Permulaan Lucid Dream

Luziden Träumen

Baru saja Joonmyun beranjak dari kursinya, ponselnya menjeritkan nada dering denting piano klasik—nada dering yang sengaja diatur untuk nomor yang tidak dikenal. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menjawab telepon itu.

“Halo, ini Kim Joonmyun yang berbicara. Dengan siapa?” Raut wajah Joonmyun berubah sumingrah ketika si penelepon menjawab dengan nama yang ditunggu balasannya sedari tadi.

 “Oh, Luhan-ssi. Kapan anda punya waktu untuk konsultasi? Dimana anda tinggal?” Joonmyun mengambil notes dan menuliskan alamat si penelepon.   

“Oh, jadi apartemen anda di Busan, ya? Baik, nanti kami akan ke sana jam sepuluh malam.”

Sambungan telepon diputus. Rasanya Joonmyun ingin waktu cepat bergulir sampai jam sepuluh malam nanti.

—ia sudah tidak sabar untuk berkenalan dengan klien pertamanya.

.

.

.


EXO © SM Entertainment

Members of EXO (K and M) are not mine, but God and themselves. I don’t take any profit from this fanfic.

MIMPI © Eka Kuchiki

Inspiration from movie Inception by Christopher Nolan

Warning: OOC, alur loncat-loncat, (mungkin) death character, Alternate Universe (AU)


.

.

.

Joonmyun membuka pintu apartemennya yang gelap. Lampu-lampu di dalam ruangan belum dinyalakan menjadi bukti bahwa dia yang pertama kali sampai di apartemen. Saat ia menyalakan lampu ruang tamu, jam dinding menunjukkan waktu pukul sembilan lewat seperempat. Ia menggigit bibir bawahnya. Ia baru ingat satu keteledorannya, yaitu lupa memberitahu Yifan. Salahkan sore yang hectic tadi, sehingga ia tidak diizinkan menyentuh ponsel sampai jam tujuh malam.

Pemuda Korea berkulit putih itu menekan speed dial pada ponsel androidnya. Ia menunggu teleponnya diangkat sembari mengucapkan mantra dalam hati, ‘Semoga Yifan sedang dalam perjalanan pulang. Semoga Yifan cepat sampai. Semoga—’

“Halo, Myun?” Raut wajah Joonmyun langsung sumingrah mendengar suara berat Yifan menyapanya.

“Fan, kamu masih di Gangnam ya?” tanyanya.

“Nggak, gue lagi di jalan. Bentar lagi sampai di apartemen. Emangnya kenapa?”

Joonmyun menghela napas lega. Akhirnya pembicaraan sampai di bagian yang krusial. “Kita dapat klien. Dan Klien kita minta kita datang jam sepuluh.”

“Lo serius? Kenapa baru bilang sekarang?” Kini otak Joonmyun mulai membayangkan wajah Yifan yang syok karena berita dadakan itu.

“Sorry, Fan! Aku takut ganggu kamu soalnya.”

“Yaelah, bilang aja lo lupa kan?” 

“Kali ini aku butuh bantuanmu, Yifan. Please…”

Terdengar suara tawa renyah Yifan sebelum ia memberikan jawabannya, “Oke, tunggu di tempat parkiran aja. Gue bentar lagi nyampe kok!”

Setelah sesi ‘phone a friend ‘ selesai, Joonmyun mengambil barang-barang yang diperlukan, kemudian mengunci pintu apartemennya.  

.

.

.

Yifan memberhentikan mobil Hyundai hitamnya di tempat Joonmyun menunggunya. Ia terpaksa keluar dari mobilnya dan menghampiri Joonmyun karena pemuda itu memberinya kode untuk keluar dari mobil.  ‘Dasar aneh.’ pikir pemuda berambut cokelat pirang itu.   

“Siapa nama klien kita?” tanyanya dengan nada datar.  

Wajah Joonmyun tenang, tidak terpengaruh dengan nada datar Yifan. “Namanya Luhan. Dia tinggal di Busan juga, tapi apartemennya dua kilometer dari apartemen kita.”

“Serius nih kita harus kesana sekarang? Jam segini?” Yifan menunjukkan arlojinya, sudah jam setengah sepuluh malam.

Joonmyun tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Ia baru menghentikan tawanya saat tatapan membunuh Yifan mengarah padanya. “Emangnya kamu pikir lucid dream kejadiannya pas kapan? When you’re already slept, Moron!”

Yifan melengos dan menghindari kontak mata dengan Joonmyun. Wajah tampannya mengeruh. “Iya, deh. Mentang-mentang lulusan S3 di Berkeley. Gue kan cuma lulusan S1.” sinisnya.

“Ya ampun, diledekin gitu aja ngambek,” Joonmyun geleng-geleng kepala melihat sikap teman seapartemennya yang mudah sekali  bad mood. Ia mendorong tubuh Yifan ke dalam mobil, “udah cepetan masuk ke mobil! Biar aku aja yang nyetir!”

