Chapter 09

CHASING REFLECTION

A/N : Terimakasih sudah menunggu lama. Selamat membaca~

 

 

Seungcheol menghubungi Seungkwan sembari berjalan mondar-mandir di depan kantor polisi. Tuan Yoon tidak mengizinkannya menunggu di dalam semenjak ia tidak bisa mengendalikan emosi melihat Seo Dalsoo. Mingyu tetap berada di dalam meski ia harus bersumpah di depan ayah Jeonghan untuk bersikap sopan dan mengendalikan diri.

 

Sedari tadi Seungkwan menemaninya melalui ponsel. Mereka berbicara panjang lebar mengenai Jeonghan. Seungkwan sendiri cukup syok mengetahui kenyataan buruk tentang kepala sekolah mereka. Sejak awal lelaki itu memang sering bersikap menyebalkan, tapi bukan berarti pelaku kriminal. Ternyata mereka salah menilai Seo Dalsoo.

 

Ia tidak menghiraukan sekitar hingga mendengar seseorang memanggilnya dengan nama lengkap. Sontak ia membalikkan tubuh ke arah asal suara. Seo Dalsoo beserta pengacaranya baru saja keluar dari kantor polisi. Lelaki itu tetap tampak arogan dan tidak sedikitpun terbersit rasa bersalah di wajahnya, membuat Seungcheol ingin melemparnya dengan batu.

 

“Apa yang kau lakukan di sini, Choi Seungcheol?”

 

Tangan Seungcheol mengepal, menahan amarah. Beberapa kali ia menghela nafas panjang untuk menetralkan emosi, “Saya ada urusan.” Ia tidak sudi menggunakan panggilan hormat pada kepala sekolahnya itu.

 

Seo Dalsoo mendengus sinis—tidak percaya bahwa keberadaan Seungcheol di kantor polisi karena memang ada kepentingan tertentu, “Kau tidak membuat masalah hingga dibawa ke kantor polisi, kan? Saya menunggu surat dari kepolisian yang memanggilmu. Kalau sampai benar terjadi, kau diskors.”

 

Dada Seungcheol bergemuruh. Kata-kata Kepala Sekolah Seo sudah keterlaluan. Bukan hanya karena perlakuannya pada Jeonghan di masa lalu, tetapi juga karena tuduhan pada Seungcheol yang sepihak.

 

“Jangan asal bi—” Kalimat itu tidak akan terselesaikan sebab tangan Mingyu membekap mulutnya. Lantas sahabat Jeonghan itu menariknya menjauhi Seo Dalsoo atau keadaan akan semakin tak terkendali. Seungcheol sudah seperti orang kerasukan—sedetik lagi bisa memporak-porandakan kantor polisi dengan kemarahannya.

 

Mingyu membungkukkan tubuhnya, dengan amat sangat terpaksa meminta maaf pada Seo Dalsoo. Ia tidak ingin kasus Jeonghan dikacaukan karena emosi Seungcheol, “Maafkan teman saya. Permisi.”

 

Lelaki tua itu sempat mengerutkan dahi, berpikir. Sudah tentu ia seharusnya mengingat Mingyu yang pernah datang ke pestanya bersama Wonwoo tetapi beruntunglah otak tua itu tidak lagi mengingat hal sepele, seperti wajah tamu-tamunya. Akhirnya ia berlalu bersama sang pengacara, meninggalkan Seungcheol dan Mingyu yang memandang dengan tatapan membunuh.

 

Seungcheol menghentakkan tangan Mingyu, “Kenapa kau halangi aku, hyung? Kau kan juga ingin melukai orang itu!”

 

“Seungcheol, tenanglah! Kita tidak bisa bertindak gegabah atau pengorbanan Jeonghan akan sia-sia.”

 

“Bagaimana bisa tenang kalau di depanku ada orang yang melukai Jeonghan? Apa kau bisa tenang?”

 

Mingyu tidak menyahut. Seungcheol memahami jalan pikiran Mingyu yang sangat protektif sebagai sahabat Jeonghan. Ia masih ingat saat awal mengenal Jeonghan, seakan Mingyu tidak rela membagi perhatian lelaki itu untuk Seungcheol. Dengan sikap Mingyu yang dengan mudah mengendalikan emosi dalam keadaan seperti itu, membuat Seungcheol bingung dengan inkonsistensi Mingyu.

 

“Sebenarnya... sebenarnya apa yang terjadi pada Jeonghan?” Pertanyaan Mingyu begitu lirih hingga Seungcheol mengira pertanyaan itu ditujukan bukan untuk mendapatkan jawaban darinya.

 

“Aku tidak pernah tahu detailnya.”

 

“Sebagai sahabatnya, aku merasa tidak dipercaya Jeonghan.”

 

Wajar bila Mingyu berpikiran seperti itu. Apalagi ia mengetahuinya dari Seungcheol, seseorang yang baru sebentar mengenal Jeonghan namun sudah mendengar rahasia paling kelam yang selama ini disembunyikan lelaki itu.

 

“Jeonghan-hyung tidak pernah bermaksud seperti itu. Mungkin ia malu untuk menceritakannya padamu.”

 

“Tapi tidak malu menceritakannya padamu?”

 

“Sebenarnya bukan Jeonghan-hyung yang memberitahuku, tapi Jisoo-ssi.”

 

Kedua alis Mingyu bertaut, “Jisoo? Yang tadi menarikmu keluar dari kantor polisi itu? Bagaimana ia tahu?”

 

“Karena ternyata Seo Dalsoo juga terlibat kasus lain yang membuat kasus lama Jeonghan-hyung dibuka kembali. Sepupu Jisoo bekerja di kantor polisi lalu memberitahu Jisoo.”

 

Mingyu tidak bisa berkata-kata. Bibirnya membentuk huruf O.

 

“Mingyu-hyung, kumohon jangan salahkan Jeonghan-hyung karena tidak bercerita tentang hal ini padamu. Tentu saja kau sahabatnya. Mengertilah, ia butuh waktu.”

