereka, sedang mengajak jalan-jalan seekor anjing. Seakan terkena serangan panik, Mingyu tiba-tiba berdiri lalu membungkukkan tubuhnya ke arah lelaki itu.

 

“Jeon Wonwoo-ssi, apa kabar?” sapa Mingyu. Jeonghan memandang mereka bergantian. Ia tidak mengenal siapa Jeon Wonwoo itu dan Mingyu juga tidak peka untuk memperkenalkan mereka.

 

Wonwoo tersenyum canggung, “Maaf, aku tidak tahu namamu.”

 

“Kim Mingyu.”

 

Kecanggungan mereka berdua membuat Jeonghan bergidik. Selama Mingyu tidak memperkenalkannya pada teman barunya itu, ia memilih untuk melanjutkan sketsanya saja.

 

“Maaf aku belum mendapat kabar tentang cermin itu,” ujar Wonwoo. Meski tak memutuskan untuk ikut campur, namun saat mendengar kata ‘cermin’ disebut, Jeonghan langsung menatap Wonwoo dengan bingung. Wonwoo membungkukkan tubuh ke arah Jeonghan, “Ah, maaf. Aku tidak tahu kau sedang berkencan dengan kekasihmu, Mingyu-ssi. Perkenalkan, aku Jeon Wonwoo.”

 

“Aku bukan kekasihnya.” ralat Jeonghan.

 

“Ah,” Menyadari kesalahannya mengira Jeonghan sebagai wanita, “A-aku minta maaf. Aku tidak tahu. Maaf sekali lagi.” Berkali-kali Wonwoo membungkukkan tubuh. Berusaha menghilangkan kecanggungan, Mingyu tertawa.

 

“Tidak apa-apa, ia sudah terbiasa dengan itu.” Dan ucapan Mingyu mendapat tatapan membunuh dari Jeonghan. Senyum Mingyu pudar, “Namanya Yoon Jeonghan.”

 

“Salam kenal.” Ia hanya tersenyum singkat. Wonwoo jadi ngeri, “Ngomong-ngomong, cermin apa yang kalian bicarakan?”

 

Wonwoo menatap Mingyu, seakan meminta persetujuan Mingyu untuk menceritakan tentang cermin itu pada Jeonghan. Tapi Mingyu menggeleng sepelan mungkin, agar sahabatnya tidak tahu ia memberi kode pada Wonwoo. Rupanya bersahabat lama dengan Mingyu membuat Jeonghan tahu dengan gerak-gerik Mingyu yang mencurigakan.

 

“Mingyu-yah, cermin apa?” potong Jeonghan sebelum Mingyu sempat mengucapkan bahasa isyarat pada Wonwoo.

 

Menyerah kalah, Mingyu menghela nafas panjang, “Cerminmu, Jeonghan-ah. Cermin itu.”

 

Perasaan Jeonghan campur aduk—ia tidak mengerti mengapa Mingyu menceritakan rahasianya pada orang yang baru dikenalnya? Padahal ia mempercayakan rahasia tentang cermin itu pada Mingyu karena ia sahabatnya.

 

“Kau cerita semuanya?” bisik Jeonghan, giginya gemeletuk menahan emosi.

 

“Wonwoo-ssi bekerja di toko barang antik dan aku meminta bantuan untuk mencari apapun yang berkaitan dengan cerminmu. Sebatas itu saja.”

 

Sungguh, Wonwoo merasa tidak enak hati karena menyulut pertengkaran antara Mingyu dan Jeonghan. Ia pun berada di tengah-tengah pertengkaran itu, “Jeonghan-ssi, memang benar Mingyu-ssi meminta bantuanku untuk mencari tahu tentang cermin itu. Ia tidak bercerita apa-apa. Kalau kau bersedia, aku bisa membantumu, Jeonghan-ssi.” Merasa bersalah, ia berusaha membela Mingyu.

 

Mingyu meyakinkan Jeonghan untuk menerima bantuan Wonwoo, “Ya, siapa tahu kau bisa mengetahui asal cermin itu dan pantulan itu bisa hilang.”

 

“Tapi aku tidak ingin pantulan itu hilang.” desis Jeonghan kesal.

 

“Ya terserah kau saja tapi setidaknya kita mengerti apa yang terjadi denganmu, Jeonghan-ah. Bagaimana?”

 

Mengerti maksud Mingyu sebenarnya baik, akhirnya Jeonghan menyetujui tawaran Wonwoo untuk membantunya meski ia tak yakin lelaki itu bisa memecahkan misteri cermin.

 

“Wonwoo-ssi, sebenarnya ada hal yang belum kuceritakan waktu itu. Ini semua berkaitan dengan Jeonghan.”

 

Wonwoo menganggukkan kepala, “Baiklah. Aku bersedia mendengarkan.” Wonwoo melirik ke arah anjingnya yang sejak tadi meronta ingin diajak jalan, “Tapi... kurasa tidak saat ini. Tidak apa-apa, kan?”

 

Mingyu mengangguk cepat, “Ya, aku akan menghubungimu nanti.” Dan Jeonghan mendengus pelan mendengarnya. Tidak pernah ia melihat Mingyu begitu bersemangat berbicara dengan seseorang. Bahkan ia masih memandangi punggung Wonwoo hingga lelaki itu menjauh.

 

Jeonghan menyenggol lengan Mingyu kemudian tersenyum penuh arti ke arahnya, “Beraninya kau membocorkan rahasiaku pada kekasihmu itu.”

 

“Kekasih apa? Tidak! Ia bukan kekasihku. Lagipula aku melakukan ini semua karena ingin membantumu, Jeonghan-ah. Aku penasaran dengan apa yang terjadi padamu.”

 

“Terserahlah.” Jeonghan melanjutkan melukis. Kini ia memegangi cermin sendiri, “Mingyu-yah, sebentar lagi kau ada jadwal kuliah. Kembalilah ke kampus. Aku masih ingin melukis.”

