Titik Temu

Luziden Träumen

Eka’s Headnote: Kali ini saya berusaha update melawan WB~ (walaupun update-nya lelet banget, iyain aja biar Eka senang). #dibuang Huhuhu... maaf kalau ada kalimat yang ngaco... Ngetiknya cuma seadanya... :’)


—Ideologies separate us. Dreams and anguish bring us together. [Eugene Ionesco]

.

.

.

“Pokoknya gue mau ngehancurin Luhan beserta antek-antek lainnya.”

—janji Park Chanyeol adalah janjinya juga.

Baekhyun menatap sinis pemuda bertubuh tinggi yang masih menembaki target—yang didandani mirip dengan Kris—itu.

“Kayaknya tembakan lo kurang greget ya...” Kedua mata Baekhyun menyipit, dan mendengus pelan, “gue juga bisa nembak si Kris kalau jaraknya segitu.”

“Ini baru pemanasan,” Chanyeol melemparkan sesuatu ke arah Baekhyun. Pemuda bermata sipit itu menangkap benda itu lalu mengernyitkan dahi. Di tangannya ada sebuah stopwatch digital yang sudah terkoneksi pada layar skor. Ketika ia mengangkat wajahnya, terpampang sebuah layar skor yang akan menunjukkan jumlah target yang berhasil ditembak Chanyeol.

“Pokoknya kalau gue bisa nembak enam puluh target dalam waktu kurang dari semenit, lo harus nraktir gue makan malam besok.”

Baekhyun hanya menyahuti, “Ya, ya.” dengan wajah malas. Ia menyalakan stopwatch bersamaan dengan aba-aba dari Chanyeol. Pemuda pemilik senyum lebar itumengarahkan dua revolvernya ke arah barisan manekin, dan langsung melesat berpacu dengan waktu.

Kedua mata kelam Baekhyun membelalak. Belum pernah ia melihat gerakan Chanyeol secepat itu. Dengan sigap, pemuda bertubuh tinggi itu menembaki setiap target tepat di kepala, dada, dan daerah vital lainnya. Desingan peluru dengan kecepatan sepersepuluh detik per meter terus menggaungi telinga pemuda bermata sipit itu.

Pandangan Baekhyun beralih ke papan skor yang menunjukkan angka 58—yang berarti tinggal 2 sasaran yang tersisa. Beberapa detik kemudian, ia refleks menekan tombol 'stop' pada stopwatch tepat bunyi dering menggema; tanda semua sasaran telah ditembak.

Baekhyun kembali melirik stopwatch dan tersentak kaget melihat angka yang terpampang di layar stopwatch. "Em-empat puluh...  detik? Gila!"

Chanyeol mengatur napasnya. Tak lama kemudian, senyuman lebarnya terulas.  “Nah! Besok malam lo harus nraktir gue di restoran Prancis Bonjour yang baru itu!”

Baekhyun terlalu syok untuk menanggapi,  ia masih berfokus pada waktu rekor penembakan Chanyeol. “Lo... gimana bisa nembak secepat itu?” tanyanya sembari mengabaikan tagihan Chanyeol atas hadiah kemenangannya.

Pemuda bertubuh tinggi itu berbalik badan, menatap pemuda bermata sipit itu lengkap dengan seringai. Baekhyun belum pernah melihat seringai sepanjang itu terpasang di wajah Chanyeol. Bahkan jawabannya dibalas dengan nada (terlalu) rendah dan serius, tidak seperti Chanyeol yang dikenalnya.

“Kehilangan satu anggota inti bukan berarti Luziden Träumen bisa diremehkan.”

.

.

EXO © SM Entertainment

Members of EXO (K and M) are not mine, but God and themselves. I don’t take any profit from this fanfiction.

Luziden Träumen © Eka Kuchiki

Inspiration from movie Inception by Christopher Nolan

Warning: OOC, alur loncat-loncat, death character, rating dinaikkan jadi M, Alternate Universe (AU)

.

.

Pagi hari ini, Luhan memijat kepalanya frustasi. Ini sudah hari kedua dirinya mengajukan izin kerja dan sudah kelima kalinya kepalanya terasa seperti ditusuk ratusan jarum. Semua itu bermula saat ia memasuki mimpi Yixing bersama dengan Yifan dan Joonmyun.