“Galak amat,” sindir Yifan sambil menepis tangan Joonmyun. Ia duduk dengan tangan terlipat di dada, ‘Yang diledekin siapa, yang ngomel siapa…’

.

.

.

Pukul sepuluh KST, Joonmyun dan Yifan sampai di depan pintu apartemen 204. Dua kali pencetan cukup untuk membuat sang pemilik apartemen membukakan pintu untuk mereka.

“Selamat malam,” Pintu apartemen terbuka dan menampilkan sosok pemuda berambut dirty blonde yang tersenyum ramah kepada dua tamu spesialnya, “Ah! Anda pasti tuan Kim dan…“

“Wu Yifan,” Yifan menyodorkan tangannya dan menjabat tangan pemuda China bertubuh lebih pendek darinya itu, “saya juga pemegang akun itu.”

Luhan menyambut uluran tangan Yifan dengan mata tidak berkedip. Ia menjentikkan jarinya setelah mengenali wajah Yifan. “Ah! Saya tahu! Anda pasti Kris Wu kan? Supermodel dari Beijing kan?”

Joonmyun memalingkan mukanya ke arah lain ketika Yifan mulai memasang senyum tipis dan membuka kacamata hitamnya di depan klien mereka. Oh, sikap (sok) cool itu— 

pura-pura tidak kenal. Anggap Wu Yifan tidak ada.

“Itu nama saya saat menjadi model. Panggil saja Yifan.” jelas Yifan dengan gaya (sok) cool.   

Kening Joonmyun mengernyit aneh saat ia menyadari betapa kakunya atmosfer mereka—sampai-sampai bahasa Yifan menjadi lebih formal.  “Kayaknya kita jangan terlalu formal, deh. Biar gak kaku.” Kamu sepertinya lebih muda kami berdua. Apa kamu masih mahasiswa?”

Kekehan Luhan menyahuti pernyataan Joonmyun, kemudian pemuda bertubuh ramping itu menjawabnya dengan nada tidak percaya, “Memangnya aku semuda itu ya? Umurku udah 26 tahun loh…”

Yifan membelalak, sementara Joonmyun menyikut pinggang supermodel itu. Senyum dari wajah malaikatnya terlihat jelas ingin meledek Yifan. “Dia bahkan lebih tua dari kamu, Fan. Tapi kenapa mukamu lebih tua?”

“Diem lo, Pendek!” sengitnya sembari memberikan tatapan membunuh kepada pemuda berkulit putih susu itu. Sayangnya Yifan lupa bahwa psikiater tidak mempan diberikan tatapan membunuh dan hanya membuat tawa Joonmyun semakin menjadi. 

.

.

.

Sebagai psikiater handal, percakapan Joonmyun dengan kliennya tidak langsung menuju ke sumber masalah.  Ia memilih untuk mengetahui latar belakang kliennya supaya penyelesaiannya bisa disesuaikan dengan latar belakang kliennya. Dari awal obrolan, Joonmyun mengetahui bahwa Luhan adalah seorang pelatih sepak bola junior yang baru bekerja setahun di Korea Selatan, tipikal sanguin, dan supel.

—berarti dugaannya benar, ia harus menjaga dialog mereka agar tidak kaku. 

Setelah basa-basi 10 menit, Joonmyun melontarkan pertanyaan utamanya, “Berapa kali kamu melakukan lucid dream setelah mimpi bertemu dengan laki-laki misterius itu?”

“Tiga kali,” Jemari Luhan mengetuk meja dengan gusar, “tapi kayaknya lucid dream yang aku lakukan nggak pernah berhasil.”  

“Bisa diceritakan seberapa jelasnya kamu mencoba lucid dream?”

“Seberapa jelas?” Alis Luhan naik sebelah, “Maksudnya?”

“Begini,” Joonmyun berdehem sebelum memulai penjelasan panjangnya, “lucid dream memiliki tingkatan lucid atau tingkat kejernihan mimpi. Jika saat kamu bermimpi, kamu hanya menyadari samar-samar saat bermimpi dan tidak dapat berpikir dengan rasional bahwa mimpi itu tidak nyata, itulah tingkat kejernihan terendah. Tapi  pada tingkat kejernihan tertinggi, kamu akan menyadari sepenuhnya bahwa kamu sedang tidur, dan dapat memiliki kontrol penuh tindakan yang akan dilakukan dalam mimpi.”

“Atau singkatnya, tingkat tertinggi dalam lucid dream yakni saat seorang pemimpi bisa mengatur mimpinya sendiri.” tambah Yifan.

Luhan menggeleng cepat. “Kalau soal mengontrol mimpi sih aku belum sampai ke situ,” jawabnya pelan sambil mengusap belakang kepalanya. “aku baru mencobanya sendiri, jadi masih bingung gimana mengontrolnya.”

“Kebetulan aku membawa satu oneironaut,” Joonmyun menepuk pundak Yifan. Yang ditepuk pundaknya tersenyum bangga—karena keberadaannya mulai dianggap penting, “dia yang akan menuntun kamu selama masuk ke dalam mimpimu sendiri.”

