Chapter 01

CHASING REFLECTION

Sambil berlari terengah-engah, Choi Seungcheol berusaha menerobos kerumunan siswa yang juga sedang berlomba memasuki lapangan sekolah sebelum gerbang ditutup. Ia tidak ingin menjadi siswa yang terlambat di hari Senin. Semua orang tahu, Hyongu High School tidak menolerir siswa terlambat terutama di hari Senin. Hukumannya adalah berlari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh hingga dua puluh putaran. Tidak hanya itu, mereka juga diwajibkan membuat esai dengan topik yang ditentukan oleh guru piket yang mengawasi siswa terlambat.

 

“LIMA!” Guru piket hari ini adalah Kepala Sekolahnya, Seo Dalsoo-ssi. Beliau mulai menghitung mundur sebelum menutup gerbang.

 

Seungcheol mempercepat larinya. Ia merutuk karena jalan setapak menuju sekolahnya cukup jauh.

 

“EMPAT!”

 

Sial! Siswi di depannya itu sempat berhenti untuk membenarkan tali sepatu sehingga ia harus berhenti sejenak. Lalu ia kembali berlari.

 

“TIGA, DUA!”

 

Ia jatuh terjungkal setelah menabrak dua siswa yang juga tergesa-gesa sepertinya. Mereka bertiga sempat beradu pandang dengan mata melotot, namun tiba-tiba teringat akan situasinya dan buru-buru berlari lagi.

 

“SATU!”  PRIIIITTTT! Kepala Sekolah Seo meniupkan peluit dan gerbang ditutup perlahan-lahan.

 

Tinggal selangkah lagi! Seungcheol memiringkan tubuhnya agar cukup memasuki celah gerbang yang mulai tertutup. Tak disangka, Kepala Sekolah Seo berusaha menghalanginya masuk sehingga tubuh mereka bertubrukan. Seungcheol tidak sengaja menindih Kepala Sekolah Seo.

 

Adegan yang seharusnya romantis untuk drama percintaan itu berubah mengerikan. Seungcheol bertatapan dengan Kepala Sekolah Seo yang membelalak kaget dalam posisi yang sangat mencurigakan itu.

 

“KAU! BERDIRI!” Kemudian dengan histeris, lelaki paruh baya bertubuh tambun dan pendek itu meniupkan peluit berkali-kali.

 

“Ma-maaf, Kepala Sekolah Seo!”

 

Seungcheol segera berdiri, mengulurkan tangan untuk membantu kepala sekolahnya yang sejak tadi kesulitan bangkit dari posisi terjerembab, dan ketika itu ia melihat siswa-siswi lain yang berada di luar gerbang sedang mengarahkan ponsel-ponsel mereka ke arah Seungcheol dan Kepala Sekolah Seo.

 

Adegan tindih-menindih antara dirinya dan Kepala Sekolah Seo pasti akan menjadi bahan pembicaraan dahsyat hingga beberapa hari ke depan, bila ia sedang beruntung. Bila tidak beruntung, rekaman video dan fotonya akan menjadi viral dan tersebar di internet untuk beberapa minggu setelahnya.

 

“Posisi yang bagus.” Dua siswa yang tadi tidak sengaja bertubrukan dengannya rupanya ikut mengabadikan kejadian itu. Seungcheol mengarahkan jari tengah pada segerombolan siswa yang menertawakan dirinya.

 

Kepala Sekolah Seo geram sekali dengan kelakuan mereka. Beliau meniupkan peluitnya sekali lagi, “KALIAN SEMUA! SERAHKAN PONSEL KALIAN!”

 

Wajah mereka pun memucat. Namun Seungcheol melihat beberapa di antara mereka sempat mengutak-atik ponsel sebelum menyerahkannya pada Kepala Sekolah Seo. Entah mereka memasang password ganda atau mungkin menyembunyikan video dan foto Seungcheol menindih Kepala Sekolah Seo di folder super rahasia.

 

Beberapa guru menghampiri Kepala Sekolah Seo untuk membantu menyita ponsel-ponsel siswa, serta mencatat nama-nama mereka untuk selanjutnya digiring ke lapangan demi menjalani hukuman lari. Seungcheol tidak berani bereaksi dan hanya menundukkan kepala. Ia berharap Kepala Sekolah Seo tidak memberinya hukuman. Sudah cukup rasa malunya karena mengalami adegan tidak mengenakkan itu.

 

“Dan kau!” Kepala Sekolah Seo menunjuk dirinya. Seungcheol menelan ludah karena gugup, “Lekas ke ruangan saya!”

 

Bedebah.

 

***

 

Dari jendela di dekat tempat duduknya, Seungcheol dapat melihat siswa-siswi yang terlambat itu sedang menjalani hukuman lari keliling lapangan dipimpin oleh guru olahraga. Meski ia tidak ikut serta dalam hukuman fisik yang membuat ia berpeluh, tapi ia kini harus duduk sendirian di ruang Kepala Sekolah Seo sembari menunggu beliau berganti pakaian. Beliau bilang pakaiannya sudah ternodai oleh Seungcheol sehingga beliau harus segera menggantinya. Menyebalkan sekali, memangnya ia kotoran?

 

Ia menghela nafas panjang sembari mengecek ponselnya yang sedari tadi bergetar-getar. Belasan notifikasi masuk dan ia tidak mengerti apa yang terjadi. Ketika ia membuka pesan dari salah satu teman sekelasnya, Seungkwan, ia sangat terkejut mendapati pesan berisi foto kejadian tadi pagi itu.

 

From : Seungkwan

Message:  Kau hina sekali. Tidak punya pacar bukan berarti harus dengan Kepala Sekolah Seo botak itu!

 

Seungcheol kehilangan kata-kata. Ia segera membalas pesan itu.

 

To : Seungkwan

Message : Brengsek kau, Seungkwan! Itu adalah kecelakaan.

 

From : Seungkwan

Message : Tapi videonya sudah tersebar di Vine milik Chan. Juga di Twitter. Aku sudah menyebut namamu.

 

Seandainya ia tidak harus menunggu di ruang Kepala Sekolah Seo, Seungkwan sudah hancur berkeping-keping.

 

To : Seungkwan

Message : Kau ini sahabat macam apa? Bukannya membantu, malah memperparah?

 

From : Seungkwan

Message : Cheol-ah, jarang sekali kami mendapat kejadian menarik seperti ini! Kami bersyukur.

 

To : Seungkwan

Message : Brengsek kau.

 

Terdengar suara pintu dibuka, kemudian Seungcheol buru-buru memasukkan ponselnya ke saku celana. Ia tidak ingin bernasib sama dengan teman-temannya yang harus menyerahkan ponsel pada Kepala Sekolah Seo. Ia berdiri untuk membungkukkan tubuh ke arah Kepala Sekolah Seo.

 

“Sekali lagi saya minta maaf, Kepala Sekolah Seo. Saya hanya tidak ingin terlambat. Saya—”

 

Kepala Sekolah Seo mengarahkan telapak tangannya di depan wajah Seungcheol untuk membuatnya berhenti mengoceh, “Cukup. Saya tidak mau dengar. Duduk.”

