Kenangan dalam Mimpi

Luziden Träumen

—Why does the eye see a thing more clearly in dreams than the imagination when awake? [Leonardo da Vinci]

.

.

.

‘Ternyata Kim Jongin yang kukenal sekarang masih Kim Jongin yang dulu.’

Kyungsoo segera menghapus senyum tipis itu sebelum orang lain sempat melihatnya. Tangannya membuka kenop pintu ruangannya, namun gerakan membuka itu terhenti oleh suara bas di belakang punggungnya.

Hyung tadi ngobrol sama pelanggan ya?”

Kyungsoo menoleh ke belakang. Ternyata suara itu milik pemuda berkemeja biru, dengan nametag disematkan di  saku baju bertuliskan Kim Taeyong. Manager restoran itu hanya tersenyum sekilas dan mengangguk sekali. “Dia pelanggan setia kita.”

Alis Taeyong naik sebelah; ia tidak puas dengan jawaban sekadarnya Kyungsoo. “Maaf kalau menyinggung,  tapi kenapa tatapan manager-hyung terlihat akrab saat ngobrol sama dia? Apa dia teman dekat Hyung?”

“Dia cuma pelanggan setia dan aku pernah ngajak ngobrol dia sebelumnya,” Kyungsoo menepuk ringan pundak Taeyong lalu membuka kenop pintu ruangannya, “aku masuk dulu ya.”

Pintu ruangan manajer itu tertutup. Taeyong sempat terpekur di depan pintu itu beberapa saat sebelum ia beranjak dari sana. Tubuhnya berpindah tempat, namun pikirannya masih tertinggal di sana. Ada yang tidak beres dengan sepupunya itu.

‘Kenapa tatapan Hyung dengan pemuda itu—‘

‘—seperti tatapan saat bertemu dengan seseorang yang sudah lama dikenal?’

.

.

.

“Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi.”

Joonmyun mendesah kesal. Ia kembali menghubungi nomor itu, dan (lagi-lagi) suara operator yang menjawabnya. Kesabarannya sudah diujung tanduk dan membuatnya menyerah di hitungan dua belas kali miscall.  Ia meletakkan ponselnya di meja kerjanya, lalu menghela napas berat.

‘Yifan lagi ngapain sih? Apa dia beneran marah ya?’

Joonmyun memilih jalan tengah; menyerah berkutat dengan ponselnya dan melirik kembali laptopnya. Ia membuka akun social network weibo lalu melihat timeline   Sejenak sepasang obsidian itu terpaku pada salah satu status dari Yifan sehari yang lalu.

“Mempelajari hal yang baru sangat menyulitkan sekaligus mengasyikan. Sepertinya wushu mulai menarik hatiku.”     

Joonmyun tersenyum tipis. ‘Jadi sekarang dia mulai menyembunyikan rencananya sendiri ya…’ batinnya.

‘Jangan bilang kalau dia berlatih wushu untuk…’

.

.

.


EXO © SM Entertainment

Members of EXO (K and M) are not mine, but God and themselves. I don’t take any profit from this fanfic.

Luziden Träumen © Eka Kuchiki

Inspiration from movie Inception by Christopher Nolan

Warning: OOC, alur loncat-loncat, (mungkin) death character, Alternate Universe (AU)


.

.

.

Qian tidak henti-hentinya mengucek mata. Tidak biasanya Yifan bangun sepagi ini. Ia bahkan sudah dalam keadaan rapi, bersih, dan wangi sehabis mandi. Tidak percaya dengan penampilan Yifan, Qian yang baru bangun melihat kembali jam di kamarnya; jam setengah delapan. Ia mencubit pipinya sekali—menyakinkan diri kalau ia sudah bangun—dan terasa sakit. Kali ini, ia positif tidak bermimpi.

Qian melipat tangan di dada, alisnya naik sebelah. “Mau kemana kamu? Kok pagi banget?”

“Aku ada janji, Jie,” jawab Yifan minimalis, kemudian langsung balik badan memunggungi Qian, “Oh, ya. Tolong urusin paspor dan visanya ya. Aku bakal balik dua jam lagi kok!” sambungnya sambil berjalan meninggalkan Qian.

“Hoi! Jangan seenaknya aja jadi orang, Wu Yifan! Jangan kabur kamu!”

Pemuda China itu tidak mendengar panggilan managernya, bahkan mempercepat langkahnya masuk ke dalam lift. Ia langsung menekan tombol basement; tempat mobil-mobil pengunjung hotel diparkir.

Yifan masuk ke dalam mobil sport hitam—hasil sewaan Qian kemarin siang. Sebelum memasukkan kunci dan siap tancap gas, ia menghubungi Tao; untuk memastikan bahwa pemuda itu sudah siap berangkat seperti dirinya.  

“Tao, lo belom berangkat ke bandara kan hari ini? Gue mau jam latihan kita mulai lebih awal sejam!”

Berbanding terbalik dengan suara setengah berteriak Yifan, suara Tao terdengar pelan dan serak. “Gege, aku lupa kalau atasanku minta untuk datang sejam lebih awal. Jadi siang ini aku mau siap-siap buat ke Korea. Latihannya pas di Korea aja ya….”

“Gue juga mau berangkat hari ini kok! Bentar aja, dua jam udah cukup kok!”

“Oke, deh. Soalnya jam dua belas siang aku harus ke bandara,” Demi asas kedamaian, Tao pun setuju,  “ngomong-ngomong, Yifan-ge lagi di mana sekarang?”

“Gue baru mau jalan dari hotel, kayaknya setengah jam udah nyampe.”

Gege pagi amat berangkatnya! Aku aja masih di hotel!” serunya panik.

“Jangan bilang lo belom man—“ Bunyi telepon diputus memotong kalimat Yifan.  Pemuda berambut pirang itu menatap murka layar ponselnya, siap untuk memaki si instruktur wushu.

“Tao sialan! Gue pecat juga lo jadi instruktur pribadi!”

.

.

.

Alih-alih menyegerakan diri untuk berangkat, Yifan kembali menghubungi seseorang. Ia harus menghubungi orang itu, demi menebus kesalahannya semalam. Dua belas panggilan tak terjawab semalam adalah dosa yang harus ditebusnya saat ini.

“Udah nggak sibuk lagi, Tuan Wu Yifan?” nada sahutan di telepon seberang terdengar dingin. Yifan sudah menduga jawaban yang diterimanya akan seperti ini.

Sorry, Myun. Gue emosi semalem lo mencak-mencak pas gue lagi capek habis fashion show,”     “by the way, lo nelepon dua belas kali mau minta maaf ke gue ya?”

“Nggak juga.” balas Joonmyun jutek.

Yifan merengut mendengar balasan Joonmyun. “Kok jawabannya gitu?”

Joonmyun pura-pura tidak mendengar protes Yifan. Ia malah melontarkan pertanyaan, “Kamu lagi belajar wushu ya?”