 “Yifan akan masuk ke dalam mimpiku?” Mata bulat Luhan berbinar kagum, “Wah, kayak di film Inception dong!”

Yifan terkekeh mendengar celotehan Luhan. “Mirip kayak film Inception sih, tapi mungkin nggak sekeren film itu.”

Tiba-tiba Luhan tersentak—ada sesuatu yang dilupakannya.“Aku pergi dulu sebentar,” izin Luhan kepada kedua tamunya. Ia beranjak dari sofa lalu pergi ke dapur, kemudian kembali dengan sesisir pisang di tangan.  

“Joonmyun, aku sudah menyediakan pisang,” Luhan meletakkan sesisir pisang di atas meja dengan ekspresi wajah digelayuti tanda tanya, “Ngomong-ngomong, untuk apa kita makan pisang?”  

Tatapan tajam Yifan bersiap untuk menginterogasi pemuda berkulit putih disampingnya. Salahkan Joonmyun yang tidak memberitahunya ada acara makan pisang—dan menyuruh Luhan untuk menyediakan pisang. Padahal dirinya sedang tidak mood memakan buah kuning berbentuk bulan sabit itu.

Give me a reason Dr. Kim Joonmyun. Are you kidding me? Kenapa lo gak bilang ada acara makan pisang?”

Joonmyun mengacuhkan kontak mata Yifan dan menatap lurus Luhan, “Pisang mengandung trytophan, salah satu zat kimia yang akan diolah oleh otak menjadi hormon serotonin. Hormon itulah yang berperan penting  dalam mengatur mood, ingatan jangka pendek, dan mimpi di dalam otak.”

Ia menghitung jumlah pisang dari sesisir pisang itu sekilas dan tersenyum simpul. “Kurasa 2-3 buah pisang sudah cukup untuk persiapan lucid dream kita.”

“Oh, iya. Luhan,” Yifan menyerobot pembicaraan sembari melirik sekilas ke pisang-pisang itu tanpa minat, “ada es krim gak buat bikin banana split—ADAW! Ngapain lo injek kaki gue, Pendek?”

“Malu-maluin,” desis Joonmyun. Mata sipitnya menatap tajam pemuda tinggi itu, “nyesel aku ngajak kamu.”

Yifan memandang remeh tatapan membunuh itu—baginya gertakan Joonmyun bukanlah ancaman baginya.  “Eh, gue serius, Myun! Es krim itu kan terbuat dari susu, susu sendiri kan bisa membuat stimulasi nyaman pada otak dan lidah! Ya kali lo mau makan pisang gak ditambahin apa-apa! Yang ada malah eneg!”

Joonmyun tertawa mengejek. “Tumben kamu pinter, Fan. Kalo soal makanan aja baru nyambung otaknya.”  

Luhan pun ikut tertawa setelah mengetahui maksud Yifan. “Ada kok. Mau berapa liter? Atau sekalian sama kulkasnya?”

Yifan berdecak mendengar cemooh dua pemuda yang lebih pendek darinya itu. Habis sudah image dirinya sebagai cool supermodel.

“Lo berdua hebat banget ya, baru ketemu udah sekongkolan aja. Nikah aja lo berdua sana!”

.

.

.

Hanya dua piring berisi banana split yang sudah habis disantap. Joonmyun menolak memakan banana split dengan alasan dia hanya menjadi pengawas saat kedua pemuda China itu melakukan lucid dream (dan membuat Yifan merapal voodoo, “Kim Joonmyun akan pendek selamanya.”). Sembari menunggu tryptophan dalam pisang diolah menjadi serotonin, Joonmyun menjelaskan tahap awal melakukan lucid dream pada Luhan.

Lucid Dream berkaitan erat dengan tidur REM[1]. Tidur REM lebih banyak dijumpai sebelum seseorang benar-benar terbangun dari tidurnya.”

Joonmyun menghela napas sekali, lalu melanjutkan penjelasannya, “Untuk melakukan lucid dream, kita nggak perlu tidur berlama-lama. Cukup tiga jam aja, karena durasi mimpi sendiri berlangsung dalam siklus 60 menit selama tidur. Saat memasuki fase REM, coba bayangin tempat kejadian sesuai dengan mimpimu semalam.”

“Kamu dan Yifan akan tidur di atas kursi,” Joonmyun menunjuk ke dua kursi yang diatur bersebelahan, “Untuk menjaga agar kesadaranmu tetap stabil saat melakukan lucid dream, posisi duduk merupakan posisi yang ideal.” jelasnya sebelum ditanya.

Luhan mengangguk sekali. “Bagaimana cara menyamakan waktu tidur REM-ku dengan Yifan?”