 

Sebenarnya Mingyu masih malas kembali ke kampus tapi ucapan Jeonghan ada benarnya. Sebentar lagi ia ada jadwal kuliah dan ia tidak ingin mengecewakan orangtuanya yang sudah membayar biaya kuliah.

 

“Uhm, baiklah aku kembali dulu. Kau yakin tidak apa-apa kutinggal sendirian?”

 

Alis Jeonghan bertaut, “Sejak kapan kau bersikap sangat overprotektif begini? Ibuku saja tidak seperti ini, Mingyu-yah. Lebih baik kau overprotektif pada kekasihmu kelak.”

 

“Jeonghan-ah! Aku tidak punya kekasih!” Wajah Mingyu memerah malu dan Jeonghan menertawakannya. Ia memang paling suka menggoda Mingyu dengan menyebut-nyebut kekasih—siapapun kekasihnya, pasti wajah Mingyu akan bersemu merah.

 

***

 

Peluh membasahi dahi Seungkwan. Ia bahkan belum makan siang sejak pulang sekolah namun ibunya sudah menyuruhnya bertugas mengawal barisan ibu-ibu serta sepupu wanitanya berbelanja. Tidak hanya itu, tugasnya adalah membawakan kantung belanjaan—tugas ini lebih berat daripada tugas yang diberikan guru Fisika.

 

Ia berjalan terseok-seok, mengikuti barisan ibu-ibu yang asyik berdiskusi mengenai peralatan dapur mana yang sedang tren. Ponsel yang diletakkan di saku terus bergetar, tanda notifikasi masuk. Ia sungguh penasaran dengan nasib Seungcheol dan khawatir sahabatnya itu sedang butuh bantuan mencari Jeonghan. Tapi apa boleh buat, tugas Seungkwan menemani ibunya berbelanja adalah tugas mulia juga.

 

“Seungkwannie, kau sudah lelah?” tanya ibunya sembari mengelap keringat di dahi Seungkwan dengan tisu. Seungkwan mengelak—ia malu diperlalukan layaknya anak kecil di depan umum.

 

“Ya, Bu. Bolehkah aku menunggu di kafe?”

 

“Kafe?” Ibunya memasang tampang terkejut, “Bagaimana kalau kami butuh seseorang untuk membawakan belanjaan lagi?”

 

“Ayolah, Bu~ Aku sudah mulai lapar. Ibu tidak mau aku terkapar di jalan kan?” Ia setengah mengancam.

 

Ibunya berpikir sejenak sebelum memberinya izin untuk menunggu di kafe, “Baiklah. Tapi Ibu akan menghubungimu kalau membutuhkan bantuan membawakan barang. Dan jangan lupa, tas belanjaan ini harus kau bawa kemanapun. Jangan hilang ya. Kalau ke toilet juga harus dibawa.”

 

Seungkwan berubah posisi dari seorang anak menjadi kuli barang.

 

“Ya Tuhan, apa kata orang-orang yang melihatku membawa tas bra?” Seungkwan cemberut.

 

“Sudah, sudah. Mereka tidak peduli kau membawa tas bra atau tas apa. Yang penting jangan hilang.”

 

Seungkwan berdecak kesal. Dengan terpaksa ia membawa seluruh tas belanjaan itu menuju kafe. Ia sengaja memilih kafe yang cukup jauh dari keramaian sehingga nanti ia akan menggunakan alasan ‘jauh’ bila ibunya menyuruh Seungkwan segera datang membawakan belanjaan.

 

Kafe yang ia datangi rupanya cukup ramai dan itu tidak mengurangi niat Seungkwan untuk masuk ke dalam. Hal pertama yang ia lakukan setelah memesan minuman dan makanan di kafe adalah mengecek notifikasi di ponselnya. Beberapa pesan masuk dan dua panggilan tak terjawab dari Seungcheol. Selebihnya, notifikasi Twitter tentang kehebohan ‘Seungcheol mencari lelaki idamannya’. Siswi-siswi yang me-retweet hal itu menggunakan emoticon menangis atau patah hati karena Seungcheol mencari ‘lelaki’ idaman, bukan ‘wanita’ idaman meski sketsa Seokmin disalahartikan sebagai sketsa seorang wanita.

 

From : Cheol-ah

Message : Aku gagal bertemu Yoon Jeonghan. Aku membuat kegaduhan.

 

Membaca kata ‘kegaduhan’, rasa penasaran Seungkwan membuncah. Ia buru-buru menghubungi Seungcheol.

 

“Kau membuat onar apa lagi, Cheol-ah? Apa yang kaulakukan?”

 

“Kupikir kalau mencari ke dalam kelas satu-persatu akan menghabiskan waktu yang lama. Jadi aku meneriakkan namanya di radio kampus. Lebih tepatnya aku membajak siaran radio.”

 

“Keren...” Seperti di film-film, batin Seungkwan.

 

“Tidak keren karena Jeonghan tidak mendengar panggilanku. Aku malah mendapat pukulan.”

 

“Hahahaha!” Seungkwan malah menertawakannya. Bukannya ia bersyukur di atas penderitaan sahabatnya, tetapi bila Seungcheol dipukul karena membajak siaran radio, mungkin itu yang seharusnya terjadi. Seungkwan tak bisa membayangkan betapa kacaunya mendengar Seungcheol berteriak di siaran radio, “Kalau begitu kau coba lagi besok. Biar kutemani.”

 

“Mana bisa! Aku sudah dilarang muncul lagi atau aku dipukul!”

 

“Jadi kau akan menyerah begitu saja? Seungcheol yang kukenal tidak seperti itu. Seungcheol tidak akan menyerah. Kau jangan memanggilku sahabat kalau kau menyerah.”

 

“Oke! Kupanggil kau MUSUH.”