Yixing sudah memaksa pemuda berwajah imut itu untuk pergi ke dokter. Aspirin dari apotek hanya berfungsi sebagai penghilang rasa sakit sementara dan obat tidur, setelah itu sakit kepala itu kambuh lagi. Menurut Luhan, rasa sakit itu makin menjadi saat ia berusaha mengingat memori masa lalunya.   

“Hari ini kamu harus ke dokter, Han.” saran Yixing dengan nada memaksa.

Luhan menggeleng cepat. “Tapi ini bukan sakit kepala biasa.”

“Ya justru karena bukan sakit kepala biasa makanya kamu harus ke dokter!”

Luhan menggertakkan gigi—kesabarannya hampir menipis. “Bukan gitu, Yixing! Sakit kepala ini gara-gara kamu juga tahu!”

Yixing menaikkan alis dan menunjuk dirinya sendiri. “Gara-gara aku?” tanyanya setengah tak percaya.

“Gara-gara aku masuk ke dalam mimpimu, dan kamu menceritakan semua soal masa laluku, lalu aku terus mengingat itu. Lalu, dang! Kepalaku langsung sakit!“

Yixing mulai paham maksud Luhan. “Sepertinya aku tahu siapa yang harus kuhubungi.” gumamnya.

Yixing mengambil ponselnya di atas meja, lalu menghubungi seseorang. Luhan menghentikan omelannya, ia menerka-nerka siapa yang sedang dihubungi pemilik lesung pipi itu.

“Joonmyun, apa aku bisa bertemu denganmu sekarang? Ini menyangkut Luhan.”

Alis Luhan terangkat satu. Tapi tak ayal ia menunggu Yixing memutus teleponnya dan meminta penjelasan darinya. Yang ditatap masih serius berbicara lewat ponselnya.

“Nanti akan aku ceritakan kalau sudah sampai di sana.”

Mulut Yixing membulat mendengar jawaban Joonmyun di seberang telepon.  “Jadi kami langsung ke kantormu saja? Oke, terima kasih banyak, Joonmyun.”

Yixing memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu menatap Luhan. “Ayo ganti baju, kita ke rumah sakit Seoul sekarang!”

Mata Luhan mengedip bingung. “Kenapa kamu nelepon Joonmyun?”

“Kurasa dia tahu solusi buat sakit kepalamu,” Yixing mengambil kunci mobil di dalam lemari, lalu membuka pintu apartemen, “aku tunggu di basement ya. Kamu bisa ke bawah sendiri kan?”

Belum sempat Luhan bangkit dari sofa, Yixing sudah menutup pintu dan melangkah keluar. Pelatih sepakbola junior itu mengedip bingung. Yixing yang dikiranya kalem dan terkadang acuh tak acuh ternyata begitu cepat tanggap jika dirinya sedang dilanda masalah.

.

.

.

Dengan sebagian wajah tertutupi masker hitam—agar orang-orang tidak mengenali sosoknya,  Yixing mengantarkan Luhan ke rumah sakit Seoul untuk menemui Joonmyun. Joohyun—yang  sepertinya tahu tujuan kedatangan mereka—langsung  meminta mereka menunggu sebentar. Sosok Joohyun pun meninggalkan ruangan, digantikan dengan masuknya sosok Joonmyun selang waktu kemudian.

“Aku permisi dulu ya. Aku harus menyelesaikan urusanku ” Yixing berpamitan pada Luhan dan Joonmyun. Mata sipitnya menatap Luhan,  “Nanti kalau kamu mau dijemput, telepon saja aku.”   

Suasana lenggang dan kaku mulai terasa saat Yixing menutup pintu ruangan itu. Joonmyun menatap Luhan—yang sedari tadi ingin mengutarakan pertanyaan tapi tidak tahu cara memulainya, lalu membuka pembicaraan dengan pertanyaan canggung.  

“Jadi ...kamu sudah ingat semuanya?”

Luhan tertegun sejenak, kemudian ia menunjukkan gestur mengangkat bahu. “Nggak tahu. Aku mulai sedikit ingat siapa diriku dan keluargaku. Tapi kepalaku sering sakit kalau terlalu banyak mengingat ke masa lalu." jawabnya lesu.

Joonmyun tersenyum tipis, terlihat binar-binar di kedua mata sipitnya.  “Nanti aku tanya Kyuhyun-hyung soal ini. Semoga saja bisa jadi pertanda baik.”