“Kita pakai ini,” Joonmyun mengeluarkan tiga kabel berlainan warna yang tersambung pada sebuah kotak hitam kecil dengan sambungan port usb. Ada tiga stiker yang terpasang pada ujung kabel-kabel itu.  Yifan mengernyitkan dahinya saat Joonmyun menghubungkan port usb alat itu ke laptopnya.

“Kok gue belum pernah liat lo pake alat itu sih, Myun?” tanyanya.

“Emang ini alat masih dalam proses percobaan. Makanya pengen aku coba ke kamu.” jawab Joonmyun tanpa menoleh ke arah si penanya.

“Sialan lo! Gue dijadiin kelinci percobaan!” maki Yifan. “Kalo otak gue kenapa-napa gimana?”

Joonmyun tertawa mendengar respon Yifan—yang menurutnya terlalu berlebihan. “Nggak bakal nyebabin kanker otak juga kali, Fan! Alat ini cuma mendeteksi frekuensi gelombang theta[2] kamu sama Luhan! Kalau nggak cocok, nanti aku kasih pemicu binaural beats[3] agar waktu tidur REM kalian menjadi sama. Dengan begitu, kamu bisa masuk ke dalam mimpi Luhan.”

Tidak ada sanggahan lagi dari Yifan—percuma mendebat ahli psikologi. Joonmyun menyunggingkan senyum kemenangan. Tanpa basa-basi, ia menempelkan bagian berstiker ujung kabel merah pada kening Yifan, dan ujung kabel biru pada kening Luhan. Ia pun mengaktifkan sebuah software yang menampilkan output data gelombang theta Yifan dan Luhan yang mulai memejamkan mata mereka.

Meskipun mata Luhan terpejam, hatinya terus bertanya-tanya dalam hati karena pengalamannya melakukan lucid dream berbeda dengan yang dilakukannya bersama Yifan. Tapi disimpannya semua dalam pikirannya sendiri. Mungkin pengalaman lucid dream-nya kali ini mampu menjawab semua pertanyaannya.

—termasuk identitas pemuda misterius itu.

.

.

.

Mula-mula Luhan merasa seperti disekap dalam kegelapan dan bayangan menyeramkan, mengalami sleep paralysis[4], dan kembali ditelan gelap. Permulaan lucid dream selalu menjadi momok yang membuatnya ingin menyerah saja. Tapi tiga kali mencoba lucid dream menjadikannya sedikit kebal dengan momok itu.

Ketika Luhan membuka mata, ia berada di depan sebuah kafe dengan posisi duduk dan menu makanan yang dipegangnya baru saja diambil oleh waiter. Rupanya ia sedang menunggu pesanannya datang. Sepasang obsidian itu mencari-cari sosok supermodel yang akan menuntunnya di dalam mimpinya.    

Ia membelalakkan matanya. Tiba-tiba saja seorang pemuda tinggi berambut cokelat pirang berwajah rupawan berjalan mendekati dirinya dan melempar senyum tipis.  

“Yifan?” Luhan terperanjat saat melihat sosok tinggi menarik kursi dan duduk dihadapannya, “Kamu itu—”

“Ya, gue masuk ke dalam mimpi lo,” potong Yifan.

“Jadi kita…”

Yeah, welcome to the lucid dream!” Seringai Yifan pun terulas. Tangannya yang panjang membentang—menunjukkan gestur selamat datang, “We’re living in your dreams!” 

Luhan mengucek matanya, raut wajahnya masih menyiratkan keraguan. “Ini kita di dalam mimpi? Kok aku ngerasa kita kayak di kafe biasa?”  

“Mau bukti?” tantang Yifan sambil menunjuk ke deretan pot-pot bunga yang tertata rapi di depan sebuah toko bunga,  “Coba sekarang lo bayangin pot-pot bunga itu meledak, lalu dari pot-pot yang meledak itu akan keluar kapas.”   

Luhan tertawa—rasanya lucu membayangkan hal imajinatif seperti itu. Tapi kedua obsidian itu akhirnya menatap fokus pot-pot bunga yang berjajar dan membayangkan seperti apa yang dikatakan Yifan.

‘Duar! Duar! Duar!’

Terdengar bunyi ledakan berturut-turut dari pot-pot bunga yang meledak. Yang membuat Luhan takjub ketika pot-pot bunga itu meledak, bukan kepingan pecahan pot yang bertebaran di jalan, tetapi gumpalan-gumpalan kapas putih.   

“Wah! Kok bisa?” serunya takjub. “Jangan bilang selama aku tiga kali latihan lucid dream gagal semua!”

“Mungkin,” Yifan menatap lurus pemuda babyface itu, “lo sebenernya mampu untuk jadi oneironaut natural, tapi lo kurang bisa mengendalikan kesadaran lo kalao gak dipantau.”

“Emangnya kamu latihan berapa kali sampai bisa masuk ke dalam mimpi orang lain?”

“Sekali coba dan langsung berhasil.”

Luhan terperangah mendengar pengakuan Yifan. “Seriusan? Kok bisa?”