 

“Ya! Bukan itu maksudku!” Teriakan Seungkwan membuat beberapa pasang mata menatap kesal ke arahnya. Ia menampakkan wajah menyesal sembari menggumamkan kata maaf. Ini semua gara-gara Seungcheol.

 

Kemudian Seungcheol menceritakan panjang lebar kejadian pembajakan siaran radio itu. Perhatian Seungkwan terpecah ketika seorang wanita cantik membelalakkan mata melihat tas toko bra yang ia bawa. Sial sekali nasibnya. Seungkwan menarik tas-tas belanjaan itu di bawah kakinya agar tak bisa diamati pengunjung kafe.

 

Begitu sibuknya ia mendengarkan curhat Seungcheol hingga ia tak sadar seseorang berada di hadapannya, membawa nampan berisi minuman.

 

“Maaf, apa kursi ini kosong? Boleh aku duduk di sini? Ramai sekali tidak ada kursi.” Orang itu meminta izin Seungkwan.

 

“Ya, silakan saj—” Seungkwan membeku.

 

Orang di depannya tersenyum ramah, “Terimakasih.”

 

Panik, Seungkwan memberitahu Seungcheol, “Ce-cepat kemari. Yang kaucari ada di sini, astaga. Astaga. Astaga!” Ia mendesis karena tidak ingin ketahuan lelaki di depannya. Siapa lagi kalau bukan Yoon Jeonghan.

 

“Suaramu tidak jelas.”

 

“Bagaimana bisa jelas? Aku sedang panik, kau tahu! Kukirim pesan!” Seungkwan benar-benar tidak bisa mengendalikan kepanikannya. Langsung saat itu juga ia mengirim pesan pada Seungcheol yang berisi nama, alamat kafe serta pesan darurat ‘YOON JEONGHAN DI DEPANKU YA TUHAN AKU MAU MATI SAJA SEBENTAR LAGI KAU HARUS SIARAN LANGSUNG DI VINE’ –pesan yang berlebihan.

 

Dan balasan Seungcheol tak kalah berlebihannya, ‘YA TUHAN APA YANG KAULAKUKAN DENGAN YOON JEONGHAN? TUNGGU AKU! AKU BERLARI KE SANA!!’

 

Seungkwan mengutuk Seungcheol dalam hati. Di saat genting seperti ini, mengapa malah memilih berlari, bukannya naik kendaraan umum? Sungguh bodoh. Sekarang ia harus mengulur waktu agar Jeonghan tidak pergi sampai Seungcheol tiba.

 

Seungkwan tersenyum kaku pada Jeonghan dan lelaki itu membalas senyumnya. Benar-benar mirip sketsa buatan Seokmin.

 

“Kau bertengkar dengan temanmu?” tanya Jeonghan membuka pembicaraan.

 

Seungkwan menggeleng lalu mengangguk dan menggeleng lagi, “Sebenarnya kami tidak bertengkar. Begitulah cara kami berkomunikasi. Dengan kata-kata kasar.”

 

“Kalian lucu sekali.”

 

“Ha-ha-ha, lucu ya, ha-ha-ha.” tawa Seungkwan terdengar dibuat-buat. Biasanya ia mudah sekali membuka topik pembicaraan namun Yoon Jeonghan seolah menghilangkan kemampuannya itu. Tiba-tiba ia gugup. Otaknya berpikir keras, lalu muncul sebuah ide, “Ah! Pesanan kita sama.” Seungkwan menunjuk gelas mereka berdua.

 

Jeonghan mengangkat gelasnya, “Kau juga pesan ice cappucino?

 

“Oh, ehm... tidak sih. Uhm, itu ice cappucino? Kupikir ice mocca.” BODOH! Seungkwan ingin menceburkan diri ke laut.

 

Jeonghan menutup mulut menahan tawa—bahkan cara tertawanya pun sangat sopan, tidak membiarkan mulut terbuka lebar.

 

“Belanjaanmu banyak sekali. Kau masih SMA, kan?” Jeonghan menunjuk tas belanjaan di bawah kaki Seungkwan, “Bra?”

 

SIAL!!!

 

“Uhm, itu milik ibu dan bibiku. Aku menemani mereka belanja. Bagaimana kau tahu aku masih SMA?”

 

“Kau mengenakan seragam Hyongu High School. Dulu sekolahku pernah tawuran dengan sekolahmu. Hanya karena hal sepele.”

 

“Oh ya? Aku tidak tahu sekolah kita bermusuhan, hyung. Ngomong-ngomong, aku Boo Seungkwan.” Ia mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Apapun yang terjadi di masa depan antara sahabatnya dan Jeonghan, ia tetap harus menunjukkan kesan pertama yang bagus.

 

Jeonghan menyambut uluran tangan Seungkwan, “Yoon Jeonghan.”

 

“Kau habis berbelanja juga, hyung?

 

“Tidak. Aku mencari inspirasi untuk lukisanku. Tinggal beberapa hari lagi dikumpulkan.” Tanpa diminta, Jeonghan membuka buku sketsanya lalu menunjukkannya pada Seungkwan. Alangkah terkejutnya Seungkwan melihat sketsa Seungcheol di buku itu. Tidak hanya satu, tapi tiga hingga empat.

 

Kini ia jadi gemetar. Pikirannya melayang ke mana-mana. Jadi tidak hanya Seungcheol yang melihat pantulan Jeonghan, tetapi hal yang sama terjadi pada Jeonghan?

 

“Wah, bagus sekali lukisanmu, Jeonghan-hyung. Pasti lelaki itu sahabatmu, ya. Kau melukisnya lebih dari sekali.” Telunjuk Seungkwan mengarah pada sketsa wajah Seungcheol.

 

“Aku berharap begitu, tapi tidak. Ia bukan sahabatku. Aku tidak mengenalnya.”