Pertanyaan balik Joonmyun membuat pemuda China itu menaikkan alisnya. “Tau darimana lo?”

“Tadi siang aku ngecek weibo dan di tl kamu nulis status di weibo, ‘lagi latihan wushu’,” suara Joonmyun mulai merendah—pertanda ia tidak sedang bercanda,  “siapa yang ngajarin kamu wushu?”

“Huang Zi Tao.”

Ternyata respon Joonmyun berubah 180 derajat mendengar nama instrukturnya itu. “Huang Zi Tao? Atlet wushu dari Beijing? Kok bisa?” tanyanya tidak percaya.

“Panjang ceritanya, Myun. Nanti gue ceritain kalo udah nyampe di Korea.”

“Oke. Aku tunggu ya!”

“Myun! Lo—“

Sambungan telepon dari pihak Korea langsung diputus. Yifan mendengus sebal. Dua orang sudah memutus sambungan teleponnya tanpa membiarkan dirinya menyelesaikan kalimatnya.

.

.

.

Perjalanan menuju tempat pelatihan wushu memakan waktu tiga  puluh menit.  Sesampainya Yifan di sana, ternyata ia harus menyediakan sepuluh menit waktu ekstra untuk menunggu instrukturnya. Begitu banyak kebetulan baginya, Tao benar-benar muncul sepuluh menit di tempat pelatihan sambil memasang cengiran.

“Karena kita latihannya hanya dua jam sesuai dengan permintaan Yifan-ge, jadi kita akan selesai jam sepuluh lebih—”

“Iya, gue tau. Kita langsung latihan aja,” potong Yifan tidak sabar. “kali ini tentang apa?”

“Latihan gerakan dan pernapasan. Sekalian sedikit review gerakan yang sebelumnya.”

Yifan menaikkan alisnya. “Kapan kita latihan dengan senjatanya?”

“Due minggu lagi, Ge.”

Yifan mengernyitkan dahi. “Lama amat!” sungutnya.

“Wah gege belum tau aja latihan aslinya kayak gimana! Aku aja baru dibolehin pegang senjata setelah tiga tahun latihan dasar dan tingkat menengah!”

“Emang kamu latihan wushu dari umur berapa?”

Tao terdiam sejenak untuk memberikan jeda berpikir, “Kayaknya pas aku baru masuk SD, sekitar enam tahun.”

Jawaban Tao membuat Yifan tidak menyinggung lagi apapun tentang senjata. Baru beberapa menit melakukan gerakan pemanasan, mulut Yifan masih gatal untuk tetap menginterogasi pelatihnya.

“Oh, ya. Lo nanti training di Busan daerah mananya?”

“Kalau nggak salah di dekat apartemen Gyuseok."

Yifan mulai menarik seringainya. “Hati-hati, Tao. Di daerah situ biasanya suka ada suara-suara aneh gitu pas malem hari! Jadi—"

GEGE! JANGAN CERITA SEREM DONG!”

“Ini masih pagi, Tao! Jangan parnoan kayak gitu dong!” sergah Yifan. “Lagian kocak banget atlet wushu kayak kamu takut sama hantu!”

“Hantu kan nggak bisa dilawan pake wushu!” Tao membela (harga) dirinya. Mata tajamnya balik melotot ke Yifan, “Pokoknya kalo Yifan-ge ngungkit cerita serem atau setan lagi, aku berhenti ngajarin Gege nih!”

Ancaman Tao cukup membuat Yifan bertekuk lutut untuk melayangkan protes, dan hanya bisa merutuk dalam hati. Susah memang punya pelatih wushu sensitif dan paranoid terhadap makhluk halus seperti Tao.

.

.

.

Semburat warna senja di langit mulai memudar dan berganti menjadi warna biru gelap. Waktu di jam dinding masih jam setengah tujuh, dan hari ini  Joonmyun berencana pulang sejam lebih awal.

—sampai ketukan pintu menahannya untuk pulang.

 “Silakan masuk,” Joonmyun menaikkan alisnya saat melihat tamunya masuk, “Minseok? Ada perlu apa?”

"Aku ingin bicara lebih lanjut soal labirin sidik jari kemarin," jawab Minseok to the point. "aku sudah coba membuat gambaran 3D seperti yang kamu bilang, tapi masih belum solid.”

Joonmyun mengajak Minseok duduk di kursi depan meja kerjanya; dan sekarang mereka saling berhadapan. Minseok mengeluarkan lembaran kertas dari selipan buku sketsanya. Kini di atas meja sudah dihuni beberapa lembar kertas sketsa yang sudah ditimpa dengan coret-coretan sketsa kasar  buah karya dari Kim Minseok.

Joonmyun membuka obrolan setelah melihat sekilas beberapa sketsa tersebut.  “Jadi kamu belum bisa bayangin labirin sidik jari kemarin akan dibuat dalam bentuk tiga dimensinya?”

“Aku belum bisa bayangin sampai detil. Susah banget!” Minseok menggaruk kepalanya yang tak gatal, “lagipula, mustahil membuat jalan keluar pintas untuk labirin sidik jari karena terlalu banyak jalan yang berputar-putar.”

Joonmyun menatap sketsa labirin yang dibuat Minseok dengan seksama.  Labirin itu dibuat dengan  inti lingkaran yang membentuk pusaran seperti sidik jari. Jumlah lingkaran yang membentuk pusaran sebanyak dua belas.

“Kamu membuat dua belas lingkaran untuk menyusun labirin sidik jari ini kan? Apabila kita merancang mimpi berlapis empat, bagi saja menjadi tiga lingkaran untuk setiap lapisannya.”

“Mimpi berlapis? Semacam kita bermimpi lalu bangun di dalam mimpi yang lain?”

“Iya, seperti itu,” Joonmyun   “kebetulan model mimpi yang akan dibuat pertahanan dengan labirin ini adalah mimpi berlapis.”

“Mungkin kalau digambar ….” Minseok mulai menarik garis lengkung dengan tinta hitam pada lembaran baru di buku sketsanya. Setelah terbentuk tiga garis labirin inti, ia mengganti warna garis lengkungnya dengan tinta biru—untuk lapisan kedua, tinta merah—untuk lapisan ketiga, dan terakhir tinta hijau untuk tiga lingkaran terluar.  Kini di lembar baru buku sketsa itu terbentuk sketsa labirin pertahanan mimpi berlapis empat.

 Joonmyun melihat sketsa tersebut dengan mata berbinar dan tersenyum puas. “Ya. Struktur bangunan mimpi kita akan seperti itu.”

“Myun, apa hubungannya labirin ini dengan rencana kita buat ngelindungin Luhan?”

Joonmyun hanya menyunggingkan senyum tipis—bukan, itu bukan seperti senyuman, Minseok lebih melihatnya seperti seringai. Pemuda berwajah babyface itu menaikkan alisnya.

“Labirin ini untuk mempersempit peluang mereka memburu Luhan,”

“Mereka itu siapa? Orang yang membuat Luhan jadi amnesia?"