 

Seungcheol kembali duduk di kursi di hadapan meja Kepala Sekolah Seo. Tubuh mungil Kepala Sekolah Seo tenggelam di kursi kulit besar tertutupi meja tinggi itu hingga hanya tampak bagian wajahnya saja.

 

“Siapa namamu?”

 

“Choi Seungcheol. Kelas 3-C, bangku nomor dua dari belakang, tiga dari jendela dan—”

 

“Cukup, cukup. Apa ini kebiasaanmu—berbicara tanpa henti?”

 

Seungcheol menggeleng pelan, “Maaf.

 

Tentu saja Seungcheol gugup berhadapan dengan kepala sekolahnya. Selain karena jabatan beliau, Kepala Sekolah Seo terkenal dengan sikapnya yang tegas dan dingin. Walaupun orang-orang berkata beliau terlihat menggemaskan karena bentuk tubuhnya yang tambun dan pendek, namun tidak ada yang lucu dari sikap beliau. Bahkan dengan guru-guru pun, beliau sangat sulit untuk akrab. Tiap kali beliau berjalan, serasa ada awan hitam yang mengelilingi. Terkadang jika mood beliau sedang tidak baik, awan hitam itu disertai dengan kilat dan gerimis.

 

Kepala Sekolah Seo menghembuskan nafas, “Seharusnya saya menghukummu setimpal dengan perbuatanmu. Tapi dari pengamatan saya sejak tadi—jangan salah, saya mengamatimu sejak tadi melalui CCTV itu dan itu—” Beliau menunjuk dua CCTV yang terletak di dekat pintu dan dekat meja beliau. Seungcheol bergidik ngeri, “... saya menyimpulkan bahwa kau bukan anak yang menyebalkan. Kalau kau anak yang menyebalkan, pastinya kau sudah menjelajahi ruangan saya karena penasaran, kan?”

 

Seungcheol menelan ludah, “Saya tidak berani menjelajahi ruangan ini.

 

“Hmm, baguslah. Oleh karena itu, sebagai ganti hukuman, maka kau harus menunggu kiriman barang-barang antik saya di ruangan ini.”

 

“Ha?” Itu lebih parah dari hukuman lari, “Jadi saya harus menunggu di ruangan ini? Sampai kapan?”

 

Kepala Sekolah Seo mengedikkan bahu, “Entah. Tadi pengirim barang mengabari akan datang pukul sepuluh. Tapi saya ada rapat penting dengan para guru dan kepala yayasan. Saya juga tidak ingin rapat tersebut terganggu oleh pengirim barang. Maka kuutus kau untuk menjaga ruangan ini sementara pengirim barang akan meletakkan barang antik itu di ruangan ini.”

 

Ia mengumpat dalam hati. Pasti Kepala Sekolah Seo mengamati perubahan ekspresinya sebab tiba-tiba beliau bertanya, “Apa ada yang salah?”

 

“Uhm tidak, Kepala Sekolah Seo. Saya merasa terhormat bisa menjadi orang kepercayaan Kepala Sekolah Seo.

 

Beliau tersenyum puas sembari mengangguk-anggukkan kepala botaknya, “Bagus kalau begitu. Biar saya yang meminta izin guru kelasmu agar kau diberi kebebasan hari ini untuk menjaga ruangan saya. Ini tugas mulia. Kau bayangkan saja, ini seperti tugas kepresidenan. Kau mengerti?”

 

Dengan amat sangat terpaksa, Seungcheol mengangguk lemas.

 

***

 

“Psst! Psst!”

 

Seungcheol mengitarkan pandangan, mencari arah asal suara bisikan itu.

 

“Psst! Bodoh! Psst!”

 

Kepala Seungkwan melongok dari pintu masuk ruangan Kepala Sekolah Seo yang terbuka sedikit. Ia menyeringai jahil.

 

“Apa yang kaulakukan di sini? Kalau kepala sekolah tahu, kau bisa dihukum!” Seungcheol berusaha tidak mengeluarkan suara keras. Ia khawatir CCTV itu juga bisa menangkap suaranya.

 

Seungkwan mengedarkan pandangan ke arah dua CCTV itu, kemudian melirik jam tangannya sambil menghitung sesuatu, dan dengan tenangnya berjalan masuk ke dalam ruang Kepala Sekolah Seo. Seungcheol bangkit dari duduknya sambil setengah berlari mendorong tubuh Seungkwan agar keluar dari ruang itu.

 

“Kau tidak boleh berada di sini! Apa-apaan sih? Bisa-bisa kepala sekolah melihatmu dari CCTV.”

 

“Tenang. Aku sudah menyuruh Jisoo mematikan jaringan CCTV selama sepuluh menit.”

 

“Yang benar saja?”

 

Hong Jisoo, salah satu teman sekelasnya, adalah seseorang yang jago komputer terutama dalam hal meretas. Di usia lima belas tahun, kepolisian wilayah setempat pernah meminta bantuannya untuk meretas jaringan komputer seorang penculik dan karena jasa Jisoo, anak-anak korban penculikan itu tidak sampai terbunuh.

 

“Kubawakan jus untukmu. Siapa tahu kau haus.”

 

Seungcheol berbinar menerima sekaleng jus dari tangan Seungkwan, “Ah, terimakasih Seungkwan. Kau memang teman yang baik.”

 

“Terakhir kali kau menyebutku brengsek.

 

“Bukankah brengsek adalah panggilan akrabmu sejak dulu?” Seungcheol menjulurkan lidah lantas menenggak isi kalung jus itu hingga habis.

 

“Sialan kau.” Seungkwan meraih kaleng kosong itu untuk dibuangnya di sampah luar. Ia tidak ingin Kepala Sekolah Seo curiga bila ada kaleng jus kosong di sampahnya.

 

“Hei, apa yang terjadi dengan videoku dan Kepala Sekolah Seo itu?” Tiba-tiba ia teringat pada kejadian tadi pagi.

 

Tawa Seungkwan meledak, “Luar biasa! Video itu sudah tersebar di sekolah lain juga. Aku tidak menyangka banyak siswa sekolah lain yang mengenal Kepala Sekolah Seo. Bahkan ada yang sudah membuat versi remix nya.” Seungkwan menunjukkan akun Twitter miliknya pada Seungcheol, “Lihat, lihat. Mereka membuat tagar #SeoCheol. Kau sudah punya nama OTP.”

 

“OTP OTP, seenaknya saja kau!” ketus Seungcheol. Ia dan Kepala Sekolah Seo sangat jauh dari yang namanya One True Pair.

 

“Hahaha, ya sudahlah. Terima kasih sudah menghibur kami dengan kebodohanmu tadi pagi ya, Sobat.” Seungkwan berjalan menuju pintu.

 

Seungcheol membelalak, “Akan kubalas kau.”