 

Mati-matian Seungkwan menahan diri untuk tidak berteriak, ‘Tapi aku mengenal lelaki itu, hyung. Namanya Choi Seungcheol dan ia sahabatku!!’, sampai-sampai ia harus menggigit lidah agar tidak mengatakannya.

 

Cepatlah datang, Choi Seungcheol!, Seungkwan memekik dalam hati.

 

“Lalu bagaimana kau mengenalnya, hyung? Lewat internet?”

 

Jeonghan tersenyum malu, “Kau pasti tidak akan percaya kalau kuceritakan. Yang jelas kalau aku bisa bertemu dengannya, aku sangat bersyukur. Ia memberi inspirasi untuk lukisanku.”

 

Rasanya Seungkwan ingin meloncat bahagia. Ini seperti di film! Ia ingin menjambak Seungcheol bila ia tidak segera muncul. Seungcheol harus bertemu dengan Jeonghan!

 

Mungkin saat ini wajah Seungkwan sudah memerah seakan menahan kentut karena keinginan kuatnya untuk fanboying terhalangi keadaan. Ia terpaksa memasang ekspresi ‘normal’ dengan senyum memaksa. Dalam situasi begini, ibunya menelpon. Dengan berat hati, Seungkwan tidak memedulikan panggilan ibunya. Ini lebih penting daripada menjadi kuli barang ibunya.

 

 

To : Cheol-ah

Message : CHEOL KAU DI MANA,  BRENGSEK????????

 

 

Seungkwan menekan tombol kirim bertepatan dengan seseorang menarik kursi di samping kursi Jeonghan sambil menepuk bahu Jeonghan dan memanggil namanya, “Yoon Jeonghan-ssi,”

 

Jeonghan menoleh ke sampingnya. Begitu melihat Seungcheol, ia seolah menahan nafas. Seungkwan tak ingin melewatkan saat-saat penting ini. Ia langsung menyalakan tombol rekam video di ponselnya. Ia akan mengutuk diri sendiri bila tidak sempat mengabadikan momen bertemunya Seungcheol dan Jeonghan.

 

Sosok Seungcheol yang terengah-engah setelah berlari dari kampus Jeonghan, poni mangkuknya tersibak ke belakang karena berlari dan ia tak peduli dengan keringat di seragamnya. Jeonghan diam terpaku, seakan melihat hantu Seungcheol.

 

“Yoon Jeonghan-ssi, akhirnya kita bertemu. Aku Choi Seungcheol.” Senyum Seungcheol sangat bahagia. Seungkwan pun tak bisa menahan diri untuk tidak melompat girang. Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya. Berlebihan.

 

“Ini bukan mimpi, kan?” Tangan Jeonghan yang gemetar itu membuka halaman buku sketsanya yang menampilkan sketsa wajah Seungcheol, lalu ia memandang sketsa itu dan Seungcheol bergantian, “Kau... sungguhan?”

 

Kedua manik mata Seungcheol melebar ketika ia tahu selama ini Jeonghan menggambar sketsanya. Selama ini Seungcheol berpikir, hanya ia yang melihat pantulan Jeonghan. Ternyata hal yang sama terjadi pada Jeonghan. Mengetahui nasib mereka sama, Seungcheol menunjukkan pindaian sketsa Jeonghan buatan Seokmin di ponselnya.

 

“Ini bukan mimpi. Kita tidak gila, Jeonghan-hyung. Aku melihatmu di cermin. Kau juga?”

 

Karena tidak mampu berkata-kata, Jeonghan mengangguk pelan. Kini keduanya bagaikan berada di dunia mereka sendiri—tak sepatah katapun keluar dari bibir mereka, hanya saling memandang tak percaya.

 

Seungkwan menekan tombol berhenti merekam lalu mengunggah video tersebut di Twitter.

 

Ia menulis caption:  Choi Seungcheol akhirnya berhasil menemukan cinta sejatinya. Please help RT.

 

Dan Chan adalah orang pertama yang me-retweet.

 

Setelah itu, ia merasa menjadi orang ketiga yang tak dipedulikan Jeonghan dan Seungcheol. Maka lebih baik ia kembali kepada ibunya yang sejak tadi sudah menghubunginya. Pasti ia akan dimarahi habis-habisan.

 

“Uhm Jeonghan-hyung, aku permisi dulu.” Seungkwan tersenyum canggung. Ia sengaja pura-pura tidak mengenal Seungcheol daripada ia harus menjelaskan panjang lebar pada Jeonghan.

 

Jeonghan yang menyadari bahwa ia sudah bersikap cuek pada Seungkwan, merasa bersalah, “Maafkan aku, Seungkwan-ssi. Senang berbicara denganmu.”

 

“Ah ya, tidak apa-apa.” Ia mengedipkan mata ke arah Seungcheol untuk memberi kode dan sahabatnya itu mengangguk samar, “Sampai jumpa lagi, Jeonghan-ssi.”

 

***

 

Mungkin ini hukuman Tuhan karena Seungcheol tidak pernah percaya keajaiban. Pertemuan Seungkwan dengan Jeonghan ia anggap sebagai keajaiban. Seandainya Seungkwan tidak bertemu dengan Jeonghan, mungkin hingga kini Seungcheol tidak sedang duduk di samping seorang Yoon Jeonghan.

 

Lelaki di sampingnya itu tak berani menatapnya terang-terangan—tidak seperti Seungcheol yang dengan tidak tahu malu mengamati setiap detail wajah Jeonghan, menyamakan dengan apa yang ia lihat tiap kali bercermin. Kemudian ia menatap sketsa dirinya di buku milik Jeonghan. Oke, ia boleh sedikit narsis karena sketsa buatan Jeonghan membuat dirinya tampak lebih tampan.

 

Yoon Jeonghan justru lebih sering menatap gelas minumannya daripada menatap Seungcheol dan hal itu membuat Seungcheol bingung—apa jangan-jangan Jeonghan kecewa karena ia tidak setampan di lukisan? Ia pindah di kursi yang semula ditempati Seungkwan, berhadapan dengan Jeonghan.