“Mungkin. Dan mereka tidak sendirian. Kamu akan bertemu mereka.”

Minseok tersentak. “Kapan?”

Kali ini Minseok yakin seringai Joonmyun mulai memanjang. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh psikiater itu.

"… jika waktunya tiba."

—dan sketsa labirinnya merupakan salah satu kata kuncinya.

.

.

.

Joonmyun baru sampai di apartemen sepuluh menit yang lalu, ia terlambat pulang dua jam ke rumah. Salahkan Minseok dan rasa penasarannya yang tinggi (dan mulutnya sendiri yang terlalu mengekspos informasi) membuat dirinya harus bercerita panjang lebar di restoran dekat rumah sakit Seoul.

Pemuda berambut hitam itu menyandarkan dirinya sejenak di sofa ruang tamu. Ia melihat ponselnya yang menerima satu pesan masuk dari Luhan yang ingin berkonsultasi padanya. Ia membuka kontaknya dan berencana menelepon Yifan, tapi—

“Hoi, Pendek!”

—suara bas yang familiar itu membuat Joonmyun tersentak dan menoleh ke arah pintu. Mata bulan sabitnya membelalak saat melihat sosok si pemilik suara itu.

“Yifan? Kok kamu udah nyampe sekarang? Kenapa nggak ngabarin dulu?”

 “Gue mau bikin kejutan,” jawab Yifan sembari memamerkan cengirannya, “sebenernya gue penasaran banget sama ide sinting lo dan semua petunjuk Luhan sama Yixing, jadi nggak sempet ngabarin lo.”

Joonmyun tersenyum tipis—sama sekali tidak terpengaruh dengan alasan Yifan. “Oh, ya. Kebetulan Luhan bentar lagi akan datang ke sini. Kayaknya hari ini pas banget timing-nya buat melakukan rencana pertama.”

Yifan merasa aneh dengan senyum Joonmyun; seperti ada maksud tertentu yang disembunyikan. “Bentar, emangnya rencana apa yang lo maksud?”

Senyum Joonmyun makin mengembang. “Rencana apalagi kalau bukan rencana masukin mimpi Luhan ke dalam mimpi lucid kamu!”

Yifan melempar jaketnya ke muka Joonmyun dengan wajah berkerut.  “Gue baru nyampe dipijet dulu, kek! Gue baru narik napas udah disuruh mimpi lucid! Lo emang manusia paling brengsek yang pernah gue kenal!”

Walaupun mulut Yifan terus melontarkan umpatan, langkah kaki pemuda berkaki jenjang itu ternyata mengarah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Joonmyun tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

 Lima belas menit kemudian, senyumnya makin mengembang saat melihat apa yang dilakukan Yifan. Supermodel itu berjalan ke arah ruang tamu, duduk di kursi kayu dan mulai memejamkan matanya.

“Makasih, Fan. Nanti kamu bisa istirahat tenang besoknya—”

Yifan mengibas tangannya, “Ya, ya. Cepetan pasang alatnya!” potongnya tidak sabar.

.

.

.

Waktu yang dibutuhkan Yifan untuk starter memasuki mimpi yang penuh dengan memori Yixing adalah tiga menit. Sebagai oneironaut natural, ia tidak perlu merasakan pusing ataupun gambar berbayang yang menantinya saat ia membuka matanya. Ia melakukannya semudah memejamkan mata.

Kini Yifan berada di dalam dunia mimpinya. Dunia mimpi yang dipijaknya sekarang adalah mimpi tingkat kedua; mimpi yang sering dikunjunginya saat tertidur. Mimpi tentang kenangannya dan Yixing ada di tingkat ketiga. Sekarang tugasnya dimulai.

Yifan membayangkan sebuah lift didepannya yang tengah membuka lebar. Ia masuk ke dalam, dan lift tertutup otomatis.

Supermodel itu memandangi gambaran mimpinya dari balik dinding lift yang transparan—hampir seperti kaca. Ada sekelabat bayangan dirinya dan Yixing yang baru saja menemukan apartemen baru. Ada lagi potret wajah Yixing yang tak bisa berhenti tersenyum saat keempat novelnya sukses di pasaran.

—dan ada juga film saat Yixing tidak sadarkan diri di kamarnya.

 Lift yang dinaikinya berhenti turun dan terdengar denting, pertanda ia sudah sampai di tempat tujuan. Pemuda berambut pirang itu melangkah keluar lift dan masuk ke dalam apartemennya. Di sana ada Yixing yang menyambut kedatangannya dengan senyuman.

.

.

.

Estimasi waktu yang ditentukan Joonmyun ternyata cukup tepat. Sepuluh menit kemudian, Luhan datang dan terheran-heran melihat Yifan tertidur di ruang tamu dengan sepasang stiker di pelipisnya.

“Jadi Yifan udah datang? Kok cepat ya?"

“Udah. Dan kedatanganmu pas banget. Dia baru aja tidur,” Joonmyun mempersilakan Luhan untuk duduk berhadapan dengan Yifan dan memberinya sepasang stiker pemancar pelombang theta, “sekarang kamu duduk di kursi depan Yifan dan pakai ini.”

Luhan menatap Joonmyun sangsi. “Beneran nih nggak apa-apa langsung masuk ke dalam mimpi Yifan?”

“Kamu sebenarnya sudah bisa jadi oneironaut, hanya saja kamu harus mencoba masuk sendiri tanpa bantuan orang lain.”

“Tapi Yifan nggak bakalan terganggu gitu? Aku baru datang udah langsung menyusup ke dalam mimpi—”

“Nggak apa-apa, Luhan. Masuk aja.”

Luhan terdesak; tidak ada celah untuk menyanggah Joonmyun. Ia pun mengangguk pasrah, lalu membiarkan  psikiater itu menempelkan sepasang stiker ke pelipisnya.

.

.

.

Luhan membuka matanya perlahan. Secerca cahaya di depan mata seperti petunjuk arah bagi pemuda berambut pirang itu. Pandangannya masih sedikit kabur, namun ia terus berjalan sampai matanya berhasil menangkap jelas pemandangan didepannya.

Luhan sampai di sebuah tangga melingkar.  Ia menuruni anak tangga dengan hati-hati—takut ada jebakan yang tersembunyi di balik anak tangga itu. Setelah memastikan tidak ada jebakan di balik anak tangga, ia menuruni tangga dengan langkah yang dipercepat sampai akhirnya ia berhenti di depan sebuah pintu besar.

Tangan Luhan tergerak untuk mengetuk pintu, namun niat itu diurungkan. Ia langsung membuka kenop pintu dan cahaya menyilaukan dengan cepat menusuk matanya. Beberapa saat kemudian, ia membuka matanya perlahan-lahan—memastikan cahaya yang menyilaukan itu sudah meredup.