 

“Bye!” Ia melemparkan cium jauh pada Seungcheol yang hanya dibalas dengan pura-pura muntah.

 

***

 

Pukul sebelas lewat tiga belas menit, setelah sekian lama bosan menunggu tanpa berani bergerak karena dalam pengawasan CCTV, akhirnya pengirim barang pesanan Kepala Sekolah Seo datang juga. Dua orang mengenakan seragam berwarna biru tua itu meminta izin untuk meletakkan barang-barang antik pesanan Kepala Sekolah Seo.

 

Selain terkenal dengan sikapnya yang dingin, beliau juga terkenal dengan kesukaannya terhadap barang antik. Tidak hanya di kantor, beliau juga mengoleksi barang-barang antik di rumah. Sekarang ini sepertinya Kepala Sekolah Seo ingin memperbarui koleksi barang antik di ruang kantornya. Beliau memesan cermin seukuran tubuh, vas bunga antik dan lampu antik.

 

Ketiga petugas pengirim barang menanyai Seungcheol di mana mereka harus meletakkan barang-barang itu, sejujurnya ia sudah panik. Ia takut salah meletakkan namun ia juga tidak bisa membiarkan kedua petugas itu terus membawa barang-barang tersebut.

 

“Tolong letakkan vas bunga di atas meja kecil itu. Kemudian lampu antik di atas meja yang ini,” Ia menunjuk meja utama yang digunakan Kepala Sekolah Seo untuk bekerja.

 

“Cerminnya?”

 

Perhatian Seungcheol terpusat pada cermin berbingkai ukiran itu. Cermin itu memantulkan bayangan dirinya dengan jernih, seakan ia benar-benar melihat kembaran dirinya. Cermin itu menghipnotis Seungcheol, membuatnya kehilangan konsentrasi sepersekian detik hingga pengirim barang itu harus memanggilnya beberapa kali. Seungcheol tersadar.

 

“Uh, apa? Ya? Maaf saya tidak fokus.” ujarnya sambil membungkukkan tubuh, meminta maaf.

 

“Di mana harus saya letakkan cermin ini?”

 

“Di situ saja. Di samping jendela. Biar aku saja yang nanti mengubahnya bila Kepala Sekolah Seo tidak suka posisi cerminnya.”

 

Lagi-lagi Seungcheol mengamati cermin itu sampai ia kehilangan fokus. Pengirim barang menepuk bahunya lalu menyerahkan kuitansi pembayaran dan beberapa kertas yang harus ia tandatangani. Ia mengucapkan terimakasih dan mengantar mereka keluar ruangan.

 

Alih-alih kembali ke kelasnya, Seungcheol masih bertahan di ruangan Kepala Sekolah Seo, kerap memandangi cermin dengan pandangan kosong. Tangannya terulur untuk menyentuh permukaan cermin yang begitu mengilap. Pantulan dirinya di cermin itu tampak nyata—begitu nyata dan tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

 

Seungcheol menelengkan kepalanya ke samping, khawatir pantulan dirinya tidak sesuai dengan apa yang ia lakukan. Ternyata tidak. Itu adalah cermin biasa. Hanya saja bentuknya unik dan cerminnya yang jernih.

 

“Apa yang kulakukan sih? Kenapa aku masih di sini?” Ia mengedikkan bahu, berbalik pergi menuju pintu keluar.

 

Langkahnya terhenti. Keraguan merayapinya. Ia tidak ingin keluar dari ruangan itu. Entah ada hal magis apa yang memanggilnya untuk kembali ke arah cermin. Dan Seungcheol menurutinya.

 

Kini ia berdiri berhadapan dengan pantulan dirinya. Ia mengerjapkan mata, entah mengapa mengharapkan adanya perubahan atau perbedaan pada dirinya.

 

Tidak terjadi apa-apa. Hanya dirinya serta cermin itu di ruang Kepala Sekolah Seo yang sunyi.

 

Lamunannya buyar ketika mendengar bel istirahat berbunyi. Segera ia berlari keluar ruang Kepala Sekolah Seo.

 

***

 

“Kau tampak pucat.” komentar Seungkwan saat mereka berada di kamar mandi.

 

Seungcheol menggelengkan kepala, lantas membasuh wajahnya beberapa kali. Meski tak berpeluh, berada di dalam ruang Kepala Sekolah Seo membuatnya lelah dan sedikit frustasi. Bagaimana tidak? Ia harus duduk manis, tidak bisa ke mana-mana selama beberapa jam karena dalam pengawasan CCTV.

 

Ia menengadahkan kepalanya ke arah cermin di atas wastafel kemudian berteriak histeris. Seungkwan dan beberapa temannya yang ada di kamar mandi ikut terkejut.

 

“Kau ini kenapa sih?” Seungkwan memukul kepalanya.

 

Seungcheol tidak dapat berkata-kata. Telunjuknya mengarah pada cermin di hadapannya. Bibirnya dan tangannya gemetar.

 

“I-itu...”

 

“Itu pantulan wajahmu sendiri. Memangnya kenapa?”

 

“Bukan!” bentaknya. Kini teman-temannya berdiri mengerumuni Seungcheol dan Seungkwan untuk mencari tahu apa yang terjadi.

 

Seungkwan memegangi kedua bahu Seungcheol dan memaksanya agar memandang ke arah Seungkwan, “Hei, hei! Kau tidak apa-apa? Mungkin kau perlu ke UKS. Sejak tadi kau aneh sekali.”

 

“Itu bukan aku!” jerit Seungcheol panik. Ia meletakkan kedua telapak tangannya di cermin, “Ini bukan wajahku!”

 

Seungkwan dan teman-teman lainnya saling bertukar pandang bingung, “Itu wajahmu, dasar bodoh. Memangnya kau anggap dirimu siapa?”

 

“Kau tidak melihatnya? Itu bukan wajahku. Itu wajah orang lain.”

 

Seungkwan meminta persetujuan teman-temannya, “Apa yang kaulihat, teman-teman?”

 

Mereka serempak menjawab, “Itu Seungcheol.”

 

“Apa kubilang... Itu wajahmu. Bukan wajah orang lain.” Seungkwan mengedikkan bahu kemudian memaksa agar Seungcheol ikut dengannya ke UKS, “Ayolah, Cheol-ah, kau harus beristirahat di UKS daripada orang-orang mengiramu sudah tidak waras. Apa tidak cukup tagar #SeoCheol? Apa harus ditambah dengan tagar #CheolGila?”

 

Seungcheol menyentakkan tangan Seungkwan yang mencengkeram lengannya, “Sudah kubilang, itu bukan wajahku!” Ia berlari dari kamar mandi, menerobos kerumunan teman-teman yang ternyata berkumpul di depan kamar mandi karena mendengar teriakan Seungcheol.

 

“Seungcheol!” Seungkwan mengejar sahabatnya itu, berusaha menyejajari langkahnya untuk bicara baik-baik, “Hei, bagaimana kalau kita bolos saja? Tidak usah ke UKS. Setuju?”