 

“Ya,” Mingyu menghela nafas panjang. Tiap kali ia memikirkan Jeonghan, ia menyerah kalah. Tidak pernah ia bisa bertahan lama marah pada Jeonghan, “Mungkin saatnya aku tahu diri. Posisimu lebih unggul dibandingkan aku.”

 

“Unggul?” Seolah Mingyu sedang membicarakan peringkat kelas saja.

 

“Aku sahabatnya tapi kau,” Telunjuk Mingyu menyentuh dahi Seungcheol lalu mendorongnya pelan, “...orang pertama yang ia sukai. Kau seharusnya bangga, Choi Seungcheol. Dan sekali lagi, jangan sampai kau menyakitinya. Paham?”

 

Rasanya bosan Seungcheol mendengar ancaman yang keluar dari bibir Mingyu. Ia sangat paham dan bahkan mengutuk dirinya sendiri jika menyakiti Jeonghan.

 

Namun pikirannya tiba-tiba teralihkan dengan kata-kata ‘orang pertama yang Jeonghan sukai’ dan wajah Seungcheol memerah malu.

 

***

 

Jeonghan memuntahkan sisa-sisa makan siangnya. Tenggorokannya kering, rasanya ia tidak sanggup lagi. Namun rasa mual mendorongnya untuk terus memuntahkan apapun isi perut Jeonghan. Dalam pikirannya terus berulang saat-saat di mana ia melihat orang yang telah menyakitinya di masa lalu—mereka hanya dipisahkan kaca saja. Kenangan buruk itu lagi-lagi memicu Jeonghan untuk memuntahkan isi perutnya.

 

Ini yang ketiga kali Jeonghan menekan tombol flush di toilet. Ia duduk bersimpuh di lantai, memegangi perutnya. Ia mendengar langkah seseorang masuk ke dalam toilet. Dugaannya benar ketika suara Seungcheol memanggil namanya. Jeonghan tidak memiliki tenaga untuk menyahut panggilan Seungcheol.

 

“Jeonghan-hyung, kau baik-baik saja?”

 

Jeonghan bisa melihat sepatu Seungcheol di depan pintu bilik toiletnya. Ia mengangguk lantas tersenyum kecut namun baru tersadar bahwa tak mungkin Seungcheol melihat anggukannya.

 

“Aku tidak apa-apa. Tunggu sebentar.” sahut Jeonghan.

 

Hyung...”

 

Untuk terakhir kalinya ia menekan tombol flush, kemudian menghela nafas panjang dan membuka pintu bilik toilet. Wajah khawatir Seungcheol menyambutnya. Dengan segera, kedua tangan Seungcheol merengkuhnya dalam pelukan. Jeonghan dapat merasakan hembusan hangat nafas Seungcheol di lehernya lalu sekilas kecupan singkat yang membuat Jeonghan semakin ini menangis.

 

“Aku khawatir.”

 

Jeonghan membenamkan wajahnya di lekukan bahu Seungcheol, mati-matian menahan tangis. “Maaf.”

 

“Kalau tidak ada polisi-polisi itu, aku yakin sudah kutikam Seo Dalsoo.”

 

Jeonghan tidak menjawab, hanya mempererat pelukannya pada Seungcheol. Ia baru sadar selama ini Seo Dalsoo yang disebut-sebut sebagai kepala sekolah Seungcheol, serta pemilik cermin yang sedang diselidiki oleh Mingyu dan Wonwoo, ternyata orang yang telah melecehkan waktu kecil. Ia tidak menyangka pertemuannya dengan Seungcheol merupakan awal dari terungkapnya satu persatu kejadian di masa lalunya.

 

Bukannya ia menyesali pertemuannya dengan Seungcheol, namun ia belum siap dengan ini semua. Ia tidak ingin membahas hal yang sudah lama ingin dikuburnya. Ketika melangkah maju satu pijakan membutuhkan kekuatan yang besar, tentu saja Jeonghan tak mau usaha kerasnya runtuh dalam sekejap mata dikarenakan seorang Seo Dalsoo.

 

Hyung, kau harus kuat. Jeonghan-hyung yang kukenal mampu menengadahkan kepala.” ujar Seungcheol sembari mengurai pelukan. Jeonghan mengalihkan pandangan ke arah lain. Jujur saja tatapan mata Seungcheol terkadang terasa menyudutkan, “Hyung, kumohon dengarkan aku dulu,”

 

Akhirnya Jeonghan menguatkan diri menatap Seungcheol. Lelaki di hadapannya itu tersenyum.

 

“Yoon Jeonghan, apa kau tidak mau orang yang menyakitimu itu mendapatkan hukuman setimpal?”

 

“Itu yang kuinginkan. Dulu. Tapi sekarang untuk apa? Aku sudah tidak ingin memikirkannya lagi.”

 

Hyung, anggap saja kau membantu korban-korban lainnya yang mungkin belum diketahui. Bagaimana? Setidaknya tolong lakukan ini untuk mereka.”

 

Ia memejamkan mata, membayangkan kilasan-kilasan kejadian itu sekali lagi, sebelum akhirnya menghembuskan nafas panjang dan mengangguk yakin, “Tapi kau harus berjanji, jangan melakukan hal gegabah pada kepala sekolahmu.”

 

Kedua alis Seungcheol bertaut, seakan tidak setuju dengan permintaan Jeonghan.

 

“Tolong lakukan ini demi aku, Seungcheol-ssi.” ucap Jeonghan, karena ia tahu Seungcheol akan sulit menolak permintaannya, sama seperti dirinya yang sulit menolak permintaan Seungcheol.

 

“Baiklah, baiklah.” Tangannya membelai rambut Jeonghan, “Ayo, kita pulang saja, hyung.

 

“Tunggu,” Jeonghan menahan tangan Seungcheol, “Aku harus cuci muka dulu. Apa kau tidak lihat wajahku seperti ini?”