Luhan mengernyitkan dahinya ketika melihat pemandangan didepannya. Seingatnya ia tadi telah membuka pintu, namun sekarang ia berdiri di depan sebuah lift. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung masuk ke dalam lift yang terbuka lebar itu.

Lift yang menuju ke bawah itu ternyata memiliki dinding tembus pandang seperti kaca. Dari balik dinding lift, ia bisa melihat berbagai macam memori dan kenangan dalam mimpi Yifan.

Yifan tengah berbicara dengan seorang pemuda. Ia kira-kira setinggi dan sekurus Luhan. Namun raut wajah penuh perhatian, suara lembut dan lesung di pipi kanan itu hanya dimiliki oleh satu orang yang sangat dikenalinya.

"Lay... "

.

.

.

Luhan mengawasi gerak-gerik kedua pemuda itu, dan membuntuti  mereka kemana pun mereka pergi. Tak lupa ia melihat tanggal di kalender elektronik yang terpasang di dinding. Ia pun melihat barang yang dibawa Yixing.

Awalnya ia melihat scene dua sahabat itu masih bercanda seperti biasanya. Wajah Yixing nampak sumingrah, karena baru saja menyelesaikan seri keempatnya.  Begitu juga untuk scene kedua saat ia melihat mereka berdua terlihat gembira karena Yifan baru saja mendapat kontrak di sebuah label pakaian ternama dan Yixing yang baru saja mendapat kabar bahwa bukunya menjadi ‘best seller’.

Namun scene ketiga berbanding terbalik dengan kedua scene awalnya. Yifan tidak lagi menatap hangat Yixing. Begitu juga dengan Yixing, meskipun ia tetap berusaha bersikap tenang. Luhan merasakan nada bicara Yifan pada Yixing begitu dingin.

 “Jadi lo sekarang nyembunyiin apa dari gue?”

“Nggak ada yang aku sembunyiin, Fan.” jawab Yixing. Ia menghindari tatapan Yifan, lalu pemuda bertubuh tinggi itu menarik tangan Yixing dan menatapnya lurus. Dua pasang obsidian itu bertemu.

“Nggak, lo terlalu sering pulang malem bahkan nginep berhari-hari dan itu berlangsung selama dua bulan!” Suara Yifan mulai meninggi, “lo kira gue bego apa?”

Yixing melepaskan tangan Yifan dari pergelangan tangannya. "Itu urusan pekerjaan, Fan. Kamu terlalu khawatir aja."

“Lalu kenapa lo nggak begadang di sini aja?”

“Aku butuh ketenangan—“

“Lo kalo punya pacar jangan diumpetin dong! Curhat ke gue apa susahnya sih! Kita kan udah sahabatan dari kecil!”

 “Tapi aku—“

‘Prang!’

Luhan menggigit bibir bawahnya. Tangannya tak sengaja menjatuhkan gelas dan gelas itu pecah berkeping-keping. Di balik pintu, ia mendengar teriakan Yifan yang sepertinya ditujukan kepadanya.

—ia harus lari dari sini. 

“Hoi! Siapa di sana?” teriak Yifan.

“Kenapa, Fan?” tanya Yixing.

"Kayaknya ada penyusup,” Yifan menjauh dari Yixing, “Gue cek dulu ke sana."

“Aku ikut!” sahut pemuda berlesung pipi itu.

 Yifan berbalik dan menahan Yixing. “Nggak usah! Lo di sini aja, gue nggak bakal lama kok!”

Setelah membujuk Yixing, Yifan berlari  mengejar Luhan yang berlari ke arah ruang tamu.  Saat keluar pintu kamarnya, Yifan mulai menyadari satu hal; yang ia kejar adalah seorang pelatih sepakbola—yang terlatih untuk berlari dan menghindar secepat kilat.

—tentu saja cara mencegatnya tidak dengan berlari mengejarnya.

“Percuma lo lari! Ngapain pake lari segala sih?” gertaknya sambil menunjuk ke arah kaki Luhan.

Karena tidak melihat jalan, Luhan tidak melihat kakinya telah menginjak mobil-mobilan. Ia pun kehilangan keseimbangan dan  kedua lututnya pun mencium kerasnya lantai. Luhan baru menyadari bahwa ia sedang berada dalam mimpi Yifan, dan semua gerakannya pasti tidak akan lepas dari kontrol supermodel itu.

 “Sejak kapan lo di sini?”

Luhan mengusap-usap lututnya yang sedikit memar—akibat benturan dengan lantai,  lalu menatap pasrah Yifan. Ia sudah tertangkap basah, mau tidak mau ia harus mengaku. “Dari sepuluh menit yang lalu. Pas kamu mondar-mandir di kamar terus ngomel sendiri ‘Kenapa Yixing susah banget dihubungin sih?’.”

Air muka Yifan mengeruh. “Brengsek! Kenapa si pendek itu masukin lo pas gue lagi pose nggak elit sih?”

“Maaf, Fan. Aku nggak tau kalo kamu—“

“Tenang aja. Gue nggak marah sama lo, gue cuma sebel  sama si pendek itu!”

Luhan mengangguk pelan lalu kembali berdiri. Ia dan Yifan berjalan keluar dari apartemen. Mereka berdua terus berjalan menelusuri lorong menuju sebuah lift yang membawa mereka kembali ke mimpi tingkat atas. Dari sisi lift yang seperti kaca, Luhan dapat melihat memori Yifan dan Yixing. Memori itu bertebaran seperti film yang sepotong-potong—yang tersusun tidak beraturan.

Luhan mengetuk kakinya—ia membenci suasana hening.  Lalu akhirnya ia berinisiatif membuka pembicaraan dengan pertanyaan kepada Yifan.

“Kamu deket banget sama Lay—maksudku, Yixing ya?”

Pemuda tinggi itu menjawab pertanyaan Luhan tanpa menoleh ke arahnya. “Gue sama dia udah sahabatan dari kecil, jadi dia udah gue anggap sebagai sodara gue. Semenjak kedua ortu gue meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu, dia jadi keluarga terdekat gue satu-satunya.”

Luhan menggigit bibir bawahnya, ia merasa tidak enak telah membuka kenangan Yifan dengan orangtuanya yang sudah tiada. “Maaf, aku turut berduka cita ….”

Yifan menatap Luhan dan berdehem, berusaha menetralisir kecanggungan. “It’s okay.  By the way, gue udah bongkar semua kenangan gue sama Yixing setahun yang lalu. Gue berharap lo dapet petunjuk atau pencerahan buat identitas lo yang misterius.”

Jawabannya ternyata direspon positif, Luhan menyunggingkan senyum. Sorot obsidiannya berbinar; pertanda ia sudah mendapatkan petunjuk. “Aku masih inget sebagian informasi tentang Yixing,” balasnya optimis.

“—dan mimpimu memperjelas semuanya.”

.

.

.

Bunyi dering jam alarm kuno meraung di ruang tamu, membangunkan kedua pemuda berkewarganegaraan China dari mimpi lucid mereka.