 

“Maaf hyung, apa aku membuat kesalahan sehingga kau tidak mau bicara padaku?”

 

Jeonghan menggeleng cepat, matanya menyiratkan kepanikan, “Tidak. Kau tidak berbuat salah apa-apa.”

 

“Oh, syukurlah kalau begitu karena ada banyak hal yang harus kita bicarakan. Tentang apa yang terjadi dengan kita dan bagaimana mengembalikan pantulan kita.”

 

Jeonghan mengeluarkan cermin milik adik Mingyu lalu menunjukkannya pada Seungcheol, “Apa kau masih melihat pantulanku?” tanya Jeonghan. Seungcheol mengangguk. Giliran Jeonghan bercermin dan pantulannya masih wajah Seungcheol. Ia menghela nafas panjang, “Kurasa kita tidak bisa mengembalikan pantulan kita.”

 

Alis Seungcheol bertaut. Semudah itukah Jeonghan menyerah?

 

Hyung, kita harus bekerjasama mencari penyelesaiannya. Kau mau, kan?” Seungcheol tidak siap mendapat penolakan dari Jeonghan sebab ini menyangkut sebagian dari dirinya. Walaupun wajah Jeonghan enak dipandang, bukan berarti Seungcheol siap kehilangan pantulan dirinya tiap kali bercermin, “Kita harus saling membantu.”

 

“Kau sepertinya ingin sekali menghilangkan pantulanku dengan cepat.”

 

“Ah, ti-tidak, bukan begitu maksudku—aku,” Seungcheol bingung harus menjawab apa namun seketika ia menyadari sesuatu. Wajahnya bersemu merah dan senyum konyol di bibirnya, “Hyung jangan membuatku besar kepala. Apa kau mau melihat wajahku terus?” Ia menggaruk-garuk kepalanya.

 

Jeonghan terkejut dengan ucapan Seungcheol yang tidak disangka, “Kau ini benar-benar besar kepala. Baiklah. Ayo kita sama-sama mencari jalan keluar.”

 

Diulurkan tangannya ke arah Seungcheol. Ia bermaksud mengajaknya bersalaman untuk saling berjanji. Alih-alih bersalaman, Seungcheol mengaitkan kelingking dan mempertemukan ibu jari mereka.

 

“Janji, hyung?”

 

Tergagap, Jeonghan menyahut, “Ya, oke.” Ia marah pada dirinya sendiri yang seolah kehilangan kepercayaan diri di depan Seungcheol, yang bahkan baru dikenalnya. Sebelumnya ia tidak pernah seperti itu.

 

Tiba-tiba Seungcheol mendekatkan wajahnya pada Jeonghan. Sontak Jeonghan sedikit memundurkan tubuhnya. Ternyata ia ingin membisikkan sesuatu.

 

Hyung, aku ingin menanyakan sesuatu. Sedikit memalukan sih.” bisik Seungcheol. Mendengar kata ‘memalukan’, jantung Jeonghan berdegup kencang, “Uhm, kau tidak melihat bagian bawah tubuhku kan? Sebab aku tidak berani mandi di depan cermin karena aku khawatir tidak sengaja melihat milikmu...”

 

“Ka-kau?!” Jeonghan benar-benar malu. Ia yakin saat ini wajahnya tidak hanya bersemu merah, mungkin juga seperti lampu lalu lintas, kuning dan hijau, “Kenapa bertanya seperti itu? Tentu saja tidak!”

 

Seungcheol mengelus dada karena lega. Ia tidak pernah merasa setenang ini. Sebelumnya ia cukup khawatir pantulan dirinya akan dipergunakan untuk hal tidak senonoh namun sepertinya Yoon Jeonghan lebih polos dari dugaannya meskipun usianya lebih tua dari Seungcheol.

 

Cukup lama mereka berbincang meski Seungcheol yang lebih banyak bicara. Ia memaklumi sikap diam Jeonghan, mungkin lelaki itu tidak bisa semudah itu akrab dengan orang yang baru dikenal—lain halnya dengan Seungcheol. Mereka sempat bertukar nomor ponsel agar mudah untuk saling menghubungi. Seungcheol gembira sebab ia tidak sendirian bernasib sial seperti ini. Mereka sama sekali tidak membicarakan cermin-cermin itu, melainkan membicarakan tentang diri masing-masing. Dan dari cerita Seungcheol, akhirnya Jeonghan tahu Seungkwan adalah sahabat baik Seungcheol.

 

“Jadi... sejak tadi Seungkwan-ssi sibuk menelepon dan mengirim pesan dengan temannya—itu adalah kau?” tuduh Jeonghan. Ia melipat tangan di depan dada, “Kalian bersekongkol? Seungkwan-ssi yang menyuruhmu kemari?”

 

Seakan ketahuan menyembunyikan rahasia besar, Seungcheol menggigit bibir, “Uh, maaf hyung, tolong jangan salahkan Seungkwan. Ia berniat membantuku, itu saja. Selama ini ia yang sibuk mencari sesuatu yang ada hubungannya dengan keanehan ini. Lagipula aku dari kampusmu, hyung. Aku mencarimu tapi kau ada di sini bersama Seungkwan.”

 

Jeonghan terbahak-bahak, “Kau mencariku di kampus? Seperti mencari jarum di tumpukan jerami.”

 

“Aku berteriak memanggil namamu di radio kampus. Tapi penyiar radio kampus yang bertubuh mungil itu meninju wajahku.”

 

“Hah? Yang benar saja?” Tawa Jeonghan semakin keras, “Lee Jihoon meninju wajahmu? Itu luar biasa. Aku tidak pernah tahu ia bisa bersikap kejam.”

 

Seungcheol mengerucutkan bibir seraya memegangi pipinya yang memar, “Hyung, temanmu itu kejam.”