 

“Kenapa wajahmu?” Seungcheol melihat pantulan mereka di cermin. Seulas senyum muncul di bibirnya, begitu pula dengan Jeonghan. Lantas Seungcheol meraih beberapa lembar tisu, dengan telaten ia gunakan untuk mengeringkan air di wajah Jeonghan, “Aku menyukainya.”

 

Jeonghan mengulum senyum, “Terimakasih.” Lelaki itu kembali menghambur ke pelukan Seungcheol, “Terimakasih sudah menemaniku.”

 

“Kau tidak perlu berterimakasih, hyung. Aku yang berterimkasih—terimakasih sudah mempercayaiku.”

 

***

 

 

“Seo Dalsoo-ssi, sepertinya saya pernah melihat pemuda tadi.”

 

Seo Dalsoo tidak menghiraukan perkataan pengacaranya. Ia sibuk memikirkan bagaimana nasibnya di masa depan bila kegiatan rahasianya bersama beberapa kolektor barang antik itu dibongkar polisi. Pandangannya menerawang keluar jendela mobil yang melaju cepat menuju kediamannya.

 

“Oh ya? Di mana?” sahutnya asal.

 

Pengacaranya tidak langsung menjawab, “Hmm, apa mungkin di acara barang antik Anda?”

 

Ia tertegun. Sepengetahuannya, ia hanya mengajak Hong Jisoo sebagai penerjemahnya waktu pesta itu. Tidak ada Choi Seungcheol.

 

“Apa yang kau maksud Choi Seungcheol? Ia muridku dan aku tidak mengundangnya ke pesta.”

 

“Bukan,” Pengacaranya menggelengkan kepala, “Pemuda yang datang belakangan, yang mengajak Choi Seungcheol menjauh.”

 

Benar juga, pikir Seo Dalsoo. Wajah pemuda itu tidak asing. Tetapi ia masih tidak bisa mengingat identitas pemuda tersebut.

 

“Sudahlah, pekerjaanmu hanya memikirkan bagaimana agar aku tidak dipenjara. Titik.”

 

Pengacaranya mengangguk. Kemudian ia mengingatkan sesuatu hal pada Seo Dalsoo yang membuatnya seolah diterpa ingatan bertubi-tubi, “Seo Dalsoo-ssi, apa kau sudah menyingkirkan semua barang-barang antikmu di tempat aman?”

 

Wajah Seo Dalsoo memucat, “....pemuda itu teman Jeon Wonwoo.... Gawat. Barang-barang antik itu ada di toko Wonwoo! Bagaimana kalau temannya itu bekerjasama dengan kepolisian?”

 

***

 

Pemandangan di gudang toko barang antik Wonwoo berhasil membuat Mingyu tercengang dan kehilangan kata-kata. Setelah kemarin ia baru mengetahui bahwa sahabatnya pernah dilecehkan oleh Seo Dalsoo, kini ia melihat gudang itu terisi penuh dengan barang-barang Seo Dalsoo. Sungguh kejutan yang tak diduga. Ia menatap Wonwoo, meminta penjelasan.

 

Wonwoo mengedikkan bahu, “Aku membelinya dengan harga yang sangat murah. Ia menjual hampir semua barang koleksinya. Aku jadi curiga.” Kemudian ia berjalan menuju sesuatu yang ditutupi kain berwarna putih. Ketika dibuka, Mingyu semakin tercengang, “Termasuk cermin ini.”

 

Memang sebelumnya Wonwoo sempat menghubungi Mingyu untuk menceritakan mengenai cermin itu dan tidak mendapatkan respon positif dari lelaki itu. Untung saja setelahnya Mingyu berkunjung ke toko dan Wonwoo bergegas menunjukkan semuanya.

 

“Jadi ini yang mau kau ceritakan waktu itu?”

 

“Ya.” Wonwoo mengangguk, “Ngomong-ngomong, Jeonghan-ssi baik-baik saja, kan? Terakhir kali aku menghubungimu, kau bilang Jeonghan-ssi terkena masalah.”

 

Mengingat masalah yang sedang dialami Jeonghan, Mingyu hanya bisa menghela nafas panjang. Ia sebenarnya tidak ingin menceritakan hal itu pada Wonwoo, tapi lelaki yang kini berdiri di hadapannya itu juga sudah terlibat dengan Seo Dalsoo. Mau tidak mau, Wonwoo harus tahu garis besar permasalahannya agar bisa lebih berhati-hati. Mingyu hanya menceritakan sekilas mengenai pelecehan itu, yang menjadi fokusnya hanyalah pelaku pelecahannya adalah Seo Dalsoo. Tentu saja Wonwoo terkejut.

 

“Apa... Seo Dalsoo-ssi menjual semua barang-barangnya karena ingin melarikan diri dari polisi?”

 

“Aku tidak tahu, Wonwoo-ssi, tapi kau sebaiknya berhati-hati. Kau menyimpan barang-barang yang pernah menjadi miliknya. Ini termasuk barang bukti.”

 

Wonwoo kini mulai mengerti perasaan curiga ketika Seo Dalsoo menjual semua barang-barang antiknya dengan harga murah. Memang ada alasan terselubung di baliknya. Mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing, tanpa menyadari seseorang sudah masuk ke dalam toko dan meneriakkan permisi berkali-kali. Bergegas mereka keluar dari gudang.

 

Dua orang lelaki bertubuh besar berdiri di depan meja kasir. Salah satunya mengedarkan pandangan ke sekeliling toko seakan menyelidiki.

 

“Kami ingin membeli barang antik.” ujar salah satu lelaki itu, yang mengenakan kacamata dan berwajah culas.

 

Sama sekali tidak menunjukkan senyum ramah, Wonwoo menunjuk ke arah lemari-lemari di ruang pameran tokonya, “Silakan kalian pilih sendiri.”

 

Lelaki yang sejak tadi mengedarkan pandangan itu memajukan tubuhnya ke arah Wonwoo. Dengan segera, Mingyu berdiri di antara mereka, menghalangi tubuh Wonwoo dari lelaki itu.