"Gimana perjalanan mimpi lucid kalian? Lancar?"

“Tentu aja lancar!” jawab Yifan dengan nada bangga. Tapi tangan kanannya menarik kerah baju Joonmyun, lalu membentak pemuda berambut hitam itu,  “Tapi timing lo saat masukin Luhan gak bagus banget! Lo kepengen ngejatohin image cool gue ya?”

“Maaf, Fan.” sahut Joonmyun santai sambil melepaskan tangan Yifan dari kerah bajunya.  Ia memilih beralih ke Luhan daripada meladeni Yifan. “Luhan, informasi apa aja yang kamu dapat dari semua kenangan Yixing setahun yang lalu?”

“Aku bingung mulai dari mana dulu.”

“Lo bisa mulai cerita pas elo masuk ke dalam mimpi gue." tambah Yifan.

“Pertama, tanggal  30 April.” Luhan membutuhkan jeda untuk mengingat lagi kenangannya,  “Yixing akhirnya ngasih tahu kalau aku mengalami benturan di kepalaku lalu aku menderita amnesia jangka pendek. Itulah alasannya kenapa dia sering datang ke apartemenku.”

“Darimana kamu tau?” tanya Yifan. 

“Baju yang dia pakai sama barang yang dia bawa. Aku ingat waktu itu dia membawa novel buatannya lalu memberiku dua seri dari keempat serialnya.”

“Oke, kalau selanjutnya?”

“Selanjutnya tanggal 16 Juni, pas kamu dapat tawaran untuk iklan Burberry. Waktu itu Yixing mulai sering menginap di apartemenku.”

“Pantas aja. Jadi selama ini dia keluyuran ke tempatmu!”

Joonmyun menyikut Yifan, dan membuat pemuda bersurai pirang memberikan tatapan membunuh untuknya.  “Abaikan Yifan. Lanjutkan saja ceritamu.”

“Terakhir mulai dari tanggal 25 Agustus, pas kamu berantem sama Yixing,” Luhan terdiam sejenak, ia berusaha membuka kembali ingatannya dengan Yixing, “itu pertama kalinya Yixing cerita kalau ia mulai nggak bisa mengunjungiku sering-sering. Kalau nggak salah karena orangtuanya mulai melarangnya menginap terlalu sering…”

 “Gue rasa udah cukup penjabarannya,” Yifan menginterupsi cerita Luhan, “sekarang dari semua clue itu, ada nggak yang berhubungan dengan identitas lo?”

Luhan menggeleng pelan. “Aku… hanya tahu tentang Yixing saja.”

Joonmyun dan Yifan mendesah kecewa. Rencana mereka ternyata tidak sepenuhnya menemukan itik terang. Akhirnya Joonmyun memutuskan untuk menggunakan rencana keduanya.

“Identitas Luhan masih belum jelas, tapi setidaknya kita punya sedikit bukti untuk Yixing. Berarti rencana kita selanjutnya adalah masuk ke dalam mimpi Yixing…”

Yifan membelalak saat rencana itu dikemukakan. “Lo serius, Myun? Sekarang?” tanyanya antusias.

“Ya tentu aja nggak sekarang. Besok siang bagaimana? Besok kan hari minggu.”

Yifan tersenyum lebar. Sepertinya ia sangat menunggu momen itu. “Gue jadi nggak sabar buat besok!” balasnya.

“Dan semoga saja kamu bisa cepat mengetahui identitasmu yang sebenarnya.” tambah Joonmyun sambil menepuk pelan pundak Luhan.

Luhan mengamini kata-kata Joonmyun dalam hati. Malam ini sepertinya ia akan sulit tidur. Ada rasa penasaran yang membuncah dalam hatinya, tidak sabar untuk menunggu hari esok.

.

.

.

Insomnia seperti menjadi penyakit langganan untuk Kim Joonmyun. Sampai jam dua, ia belum bisa memejamkan matanya. Kemudian ia teringat dengan blog mimpi lucidnya yang belum memajang postingan terbaru. Ia pun menyalakan laptop dan mulai mengetik jurnal kelanjutan mimpi lucidnya.

.

#

.

….

[Mimpi lucid memang berbeda dengan mimpi biasa. Mimpi lucid terkadang bisa menjadi ‘mimpi di dalam mimpi’ yang lebih dikenal dengan mimpi berlapis. Bagi kebanyakan orang, mimpi berlapis sering dikaitkan dengan sleep paralysis, padahal keduanya adalah hal yang berbeda.

Sleep paralysis merupakan keadaan saat tubuh masih dalam keadaan tertidur, namun otak kita sudah dalam keadaan sadar. Sementara mimpi berlapis merupakan keadaan saat seseorang terbangun dalam mimpi, kemudian terbangun lagi dalam mimpi yang lainnya hingga akhirnya benar-benar terbangun dari tidur.

Membuat beberapa jalan cerita mimpi menjadi  sebuah mimpi berlapis bukan perkara mudah. Umumnya orang-orang mengalami mimpi berlapis hanya sampai dua lapis. Batas maksimal banyaknya lapisan dalam mimpi yang baru diketahui saat ini adalah empat lapis, tapi tidak menutup kemungkinan untuk lebih dari empat lapis.]

….

.

#

.

Selesai memajang jurnal terbarunya, Joonmyun melihat satu pesan baru di email-nya yang belum dibaca. Pesan itu pun dibuka dan membuatnya terkejut setengah mati. Ia menyakinkan dirinya bahwa pesan itu dari orang iseng. Namun, pertanyaan itu masih bergaung dalam pikirannya.

“Apakah orang yang terlalu tenggelam dalam dasar mimpi bisa mengalami kematian?”

Karena kondisi tubuhnya yang sudah terlalu lelah, ia berusaha mengabaikan pesan itu dan pergi tidur.

.

.

.

Angin malam mulai menggigit kencang. Bulan sudah mencapai masa penuhnya. Sebuah apartemen di perbatasan kota Nowon nampak seperti apartemen mewah lainnya di Korea Selatan. Yang membedakannya adalah   adanya laboratorium bawah tanah tempat di mana beberapa peneliti melakukan eksperimen mengenai beberapa alat yang berguna untuk menginvasi mimpi lucid seseorang. Salah satunya adalah Byun Baekhyun yang baru saja  menyelesaikan pekerjaannya.

Kini Baekhyun menimang ponsel pintarnya dengan bimbang. Satu kontak ingin dihubunginya, tapi ia belum juga meneleponnya. Ada pertentangan di dalam pikirannya, ‘Gue telepon gak ya? Tapi si tiang listrik itu suka kegeeran! Jangan-jangan nanti dia  nyangka gue kangen sama dia! Cih!’

—beruntung  rekan-rekan kerjanya tidak melihat dirinya yang bertingkah memalukan seperti ini.

Sepertinya Dewi Fortuna memihak dirinya. Ponselnya bergetar dan menampilkan nama ‘Park Chanyeol’—nama yang akan ia hubungi. Tanpa ragu-ragu, Baekhyun menerima telepon itu.