 

“Tolong pinjamkan aku cermin....”

 

***

 

Mereka akhirnya membolos di gudang sekolah. Seungkwan memiliki kunci cadangan gudang sekolah. Lebih tepatnya ia mencurinya.

 

“Apa yang kaulihat?” Seungkwan melongok melalui bahu Seungcheol, mencari tahu apa yang membuat Seungcheol bercermin dengan cermin milik teman wanita di kelasnya.

 

“Wajah orang lain....” bisiknya.

 

“Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu, Seungcheol. Apa orang lain itu adalah orang yang kau kenal?”

 

“Tidak....”

 

Kedua alis Seungkwan bertaut, “Tunggu... jadi maksudmu, yang sekarang kau lihat adalah wajah orang yang sama sekali belum pernah kau temui?”

 

Disahuti dengan anggukan Seungcheol.

 

“Jadi... tidak ada kemungkinan kau berhalusinasi bertemu orang yang kau kenal?”

 

Ia kembali menganggukkan kepala.

 

“Lalu bagaimana ini bisa terjadi?”

 

Masih menatap pantulan wajahnya di cermin, Seungcheol meraba rambut dan pipi menggunakan tangan kirinya, lalu mendarat di bibir. Ia terpekur cukup lama. Kemudian ia mengerjapkan mata, memonyongkan bibir dan tersenyum lebar.

 

“Aku juga tidak tahu sejak kapan ini terjadi. Sebab waktu aku tadi bercermin di ruang kepala sekolah, semuanya masih baik-baik saja. Tiba-tiba waktu kita ke toilet, wajahku sudah berubah.”

 

“Hmm, memangnya seperti apa sih cermin di ruang Kepala Sekolah Seo?”

 

Seungcheol menatap ke arah tembok bercat lusuh, berusaha mengingat tentang cermin di ruang Kepala Sekolah Seo. Dalam ingatannya, tidak ada yang aneh dengan cermin tersebut. Hanya terbingkai ukiran dan pantulannya yang jernih, “Cermin biasa. Seukuran tubuh kita. Ada ukiran di sekelilingnya. Tidak ada yang aneh.”

 

“Kalau tidak ada yang aneh dengan cermin Kepala Sekolah Seo, lantas kenapa kau berhalusinasi melihat bayangan orang lain?”

 

“Aku tidak berhalusinasi, Seungkwan. Dan mataku juga tidak rusak.” Ia menghadap ke arah Seungkwan. Pandangannya putus asa, “Seungkwan, apa yang terjadi padaku?”

 

Terbersit ide di pikiran Seungkwan. Ia mengeluarkan ponsel, menyuruh Seungcheol untuk tetap dalam posisi bercermin. Ia pun mengambil gambar pantulan Seungcheol dalam cermin, selayaknya fotografer profesional yang mengabadikan gambar pengantin di kamar rias.

 

Lalu mereka memeriksa foto itu bersama sambil berharap wajah orang lain itu tertangkap kamera. Rupanya tidak. Hanya dari mata Seungcheol, wajahnya tampak berbeda. Bila diabadikan dengan kamera, wajahnya tetap sama—wajah Seungcheol.

 

“Aaah! Aku sebal!” Hampir saja Seungcheol membanting cermin di tangannya kalau saja Seungkwan tidak buru-buru mencegahnya karena cermin kecil itu milik orang lain.

 

“Hei! Itu bukan milikmu! Jangan dibanting.”

 

Seungcheol merengut, “Menyebalkan. Aku tidak bisa melihat wajahku lagi. Bagaimana kalau ini akan terjadi selamanya? Apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan keadaan seperti semula?”

 

Tidak ada sahutan dari bibir Seungkwan. Solusi yang diharapkan Seungcheol tidak ia dapat.

 

***

 

Seungcheol tidak ingin pulang ke rumah. Ia sangat takut melihat pantulan dirinya di cermin. Permasalahannya, hampir delapan puluh persen area rumahnya terdapat cermin dan kaca. Ayahnya adalah seorang arsitektur yang menyukai gaya modern bertema ‘rumah cermin’. Di tiap sudut rumah terdapat cermin. Seluruh dinding bagian belakang dan depan terbuat dari kaca anti peluru. Meskipun rumahnya minimalis, namun efek kaca itu dapat membuat lebih luas—kata ayahnya.

 

Sekarang rumah Seungcheol adalah tempat terakhir yang ingin ia kunjungi. Tentu saja ia merindukan rumah, tetapi bagaimana ia bisa hidup tenang bila pantulan dirinya adalah diri orang lain?

 

Ragu-ragu ia melangkahkan kaki ke teras rumah. Rasanya berat sekali untuk memasuki rumahnya.

 

“Aku pulang.” Suaranya tercekat. Dari dalam terdengar sahutan ibunya yang menyuruhnya untuk lekas masuk dan mandi.

 

Ia berjalan menunduk menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Ibunya baru keluar dari dapur, memergoki Seungcheol yang bertampang murung dan penuh dengan aura hitam.

 

“Kau kenapa, Cheol-ah?”

 

“Hanya lelah, Bu.”

 

“Cepat mandi lalu turun untuk makan malam.”

 

Seungcheol tidak menyahut dan berjalan ke kamarnya sambil menutup mata. Ia tahu di sisi kiri dan kanannya akan terdapat banyak cermin. Belum lagi di lorong lantai dua yang layaknya dunia cermin. Kehidupannya setelah ini akan menjadi mimpi buruk. Diam-diam ia sedikit melirik untuk memeriksa apakah pantulannya sudah kembali menjadi dirinya yang semula. Ternyata tidak.

 

Sungguh ia sangat malas untuk mandi apalagi cermin kamar mandi di rumahnya begitu besar seperti di hotel. Bahkan handuk pun tak cukup untuk menutupinya. Mana mungkin ia harus memejamkan mata sepanjang ia membasuh tubuhnya?

 

Ketika ia masuk ke kamar mandi, mulai mengganti seragamnya dengan kaos santai, ia benar-benar tidak berani membuka mata. Namun rasa penasarannya lebih besar daripada ketakutannya. Akhirnya Seungcheol menatap pantulan dirinya yang bertelanjang dada di depan cermin.

 

Jelas itu bukan tubuhnya. Dari wajah hingga sebatas dada, itu sama sekali bukan miliknya. Tubuhnya tidak sekurus itu dan lagi ia tidak memiliki luka panjang di lengan kiri. Lelaki tak dikenal yang kini ia pandangi itu memiliki wajah masih muda, mungkin seusia Seungcheol. Panjang rambutnya sebatas leher, mirip seperti model majalah—lebih panjang dari rambut Seungcheol, yang tentunya tidak diperbolehkan di sekolahnya atau guru piket akan memotongnya dengan paksa. Poninya juga cukup panjang, disisir menyamping.