 

“Silakan Anda pilih sendiri.” Mingyu menegaskan sekali lagi. Lelaki itu tertawa mengejek.

 

“Huh, saya tidak ingin yang dipajang di sini.”

 

“Anda bahkan belum melihat-lihat, bagaimana bisa memutuskan?” sahut Mingyu dengan cepat.

 

Salah satu dari mereka mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Mingyu merasa gerak-gerik mereka sangat mencurigakan sejak tadi sehingga ia menahan tangan lelaki itu agar tidak bisa mengambil apapun yang ia sembunyikan di sakunya. Apapun itu—terutama bila ternyata senjata tajam atau pistol.

 

Lelaki itu mengibaskan tangannya agar Mingyu tidak mencengkeramnya lagi. Ia membentak, “Apa yang kau lakukan?”

 

“Anda berdua bersikap mencurigakan. Saya tidak ingin terjadi sesuatu di sini.”

 

“Ia hanya ingin menunjukkan ini,” Lelaki yang satunya mengeluarkan lencana polisi dari sakunya, “Kami dari kepolisian. Kami sedang melakukan penyelidikan kasus dan petunjuknya mengarah kemari, ke toko barang antik ini.”

 

Perlu sepersekian detik bagi Mingyu untuk mencerna pernyataan lelaki itu. Tiba-tiba ia tertawa lantang meski tak ada yang lucu dari perkataan itu—hanya untuk menutupi kegugupannya berhadapan dengan polisi.

 

“Kenapa kalian tidak bilang sejak tadi kalau kalian polisi?” ujar Mingyu sembari tersenyum kecut, “Tapi tetap saja kami tidak bisa membiarkan kalian mengacak-acak tempat kami tanpa surat penggeledahan.”

 

Wonwoo menarik ujung kaos Mingyu dan ia tahu itu pertanda dari Wonwoo agar ia tidak usah banyak bicara.

 

“Kami membawa surat perintah penggeledahan untuk kasus Seo Dalsoo.” Salah satu polisi itu menyerahkan surat tersebut pada Wonwoo.

 

Mendengar nama Seo Dalsoo, perut Mingyu seperti dipelintir. Antara menahan kesal dan ingin mencabik pemilik nama yang sudah menyakiti sahabatnya itu. Wonwoo berpamitan sebentar untuk memanggil bibinya.

 

Tak seberapa lama, bibi Wonwoo tergopoh-gopoh keluar bersama Wonwoo. Meski sebenarnya Mingyu malas sekali bertemu dengan bibi Wonwoo, namun wanita tua itu menunjukkan reaksi yang biasa saja saat melihat Mingyu. Mungkin mendapatkan surat perintah penggeledahan membuatnya bisa menahan amarah.

 

Ketika Mingyu merasakan lengannya dicengkeram oleh bibi Wonwoo, ia nyaris berteriak terkejut. Rupanya wanita itu ingin mengucapkan terimakasih, “Untung ada kau di sini. Setidaknya bukan hanya aku dan Wonwoo. Aku tidak berani pada polisi. Terimakasih... siapa namamu?”

 

“Kim Mingyu.”

 

“Terimakasih Kim Mingyu-ssi,” ucap bibi Wonwoo, bibirnya mengulaskan senyum yang membuat Mingyu dan Wonwoo saling bertukar pandang—terlampau terkejut dengan reaksi wanita tua itu.

 

Kedua polisi itu menghabiskan waktu sekitar dua jam untuk mendata dan mengambil foto barang-barang yang semula adalah milik Seo Dalsoo. Hingga polisi itu berpamitan pulang, Wonwoo sama sekali tidak memberitahu tentang cermin antik itu. Mingyu sungguh penasaran dengan alasan Wonwoo merahasiakan cermin itu dari polisi.

 

Ketika Mingyu menanyakan hal itu, Wonwoo meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. Ia tidak lagi bertanya-tanya mengenai cermin hingga bibi Wonwoo tidak lagi berada di antara mereka.

 

“Kenapa kau sengaja tidak memberitahu mereka?” tanya Mingyu saat keadaannya sudah aman.

 

Wonwoo tersenyum simpul, “Perjuangan kalian untuk mendapatkan cermin ini sungguh luar biasa dan membuatku kagum. Barang bukti yang mereka dapatkan sudah banyak. Kurasa satu cermin tertinggal tidak apa-apa, kan?”

 

Kedua mata Mingyu membulat. Ia berbinar bahagia dan tanpa sadar menarik Wonwoo ke dalam pelukannya, sebelum akhirnya ia mundur perlahan karena sadar dengan tingkahnya yang tidak masuk akal itu. Ini pertama kalinya ia melihat Wonwoo tersipu malu. Biasanya Wonwoo jarang sekali menunjukkan ekspresi.

 

“Uhm, maaf Wonwoo-ssi. Terimakasih sudah menyimpan cermin itu.” Mingyu membungkukkan tubuh dengan sopan. Ia jadi salah tingkah.

 

“Hanya itu yang bisa kulakukan untuk membantu kalian.”

 

Tidak ada satupun dari mereka yang berbicara sampai suara menggelegar bibi Wonwoo memanggil menyuruh mereka untuk makan siang di dalam rumah yang terletak di lantai dua toko tersebut.

 

“Apa benar bibimu mengajakku makan siang juga?”

 

Wonwoo mengangguk, “Itu artinya bibiku tidak merasa terintimidasi denganmu, Mingyu-ssi. Ya sudah, ayo kita makan siang saja.”

 

***

 

Wonwoo menyempatkan waktu mengantar Mingyu sampai halte bis. Ia beralasan bahwa tidak sopan bila tidak mengantar tamunya pulang, meski dalam hati sebenarnya ia hanya ingin bersama Mingyu lebih lama. Baginya, mengucapkan sesuatu lebih sulit daripada menerjemahkan dalam perbuatan.

 

“Terimakasih sudah membantuku, Mingyu-ssi. Bibiku pasti panik bila bertemu polisi.” Ia membungkukkan tubuh ke arah Mingyu.