 

Jeonghan mengulurkan gelasnya yang masih menyisakan sedikit es batu, lalu ditempelkannya di pipi Seungcheol yang memar. Seungcheol memundurkan tubuhnya, terkejut dengan sengatan dingin yang mendadak, “Kau harus mengompresnya atau besok warnanya akan menghitam.” ujar Jeonghan.

 

Mengetahui niat baik Jeonghan, ia pasrah saja menerima perlakuan lelaki di hadapannya itu.

 

“Aku beruntung yang memiliki pantulanku itu kau, Jeonghan-hyung. Mungkin kalau Seungkwan, ia akan mengerjai tubuhku yang indah ini.”

 

“Ck! Percaya diri sekali kau.” Jeonghan sengaja menempelkan gelasnya dengan keras di pipi Seungcheol hingga lelaki itu berteriak kesakitan, tapi detik berikutnya ia tertawa.

 

***

 

Jeonghan sangat cemas menunggu keputusan dosen pembimbingnya saat ia menunjukkan lukisan yang akan diikutsertakan dalam pameran. Meski pamerannya masih beberapa hari lagi tapi ada banyak hal yang harus diurus salah satunya adalah persetujan dari dosen pembimbingnya.

 

Kedua mata jeli dosennya itu mengamati detail lukisannya, pemilihan tema, komposisi warna serta alasan mengapa ia memilih untuk melukis itu. Tentu Jeonghan sudah menyiapkan jawaban panjang lebar.

 

“Kenapa gambarmu bercermin dan pantulan orang lain? Maksudnya apa?” tanya dosennya. Jeonghan mengambil nafas dalam sebelum menjawab.

 

“Ada filosofi di balik lukisan itu, sebab—”

 

“Stop,” Dosennya itu mengangkat kelima jari di depan Jeonghan, menghentikannya bicara, “Siapkan jawaban itu untuk saat pameran. Saya yakin kau memiliki jawaban yang tepat untuk itu. Lukisan ini indah.”

 

“Jadi?” Jeonghan bersiap-siap meloncat gembira.

 

Dosen itu memandangnya sedikit bingung, “Jadi cepat isi formulir pengajuan karyamu untuk pameran dan serahkan lukisan ini pada panitia. Kau lolos.”

 

“Sungguh?! Terimakasih, terimakasih!” Ia berkali-kali membungkukkan tubuhnya. Ia tidak bisa menahan kebahagiannya.

 

Siapa sangka Choi Seungcheol membawa keberuntungan baginya. Jeonghan merasa harus berterimakasih pada lelaki itu. Ia lekas menelpon Seungcheol sebelum memberitahu Mingyu tentang kabar gembira ini.

 

“Choi Seungcheol-ssi, kapan kau ada waktu luang?” tanya Jeonghan setelah mereka mengucap salam.

 

Agak lama ia menunggu Seungcheol berpikir, “Hmm, nanti malam aku harus mengerjakan banyak tugas. Yang pasti besok sepulang sekolah aku punya waktu luang. Kenapa hyung?”

 

“Kita harus merayakan sesuatu. Bisakah kau datang ke kampusku besok seusai sekolah?” Ia tidak pernah terang-terangan mengajak seseorang merayakan sesuatu kecuali bersama Mingyu. Kalau dipikir selama ini hidupnya berputar di sekitar Mingyu saja. Ia jarang sekali memiliki seseorang yang benar-benar ia percaya untuk lebih dekat dengannya.

 

“AH! Apa ini ulang tahunmu, hyung? Aku belum membeli hadiah!” Suara Seungcheol terdengar panik dan mengakibatkan Jeonghan tergelak.

 

“Bukan, ulang tahunku masih lama. Pokoknya ada sesuatu yang harus kita rayakan. Keberhasilan. Bagaimana? Kau bisa ikut kan?” Konyol sekali Jeonghan berdoa dalam hati agar Seungcheol menjawab ya.

 

“Tentu saja. Aku tidak menolak untuk perayaan.”

 

Jeonghan tersenyum lebar sekali—senyum terlebar yang ia lakukan sejak sekian lama, “Baiklah kalau begitu, sampai jumpa besok.”

 

“Perayaan apa? Kau tidak mengajakku?”

 

Jeonghan membeku mendengar suara yang sangat ia hafal itu. Perlahan ia membalikkan tubuhnya untuk menyapa Mingyu yang tampak cemberut, “Mingyu-yah, baru saja aku akan menelponmu untuk mengabarkan berita baik. Aku punya dua berita baik. Kau mau dengar yang mana dulu?”

 

“Yang kedua.”

 

“Lukisanku lolos dan bisa dipamerkan di pameran kampus!” Bukannya Jeonghan yang memekik kegirangan, malah Mingyu yang melakukannya. Ditariknya Jeonghan ke dalam pelukannya lalu mereka bersama-sama melompat gembira.

 

“Akhirnya! Tidak sia-sia perjuanganmu melukis di gudang jelek itu!”

 

“Kau benar! Dan satu lagi,” Jeonghan mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan sesuatu pada Mingyu. Foto selfie-nya bersama Seungcheol saat tadi siang mereka bertemu. Ia butuh bukti agar Mingyu percaya bahwa ia masih waras, “Aku bertemu lelaki dalam lukisanku! Lihatlah.”

 

Mingyu terkejut melihat betapa miripnya foto lelaki bernama Seungcheol itu dengan lukisan Jeonghan yang diunggah di Instagram-nya itu, “Jadi... ia bukan khayalan? Bagaimana kalian bisa bertemu?”

 

Jeonghan mengedikkan bahu, “Entahlah. Takdir, mungkin? Tadi aku tidak sengaja duduk semeja dengan sahabat Seungcheol di kafe lalu Seungcheol datang.”