“Gue oneironaut natural semenjak—“ Menyadari kartu rahasianya mulai terbuka, Yifan buru-buru mengalihkan pembicaraannya, “Udah deh! Jangan bahas itu lagi! Kita fokus aja ke masalah lo!”

Luhan mengangguk pelan—terpaksa menyimpan rasa penasarannya lagi. Mereka kedua meninggalkan kafe itu dan menyusuri  trotoar. Di bahu jalan, deretan toko-toko hanya dikunjungi beberapa pembeli saja. Sebagian besar orang memilih untuk berjalan di trotoar sama seperti mereka.

“Oh, iya! Terakhir kali aku ngeliat dia di sini! Dia lagi—” Luhan tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pemuda tinggi dengan wajah mirip dengannya menatap mereka berdua dan menyunggingkan senyum tipis sebelum berlari ke arah Barat.

“Ah, itu orangnya!” Luhan berlari mengejar pemuda tinggi berambut pirang itu, disusul Yifan dibelakangnya.   

“Coba bayangin sesuatu yang bisa mencegatnya!” seru Yifan.

“Apa yang harus dibayangin?” tanya Luhan panik. Otaknya mendadak tidak bisa diajak bekerja sama.  

“Bayangin aja jalanan terlipat ke atas, kek!  Bikin dia dipenjara, kek! Apapun terserah lo!”

Pandangan ke depan Luhan tertuju pada jalan raya yang sepi oleh kendaraan. Tiba-tiba sebagian dari jalan raya itu terlipat ke atas, hampir menjangkau langit. Pemuda itu tetap berlari di jalan raya yang terlihat seperti berlari di dinding. Sambil mengejar, Luhan membayangkan sebuah kerangkeng mengurung pemuda berambut pirang itu—berharap perangkapnya kali ini berhasil. 

Kerangkeng hitam berhasil dikeluarkan tepat di atas pemuda berambut pirang itu. Alih-alih tertangkap,  lagi-lagi Luhan harus menelan rasa kecewanya karena perangkapnya tidak berhasil menjebak pemuda misterius itu.

Tiba-tiba Luhan merasa pundaknya ditepuk seseorang bersuara berat.  “Gimana? Ketangkep gak?”

“Dia menghilang, Fan. Kayaknya dia kabur kesana.” Luhan menunjuk ke arah seberang jembatan.   

Kali ini Yifan terdiam—ada yang janggal dari pemuda misterius itu. ‘Kalau cowok pirang itu proyeksi mimpi Luhan, harusnya dia bisa dicegat,’ batinnya.  ‘atau jangan-jangan—‘

“Hoi, Fan! Jangan bengong di sini!”  Luhan menarik tangan Yifan dan menyeretnya menyeberangi jembatan. Yifan tidak melakukan perlawanan apapun sampai ia menyadari ada yang ganjil dari ujung jembatan tempat mereka menyeberang sungai Han.

“Tunggu, tempat ini pusat perbelanjaan Myeondong kan?”

Luhan menoleh dan mengangguk sekali. “Iya. Emang kenapa?”

“Kenapa nggak pakai imajinasi lo sendiri?” sewot Yifan.

Luhan memutar bola matanya—ia paling malas berdebat dan didebat. “Kenapa gak boleh pakai kenangan?” balasnya sengit.

“Harusnya gak boleh!” sentak Yifan keras. “Karena kenangan atau memori yang berada dalam mimpi itu bakalan sulit diatur oleh kita!”

“Tapi di tempat ini aku merasakan déjà vu dengan cowok tadi!”

Hening mencekam kedua pemuda itu. Keheningan itu baru diakhiri Yifan dengan helaan napas; menyerah untuk berdebat. 

“Oke, kita cari lagi target kita.”

.

.

.

Mereka menyusuri toko-toko pakaian di Myeondong untuk mencari jejak pemuda berambut pirang itu. Luhan mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan sekelilingnya. Semua mata orang-orang itu tertuju pada dirinya dan Yifan, seolah-olah mereka adalah alien.

Luhan menyikut lengan Yifan. “Fan, kenapa orang-orang itu menatap kita?”

“Cuekin aja.” jawab Yifan datar.

Mereka masuk ke dalam sebuah toko baju. Luhan mencari ke arah Barat, sementara Yifan ke arah sebaliknya.  Sampai di bagian pakaian pria, sepasang obsidian Yifan membelalak tepat di objek seorang pemuda berambut cokelat yang tengah menyunggingkan senyum kepadanya. Senyum pemuda itu memperlihatkan lesung pipi di pipi kanan. Senyum itu milik— 

“Yi-Yixing?” serunya tidak percaya. “Kenapa… bisa?”

“Bisa apa, Fan?” sahut Luhan.

“Nggak, nggak ada apa-apa,” Tangan Yifan menepis udara kosong—berusaha mengalihkan pembicaraan, “Kita cari lagi orang i—“

Kalimat Yifan terpotong karena tiba-tiba saja lantai toko yang mereka pijaki bergetar hebat.  Timbul retakan yang besar dan kini mulai merambat di bawah kaki mereka.  Luhan menjerit panik.