 

“Ah, sudahlah. Tidak apa-apa. Aku juga berterimakasih karena kau banyak membantu Jeonghan.”

 

“Jeonghan-ssi kan sahabatmu. Sahabatmu juga sahabatku—” Menyadari ada keanehan dari ucapannya, Wonwoo mengigit bibir menahan malu, “Uhm, maaf.”

 

Mingyu menjawabnya dengan senyum—senyum termanis yang pernah dilihat Wonwoo. Ia berhalusinasi senyuman Mingyu mengeluarkan cahaya. Berlebihan.

 

“Wonwoo-ssi,” Mingyu diam-diam mengaitkan jemarinya dengan Wonwoo setelah yakin di sekitarnya sepi. Ia berdehem, “Apa kau mau mengantarku pulang?”

 

“Ha?”

 

Mingyu tidak berani menatap Wonwoo, “Mengantar sampai rumahku. Itu kalau kau tidak keberatan meninggalkan bibimu sebentar.”

 

“Ya, aku mau!” Bergegas Wonwoo meralat nada suaranya yang semula terdengar bersemangat, “Ya, kurasa bibiku tidak keberatan.”

 

***

 

Layaknya sedang kasmaran, Mingyu merasa terbang ke langit ketujuh. Senyum lebar tidak pernah absen dari wajahnya. Ia mirip penghuni rumah sakit jiwa yang tiba-tiba tertawa atau tersenyum. Ketika mengingat perjalanan dari toko Wonwoo menuju rumahnya yang sangat lama karena kebodohan mereka melewatkan dua pemberhentian bis. Pada akhirnya mereka turun di halte paling jauh lalu menuju rumah Mingyu menggunakan taksi.

 

Mingyu juga tidak menyangka mendapat hadiah mengejutkan dari Wonwoo—sebuah ciuman. Sudah lama Mingyu mempertimbangkan untuk melakukan hal itu tetapi entah kenapa ia kehilangan keberaniannya bila sudah berhadapan dengan lelaki itu. Sikap paling ekstrim yang ia tunjukkan pada Wonwoo hanya sekedar meletakkan tangan di pinggang dan rasanya Mingyu sudah banjir keringat dingin saat itu.

 

Ketika bibir Wonwoo bersentuhan dengan bibirnya, Mingyu kehilangan akal sehat dan tidak menyia-nyiakan kesempatan langka itu. Ia pernah berjanji dalam hati bahwa ciumannya dengan Wonwoo harus istimewa. Ia juga harus menunjukkan pada Wonwoo bahwa ia seorang pencium yang hebat, yang bisa membuat lelaki itu melayang bahagia. Kendali diri Wonwoo cukup kuat sehingga mereka tidak sampai melakukan hal yang tidak senonoh di depan pintu rumah Mingyu. Untung saja kedua orangtua Mingyu tidak ada di rumah.

 

Kebodohan pun berlanjut. Akibat Mingyu tidak ingin berpisah dengan Wonwoo, ia mengantar lelaki itu kembali ke tokonya. Dengan langkah sepelan mungkin, jemari saling bertaut, mereka benar-benar menikmati tiap detik kebersamaan mereka.

 

Namun kebahagiaan itu sirna sewaktu mereka melihat dua mobil polisi berjajar di depan toko Wonwoo. Keselamatan bibi Wonwoo yang menjadi pertanyaan di benak mereka.

 

***

 

“Perkenalkan, saya Detektif Ahn.” Laki-laki paruh baya yang mengenakan jas resmi itu bergantian menjabat tangan Wonwoo kemudian Mingyu, “Terimakasih sudah menghubungi kami.”

 

Wonwoo tidak bisa tenang semenjak mengetahui bibinya masih di dalam bersama polisi untuk dimintai keterangan sedangkan ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Ia berusaha masuk ke dalam toko sejak tadi namun belum diizinkan oleh polisi.

 

“Bibiku tidak apa-apa, kan?”

 

Detektif Ahn menjawabnya dengan senyum dingin, “Orang yang menerobos masuk hanya menginginkan barang antik milik Seo Dalsoo yang tadi siang sudah kami sita sebagai barang bukti. Bibimu baik-baik saja.”

 

Wonwoo dan Mingyu kini bisa bernafas lega tetapi rasa khawatir belum sepenuhnya hilang dari benak mereka mengingat Seo Dalsoo mulai nekat melakukan apapun demi menyelamatkan dirinya, termasuk menyuruh orang mencuri barang yang sudah dijualnya pada Wonwoo.

 

“Tunggu,” Wonwoo tiba-tiba menyadari sesuatu, “Bagaimana Anda tahu kalau pelakunya menginginkan barang antik milik Seo Dalsoo? Apa pelakunya sudah tertangkap?”

 

“Belum. Tapi sebentar lagi pasti tertangkap. Dan satu lagi, ada yang harus kuberitahukan padamu, Jeon Wonwoo-ssi.” Detektif Ahn mengajaknya masuk ke dalam rumah. Mingyu mengikuti di belakang mereka meski Detektif Ahn sempat menatapnya dengan pandangan curiga tapi Wonwoo meyakinkan bahwa Mingyu adalah orang yang dapat dipercaya.

 

Mereka berbincang-bincang di dalam, di tempat yang aman. Bibi Wonwoo segera menghambur ke pelukan keponakannya itu seketika melihat sosok Wonwoo masuk bersama Mingyu.

 

“Bibi baik-baik saja, kan?”

 

“Ya, Bibi tidak apa-apa. Untung saja Bibi sembunyi. Mereka mengacak-acak toko dan gudang tapi sepertinya tidak mengambil apapun.”

 

“Ya karena barang yang mereka inginkan sudah kami sita.” sambung Detektif Ahn. Bibi Wonwoo tersenyum kecut.

 

“Entah aku harus bersyukur atau bagaimana.” gurau wanita tua itu. Hanya Detektif Ahn yang tertawa.