Alis Luhan naik sebelah, tangan kanannya masih memijat keningnya. Sepertinya sakit kepalanya makin bertambah setelah mencerna ucapan Joonmyun.

.

.

.

Demi mendapat pencerahan secepatnya, Joonmyun mengantarkan Luhan ke ruangan dokter spesialis neurologi. Cho Kyuhyun—satu-satunya dokter yang berada di dalam ruangan itu, menyambut kedatangan mereka dengan alis terangkat.

“Ada apa, Myun? Kenapa lo bawa Luhan lagi?”

Kedua mata kelam Joonmyun menatap lurus seniornya, “Apa Hyung bisa melakukan tes MRI sekali lagi untuk Luhan?” tanyanya to the point.

“Apa harus sekarang?” tanya Kyuhyun balik. Joonmyun mengangguk tegas.

“Sepertinya ruang MRI lagi nganggur. Nanti gue akan hubungi dokter Choi buat memakai ruang MRI.”

“Ah, syukurlah! Terima kasih banyak, Kyuhyun-hyung!”

“Ya, ya. Sama-sama... dan kayaknya lo nggak perlu nungguin di sini. Urusin dulu kerjaan lo sana,” Kyuhyun mengibaskan tangannya—mengusir Joonmyun secara tidak langsung,  “Nanti gue yang urus Luhan. Nanti kalau udah selesai gue bakal hubungin lo.”

“Oke, Kyuhyun-hyung. Terima kasih ya—“

Kalimat psikiater itu langsung terputus ketika Kyuhyun mendorong tubuhnya menuju pintu. Seolah tak mendengar protes yang keluar dari mulut pemuda bermata sipit itu, Kyuhyun membuka pintu, lalu mengusir psikiater itu dari ruangannya.

Luhan ternganga melihat tingkah laku kedua dokter itu. Namun ia buru-buru menutup mulutnya saat dokter spesialis neurologi itu mempersilakan dirinya duduk.

“Sekarang kau duduk di sini dulu. Kau ceritakan dulu masalahmu sejelas-jelasnya, baru kita periksa otakmu.” Kyuhyun mengulas senyum; yang sayangnya lebih mirip seringai.

Kali ini Luhan benar-benar merinding. Dokter di hadapannya sekarang sepuluh kali lipat lebih ambigu sekaligus mengerikan dibandingkan Joonmyun.   

.

.

.

Joonmyun menutup pintu ruangannya setelah berada di dalam sana selama dua jam lebih. Dua pasien sudah dilayaninya—dan yang kedua baru saja keluar lima menit yang lalu. Jika sedang larut dalam kesibukannya, dua jam terhitung singkat baginya.    

Kakinya melangkah ke ruangan spesialis neurologi, tapi kedua orang yang ingin ditemuinya tidak ada di sana. Baru saja ia beranjak dari ruangan itu, Kyuhyun keluar dari ruang MRI, sementara Luhan mengekor di belakang.  Joonmyun mendekati mereka berdua dengan wajah antusias.

“Jadi bagaimana hasil MRI-nya, Kyuhyun-hyung?” tanya psikiater itu.

Kyuhyun berdeham sekali. “Sabar kali, Myun... Gue sama Luhan belum duduk udah ditanyain aja....”

Joonmyun terkekeh, ia lupa mengerem rasa antusiasnya. Setelah mereka bertiga masuk ke dalam ruangan, pemuda bermata sipit itu langsung menumpahkan rasa penasarannya.    

“Jadi... bagaimana hasilnya, Hyung?”  

“Beda banget dengan yang sebelumnya!” Raut wajah Kyuhyun tetap datar, namun Joonmyun bisa melihat ada kilat binar di mata seniornya itu, “gue mulai optimis Luhan udah mendapatkan memorinya lagi.”

Air muka Joonmyun menjadi cerah mendengar penuturan Kyuhyun. “Benarkah?”

Belum sempat membalas “Tapi bagaimana dengan sakit kepala saya, Dokter? Apa bisa disembuhkan?”

Kyuhyun menatap lurus Luhan, ada senyum tipis tersungging di wajahnya. “Aku punya obat penghilang rasa sakit kepalamu, tentu saja ini beda sama obat yang dijual bebas. Yang ini mirip obat penghilang pengaruh kecanduan narkotika—jadi harus diawasi pemakaiannya. Kurasa Joonmyun tahu obat apa saja yang harus kau minum...”