 

Manik mata kecoklatan yang bulat dan besar. Sepasang mata yang tak lazim dimiliki seorang laki-laki. Mata ini mirip tipikal mata gadis-gadis cantik di sekolahnya. Jemari Seungcheol meraba bibir barunya—ya, bibir merah ranum yang pastinya membuat iri gadis-gadis.

 

Bagaimana mungkin wajah Seungcheol berubah menjadi begitu cantik seperti ini?

 

Pandangannya turun ke bawah, lebih tepatnya ke bagian bahu dan dada. Seungcheol merasa tidak nyaman melihat bagian tubuh laki-laki lain dan mengamatinya seolah ia orang mesum. Bergegas dikenakannya kembali kaos miliknya dan berlari keluar kamar mandi. Untuk sementara ia tidak mau mandi.

 

Baru berjalan beberapa langkah dari kamar mandi, muncul keinginan buang air kecil. Tiba-tiba terbersit pikiran paranoid—bagaimana kalau halusinasinya sudah melebihi pantulan di cermin? Apa ia akan melihat bagian tubuh yang paling privat milik lelaki lain? Tapi ia tidak mungkin menahan diri untuk buang air kecil selama beberapa hari.

 

Dengan amat sangat terpaksa—dan menutup satu matanya—ia membuka risleting celana di depan toilet. Selanjutnya ia menghela nafas lega sebab benda paling pribadi itu masih tetap miliknya. Tidak berubah sama sekali. Jadi ia tidak perlu merasa canggung selama ia tidak memandangi bagian tubuhnya itu dari pantulan kaca.

 

Kini misi utamanya adalah menutupi semua cermin yang ada di kamar mandi selama ia mandi. Ia turun ke lantai satu untuk mencari selimut yang belum dicuci lalu melebarkannya sepanjang kaca kamar mandi. Ia menggunakan selotip besar untuk menempelkan selimut itu di kaca. Sementara itu, ibunya menganggapnya sudah mulai stres akibat dekatnya waktu kelulusan. Seungcheol tidak peduli.

 

Ia mandi sambil membelakangi cermin, sehingga bila selimut itu jatuh ia tidak perlu berteriak histeris melihat bagian privat lelaki lain.

 

Seusai mandi, ia melepas selimut itu dan menggunakannya untuk menutupi kepala sepanjang perjalanan menuju kamarnya. Berjalan di lorong rumahnya seolah menjadi siksaan tersendiri. Sesampainya di kamar, Seungcheol menutupi cermin besar di kamarnya dengan selimut.

 

Ia berjingkat kaget dengan dering ponselnya sendiri. Seungkwan meneleponnya.

 

“Aku bersama Jisoo di kafe dekat rumahmu.”

 

Seungcheol tertegun. Sejak kapan Seungkwan dekat dengan Jisoo?, “Kalian berkencan?”

 

“Sial—Tidak! Seandainya kau bukan temanku, kubatalkan rencanaku untuk membantumu, kau tahu?”

 

“Baiklah, baiklah. Memangnya ada ide apa untuk membantuku?”

 

“Jisoo meretas rekaman CCTV dan mencari tahu apa yang terjadi denganmu di ruang Kepala Sekolah Seo. Kau harus kemari.”

 

“Sekarang?”

 

“Tahun depan—YA! Sekarang!”

 

“Oh, oke. Aku akan segera ke sana.”

 

***

 

Seungcheol melangkahkan kaki menuju kafe yang terletak dekat rumahnya. Kafe tersebut tak pernah sepi. Ia sendiri heran karena tidak biasanya Seungkwan mengajak bertemu di kafe. Sahabatnya itu sulit mengeluarkan uang meski hanya satu won.

 

“Hei, maaf aku terlambat. Kalian sudah menunggu lama?” ujar Seungcheol sembari menarik kursi di samping kursi Seungkwan. Ia mengangguk singkat ke arah Jisoo yang hanya sedetik mengalihkan pandangan dari laptopnya.

 

“Sudahlah, cepat duduk. Kau harus melihat ini.” Seungkwan mengarahkan layar laptop milik Jisoo kepada Seungcheol agar ia bisa melihatnya.

 

“Aku meretas rekaman CCTV milik Kepala Sekolah Seo. Lalu kutemukan rekaman dirimu memandangi sesuatu yang tidak tertangkap CCTV karena letaknya di luar jangkauan kamera CCTV.” Jisoo menjabarkan.

 

Seungcheol melihat rekaman dirinya berdiri mematung selama kurang lebih lima menit, seperti yang terpampang dalam rekam waktu di CCTV. Ia sama sekali tidak bergerak, bagai kerasukan.

 

“Kau ingat itu benda apa?”

 

“....cermin....” gumamnya sangat pelan.

 

“Ha?” Bersamaan, Jisoo dan Seungkwan menyahut.

 

“Itu cermin antik milik Kepala Sekolah Seo... Rasanya aku terhipnotis untuk terus memandangi cermin itu.”

 

“Mungkin cerminnya indah sekali ya. Apa benar?” Jisoo ingin memastikan. Seungcheol menggelengkan kepala.

 

“Cermin biasa saja. Tapi rasanya ada kekuatan yang menarikku agar terus melihat ke arah cermin itu.”

 

“Lalu... apa kau melihat ada yang aneh? Melihat bayangan orang lain juga?”

 

Seungcheol berpikir sebentar sebelum menjawab tidak. Tentu saja kedua temannya itu bingung sebab apabila tidak ada yang aneh dari cermin milik Kepala Sekolah Seo, lantas apa yang menyebabkan Seungcheol berhalusinasi?

 

“Aku mulai melihat bayangan orang lain seusai keluar dari ruang Kepala Sekolah Seo. Dan kalian tahu, di kamar mandi pun aku melihat orang lain! Orang itu imut sekali, tipikal lelaki cantik di televisi!” Menggebu-gebu, Seungcheol mulai menceritakan detail yang ia lihat di cermin, “Dan ia punya luka besar di lengannya,” Ia menggulung kaos yang ia kenakan untuk menunjukkan luka di lengan kiri yang hanya bisa dilihat melalui cermin.

 

Sadar akan hal itu, ia tersenyum kaku sambil menurunkan lengan bajunya lagi, “Mian, kalian kan tidak bisa melihat apa yang kulihat di cermin....”

 

“Baguslah aku tidak bisa melihat hal aneh itu daripada mataku ternoda.” seloroh Seungkwan.

 

“Apa maksudmu?” Bibir Seungcheol mengerucut lalu Seungkwan memukul kepalanya.

 

“Sudah kau tak perlu berakting imut! Di mata kami, kau tetaplah Seungcheol, bukan laki-laki imut yang kaulihat itu!”

 

Jisoo menahan tawa kemudian mengiyakan. Bagaimanapun, satu-satunya yang melihat pantulan berbeda itu hanyalah Seungcheol. Sedangkan Seungkwan dan Jisoo tidak dapat melihatnya. Jadi walau Seungcheol berlagak imut seperti pantulan wajahnya yang baru, ia tetap biasa saja—seorang Seungcheol yang tidak jelek dan tidak juga tampan.