“Fan! Kenapa tiba-tiba ada gempa?”

“Tenang aja. Itu cuma sinyal, udah saatnya kita pulang…”

“Tapi gimana kalo kita mati di sini?” Luhan menggenggam erat tangan Yifan. Sungguh menyeramkan mati di dalam mimpi. Apalagi tidak ada tempat kabur bagi mereka, karena retakan lantai semakin melebar dan merambat ke arah mereka dalam kecepatan detik. Sebentar lagi mereka akan terperosok ke dalam—

“Kita gak bakalan mati, Luhan! Itu memang proses—NYAAA!”

—lubang tanpa dasar.

.

.

.

Suara dering jam weker kuno memecah keheningan apartemen Luhan. Dua pemuda China yang tidur terduduk mulai membuka mata mereka dalam waktu yang hampir bersamaan. Sekilas terdengar gerutuan Yifan yang mengeluhkan suara weker kuno yang sangat cempreng.

Joonmyun melihat jam weker dengan jarum jam menindih angka satu, kemudian menyunggingkan senyum kepada dua pemuda China itu.

“Gimana? Kalian tahu siapa pemuda pirang misterius itu?” tanyanya antusias.

“Belum, Myun,” Yifan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “kayaknya kita butuh beberapa kali lucid dream buat ngebongkar identitas cowok itu.”

Joonmyun menatap kliennya, bersiap untuk memberikan pengarahan layaknya psikiater pada umumnya.

“Kalau kamu mau melakukan lucid dream sendirian lagi, kamu harus ingat cara yang tadi,” Pemuda berkulit putih itu menepuk pundak Luhan yang mencoba fokus mendengarkannya—kesadarannya masih belum mengumpul sepenuhnya. “Agar kamu dapat menemui orang itu lagi, sehabis melakukan lucid dream, kamu harus melakukan dream recall. Ingatlah mimpi yang baru saja kamu alami sedetil mungkin, kalau perlu dicatat.”

Luhan menggeleng cepat. “Bahkan aku sudah lupa detailnya.” desahnya.

“Gak perlu diinget semua. Cukup inget yang penting-penting aja,” sambung Yifan. “intinya buat memancing si cowok pirang itu aja di lucid dream berikutnya.”

“Oke, malam ini cukup sampai di sini. Kalau kamu butuh bantuan lagi, kami akan datang lagi.”

“Sebentar,” Luhan menahan kedua pemuda itu untuk pulang. Obsidian pemuda itu terlihat sedikit berkilat,  “Bisakah aku ikut bergabung dengan kalian? Mungkin aku nggak sepintar atau sehandal kalian, tapi aku akan berusaha semampuku.”  

Kedua pemuda berlainan tinggi itu saling bertukar pandang, tetapi diliputi kebimbangan. Klien pertama mereka ingin masuk ke dalam bagian mereka, tetapi kemampuannya dalam mengontrol mimpi masih terbatas. Tapi akhirnya Yifan mendekati Joonmyun dan membisikkan sesuatu ke telinga Joonmyun hingga membuat pemuda berkulit putih itu mengangguk dan menyunggingkan senyum.   

Yifan menatap lurus Luhan. “Boleh aja. Sebenarnya ini proyek Joonmyun dan gue ikut bantuin dia. Dan kebetulan gue gak bisa bantuin dia untuk seminggu ke depan.” kata Yifan lengkap dengan senyuman ‘pamer gusi’.

“Dan siapa tahu kemampuan mengontrol mimpimu bisa meningkat,” tambah Joonmyun. “tapi beneran kamu gak keberatan kalau harus kerja malam?”

“Nggak kok! Aku malah senang banget!” Senyum Luhan melebar.  Ia pun membungkuk 90 derajat dan ucapan “Terima kasih!” terlontar mulus dari bibirnya, “mohon bantuannya ya!”

.

.

.

Joonmyun merasa aneh dengan sikap Yifan semenjak mereka meninggalkan apartemen Luhan. Yifan yang biasanya selalu ramai mengomentari apa saja yang bisa dikomentari (alasannya untuk membunuh bosan), kini menjaga mulutnya tetap terkunci. 

“Tumben diem aja,” Joonmyun menyikut Yifan yang sedang fokus menyetir, “Kamu ada masalah saat lucid dream tadi sama Luhan?”

“Gue ngerasa ada yang gak beres dengan Luhan.” jawab Yifan datar. Pandangannya tetap fokus ke depan. Kening Joonmyun mengernyit bingung; ini bukan Wu Yifan yang dikenalnya.  

“Emang kamu nemuin apa di mimpi Luhan?”

Pandangan Yifan sama sekali tidak beralih kepada si penanya. Sampai akhirnya, ia melambatkan laju mobilnya dan mengatakan satu kalimat dengan suara tertahan.

“Gue… baru aja ngeliat Yixing di dalam mimpi Luhan.”

“Hah?”

.