“Halo, Baekie!” sapa Chanyeol. Suara bariton itu terdengar riang, namun tidak berefek pada Baekhyun.

“Lo lagi ada di mana sekarang?” tanya Baekhyun datar.

Di seberang telepon terdengar suara tawa Chanyeol  yang membahana. “Lo kangen sama gue ya~ Gue baik-baik aja—”

“Gue serius, bego! Lo lagi di mana?” tanya Baekhyun  dengan nada membentak.

Chanyeol berhenti tertawa dan mulai serius. “Lagi di bandara LA, nunggu pesawat buat ke Korea.”

“Si tiang listrik itu curiga nggak pas lo tempelin penyadap itu?”

“Nggak, tuh. Gue juga bingung kok dia nggak merasa ditempelin sesuatu ya? Apa karena stikernya ketipisan?”

Baekhyun tertawa bangga; kali ini kemampuannya sebagai ahli kimia kembali diakui. “Gue bikinnya dari polimer khusus tuh! Biarpun lebih tipis dari sehelai kertas, polimer itu kuat banget dan harganya selangit bahkan bisa menyatu sama kulit! Harganya sama kayak tujuh kali lipat gaji lo—“

Suara tawa bariton milik Chanyeol terdengar di seberang telepon—seakan balik menyahuti tawa Baekhyun. “Iya, iya, Baek. Gue ngerti. Elo emang jenius!"

Baekhyun mendengus pelan, namun beberapa detik kemudian bibirnya menyunggingkan senyum.

“Semoga misi lo berhasil, Yeol.”

“Lo juga. Semangat bikin ramuan lo buat misi besar kita ya!”

“Ramuan? Hoi! Sejak kapan gue beralih profesi jadi nenek si—“ Baekhyun tidak dapat melanjutkan umpatannya karena bunyi sambungan telepon terputus di pihak Chanyeol. Pemuda bermata sipit itu menatap kesal layar ponselnya sambil mengucapkan voodoo dalam hati,

‘Park Chanyeol sialan! Kalo dia balik ke sini, gue bakal masukin obat pencuci perut ke makanan si monster gigi  itu!’

.

.

.

Jika waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, frekuensi orang untuk keluar di perbatasan kota Nowon mulai berkurang. Mereka terburu-buru pulang untuk segera menghangatkan diri.  Hal ini juga dihadapi oleh Kai yang memasuki apartemennya dengan langkah sedikit tergesa-gesa. Ia baru saja pulang dari restoran bulgogi milik Kyungsoo.

Kai sampai di depan pintu kamarnya—lebih tepatnya kamarnya dan Sehun lalu membuka kenop pintu. Sepasang obsidiannya menangkap sosok yang sedari tadi tertidur di atas sofa mulai bangun dan mengubah posisinya  untuk berdiri.

“Akhirnya lo bangun juga,” Kai mendengus pelan, “udah puas jalan-jalan di dalam mimpi kakak angkat lo?”

“Lo diem aja deh, Kai.” balas Sehun datar.

“Kenapa lo nggak ngajak-ngajak gue sih? Giliran masuk ke mimpi orang skizo baru ngajak gue!”

“Ya tentu aja karena lo pasti bakal ngeberantakin mimpi Luhan-hyung!”

Kai mengibaskan tangan. “Ya, ya. Terserah lo deh!” sahutnya malas.

Sehun hanya mengangkat bahu. Ia kembali menghepaskan tubuhnya ke sofa. Kai pun ikut duduk di samping pemuda berambut pirang itu dan menepuk pundaknya. Yang ditepuk pun menoleh ke si penepuk pundak.

By the way, lo ngerasa aneh nggak sih sama misi kita yang kemaren? Perjalanan kita di dalam mimpi Jongdae aneh banget. Kenapa Luhan-hyung bisa ada di dalam mimpi orang itu?”

Kai hanya mengangkat bahu. “Selain Luhan, gue juga nggak nyangka bakal ketemu sama orang itu …”

Kening Sehun berkerut mendengar gumaman Kai.  “Emangnya lo ketemu siapa? Gue liatnya cuma Luhan-hyung.”

“Gue—” Kai tidak sempat menyebutkan identitas orang yang ditemui di dalam mimpi Jongdae karena dering telepon apartemen menginterupsinya. Ia berjalan menuju telepon yang terletak di atas rak buku berukuran sedang dan memasang mode loudspeaker. Sehun bangkit dari sofa lalu mendekati pemuda yang lebih tua empat bulan darinya itu.

“Selamat malam Kai, Sehun.” sapa suara di telepon. Suara itu tidak terlalu berat seperti suara Chanyeol, namun hampir sama seperti suara laki-laki normal.

“Selamat malam, Bos.” jawab Kai dan Sehun serempak.

“Bagaimana dengan misi kalian?”

“Kami berhasil masuk ke dalam mimpi Jongdae.” jawab Kai.

“Bagaimana dunia dalam mimpinya? Apa masih surealis?”

“Masih, Bos.” Kali ini Sehun yang menjawab.

“Bagus. Begitulah seharusnya nasib orang yang bergabung dengan organisasi kotor, mati perlahan karena perbuatannya sendiri,” Pemilik suara itu terdengar puas dengan hasil kerja kedua anak buahnya yang paling muda, “kerja kalian berdua hebat. Tidak salah aku memilih kalian untuk tugas itu.”

“Apa tugas kami sudah selesai?” tanya Kai.

“Tidak, masih ada satu tugas lagi yang harus kalian kerjakan.” Kali ini Kai dan Sehun menanti tugas mereka selanjutnya dengan jantung berdebar-debar kencang.

“Aku sudah mengirimkan gambar satu target kalian selanjutnya lewat mesin faks,” suara di telepon itu terdengar lebih dalam, membuat kedua pemuda di depan telepon berdebar makin tidak karuan, “jadi setelah kalian dapatkan orang itu, suntikkan prekursor ke urat lehernya. Prekursornya bisa kalian minta ke Baekhyun.”

“Tugas kalian adalah membunuh target itu di dalam mimpi lucidnya.”

Tidak lama setelah menutup telepon, suara mesin faksimile mencetak foto target yang akan mereka buru selanjutnya. Kai dan Sehun tercengang saat melihat potret wajah target mereka tercetak jelas di selembar kertas HVS.

“Pimpinan kita… mau membunuh orang ini?” desis Kai tidak percaya.

Sehun memperhatikan foto itu sekali lagi dengan dahi berkerut. “Kalau buat membunuh orang ini… berarti kita harus ngikutin Luhan-hyung lagi dong?” celetuknya.

Kai menggeplak kepala Sehun. “Kenapa di pikiran lo selalu Luhan-hyung?” sungutnya.