 

“Hmm, mungkin kita perlu berkunjung ke ruang Kepala Sekolah Seo sekarang.” usul Seungcheol.

 

Jisoo dan Seungkwan hampir tersedak es cappucino yang sedang mereka minum. Seakan tidak merasa bersalah, Seungcheol memandangi mereka satu-persatu.

 

“Memangnya usulku salah? Kita punya Jisoo yang bisa meretas CCTV jadi kalau sekarang kita ke sekolah, itu bukan masalah. Benar kan, Jisoo?”

 

“Uhm—aku tidak yakin itu ide yang bagus, Seungcheol-ssi. Bagaimana kalau kita ketahuan?”

 

“Biar aku sendiri yang masuk. Kalian bersembunyi di gudang sekolah saja. Ayolah, teman-teman. Aku penasaran apa yang membuatku jadi seperti ini. Aku ingin tahu penyebabnya.”

 

***

 

Berkali-kali Seungkwan memukul nyamuk yang hinggap di kakinya. Tentu saja sambil menggerutu menyalahkan Seungcheol. Mereka berada di depan gerbang sekolah. Sudah diputuskan hanya Seungcheol yang masuk ke dalam, Seungkwan dan Jisoo menunggu di luar sembari meretas.

 

Seungcheol menatap gerbang sekolah yang cukup tinggi untuk dilompati. Ini pertama kalinya ia membuat pelanggaran di sekolah. Jantungnya berdegup kencang. Rasanya seru sekaligus menegangkan. Selama ini kehidupan sekolahnya sungguh membosankan. Kejadian ini membuat adrenalinnya terpompa dan ia tiba-tiba bersemangat.

 

“Kau yakin bisa memanjat gerbang setinggi itu?” Seungkwan mencemooh sahabatnya. Meskipun tubuhnya atletis, sikap Seungcheol sangatlah canggung. Ia mudah jatuh.

 

“Perhatikan,” ujar Seungcheol penuh percaya diri. Ia mulai memanjat gerbang sekolah, meski dengan susah payah, akhirnya berhasil mencapai atas. Lalu ia berhenti sejenak, menatap ke bawah, “Uh, teman-teman, aku merasa pusing.”

 

“Hah? Yang benar saja. Kau sudah sampai di atas gerbang, masa kau tidak berani turun sih?” omel Seungkwan.

 

“Apa aku harus lompat?”

 

Seungkwan berkacak pinggang, “Tentu saja melompat. Memangnya kau bisa terbang?”

 

“Kau tidak ada di atas sini jadi kau tidak tahu seberapa tinggi!” Seungcheol ikut emosi.

 

“Sudah, lompat saja Seungcheol-ssi! Semakin lama kita di sini, kemungkinan kita tertangkap akan semakin besar.” Jisoo ada benarnya.

 

Masih menggerutu, ia memberanikan diri untuk melompat. Untung saja ia berhasil mempraktekkan cara pendaratan yang tepat seperti di adegan laga televisi. Seandainya ia salah menggunakan kaki untuk tumpuan, ia bisa jatuh atau lebih parahnya patah tulang.

 

Ia sempat membalikkan badan ke arah Seungkwan dan Jisoo yang kini terpisahkan oleh gerbang sekolah untuk berpesan, “Seandainya aku mati hari ini, tolong ambil semua file film oku dari laptop. Aku percaya pada kalian.” Kemudian ia berlari menuju ruang Kepala Sekolah Seo.

 

Seungkwan memutar bola mata, “Seungcheol memang sudah gila....”

 

Jisoo menahan tawa.

 

***

 

Salah satu rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir murid-murid adalah kunci-kunci semua ruangan disimpan di ruang guru yang—bodohnya—tak pernah dikunci. Sehingga bila berkeinginan melakukan pelanggaran, tinggal mengambil kunci di ruang guru saja. Tentu saja termasuk kunci ruang Kepala Sekolah Seo.

 

Tidak seperti ruang Kepala Sekolah Seo yang memiliki CCTV, ruang guru bebas dari pengawasan CCTV. Seungcheol pun bisa dengan bebas berjalan kesana kemari di ruang guru. Sebenarnya hanya membutuhkan waktu lima menit untuk mengambil kunci, namun Seungcheol berhenti sejenak di meja Gyeong-sun-sang-nim—guru kejam yang sepertinya memiliki kepribadian ganda—untuk meludah di meja beliau. Seungcheol sedikit balas dendam karena pernah dipermalukan di depan kelas oleh Gyeong-sun-sang-nim.

 

Setelah puas membalas dendam, Seungcheol masuk ke ruang Kepala Sekolah Seo yang sudah aman karena CCTV berhasil dimatikan oleh Jisoo. Alangkah terkejutnya karena cermin itu tidak ada di tempat semula. Ia mencari di tiap sudut menggunakan senter dari ponselnya, namun tidak ada. Panik, ia menghubungi Seungkwan yang tertular rasa paniknya dan memutuskan untuk menyusul Seungcheol.

 

“Cerminnya tidak ada?” desis Seungkwan dengan suara pelan, sesampainya di ruang Kepala Sekolah Seo.

 

Seungcheol menggeleng, “Sudah kucari di tiap sudut, tidak ada. Cermin itu besar. Jadi mana mungkin hilang.”

 

“Apa Kepala Sekolah Seo memindahkannya ke rumah?”

 

“Oh, sial.” Seungcheol mengacak rambutnya, “Aku tidak mungkin ke rumah Kepala Sekolah Seo hanya untuk mencari cermin kan.”

 

Seungcheol berpikir sejenak. Otaknya serasa buntu. Biasanya ia tidak dapat berpikir jernih ketika ujian. Tapi memecahkan teka-teki cermin ini sulitnya melebihi seluruh ujian digabung jadi satu.

 

“Uhm, mungkin aku harus ke tempat pengiriman barang untuk menanyakan toko yang menjual cermin itu?”

 

“Hah? Lalu apa gunanya?”

 

“Begini, Seungkwan. Kan tidak seorangpun tahu apa yang harus kita lakukan untuk menghilangkan keanehan ini. Siapa tahu pemilik toko barang antik mengerti caranya? Bukankah lebih baik menanyakan pada asalnya daripada mengira-ngira seperti ini?”

 

Seungkwan mengusap dagunya, “Hmm, benar juga. Bisa-bisa perjuangan kita sia-sia bila kita tidak tahu sumber permasalahnnya.”

 

“Ya. Kalau begitu pencarian kita lanjutkan besok pagi saja—”

 

Tiba-tiba ponsel Seungkwan bergetar. Dari Jisoo yang menjaga sendirian di depan gerbang sekolah, “Teman-teman, sebaiknya kalian segera keluar. Aku melihat sekuriti sedang berkeliling memeriksa tiap ruangan.”

 

Seungcheol dan Seungkwan saling berpandangan, “Ayo kita lari.”