“Sebentar, jadi zat yang menyebabkan Luhan amnesia itu sebenarnya... narkotika?”

“Kemungkinan besar begitu. Zat tersebut ternyata terurai jadi semacam metabolit yang mirip dengan hasil metabolit heroin,” dokter bermarga Cho itu mengambil pulpen dan notes resep untuk menulis resep obat,  “Jadi Luhan perlu datang ke sini tiga hari lagi untuk pengambilan sampel darah kedua.”

Kyuhyun menuliskan resep obatnya, lalu menyerahkan secarik kertas resep itu pada Joonmyun.  “Hasil MRI-nya bisa diambil besok siang. Jangan terlalu banyak pikiran dan jangan terlalu kecapaian. Sering-sering melakukan sujud sekitar satu menit lima kali sehari, agar ada sirkulasi darah ke otak. Obat yang kuberikan hanya boleh kau minum jika kau nggak bisa menahan rasa sakitnya.”

Luhan mengedip sekali, berusaha menjejalkan saran dan informasi tersebut ke dalam otaknya. Mata cokelat gelapnya melirik Joonmyun. Yang dilirik nampaknya sedang tidak bisa diganggu. Kemungkinan psikiater itu juga sama sepertinya. Di satu sisi, memorinya bermunculan satu-persatu. Luhan melirik resep yang diangsurkan Joonmyun ke tangannya dan langsung mual membayangkan jumlah obat yang harus diminumnya.  

.

.

.

Jam delapan malam biasanya ruangan laboratorium di markas Luziden Träumen mulai senyap. Namun malam ini masih ada seorang pemuda bertubuh sedang yang  masih berkutat dengan instrumen HPLC. Sepuluh sampel siap uji berderet di atas meja putih. Ia mengambil sampel dengan syringe untuk diukur di HPLC—

—tapi seseorang memanggil namanya dan membuatnya hampir menjatuhkan syringe sampel di tangannya.

“Byun Baek...” panggil Chanyeol sambil menepuk pundak Baekhyun.

“Apa, Yeol? Berhenti gangguin gue....” usir Baekhyun sambil berjalan ke lemari asam untuk mendestruksi salah satu sampelnya.

Satu menit kemudian, Chanyeol kembali mendekati pemuda bermata bulan sabit itu—berniat untuk mengganggunya. “Katanya lo janji mau nraktir gue malem ini ....”

Baekhyun melepas maskernya, lalu berbalik menghadap Chanyeol. Raut mukanya kusut, pertanda mood-nya sedang tidak baik untuk diajak bercanda.  

“Yeol, berhenti gangguin gue atau muka lo gue sirem pake HCl pekat!”

Chanyeol (pura-pura) bergidik mendengar ancaman Baekhyun,  “Serem amat Byun Baek lagi PMS ya? Keluar aja deh gue...”

Chanyeol berbalik badan lalu melangkah ke pintu keluar. Ia menyeringai; paling Baekhyun akan memanggilnya di langkah kelima—

“Bentar, Chanyeol.”

—ternyata namanya baru saja dipanggil di langkah keempat, lebih cepat dari perkiraannya.

“Lo... nggak bakal nyirem muka gue pake HCl pekat kan?”

“Bukan, bego!” Baekhyun merogoh saku jas putihnya, lalu memberikan satu botol cokelat berukuran 10 mL pada pemuda bertubuh tinggi itu, “itu buat lo.”

Chanyeol mengernyitkan dahi ketika botol kecil itu sampai di tangannya. “Apa lagi ini?”

Dipancing dengan pertanyaan untuk hasil eksperimennya, pemuda bermarga Byun itu pun menjelaskannya dengan semangat, “Itu salah satu hasil dari percobaan gue sebulan ini! Lo cukup suntik cairan itu di bagian lipatan siku 2 mL aja, lalu—”

“Intinya  gue jadi kelinci percobaan lo kan?” Chanyeol dengan sigap mengembalikan botol cokelat kecil itu ke tangan pemiliknya, “nggak deh, makasih!”