 

Detektif Ahn teringat ada yang harus ia bicarakan dengan Wonwoo, bibinya dan juga Mingyu. Detektif itu menceritakan sekilas mengenai keterlibatan Seo Dalsoo dalam hal pemalsuan dan penyelundupan barang antik tersebut namun tak sekalipun menyebut mengenai kasus pelecehan Jeonghan. Mingyu dan Wonwoo saling bertukar pandang. Walau Mingyu sudah mendengar mengenai kasus lain Seo Dalsoo dari Seungcheol, ia tetap terkejut karena kasus Jeonghan tidak dibahas sama sekali.

 

Detektif Ahn pun mengajak mereka menuju gudang toko dan menunjukkan sesuatu—kamera tersembunyi yang diletakkan oleh dua polisi yang tadi bertugas mengambil barang bukti di gudang Wonwoo.

 

“Saya mohon maaf karena anak buah saya tidak meminta izin memasang kamera itu. Tapi mereka memiliki alasan kuat. Seo Dalsoo suatu hari pasti kembali kemari untuk meminta barang-barangnya. Dengan adanya kamera itu, lebih mudah bagi kami untuk menangkap pelakunya karena wajahnya tertangkap kamera.” Detektif Ahn menunjukkan foto seseorang yang menerobos masuk ke dalam gudang toko.

 

Mingyu mengerutkan dahi, sepertinya pernah melihat sosok itu.

 

“Saya pernah melihat orang ini di kantor polisi.”

 

Detektif Ahn tersenyum simpul, “Kau benar. Ini adalah pengacara Seo Dalsoo. Saya sendiri tak habis pikir mengapa pengacara bisa melakukan hal sebodoh ini? Mengapa tidak menyuruh orang saja?”

 

“Pasti mereka panik.”

 

“Ya. Tapi beruntunglah bagi kami karena bisa dengan mudah membawa kasus ini ke pengadilan.” Detektif Ahn menyalami mereka berdua, “Terimakasih atas bantuan kalian.”

 

“Uh, Detektif Ahn,” Mingyu menahan detektif itu agar tidak segera pergi, “Mengenai kasus Yoon Jeonghan. Apa ada kemungkinan untuk disidangkan?”

 

Kedua manik mata lelaki itu membulat. Ia tidak menyangka pertanyaan itu terlontar dari bibir Mingyu, “Kau mengenal Yoon Jeonghan?”

 

“Ya... Ia sahabat saya.”

 

Detektif Ahn mengangguk, “Sebenarnya itu yang menjadi prioritas saya. Saya dan tim saya akan mengusahakan yang terbaik untuk kasus Yoon Jeonghan. Sebagai sahabatnya, tolong bantu Jeonghan ya.”

 

“Tentu saja. Terimakasih, Detektif Ahn.” Mingyu membungkukkan tubuhnya. Ia berharap Seo Dalsoo segera tertangkap sehingga tidak akan ada lagi korban.

 

Meski Detektif Ahn baru menyampaikan kabar baik tentang kamera tersembunyi itu, Wonwoo tetap mencemaskan keadaan bibinya. Berbeda dengan Mingyu yang mencemaskan keadaan Wonwoo. Tidak menutup kemungkinan orang-orang suruhan Seo Dalsoo akan datang lagi untuk mengancam mereka.

 

Wonwoo berencana mengungsikan bibinya ke desa tempat kelahiran pamannya untuk sementara. Sedangkan ia tidak mau meninggalkan toko itu tanpa penjagaan sehingga ia bersikukuh tetap tinggal di situ, apapun yang terjadi. Dengan rasa cemas yang berlebihan, Mingyu pun berjanji untuk menemani Wonwoo bila tidak ada jadwal kuliah.

 

***

 

Satu hal yang membuat Seungkwan heran—keterlibatan Seo Dalsoo dengan dua macam kasus ternyata tidak membuat lelaki itu takut untuk muncul di sekolah. Buktinya hari ini ia mengumpulkan seluruh siswa, jajaran guru dan karyawan di aula sekolah dalam rangka mendengarkan pidatonya. Pidato mengenai kesuksesan di masa depan yang ditujukan untuk siswa kelas tiga, sedangkan untuk siswa kelas satu dan dua diberi motivasi agar belajar giat.

 

Seandainya kepala sekolahnya itu bisa melihat Seungkwan memutar bola mata karena bosan, mungkin Seungkwan sudah dihukum membersihkan toilet seperti biasanya. Sungguh ia bosan mendengar omongan Seo Dalsoo yang penuh kemunafikan. Kalau diperbolehkan, ia ingin melempar telur dan tomat busuk ke podium.

 

Seungkwan melirik ke arah Seungcheol yang menunjukkan reaksi lebih parah dari sekedar memutar bola mata. Sahabatnya itu seakan menguarkan aura kemarahan. Tangannya mengepal dan rahangnya terkatup rapat. Selama berteman dengan Seungcheol, ini pertama kalinya Seungkwan melihat sahabatnya itu berusaha keras menahan amarah.

 

“Hei,” Seungkwan menyikut lengan Seungcheol, “Bagaimana kalau setelah ini kita bolos saja?”

 

Seungcheol tidak menggubrisnya.

 

“Choi Seungcheol,” desis Seungkwan dengan volume suara yang sedikit lebih keras, “Kita bolos saja.”

 

Seungcheol terperangah lantas tersenyum kecut ke arah Seungkwan, “Maaf Seungkwan-ah, kau tadi bilang apa?”

 

Seungkwan mendengus kesal, “Tubuhmu memang di sini tapi nyawamu tidak.”

 

“Maaf. Benar-benar maaf. Aku terlalu fokus memikirkan cara membalas orang itu.”

 

“Biar polisi yang menangani kasusnya. Kau tidak perlu ikut campur. Bisa-bisa kau yang dipenjara, bukan orang itu.” Kata-kata ‘orang itu’ menjadi kode rahasia Seungcheol dan Seungkwan saat menyebut Seo Dalsoo. Mereka tidak ingin teman-temannya mendengar percakapan mereka.