Sehun ingin balik menggeplak Kai, namun reaksi Kai yang menatap foto itu lama membuatnya mulutnya gatal berkomentar, “Liatinnya biasa aja kali… Jangan-jangan lo naksir sama orang di foto itu?”

Awalnya Sehun mengira Kai akan membalas komentarnya, namun ia bingung karena pemuda berkulit tan itu malah tetap fokus pada foto target mereka dan bergumam, “Gue punya firasat nggak enak sama orang ini,”

Sebelum Sehun sempat memotong kalimatnya, Kai sudah melanjutkan kata-katanya,

“… dia adalah oneironaut terhebat yang pernah gue kenal.”

.

.

.

Joonmyun bukan tipikal orang yang suka berbasa-basi. Hari Minggu pukul sepuluh pagi, ia menepati janjinya untuk mengajak Yifan, Luhan dan Joohyun (yang baru saja datang ke apartemen jam sembilan) ke rumah sakit umum Busan. Kini mereka berempat sudah berada di dalam ruang tempat Yixing dirawat. 

“Aku udah dapat izin dari dokter Han buat melakukan ini,” jawab Joonmyun saat ditanya mengenai kegiatan mereka hari ini. “bahkan beliau tertarik untuk melihat langsung praktik mimpi lucid ini.”

“Gue akui lo emang gila tapi jenius,” Yifan menepuk keras pundak Joonmyun—sebagai pengganti kata pujian, “oh, ya.  Gimana rencananya?”

Joonmyun mendelik ke arah Yifan, tepukan keras di pundaknya membuatnya terdorong ke depan. Beruntung ia tidak sampai jatuh. Yang ditatap hanya memasang cengiran.

“Aku ubah rencananya. Jadi aku, kau dan Luhan yang akan masuk ke dalam mimpi Yixing.”

“Gimana sih, Myun! Lo kan awalnya bilang kalo gue harus—“

“Luhan ikut karena dia harus mendapatkan petunjuk mengenai identitas dirinya sendiri dari mimpi Yixing. Dan aku harus mengawasi kalian berdua kalau nanti terjadi hal yang nggak terduga di dalam mimpi lucid—"

“Oke, gue setuju,” potong Yifan—ia tidak mau mendengar 'kuliah' dari Joonmyun lebih lama lagi. “tapi apa alasan sebenernya lo mau ikut masuk ke dalam mimpi Yixing?”

“Kamu sempet protes kalau aku nggak tahu apa-apa tentang Yixing.”

“Ternyata lo sensian juga ya.”

“Bapak-bapak, mohon disudahi dulu berdebatnya,” Peringatan yang dilontarkan Luhan membuat kedua pemuda berbeda tinggi badan itu spontan menoleh ke arahnya, “Joohyun-ssi bilang nanti Dokter Han akan ke sini untuk melihat kerja kita.”

Joonmyun dan Yifan saling bertukar tatapan dan jeda keheningan pun tak terelakkan. Di sela keheningan itu, Luhan duduk di kursi dan menempelkan sepasang stiker untuk transfer gelombang theta di pelipisnya. Aksi yang dipelopori oleh pelatih sepakbola junior itu disambut baik oleh kedua pemuda berbeda kewarganegaraan itu.

“Sudah siap semuanya?” tanya Luhan—mencuri frase milik Joonmyun. Yang dicuri frasenya hanya tersenyum. Kedua pemuda berbeda tinggi itu mulai duduk di tempat mereka masing-masing. Joohyun pun sudah selesai menyambungkan peralatan transfer gelombang theta mereka bertiga dan Yixing ke laptopnya.

—rencana kedua siap dijalankan.

.

.

.

Joohyun tetap fokus menatap layar laptopnya, gelombang theta keempat pemuda itu . Sesekali ia melihat keadaan keempat pemuda yang keningnya ditempeli oleh stiker transfer gelombang theta. Ia harus memastikan semuanya berjalan sempurna.

“Apa saya mengganggu?” tanya dokter Han sambil tersenyum.

“Tentu saja tidak, Dokter Han.” Joohyun tersenyum ramah. Ia mempersilakan dokter berumur tiga puluhan itu untuk duduk disampingnya—ikut mengamati proses mimpi lucid tersebut.

“Jadi ini yang dibilang Joonmyun soal proses mimpi lucid?” Dokter Han memandang takjub keempat pemuda yang sedang mengalami proses mimpi lucid,  “Aku tidak pernah menyangka akan serumit ini.”

“Sebenarnya tidak begitu rumit. Hanya saja dokter Joonmyun senang membuatnya terlihat jadi rumit.”

Pria itu terkekeh mendengar sarkasme Joohyun. “Mereka bertiga sedang memasuki mimpi Zhang ya?”  tanyanya.

Joohyun mengangguk. “Dan sepertinya dokter Joonmyun menargetkan akan menyadarkan Zhang Yixing dari komanya.”

“Semoga saja dia merespon kedatangan mereka bertiga.”

“Ya. Semoga saja—” kalimat Joohyun tidak selesai terucap karena dokter Han terkejut saat melihat tangan kiri Yixing.

“Joohyun-ssi, lihat tangan kiri Zhang!”

Joohyun membelalakkan matanya. Tangan Yixing yang seharusnya diam kaku kini jari telunjuknya bergerak, diikuti dengan gerakan jemari lainnya. Ia melihat ke layar laptopnya dan makin terkejut saat barisan gelombang theta yang dipasangkan ke Yixing mulai naik menuju ke frekuensi beta.  

“Ke-kesadarannya hampir pulih?”

 

.

[Bersambung]

.


Catatan:

Prekursor: Bahan kimia yang biasanya digunakan untuk keperluan industri tapi bisa disalahgunakan sebagai bahan pembuat narkotika. Tapi untuk fanfic ini, saya memakai prekursor sebagai racun tertentu untuk bagian saraf otak yang bisa membuat terjadinya halusinasi (lebih kayak habis mengonsumsi narkotika).


Eka’s Note:

Mohon maaf buat anda yang ngikutin fanfic ini karena chapter ini kemungkinan besar adalah chapter terakhir yang bisa saya update. Saya akan hiatus total mulai bulan Juni untuk mempersiapkan penelitian serta skripsi. Mohon dimengerti ya karena saya sudah semester akhir. TT_TT Kalaupun saya bisa mengupdate fanfic ini mungkin hanya sampai chapter 8 dan setelah itu benar-benar tidak bisa menulis fanfic lagi sampai saya lulus.