“Tapi itu aman kok!” sanggah si pemberi obat. Ia memaksa Chanyeol menerima botol cokelat itu lagi walaupun yang diberi tetap berkelit, “Buffer-nya udah gue sesuaikan sama pH darah! Udah gue bikin mirip sama cairan tubuh biar obat itu nggak menimbulkan efek sam—”

“Oke, oke. Cukup penjelasan buat obat itu, Byun Baek,” Chanyeol langsung memotong kalimat Baekhyun sebelum ilmuwan muda itu meracau lebih jauh lagi, “Kira-kira apa khasiat inti dari obat ini?”

“Itu stimulan biar lo bisa bertahan lebih lama dalam mimpi lucid.”

“Oke, asalkan nggak ada efek sampingnya gue terima,” Penembak jitu Luziden Träumen itu akhirnya menerima kembali botol cokelat itu, “nanti malem lo kosong kan?”

Kali ini raut wajah Baekhyun yang digelayuti tanda tanya. “Buat apa?”

“Latihan menembak. Syukur-syukur bisa kayak gue kemaren.”

Baekhyun tertawa sinis. “Tugas gue cukup sampai di sini aja, Yeol.”

“Tapi ini buat jaga-jaga aja!” sanggah Chanyeol.

“Kemaren lo optimis kita bisa ngalahin mereka, kenapa sekarang malah kesannya lo ragu sama kemampuan kita?“

Tekanan dari Baekhyun hanya membuat Chanyeol  tersenyum simpul. “Anggap aja ucapan terima kasih dari gue buat ini.” balasnya sambil mengacungkan botol cokelat dari Baekhyun. Ia kembali memasukkan botol itu ke dalam saku celananya, lalu berbalik badan sebelum menuju pintu keluar.

“Tapi jangan lupa traktirannya ya!” 

Baekhyun mendengus sebal—apalagi melihat senyuman jahil Chanyeol. “Dasar cowok matre! Nggak mau rugi!” balasnya judes.

Dari balik pintu laboratorium yang tertutup, ia bisa mendengar suara tawa bas Chanyeol menyebar. Pemuda bermata sipit itu akhirnya menyerah, ia tak bisa menahan dirinya untuk menyunggingkan senyum.

.

.

.

Beranjak dari laboratorium, Chanyeol melangkahkan kakinya menuju ruang pertemuan. Dugaannya tepat, seseorang sedang duduk di sofa merah. Televisi layar datar menyala, namun tatapan laki-laki itu tidak ke layar kaca. Sepasang mata kelam itu asyik memandangi layar ponsel androidnya. 

Chanyeol menepuk pundak pemuda itu dengan semangat.  “Kai!”

Beberapa detik kemudian, Chanyeol harus menelan kecewa. Respon si pemilik bahu tetap datar. Ia hanya menoleh sekilas ke arahnya lalu terfokus lagi pada layar ponsel. “Ya, Chanyeol-hyung?” sahutnya acuh tak acuh.

“Lo hari ini nggak nugas kan?”

Kai menggeleng. Ibu jarinya masih sibuk menekan layar sentuh ponselnya. “Nggak. Emangnya ada perlu apa?”

“Gue mau ngasih praktek menembak jam dua belas malam nanti!”

“Penting ya?” tanyanya tanpa minat.

Sifat pantang menyerah sudah mendarah daging pada pemuda bermarga Park itu. Ia masih tetap

“Penting. Banget. Lo bakal berhadapan sama Lay, si penghianat itu kan? Lo tau kan dia dulunya kesayangan bos kita?”

Kali ini Kai memasukkan ponselnya dalam saku celananya, lalu menatap lurus Chanyeol. “Gue nggak perlu dikhawatirkan. Yang harusnya dikhawatirkan itu Sehun.”

“Oh, tenang aja.  Dia udah gue kasih privat semalam.”

“Terus gimana hasilnya?”

“Lumayan juga buat amatiran kayak dia,” Chanyeol mengelus dagunya, “Tapi gue rasa dia butuh sedikit motivasi.“  

“Tapi kita mau latihan di mana? Di gudang tempat  penyimpanan senjata?”

“Di mana lagi kalau bukan di dalam sini,” Chanyeol menunjuk kepalanya sendiri, “lo punya dunia sendiri yang bisa diatur sesuka hati lo.”

Kai hanya melempar tanggapan, “Oh.” pada Chanyeol. Supermodel Korea itu cuma melempar senyum tipis.  Ekspresi Chanyeol memancing Kai untuk mengenyit bingung.

“Udah ya, Bro! Gue balik dulu!” Chanyeol menepuk bahu Kai, dan membuat pemuda bermarga Kim itu terkejut.