 

“Hmm, baiklah setelah ini kita pergi.”

 

Seungkwan tersenyum lantas melirik ke arah jam dinding raksasa yang terletak di dekat pintu masuk aula. Bertepatan dengan itu, pintu aula menjeblak terbuka dan beberapa orang berseragam polisi masuk ke dalam. Perhatian seluruhnya beralih ke sana, termasuk Seo Dalsoo.

 

Sebagai pemimpin sekolah yang bertanggung jawab, Seo Dalsoo mempertanyakan kesopanan para polisi itu yang tiba-tiba menerobos masuk saat ia sedang pidato. Namun alangkah terkejutnya ketika salah seorang polisi tersebut maju ke arah Seo Dalsoo dan menangkap laki-laki itu. Polisi tersebut juga membacakan hak-hak Seo Dalsoo sebelum membawanya keluar aula diikuti jajaran polisi lainnya. Para guru berteriak-teriak berusaha menyelamatkan kepala sekolah mereka sekuat tenaga. Mereka menganggap penangkapan itu tidak etis dan sebaiknya tidak dilakukan di hadapan siswa-siswa tapi saat ditunjukkan surat penangkapan resmi, para guru pun terdiam.

 

Lain halnya dengan para siswa yang langsung bergosip, tidak lagi memedulikan keadaan sekitar, tentu saja terkejut dengan ditangkapnya Kepala Sekolah Seo—seseorang yang biasanya menangkap siswa terlambat. Mereka menyimpulkan sendiri kesalahan yang dibuat oleh kepala sekolah.

 

Seungkwan dan Seungcheol saling bertatapan.

 

“Seo Dalsoo ditangkap.” gumam Seungcheol, senyumnya lebar sekali.

 

“Kau masih mau membolos, kan?”

 

“Oh, tentu saja Seungkwan-ah. Hari ini pasti tidak akan ada pelajaran. Kita pergi saja!”

 

***

 

Kakinya ingin melangkah agar cepat mengakhiri ini semua, namun hatinya mengatakan sebaliknya. Jeonghan diam berdiri di depan kantor polisi. Mungkin ketika itu ia melihat wajah Seo Dalsoo dengan harapan itu adalah terakhir kalinya ia bertemu dengan lelaki tua tersebut. Sayangnya tidak bisa demikian bila ia ingin kasusnya terselesaikan.

 

Detektif Ahn mengabari bahwa Seo Dalsoo sudah tertangkap. Ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Jeonghan berkaitan dengan pengakuannya. Ia memutuskan untuk datang sendiri karena tidak ingin dianggap lemah oleh Mingyu. Kini ia justru ragu apa ia sanggup untuk masuk ke dalam.

 

“Hei,” Seseorang menepuk bahunya.

 

Jeonghan menoleh dengan cepat dan mendapati Seungcheol tersenyum di belakangnya, “Seungcheol-ssi? Bagaimana kau tahu aku di sini?”

 

“Nyonya Yoon yang memberitahu saat tadi aku ke rumahmu. Ibumu khawatir karena kau kemari sendirian.”

 

Sebelum Jeonghan membuka mulut untuk memprotes tindakan ibunya, Seungcheol sudah terlebih dulu menyahut, “Nyonya Yoon benar. Setidaknya harus ada seseorang yang menemanimu. Bukan karena kau tidak sanggup pergi sendirian tapi karena kami semua sayang padamu, kami peduli padamu dan rela menemanimu.”

 

Sayang.

 

Satu kata itu membuyarkan konsentrasi Jeonghan. Apa benar yang dikatakan Seungcheol atau yang ia bicarakan adalah rasa sayang keluarganya?

 

“Ayo kita masuk.”

 

Genggaman tangan Seungcheol masih saja membuat Jeonghan berdebar. Memberinya kekuatan untuk maju. Ia tidak sendirian. Keberadaan Seungcheol ternyata berpengaruh cukup besar bagi Jeonghan, seakan menjadi efek placebo yang memberikan kekuatan baginya. Sesuatu hal yang sederhana tapi sangat berarti untuknya.

 

Meski ia harus berhadapan dengan Seo Dalsoo, ia yakin bisa menjalaninya.

 

Penandatanganan dokumen tidak memakan waktu lama. Jeonghan pun tahu akan ada kemungkinan ia dipanggil mengikuti sidang yang entah kapan akan terjadi. Kesiapan Jeonghan untuk menjadi saksi pun mengejutkan Detektif Ahn. Semula Jeonghan menolak habis-habisan bahkan hanya untuk melihat Seo Dalsoo dari balik kaca. Kini sepertinya pemuda itu sudah membulatkan tekad akan memastikan Seo Dalsoo berada di balik jeruji penjara.

 

Hyung, aku bangga padamu. Berada dalam situasi seperti ini dan harus mengingat masa lalu... aku saja tidak yakin bisa melakukannya.” ujar Seungcheol setelah mereka keluar dari kantor polisi.

 

“Ini kehidupanku. Kalau aku tidak melakukan apa-apa untuk mengubahnya menjadi lebih baik, itu namanya kebodohan.” Jeonghan berjalan mendahului Seungcheol lalu berdiri di hadapannya, “Kita harus merayakan keberanianku ini, Seungcheol-ssi.

 

“Merayakannya? Kalau begitu biar kuhubungi Mingyu-hyung juga.” Seungcheol meraih ponsel dari saku celananya tetapi tangan Jeonghan menghentikannya.

 

“Aku ingin merayakannya denganmu saja.”

 

***

 

Bukannya Seungcheol tidak pernah makan malam di restoran mewah, namun restoran pilihan Jeonghan membuatnya terperangah. Ia tidak menyangka Jeonghan mengajaknya ke restoran mahal.

 

“Kau serius kita akan makan malam di sini, hyung?”

 

“Serius. Lagipula kita sudah duduk di dalamnya. Kau mau keluar?”