.

[Bersambung]

.

.

 


Glosarium:

[1] REM : Rapid Eye Movement.  Gerak mata cepat, yang biasanya menjadi pembatas antara mimpi sadar (lucid dream) dengan tidur.

[2] Gelombang theta: Gelombang otak saat terjadinya REM. Gelombang theta itu yang mengatur pikiran bawah sadar kita. Frekuensinya sekitar 4-8 Hz.

[3] Binaural Beats: Perpaduan dua gelombang dalam otak yang dapat menurunkan frekuensi gelombang otak, memicu efek yang berbeda seperti relaksasi dan induksi mimpi. Intinya binaural beats dapat memacu gelombang theta pada otak.

[4] Sleep Paralysis :  Keadaan tidur setengah sadar—peralihan kesadaran dari mimpi menuju ke bangun tidur. Keadaannya kayak mau bangun tapi susah setengah mati (kayak diduduki jin kalau istilah orang awam) dan sulit bernapas saat tidur.

 

 

Eka’s Note: Maaf banget ngaretnya keterlaluan~ TTATT Soalnya saya sekalian ngelunasin fanfic Suju, Exoplanet games, sekaligus ngerjain proyek kumpulan cerpen saya. Huhuhu~ dan Negara api pun—*dirajam* maksudnya WB pun menghalangi saya sehingga  pengumpulan riset untuk membuat fanfic ini jadi semakin lama diupdatenya. #alasan #bilangajalomagerKa!

.

Anyway, Kata sapaan ‘Lo-Gue’ Kris itu anggap aja dia ngomong dengan bahasa informal. Nanti akan saya pakai buat tokoh yang lainnya. Soalnya agak aneh kalau dipaksa formal, karena setting tempat dan waktunya cenderung ke masa kini. Bukan future time kayak exoplanet games #promosi

.

Proses lucid dream mirip seperti yang saya jabarkan dalam cerita, kecuali untuk bagian proses penyesuaian REM Kris dengan Luhan agar Kris bisa masuk ke dalam mimpi Luhan (yang merupakan modifikasi dari saya). Habis saya baru pertama kali bikin genre utama science-fic~ @.@

Akhir kata, komen? :D

 

P.S.: Semua umur member EXO di sini ditambah 3 tahun umur asli mereka. Contohnya seperti umur Luhan.

P.S.2: Di fanfic ini rata-rata warna rambut member EXO seperti MV MAMA, tapi mungkin mungkin ada yang kayak di MV wolf.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ssabrinazfr #1
apakah ini masih ada kemungkinan buat dilanjutkan? ?????
emyuki
#2
Chapter 11: Baru selesai baca chapter ini dan aku bingung. Mungkin karena kelamaan nggak baca ffnya kali ya? Kayaknya harus baca ulang dari awal deh. Sebenernya masih bingung kak meskipun udah ada FAQ. Maafkan~
Kak Eka yang kuliah di jurusan kimia malah nggak kerja di bidang kimia. Aku yang kuliah bukan di kimia malah kerja di bidang kimia dan aku puyeng dengan segala alat laboratorium.
oktafia #3
Chapter 9: Huh kak kapan ff ini di lanjut,,,
kakak bikin penasaraan deh lanjutannya apa,,,
itu ketuanya kyungsoo kan ....???? iya kan... #maksa
tau gak kak ff kakak itu yang aku tunggu-tunggu loh kak,,,,
please kak cepet update ya kakkk,,,, Keep Writing kaka..
aku sabar kok nungguin ff kakak,,,,
dyeolita
#4
Chapter 9: Setelah skian lama menunggu,akhirnya terupdate...dan lagi-lagi bersambung lagi..

Thank you for updating and keeping us waiting again ,,, xD
emyuki
#5
Chapter 9: Baru sempat review padahal bacanya semalem. Udah keburu ngantuk soalnya xD
Akhirnya yah, LT diupdate juga. Itu ChanBaeknya berisik amat. Tiap ketemu pasti berantem mulu. Yeol kayaknya hobi godain (?) Baek.
Akun anonim itu siapa sih? Salah satu anggota Luziden Traumen?
Itu Kyungsoo mau jelasin apa sih ke Chanyeol tentang tanggal 22 itu. Itu ulangtahunnya Junmyeon kan?
Tao tetep ya rempong. Kayak di exo showtime xD
Yifan Junmyeon itu juga nggak kali berisiknya kayak ChanBaek, ribut, debat mulu. Tapi aku suka xD.
Btw, dari mana Yixing tau kalo ada penyadap?
Yixing dulu anggota Luziden Traumen kan? Kenapa keluar? (Aku nggak tau ini udah dibahas atau belum, aku lupa xD)
Jadi titik temu Luziden Traumen sama Luce Nella Ombra apa ya? Motif mereka apaan? Siapa yang memulai lebih dulu? Maafkan kapasitas otakku yang nggak bisa diajak kerjasama ini, jadinya nggak ngerti apa maksudnya xD.
Bagian Junmyeon mau gabungin mimpi Minseok, Jongdae sama Luhan itu aku bingung, kek apa jadinya nanti.
Siapa sij bosnya? Aku penasaran. Kenapa mesti bersambung disana??? Satu wajah yang familiar buat mereka berempat kayaknya cuma Kyungsoo. Soalnya peran Kyungsoo disini cuma dikit masa? Kan nggak mungkin Kyungsoo cuma penjaga caffe ato manager caffe ato apalah itu namanya.
Okeeeh, kayaknya komennya udah cukup panjang. Cukup sampe disini. Ya walopun masih banyak yang belum kumengerti. Dan di foreword kan dibilang death chara, penasaran siapa ini nanti. Belum kepikiran endingnya.
Semoga cepet diupdate deh. Fighting!!
ssabrinazfr #6
Chapter 9: itu siapa yang jadi bosnya huhuhuhu masa iya Kyungsoo................................tapi dia kandidat yang paling mungkin....
beneran sekepo itu sama bosnya beneran yg sekepo itu..