“Udah itu aja, Hyung?”

“Iya, itu aja yang mau gue sampaikan!”

Pemuda bertubuh lebih tinggi itu berbalik badan,  meninggalkan Kai yang masih terheran-heran dengan sikapnya barusan yang ‘terlalu ajaib’.

‘Itu orang otaknya lagi geser atau kesambet ya? Kok tumben-tumbennya ngasih pelatihan menembak? Dikasih tahu perorangan langsung pula!’

.

.

.

Pukul dua belas malam, Chanyeol menghubungi Baekhyun, Kai, dan Sehun lewat intercom—tidak lupa dengan penekanan frasa ‘Penting Banget’. Ketiga pemuda itu pun datang dengan ekspresi yang sama—kebingungan.

“Jadi kita latihan di dalam mimpinya siapa?” tanya Kai to the point.

Sebelum yang lain membuka mulut, Chanyeol menjawab dengan lugas,  “Biar cepat, makanya kita tentuin mau masuk ke mimpinya siapa dengan batu, kertas, gunting!”

“Park Chanyeol, otak lo geser berapa senti dari kepala lo?”

Chanyeol terbahak mendengar kalimat sinis Baekhyun. “Terakhir kali ngecek sih dua senti, Baek,” balasnya santai.  Balasan dari Chanyeol membuat pemuda bermarga Byun itu mendengus sebal.

“Yang beda sendiri, berarti mimpi dia yang jadi tempat latihan kita?” tanya Sehun.

Chanyeol menjentikkan jarinya. “Bingo!” serunya riang.

Ketiga pemuda di depannya spontan memberikan tatapan aneh pada pemilik suara berat itu. Tapi mereka tidak bisa terus saling menunjuk. Waktu adalah uang, jadi agar pelatihan berjalan lebih cepat, permainan ‘batu, kertas, gunting’ menjadi opsi terakhir mereka.

Keberuntungan kali ini tidak berpihak pada Oh Sehoon. Pemuda berkulit putih susu itu menelan ludah, berbagai bayangan tidak mengenakkan mulai mengganggu pikirannya. Terutama jika mimpi lucidnya dimasuki oleh orang seperti Chanyeol dan Kai. Ia mulai pasrah saat melihat senyum lebar Chanyeol dan sepasang stiker pemancar gelombang theta ditempelkan di pelipisnya.

—yang terpenting, ia harus merancang latar mimpi secepatnya.

.

.

.

Sehun membuka kedua kelopak matanya perlahan. Mimpi di dalam kepalanya berlatarkan sebuah ruang pertemuan di dalam apartemen bernuansa klasik pada abad pertengahan. Latar ruangan ini sekilas mengingatkan dirinya pada markas mafia di film lama ‘Godfather’.

—tidak mengherankan baginya, karena setahun yang lalu ia pernah menjadi bagian dari keluarga mafia.

“Lumayan juga mimpi lo, Hun.” puji Chanyeol—yang tidak terdengar seperti nada memuji.

Sehun memperhatikan Chanyeol yang sedang melihat-lihat beberapa lukisan yang tergantung di dinding. Sementara Baekhyun sibuk memperhatikan lemari  besar berwarna cokelat tua yang memajang      

Ada suara yang memanggil dirinya beserta Baekhyun dan Chanyeol. Mereka bertiga bertemu dengan Kai. Pemuda itu menunjuk ke lorong sebelah kanan. Di sana ada satu ruangan dengan pintu terbuka cukup lebar.

“Gimana kalau di ruangan sebelah sana? Gue nemuin banyak senjata di sana.” usulnya.

Awalnya Sehun menyangka usulan pemuda yang seumuran dengannya itu hanya main-main saja. Ternyata ruangan yang ditunjukkan oleh Kai bisa dibilang luas untuk arena menembak. Di sana ada revolver, pistol, amunisi peluru berkaliber 11 mm dan 17 mm, serta senapan laras panjang. Ketika Sehun asal mengecek salah satu laci kabinet, ia menemukan sepaket pisau kecil beserta amunisi peluru lainnya.  

Sehun sempat membelalak tidak percaya—padahal ini adalah mimpinya, tapi malah Kai yang menemukan tempatnya terlebih dahulu. Tak mau ambil pusing, ia melirik ke arah Chanyeol dan Baekhyun yang langsung mengangguk setuju setelah melihat sekeliling ruangan.