Sampai bertemu lagi ya… ;__; Tetap semangat buat kalian semua! ^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ssabrinazfr #1
apakah ini masih ada kemungkinan buat dilanjutkan? ?????
emyuki
#2
Chapter 11: Baru selesai baca chapter ini dan aku bingung. Mungkin karena kelamaan nggak baca ffnya kali ya? Kayaknya harus baca ulang dari awal deh. Sebenernya masih bingung kak meskipun udah ada FAQ. Maafkan~
Kak Eka yang kuliah di jurusan kimia malah nggak kerja di bidang kimia. Aku yang kuliah bukan di kimia malah kerja di bidang kimia dan aku puyeng dengan segala alat laboratorium.
oktafia #3
Chapter 9: Huh kak kapan ff ini di lanjut,,,
kakak bikin penasaraan deh lanjutannya apa,,,
itu ketuanya kyungsoo kan ....???? iya kan... #maksa
tau gak kak ff kakak itu yang aku tunggu-tunggu loh kak,,,,
please kak cepet update ya kakkk,,,, Keep Writing kaka..
aku sabar kok nungguin ff kakak,,,,
dyeolita
#4
Chapter 9: Setelah skian lama menunggu,akhirnya terupdate...dan lagi-lagi bersambung lagi..

Thank you for updating and keeping us waiting again ,,, xD
emyuki
#5
Chapter 9: Baru sempat review padahal bacanya semalem. Udah keburu ngantuk soalnya xD
Akhirnya yah, LT diupdate juga. Itu ChanBaeknya berisik amat. Tiap ketemu pasti berantem mulu. Yeol kayaknya hobi godain (?) Baek.
Akun anonim itu siapa sih? Salah satu anggota Luziden Traumen?
Itu Kyungsoo mau jelasin apa sih ke Chanyeol tentang tanggal 22 itu. Itu ulangtahunnya Junmyeon kan?
Tao tetep ya rempong. Kayak di exo showtime xD
Yifan Junmyeon itu juga nggak kali berisiknya kayak ChanBaek, ribut, debat mulu. Tapi aku suka xD.
Btw, dari mana Yixing tau kalo ada penyadap?
Yixing dulu anggota Luziden Traumen kan? Kenapa keluar? (Aku nggak tau ini udah dibahas atau belum, aku lupa xD)
Jadi titik temu Luziden Traumen sama Luce Nella Ombra apa ya? Motif mereka apaan? Siapa yang memulai lebih dulu? Maafkan kapasitas otakku yang nggak bisa diajak kerjasama ini, jadinya nggak ngerti apa maksudnya xD.
Bagian Junmyeon mau gabungin mimpi Minseok, Jongdae sama Luhan itu aku bingung, kek apa jadinya nanti.
Siapa sij bosnya? Aku penasaran. Kenapa mesti bersambung disana??? Satu wajah yang familiar buat mereka berempat kayaknya cuma Kyungsoo. Soalnya peran Kyungsoo disini cuma dikit masa? Kan nggak mungkin Kyungsoo cuma penjaga caffe ato manager caffe ato apalah itu namanya.
Okeeeh, kayaknya komennya udah cukup panjang. Cukup sampe disini. Ya walopun masih banyak yang belum kumengerti. Dan di foreword kan dibilang death chara, penasaran siapa ini nanti. Belum kepikiran endingnya.
Semoga cepet diupdate deh. Fighting!!
ssabrinazfr #6
Chapter 9: itu siapa yang jadi bosnya huhuhuhu masa iya Kyungsoo................................tapi dia kandidat yang paling mungkin....
beneran sekepo itu sama bosnya beneran yg sekepo itu..

suka banget moment2 lucunya BaekYeol dan juga Yimyeon(?) suka sama moment2 mereka semua itu ngalir banget/ suka sama percakapan2 merekaaa..

ini semanya berasa punya peran penting masing2 yaaa...

kakak authornim semangat ya melanjutkan ff ini!!!! soalnya suka sekali.
ittaopta #7
Chapter 8: selamaaaaaaat. akhirnya uda fix jd S.Si nih si eka. chukkae!!!! alhamdulillah..

dan alhamdulillahnya lagi ni ff dilanjut lagi. kirain bakalan ditelantarin.

hmmmm chap 7,5 ini cukuo menjawab semua pertanyaan2 yg sempet muncul pas awal2 baca. dannn wiiiiiih ternyata setiap orang punya kaitan masing2. tp.kalo diliat2 kok yg kyknya gak kesangkut sama sekali tuh si kyungsoo ya? kek cuma sekedar lewat. sekedar dimunculin doang, biar ot12 nya lengkap. huweeeee sotoy bgt ya? maapin ya ka! kkkkkkkkkkk. huweeeeeee bias aku tuh ka si d.o!!! tp gpp jg sih. aku kesini n ngikutin ni ff jg bukan krn d.o nya. tp krn emang ni ff bagus bgt sih. dr plot n penggambarannya kece badai. jd sayang bgt kalo sampe dilewatin. hihihijiji..

ane tunggu updatean ente berikutnya ka! fighting!
ssabrinazfr #8
Chapter 8: akhirnya ini di lanjut juga dan still amazing eventho aku agak lupa cerita sblmnya tapi aku msh inget inti2nyaaa.. Yg jelas yixing nih paling bikin kepooo.. Anyway mereka semua ada hubungan terkait satu sama lain tapi kesannya sama sekali Ga maksa so this is really good seriously.

Aku kasihan sama Jongdae yg kaki tangan bos mafia kan bapaknya kenapa dia yg tersiksa dan Luhan, dia anaknya mr Lu padahal kan yah tapi dia ga ada mafia2an sama sekali???

Terus kai udah dpt blm itu info soal bonyoknya pls aku suka sekali sama hubungan brothership mrk. Kyungsoo dam tao apakah beneran persn tak memihak atau malah mrk yg bos mya/ga. Itu bapaknya yifan bnrn pembunuh ortunya chanyeol? Tapi bete abis chanyeol jahatnya agak manipulatif yaaaaaa..

Aku suka bahasanya btw soalnya aku anaknya bosenan parah tapi ini gapernah bosen malah enak terus bacanya trs dialognya juga santai2 lucu ada kekasan sendiri.

Keren bgt kak dan selamat atas sarjananya. I still wait for next chapter.
nora50
#9
Chapter 2: Awesome. Ini potensial bgt untuk jafi cerita bagus. Sebenernya baru baca 2 chapter tapi ga tahan mau komen. Overall keren banget ceritanya. Soalnya dah cape banget baca lovestory yang plotnya sangat biasa. Ceritanya mirip Inception, tapi yaa mana ada sih cerita yang beneran beda satu dengan lainnya? Inception aja terinspirasi dari Donal bebek hehe. Alur cepat, tapi ngga juga meninggalkan detil kecil. Humor antara Kris ama Suho bener2 bikin mereka kaya pasutri yg uda nikah 10 tahun, ledek2an melulu, kocak juga. Hmm...ngga sabar nemuin plot twist ditengah2 cerita ini.

Mungkin sama juga sama beberapa pengguna AFF dsini...aku juga udah ilang interest ama Exo (Trutama sejak kepergian Luhan yg membuat jiwa raga gw terguncang *lebay), tapi tetep aja aku baca AFF heheh. Exo ngga bagus klo nyanyi...mereka keren di dalem fanfic.

Anyway, ngga sabar banget baca kelanjutanya. Jadi saya hentikan saja komen berkepanjangan ini.