 

“Itu berita bagus, Jeonghan-ah! Kita harus merayakan ini sekarang. Ngomong-ngomong, siapa yang tadi kau telpon untuk merayakan sesuatu?” Mingyu tiba-tiba curiga. Sepengetahuannya, Jeonghan cukup introvert dan kemungkinannya sangat kecil bila ia mengundang seseorang untuk merayakan sesuatu.

 

Wajah Jeonghan bersemu merah. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Mingyu dan memalingkan wajah ke arah lain, “Bukan siapa-siapa. Sudahlah, Mingyu-yah, aku akan membelikan pancake sesuai janjiku. Ayo kita rayakan sekarang.”

 

Mingyu menggenggam pergelangan tangan Jeonghan, membuatnya berhenti melangkah. Memang mungkin bukan urusannya, tapi Mingyu merasa ingin tahu siapa yang barusan dihubungi Jeonghan, “Ayolah, kau belum memberitahuku siapa orang yang kau telpon itu, Jeonghan-ah.” Ia tahu Jeonghan lemah bila Mingyu memohon-mohon.

 

“Uhm, yang tadi itu... Seungcheol.” gumamnya pelan sekali.

 

Air muka Mingyu berubah. Ia melepaskan genggaman tangannya, bibirnya mengulaskan senyum yang dibuat-buat, “Oh, ia akan ikut bersama kita sekarang?”

 

“Tidak,” Jeonghan memang sengaja tidak mengundang Mingyu untuk bertemu Seungcheol. Sahabatnya itu lebih sering bersikap seperti kakak yang posesif sehingga ia tahu keadaan akan canggung bila ia mempertemukan Mingyu dan Seungcheol sekarang, “Sekarang hanya kita berdua yang merayakan. Oke?”

 

“Kalau begitu aku akan memesan makanan yang banyak—kau yang bayar.”

 

“Ya, ya, ya...”

 

***

 

“Choi Seungcheol meminjam parfum Hong Jisoo. Ini pemandangan yang langka. Kau mau ke mana, hah?” Seungkwan super syok ketika melihat sahabatnya itu menyemprotkan parfum di leher dan pergelangan tangan kemudian menyisir rambut menggunakan jemarinya. Padahal sudah bel pulang tapi Seungcheol justru berdandan.

 

“Merayakan sesuatu bersama hyung.

 

Hyung siapa?” Dahi Seungkwan mengerut tetapi setelahnya ia membelalak seakan bisa membaca jalan pikiran Seungcheol, “Yoon Jeonghan-ssi?!”

 

“Yup.” Seungcheol kini berhadap-hadapan dengan Seungkwan, “Aku tidak tahu perayaan apa tapi kalau ditraktir makan, aku oke saja.”

 

“Kau ini...” Seungkwan menggelengkan kepala, “Sadarlah, Choi Seungcheol! Ini bukan kencan! Kau hanya akan dibelikan makan siang jadi buat apa berdandan seperti akan kencan?”

 

Seungcheol menelengkan kepala ke samping, “Kau benar juga. Buat apa aku memakai parfum?”

 

Jisoo tiba-tiba muncul, entah darimana, untuk mengambil parfumnya dari Seungcheol, ikut menimpali “Jadi ‘pernyataan cinta’ itu ada benarnya, ya. Seungcheol-ssi jatuh cinta sungguhan.”

 

“Jisoo-ssi bercandamu tidak lucu.” Seungcheol cemberut, “Aku tidak jatuh cinta pada seorang laki-laki, oke! Ini semua murni karena aku ingin pantulanku kembali. Kau tahu, aku tidak bisa bercermin tanpa berdebar-debar. Ini semua karena yang kulihat adalah wajah Jeonghan-hyung. Bayangkan bagaimana kalau kalian berdua melihat wajah sempurna seperti itu—setiap hari? Aku merasa berdosa tiap kali aku hampir berpikir yang tidak-tidak.”

 

Seungkwan dan Jisoo saling melemparkan pandangan bingung, “Berpikir yang tidak-tidak?” tanya mereka berbarengan.

 

“Sudahlah, aku terlambat menjemput hyung.” Ia melirik jam tangannya lalu berpamitan pada Seungkwan dan Jisoo yang masih berusaha mencerna kata demi kata yang diucapkan Seungcheol.

 

“Apa benar ia berpikiran mesum pada Jeonghan-hyung?” Jisoo bergidik ngeri.

 

Seungkwan mendengus pelan, “Sudah kuduga pikirannya mesum. Kau belum melihat betapa sempurnanya Jeonghan-hyung. Kau pasti paham dengan apa yang dipikirkan Seungcheol kalau kau sudah bertemu Jeonghan-hyung.

 

Jisoo mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, “Aku tidak akan paham.”

 

***

 

Seandainya ini bukan karena Twitter, mungkin kini Seungcheol bisa menikmati makan siangnya bersama Jeonghan dengan tenang dan damai. Tapi karena ia menjadi selebriti dadakan—terimakasih Chan dan Seungkwan yang menyebarkan video pertemuannya dengan Jeonghan—sekarang ia harus mencari alasan mengapa sejak tadi sudah dua orang meminta foto bersama Seungcheol dan Jeonghan.

 

“Aku tidak tahu kau terkenal. Benarkah kau artis?” tanya Jeonghan penasaran.

 

“Bisa dibilang begitu.” Seungcheol membual, daripada ia harus menjelaskan tentang perjuangannya mencari Jeonghan di Twitter, “Maafkan sikap penggemarku, ya hyung.

 

“Memangnya kau bermain di drama apa? Aku belum pernah melihatmu di televisi.”

 

Ah sial, Seungcheol paling benci berbohong, “A-aku selebriti online. Kau tahu—terkenal karena Twitter. Begitulah.”

 

“Sungguh?” Mata Jeonghan membelalak kagum, “Kau blogger? Atau vlogger?”

 

“Bukan keduanya. Aku terkenal karena—”

 

“CHOI SEUNGCHEOL-SSI! Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu dan pujaan hatimu!”