 

“Ti-tidak, bukannya begitu. Tapi ini kan mahal...” Seungcheol tidak yakin bisa mengajak Jeonghan makan malam di tempat semewah ini, kecuali nanti setelah ia bekerja.

 

Jeonghan menatapnya seolah Seungcheol sudah meremehkan kemampuan Jeonghan membayar makan malam untuk mereka berdua. Ia bergegas minta maaf sebelum Jeonghan tersinggung.

 

Saat membaca menu pun Seungcheol kehabisan akal harus memesan apa. Yang ada di pikirannya hanya ayam goreng, bukan anggur mewah dengan kualitas nomor satu. Jeonghan menyebutkan makanan dengan nama terpanjang yang pernah Seungcheol dengar. Ia hanya bisa menangkap kata ‘fish’ di dalamnya, entah bagaimana Jeonghan menyebutnya dengan cepat. Mungkin ia sering memesan itu.

 

“Kau pesan apa, Seungcheol-ssi?”

 

“.... kau tadi pesan apa, hyung?”

 

“Ikan.”

 

Seungcheol meringis malu, “Baiklah, aku juga sama.”

 

“Baiklah,” Jeonghan memesan dua porsi makanan yang sama pada pramusaji kemudian tersenyum ke arah Seungcheol, “Kau tidak ingin mencoba menu lainnya?”

 

“Uh, tidak usah. Aku ingin mencoba menu yang sama denganmu.” Padahal bukan itu alasannya.

 

Jeonghan menghela nafas panjang, lalu terkekeh geli, “Ya sudah setelah ini kita mampir pojangmacha.” Barulah Seungcheol bisa tersenyum lebar.

 

Seungcheol menganggap ini adalah kencan resmi pertama mereka. Tiba-tiba terpikir sesuatu di benaknya—ia bahkan tidak yakin hubungannya dengan Jeonghan disebut apa.

 

Hyung, sebenarnya kau kekasihku atau bukan?”

 

Pertanyaan yang terdengar sangat bodoh itu membuat Jeonghan tersedak minumannya. Wajahnya memerah malu, tak sanggup menatap Seungcheol yang terlihat polos.

 

“Menurutmu bagaimana?” tanya Jeonghan ragu.

 

“Kekasihku.” Seungcheol menjawabnya dengan yakin, “Uhm... kau mau kan, hyung? Ma-maksudku kau tidak keberatan menjadi kekasihku, kan? Hyung, kenapa kau tidak menjawab?” Seungcheol panik.

 

“Seungcheol-ah!” potongnya karena lelaki di hadapannya itu tak berhenti bicara.

 

Mata Seungcheol membulat mendengar panggilan Jeonghan yang sudah berubah dari Seungcheol-ssi menjadi Seungcheol-ah. Ia menggigit bibir, menahan malu.

 

“Terimakasih sudah memanggilku Seungcheol-ah.” Ia mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari Jeonghan.

 

“Ini di tempat umum!” desis Jeonghan lalu menarik tangannya dari atas meja, “Bagaimana kalau dilihat orang?”

 

“Apa aku tidak boleh menggenggam tangan kekasihku?”

 

“Tidak di depan umum.”

 

“Kalau begitu tunggu sebentar—” Seungcheol beranjak dari tempat duduknya kemudian menarik tangan Jeonghan untuk mengikutinya.

 

“Kita mau ke mana?”

 

“Kamar mandi.”

 

Dan saat Seungcheol mengunci pintu kamar mandi, jantung Jeonghan berdegup kencang, “Mau apa kita di sini?”

 

Hyung—kau jangan berpikiran yang tidak-tidak!”

 

“Lalu mau apa kita di sini? Dan untuk apa kau mengunci pintunya?”

 

“Uhm, kau tahu kan kalau di drama... setelah menyatakan cinta, mereka berciuman...” Suara Seungcheol semakin lama semakin pelan hingga Jeonghan harus memajukan tubuhnya untuk mendengar lebih jelas.

 

Ia membutuhkan sepersekian detik untuk mencerna maksud ucapan tersirat Seungcheol. Ketika ia mengerti, wajahnya memanas.

 

“Aku tidak tahu kau penggemar roman picisan.” Jeonghan meletakkan kedua tangannya di pipi Seungcheol, “Tapi idemu bagus juga.” Ia tersenyum sebelum mengecup lembut bibir Seungcheol, mencurahkan seluruh perasaannya, “Mungkin perasaanmu tidak sebesar perasaanku padamu, Choi Seungcheol. Aku tidak berharap banyak. Asal bisa bersamamu saja sudah cukup.”

 

“Bisa bersamamu itu sudah lebih dari harapanku, Yoon Jeonghan.” Ia merengkuh pinggang Jeonghan, membawanya mendekat.

 

Jeonghan menyandarkan dahinya di dahi Seungcheol. Semoga saat seperti ini bisa bertahan lebih lama.

 

BERSAMBUNG

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
caratsfiction
Update Chasing REFLECTION 04

Comments

You must be logged in to comment
lily199iusinger
#1
Chapter 2: I, too, want to use google translate. I saw the translated english version of this on ao3. The story is just so perfect! I‘m currently left hanging, thanks for this!
pinkrose8899 #2
Chapter 11: finally~ thank you for making this lovely story, author nim!^^
pinkrose8899 #3
Chapter 9: yay, finally official~~~
pinkrose8899 #4
Chapter 3: when you lowkey ship gyuhan :3
pinkrose8899 #5
Chapter 2: eak jww gak tsundere :3
pinkrose8899 #6
Chapter 1: daku jadi inget ftv trans tv masa yg toko kramat itu xD
Shirsha23 #7
i'm getting tempted to use google translate istg!! can't wait for you to update the eng ver. but of course (its hard to say) take your time~~~
Shirsha23 #8
teach me your language lol!!! i want to read this so much i'd cry!!!!
zyx1004 #9
Chapter 11: Gils ceritanya mindblowing tapi seru!
nurhusnamustafa #10
Chapter 11: This is the best !!!!