 

Belum sempat mereka kabur, terdengar suara langkah seseorang di depan ruang Kepala Sekolah Seo. Mereka berlari mencari tempat persembunyian, di bawah meja. Untung saja sekuriti tidak mengecek kunci pintu ruangan yang pastinya tidak terkunci. Seungcheol menghela nafas lega sembari mengelus dada. Seungkwan sendiri tak berani beranjak dari bawah meja karena terlalu gemetar.

 

“Ayo, kita harus cepat pergi dari sini, Seungkwan!” desis Seungcheol sembari menarik lengan Seungkwan.

 

Setelah memastikan sekuriti tidak berada di sekitar ruang kepala sekolah, mereka mengendap-endap, kembali memanjat gerbang sekolah dengan penuh perjuangan, menuju tempat Jisoo bersembunyi di luar sekolah. Jisoo yang selama ini jarang terlihat panik pun tampak mengawatirkan mereka berdua.

 

“Kalian tidak ketahuan, kan? Lalu bagaimana cerminnya?” tanya Jisoo.

 

“Kita bicarakan di tempat lain saja. Sekarang kita pergi dari sini!”

 

***

 

Pembicaraan panas itu seharusnya berlanjut di kamar Seungcheol, tetapi karena terlalu syok dengan adegan kejar-mengejar, mereka bertiga hanya terdiam sambil duduk bersila di lantai. Seungkwan terlihat lebih pucat dan Jisoo hanya diam menggigit bibir. Seungcheol lebih mempermasalahkan selimut penutup cermin yang sejak tadi terjatuh.

 

“Jadi... bagaimana akhirnya?” Jisoo buka suara.

 

Seungcheol masih sibuk menempelkan selotip di selimutnya, “Akan kutanyakan ke toko barang antik itu.”

 

“Setelah itu?” Jisoo belum paham ke mana arah pembicaraan mereka.

 

“Kutanyakan darimana asal cermin ajaib itu lalu aku bisa menemukan sumbernya, siapa tahu mereka tahu penangkalnya.”

 

“Kalau tidak ada yang tahu?” sambung Seungkwan, akhirnya bersuara.

 

Celetukan itu menyadarkan Seungcheol dari kesibukannya. Diletakkannya selimut itu dan ia memandangi Jisoo dan Seungkwan satu persatu, “Mungkin aku harus berhenti becermin.”

 

“Kau berlebihan.” Seungkwan mencibir. Ia sengaja memasang wajah bosannya, “Kau bilang lelaki itu imut! Kenapa kau harus berhenti bercermin kalau yang kau lihat setiap hari itu lelaki imut?”

 

“Bodoh! Meski imut, ia tetap lelaki!” Seungcheol melempar Seungkwan dengan bantal.

 

Seungkwan menjulurkan lidah, “Tapi setidaknya imut, kan? Enak dipandang, kan?”

 

Jisoo segera melerai mereka sebelum kegaduhan itu membangunkan anggota keluarga Choi. Seungcheol dan Seungkwan saling menjulurkan lidah—sungguh kekanakan.

 

“Sudah!” Jisoo tiba-tiba mengeluarkan secarik kertas dan pensil dari dalam ranselnya. Ia menyerahkan pada Seungcheol, “Coba kau gambar sketsa lelaki itu. Siapa tahu aku bisa mencarinya di database kepolisian.”

 

Seakan mendengar berita buruk, Seungkwan membelalak dan mulutnya terbuka lebar. Sedangkan Seungcheol hanya tersenyum miris.

 

“Menyuruh Seungcheol menggambar sama saja menyuruh anak TK mengerjakan tugas anak kuliah.” seloroh Seungkwan. Perbandingan yang menjatuhkan.

 

“Aku tidak separah itu!” Rasanya Seungcheol malu sekali.

 

Jisoo yang tidak tahu apa-apa mengenai Seungcheol hanya mengerutkan dahi, “Aku tidak mengerti maksudmu, Seungkwan-ssi.

 

Seungkwan menahan tawa, “Sudahlah. Coba saja gambar wajah lelaki itu.” Menyerah, ia memberikan kertas itu pada Seungcheol.

 

Beberapa menit menunggu Seungcheol mempersembahkan masterpiece-nya, Jisoo semakin tidak sabar. Ia mengulurkan tangan untuk meraih kertas itu, tetapi Seungcheol menutupi dengan tangannya.

 

“Eits! Dilarang mengintip! Karyaku belum jadi.”

 

“Cih! Karya, kau bilang?” sindir Seungkwan.

 

“SELESAI!!!” Dengan bangga, Seungcheol menunjukkan hasil karyanya itu pada Jisoo—sebuah lingkaran yang diberi mata, angka tujuh terbalik yang ternyata hidung, bibir berbentuk hati dan rambut bob. Tawa Seungkwan meledak dan Jisoo tak bisa berkata-kata.

 

“ITU APA? TELUR BERAMBUT BOB?” Seungkwan sengaja mengeraskan suaranya, tak peduli bila ayah dan ibu Seungcheol terbangun.

 

“Diam kau.” Ia cemberut mendapat penghinaan dari sahabatnya sendiri.

 

“Jisoo-ssi cepat cari di database kepolisian. Pasti akan mengarah ke wajah-wajah pembunuh bayaran.” gurau Seungkwan yang tidak mendapat sahutan apapun dari Jisoo.

 

Terlampau terkejut, Jisoo tiba-tiba merebahkan diri di lantai, lalu meringkuk dan berkata, “Aku tidur saja kalau begitu. Aku menyerah.”

 

Seungcheol mencibir ke arah Jisoo, “Kenapa kau yang marah sih?”

 

***

 

Toko barang antik itu sama sekali tidak terlihat kumuh ataupun tua, justru sebaliknya, terlihat modern seperti toko furnitur masa kini. Seluruh benda antik tertata rapi di tiap sudut, sama sekali tidak menyeruakkan aura masa lalu. Hanya ditemani Seungkwan, Seungcheol berjalan masuk ke dalamnya. Tak ada seorangpun yang menyambut kedatangannya.

 

“Permisi, apa ada orang di sini?”

 

Seungkwan mulai memamerkan suara indahnya dengan menyanyikan sebait lagu demi menarik perhatian pemilik toko yang tak kunjung muncul. Terkadang ia berlebihan bila berkaitan dengan keahlian menyanyinya.

 

“Kalian.”

 

Mereka berjengit kaget kemudian menoleh ke belakang, ke arah asal suara. Seorang wanita tua beruban menghampiri mereka. Pakaiannya serba hitam. Wanita itu mengenakan pakaian serba hitam seperti berkabung. Seungcheol membungkukkan tubuh lalu memperkenalkan diri. Ia menanyakan mengenai cermin antik dengan ukiran yang baru dibeli Kepala Sekolah Seo. Wanita itu memandang Seungcheol meremehkan.

 

“Aku tidak tahu cermin mana yang kaumaksud, Anak Muda. Kami menjual berbagai macam cermin dan bila kau tidak memiliki fotonya, aku tidak bisa membantu.”