 

Kepala Seungcheol terkulai lemas di atas meja ketika suara Chan mengagetkan mereka berdua. Bertemu Chan saat ia sedang berduaan dengan Jeonghan adalah hal terakhir dalam daftar ‘hal paling memalukan’. Chan membungkuk sopan ke arah Jeonghan lalu memukul kepala Seungcheol.

 

Ya! Kenapa kau tidak bilang kalau sedang berkencan? Kalau begini kan aku bisa update status tentang kalian.” Chan tampaknya lebih bersemangat. Ia memperkenalkan diri pada Jeonghan, “Yoon Jeonghan-hyung, akhirnya kita bertemu. Selama ini aku hanya mengenalmu melalui sketsa. Salam kenal, aku Lee Chan.”

 

Jeonghan melemparkan pandangan ‘apa yang terjadi’ pada Seungcheol yang sudah ingin berteriak mengusir Chan. Demi menjaga kesopanan, Jeonghan pun memperkenalkan dirinya meski Chan sudah tahu namanya. Ia tidak mengerti mengapa hampir semua teman-teman Seungcheol mengenalnya.

 

“Bolehkah aku berfoto bersama kalian?” Sebelum mendapat persetujuan, Chan sudah mengeluarkan ponsel lalu selfie dengan latar belakang Seungcheol dan Jeonghan.

 

Jeonghan melipat tangan di depan dada, “Choi Seungcheol-ssi, sepertinya ada yang harus kau jelaskan padaku.”

 

“Uh,” Seungcheol meringis, “Haruskah?”

 

***

 

Jeonghan tidak berhenti tertawa mendengarkan penjelasan Seungcheol sepanjang perjalanan pulang. Siapa sangka perjuangan Seungcheol untuk mencarinya ternyata begitu keras, hingga melibatkan begitu banyak orang dan juga berkat bantuan internet. Bila dibandingkan dengan dirinya yang tidak melakukan apa-apa untuk mencari Seungcheol, walaupun Mingyu bersikeras membantunya. Karena itulah ia merasa tidak percaya diri di depan Seungcheol.

 

“Maafkan aku, hyung. Ini semua salah Chan kini orang-orang mengira terjadi sesuatu di antara kita. Mereka menyebutmu pujaan hatiku.” Seungcheol membungkuk meminta maaf.

 

“Kau tidak salah, Seungcheol-ssi, jangan seperti ini. Seandainya kau tidak melakukan ini semua, mungkin kita tidak akan bertemu. Terimakasih atas usahamu, Choi Seungcheol-ssi.” Giliran Jeonghan yang membungkukkan tubuh, “Terimakasih sudah berusaha keras untuk mencariku.”

 

Rasanya berbeda ketika seseorang beterimakasih atas kerja keras Seungcheol. Bisa dibilang ia sangat bangga memiliki teman-teman yang begitu mempercayainya serta setia membantunya. Ia tidak tahu apa jadinya tanpa bantuan Seungkwan, Jisoo juga sepupu Jisoo, Seokmin. Begitu pula dengan bantuan Chan dan teman-teman dari SMA lain yang sukarela menyebarkan sketsa Jeonghan waktu itu.

 

Seungcheol sangat bersyukur memiliki mereka semua—orang-orang yang tidak meninggalkannya ketika dunia menganggapnya tidak waras karena kehilangan pantulan di cermin.

 

Tiba-tiba ia meraih kedua tangan Jeonghan, menggenggamnya erat, “Kalau begitu jangan kecewakan aku, hyung. Kita harus bekerjasama mengembalikan pantulan kita.”

 

Jeonghan tidak segera menjawab.

 

BERSAMBUNG

 

A/N:

Apa kabar cantik-cantik dan ganteng-gantengnya Seventeen? Hahahaha ketemu lagi di Chapter 3 Chasing Reflection. Akhirnya Jeonghan dan Seungcheol ketemu juga. Dikomen dong gimana menurut kalian nih? Yang kurang apa nih?

Oh ya, kalo masih ada yang bertanya : Ya, Jeonghan udah kuliah dan lebih tua dari Seungcheol. Karena ini AU (Alternate Universe) jadi Jeonghan dan Seungcheol gak seumuran .

Terus si Mingyu yawwlaaahh galau bener tuh anak. Posesip posesip ama Emak demi apaaah.

Oh ya, kalo kalian mau nyimpen HQ version editan Jeongcheol buatan kami yang ada di tiap chapter, bisa mampir ke Twitter kami dengan username sama : caratsfiction

Okedeh, doain ya biar kami update nya secepet kilat menyambar biar kalian gak nunggu lama-lama, tapiiii dikomen ama disubscribe dong biar perjuangan kami tidur malem nggak sia-sia (lagian sapa suruh begadang ye. XD)

Thank you!

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
caratsfiction
Update Chasing REFLECTION 04

Comments

You must be logged in to comment
lily199iusinger
#1
Chapter 2: I, too, want to use google translate. I saw the translated english version of this on ao3. The story is just so perfect! I‘m currently left hanging, thanks for this!
pinkrose8899 #2
Chapter 11: finally~ thank you for making this lovely story, author nim!^^
pinkrose8899 #3
Chapter 9: yay, finally official~~~
pinkrose8899 #4
Chapter 3: when you lowkey ship gyuhan :3
pinkrose8899 #5
Chapter 2: eak jww gak tsundere :3
pinkrose8899 #6
Chapter 1: daku jadi inget ftv trans tv masa yg toko kramat itu xD
Shirsha23 #7
i'm getting tempted to use google translate istg!! can't wait for you to update the eng ver. but of course (its hard to say) take your time~~~
Shirsha23 #8
teach me your language lol!!! i want to read this so much i'd cry!!!!
zyx1004 #9
Chapter 11: Gils ceritanya mindblowing tapi seru!
nurhusnamustafa #10
Chapter 11: This is the best !!!!