suka banget moment2 lucunya BaekYeol dan juga Yimyeon(?) suka sama moment2 mereka semua itu ngalir banget/ suka sama percakapan2 merekaaa..

ini semanya berasa punya peran penting masing2 yaaa...

kakak authornim semangat ya melanjutkan ff ini!!!! soalnya suka sekali.
ittaopta #7
Chapter 8: selamaaaaaaat. akhirnya uda fix jd S.Si nih si eka. chukkae!!!! alhamdulillah..

dan alhamdulillahnya lagi ni ff dilanjut lagi. kirain bakalan ditelantarin.

hmmmm chap 7,5 ini cukuo menjawab semua pertanyaan2 yg sempet muncul pas awal2 baca. dannn wiiiiiih ternyata setiap orang punya kaitan masing2. tp.kalo diliat2 kok yg kyknya gak kesangkut sama sekali tuh si kyungsoo ya? kek cuma sekedar lewat. sekedar dimunculin doang, biar ot12 nya lengkap. huweeeee sotoy bgt ya? maapin ya ka! kkkkkkkkkkk. huweeeeeee bias aku tuh ka si d.o!!! tp gpp jg sih. aku kesini n ngikutin ni ff jg bukan krn d.o nya. tp krn emang ni ff bagus bgt sih. dr plot n penggambarannya kece badai. jd sayang bgt kalo sampe dilewatin. hihihijiji..

ane tunggu updatean ente berikutnya ka! fighting!
ssabrinazfr #8
Chapter 8: akhirnya ini di lanjut juga dan still amazing eventho aku agak lupa cerita sblmnya tapi aku msh inget inti2nyaaa.. Yg jelas yixing nih paling bikin kepooo.. Anyway mereka semua ada hubungan terkait satu sama lain tapi kesannya sama sekali Ga maksa so this is really good seriously.

Aku kasihan sama Jongdae yg kaki tangan bos mafia kan bapaknya kenapa dia yg tersiksa dan Luhan, dia anaknya mr Lu padahal kan yah tapi dia ga ada mafia2an sama sekali???

Terus kai udah dpt blm itu info soal bonyoknya pls aku suka sekali sama hubungan brothership mrk. Kyungsoo dam tao apakah beneran persn tak memihak atau malah mrk yg bos mya/ga. Itu bapaknya yifan bnrn pembunuh ortunya chanyeol? Tapi bete abis chanyeol jahatnya agak manipulatif yaaaaaa..

Aku suka bahasanya btw soalnya aku anaknya bosenan parah tapi ini gapernah bosen malah enak terus bacanya trs dialognya juga santai2 lucu ada kekasan sendiri.

Keren bgt kak dan selamat atas sarjananya. I still wait for next chapter.
nora50
#9
Chapter 2: Awesome. Ini potensial bgt untuk jafi cerita bagus. Sebenernya baru baca 2 chapter tapi ga tahan mau komen. Overall keren banget ceritanya. Soalnya dah cape banget baca lovestory yang plotnya sangat biasa. Ceritanya mirip Inception, tapi yaa mana ada sih cerita yang beneran beda satu dengan lainnya? Inception aja terinspirasi dari Donal bebek hehe. Alur cepat, tapi ngga juga meninggalkan detil kecil. Humor antara Kris ama Suho bener2 bikin mereka kaya pasutri yg uda nikah 10 tahun, ledek2an melulu, kocak juga. Hmm...ngga sabar nemuin plot twist ditengah2 cerita ini.

Mungkin sama juga sama beberapa pengguna AFF dsini...aku juga udah ilang interest ama Exo (Trutama sejak kepergian Luhan yg membuat jiwa raga gw terguncang *lebay), tapi tetep aja aku baca AFF heheh. Exo ngga bagus klo nyanyi...mereka keren di dalem fanfic.

Anyway, ngga sabar banget baca kelanjutanya. Jadi saya hentikan saja komen berkepanjangan ini.