 

“Ayolah, Nyonya. Tolong bantu kami. Pembelinya bernama Seo Dalsoo, lelaki tua bertubuh tambun dan pendek. Apa Anda tidak ingat?” Seungkwan memberikan detail mengenai ciri-ciri kepala sekolah. Wanita itu mengerutkan dahi.

 

“Tidak ada yang seperti itu.” jawabnya singkat.

 

“Kumohon... ingatlah lagi. Kepala Sekolah Seo meminta untuk dikirim di sekolah kami, Hyongu High School. Tolong lihatlah bukti pembeliannya. Kumohon.” Seungcheol membungkukkan tubuh, kali ini penuh penghayatan karena ia benar-benar meminta bantuan wanita itu.

 

“Memangnya ada perlu apa sih kalian menanyakan tentang cermin itu?”

 

“Aha! Rupanya Anda ingat tentang cermin itu!” potong Seungkwan. Wanita itu mendengus kesal, seolah sengaja tidak ingin memberikan informasi apapun mengenai cermin yang ia jual pada Kepala Sekolah Seo. Seungcheol merasa dipermainkan. Ia sangat membutuhkan bantuan wanita tua itu tetapi malah wanita itu berahasia.

 

Setengah hati, wanita itu mengeluarkan buku besar dari laci kasir. Buku itu ternyata adalah album foto yang berisi foto polaroid untuk inventarisasi barang antiknya. Ia menunjukkan selembar foto pada Seungcheol—foto cermin antik milik Kepala Sekolah Seo. Dari sudut matanya, ia menangkap Seungkwan diam-diam memotret polaroid itu. Dalam hati Seungcheol berujar ‘bagus’, ia bangga sahabatnya sudah melakukan apa yang harus dilakukan tanpa diminta.

 

“Ya! Ini cermin antik milik Kepala Sekolah Seo.”

 

Hanya lima menit wanita tua itu menunjukkan polaroid tersebut, lalu buru-buru dimasukkan kembali ke dalam album foto, “Hmm. Ya, lalu ada apa dengan cermin itu?”

 

“Uhm... setelah melihatnya, terjadi keanehan padaku. Aku mulai melihat pantulan diri orang lain, bukan pantulan diriku. Apa yang terjadi padaku? Apa Anda tahu?”

 

Ujung bibir wanita itu tertarik ke atas, senyumannya sungguh sinis, “Jadi kau terkena kutukan itu?”

 

Rasanya seluruh tubuh Seungcheol membeku. Mendengar kata ‘kutukan’ ternyata lebih seram dibandingkan dipanggil untuk maju ke depan kelas untuk mengerjakan sepuluh soal matematika. Kedua kaki Seungcheol tak bisa menopang tubuhnya. Ia berpegangan pada meja kayu di dekatnya. Seungkwan dengan sigap memegangi lengannya.

 

“Ku-kutukan apa?”

 

“Orang itu juga akan melihat pantulan dirimu.” Wanita tua itu menerangkan dengan tenang, “Kau harus menemukan orang itu atau kau akan...”

 

“Akan apa?” Seungkwan tak sabar. Wanita itu memelototinya tapi Seungkwan tak peduli.

 

Alih-alih menjawab dengan lengkap, wanita itu bermain teka-teki, “Aku tidak tahu. Kau harus mencari tahu sendiri sebab tidak ada yang bisa menemukan pantulan dirinya sampai akhir.”

 

“Akhir? Apa maksudnya? Apa orang itu meninggal?” Seungcheol panik.

 

“Entahlah. Aku tidak bisa menghubunginya lagi.”

 

Tubuh Seungcheol melemas dan ia terpuruk di lantai. Seungkwan ikut terjatuh bersamanya. Ia lemas. Tidak tahu harus bagaimana lagi. Bila ia harus mati tanpa kembali ke pantulan dirinya semula, ia tidak siap. Dan ia bahkan tak tahu mengapa cermin itu mengutuknya? Ia bahkan tidak berbuat salah apapun!

 

“Kumohon, tolonglah temanku!” Seungkwan pun berlutut di hadapan wanita itu, memohon dengan sungguh-sungguh. Ia tidak ingin sahabatnya mati muda. Ia sudah membayangkan Seungcheol akan menjadi bestman di pernikahannya kelak. Kalau Seungcheol meninggal sekarang, siapa yang akan menjadi bestman-nya? Ah, kenapa ia malah memikirkan pernikahan di situasi genting begini?

 

Wanita itu menggelengkan kepalanya, “Tidak bisa, tidak bisa. Aku tidak bisa membantu apapun.”

 

“Kumohon, aku bisa membayar berapapun...” Seungcheol mengeluarkan dompetnya. Ayahnya memberikan ia kartu kredit untuk berjaga-jaga bila dibutuhkan. Kini dalam keadaan hidup dan mati karena kutukan, Seungcheol merasa tidak ada salahnya ia menggunakan kartu kredit.

 

“Anak Muda, kau jangan sombong. Aku tidak membutuhkan uang darimu.”

 

“Ta-tapi... aku membutuhkan bantuan Anda... Apapun yang Anda minta, tolong beritahu aku tentang cermin itu...”

 

“Aku tidak meminta apa-apa!”

 

Seungkwan benar-benar kesal sahabatnya diperlakukan seperti itu. Ia membantu Seungcheol berdiri dan beranjak dari toko itu. Seungcheol bersikeras tidak ingin pulang. Ia masih berusaha memohon-mohon pada wanita tua itu. Ia bahkan meninggalkan secarik kertas yang berisi nomor ponselnya pada wanita itu.

 

“Seandainya Anda berubah pikiran, kumohon hubungi aku...”

 

“Kita pulang saja, Seungcheol-ah. Aku kesal sekali melihat wanita itu.” sungut Seungkwan.

 

Dan mereka meninggalkan toko barang antik dengan tangan hampa.

 

 

BERSAMBUNG

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
caratsfiction
Update Chasing REFLECTION 04

Comments

You must be logged in to comment
lily199iusinger
#1
Chapter 2: I, too, want to use google translate. I saw the translated english version of this on ao3. The story is just so perfect! I‘m currently left hanging, thanks for this!
pinkrose8899 #2
Chapter 11: finally~ thank you for making this lovely story, author nim!^^
pinkrose8899 #3
Chapter 9: yay, finally official~~~
pinkrose8899 #4
Chapter 3: when you lowkey ship gyuhan :3
pinkrose8899 #5
Chapter 2: eak jww gak tsundere :3
pinkrose8899 #6
Chapter 1: daku jadi inget ftv trans tv masa yg toko kramat itu xD
Shirsha23 #7
i'm getting tempted to use google translate istg!! can't wait for you to update the eng ver. but of course (its hard to say) take your time~~~
Shirsha23 #8
teach me your language lol!!! i want to read this so much i'd cry!!!!
zyx1004 #9
Chapter 11: Gils ceritanya mindblowing tapi seru!
nurhusnamustafa #10
Chapter 11: This is the best !!!!