 “Boleh juga. Lumayan luas buat tempat latihan kita,” Chanyeol merasa puas dengan rekomendasi Kai. Ia menyikut si pemilik latar mimpi, “Sehun, lo perbanyak target buat sasaran menembak kita.”

Sehun memasang dua belas manekin yang disusun mengitari mereka berempat. Kedua tangannya kini menggenggam dua pistol terisi penuh amunisinya.  

“Dalam menembak, lo bukan hanya sekedar mengarahkan tembakan agar tepat sasaran, tapi lo juga harus tau timing menembak serta target alternatif lainnya jika seandainya tembakan lo nggak tepat sasaran.”

“Contohnya kayak gini.”

Chanyeol menembak manekin itu tepat di kepala.  Ketiga temannya tidak berkomentar. Hal itu terlalu mudah bagi mereka, dan Chanyeol masih belum selesai dengan ceramahnya.   

“Tapi yang kita hadapin lebih banyak yang kayak begini.”

Tiba-tiba lima manekin yang berada di hadapan mereka berjalan mendekati mereka bagaikan mayat hidup. Baekhyun, Kai, dan Sehun bersiap menarik pelatuk pistol mereka, namun mereka kalah cepat. kelima manekin itu langsung roboh dengan beberapa peluru bersarang di kepala. Baekhyun menoleh ke arah Chanyeol dengan raut wajah tidak percaya.

“Lo... yang nembak mereka semua?”

Yang ditatap hanya memberikan senyum miring. “Lo nggak cuma perlu akurasi. Tapi insting lo juga harus kuat.”  

Baekhyun yang terbiasa dengan teori akurasi dan presisi saat bereksperimen tentu saja membantah keras pemikiran Chanyeol. Tapi bukan Park Chanyeol jika tidak bisa berkelit dari doktor muda itu.

“Nggak selamanya lo harus teliti. Kalau lo dipaksa untuk memilih hidup atau mati, ya lo harus cepat bertindak agar nggak mati konyol."

Kai tertawa mendengar argumen Chanyeol. “Sejak kapan Chanyeol-hyung jadi bijak begini?”

“Awas lo, Item!” Chanyeol menggebuk punggung Kai. 

“Nah, sekarang tugas lo, Hun. Buat manekinnya jadi lebih banyak.”

Sehun menelan ludah. Manekin telah ia perbanyak tiga kali lipat dari jumlah sebelumnya. Ketga rekannya menembak dengan membabi buta hingga suara desingan peluru menggema di dalam ruangan. Pemuda tinggi berkulit putih pucat itu hanya berharap dalam hati.

—semoga keajaiban bisa melindungi kakak angkatnya.

.

.

.

Wu Yifan terbangun bukan karena jeritan jam alarm, tapi karena ponselnya yang berdering terus menerus. Diam-diam Yifan menyesali kenapa ia lupa untuk menonaktifkan ponselnya. Dalam hatinya, ia menyalahkan Kim Joonmyun yang memintanya agar terus mengaktifkan ponsel semenjak kejadian telepon-yang-tak-diangkat-seminggu-yang-lalu-itu.

“Wu Yifan! Kamu baru bangun ya? Kenapa teleponku baru diangkat?”

Yifan refleks menjauhkan layar ponsel dari telinganya, demi keselamatan gendang telinganya. “Qian-jie, aku—“

“Cepat datang ke kantor! Mr. Lee dari tadi nanyain kamu melulu nih!”

“Suruh aja Mr. Lee cari penggantiku!"

Suara Qian di seberang telepon makin naik oktafnya. “Enak aja! Pokoknya kamu harus ada di sini jam setengah sebelas!”

"Qian-jie—" belum sempat Yifan menyelesaikan protesnya, sambungan teleponnya terputus.

“Benar-benar harus ke sana banget nih?” dumelnya pada diri sendiri.

Joonmyun berhenti mengetik, ia menoleh ke arah Yifan. “Ada jadwal pemotretan lagi, Fan?”

Yifan mengangguk sekali, lalu menatap si penanya sambil mengangkat satu alis tebalnya. “Lo sendiri nggak berangkat kerja? Tumben banget.”

“Sebentar lagi aku akan ganti baju.” Joonmyun beranjak dari depan laptop menuju kamarnya di lantai atas.  

“Lo lagi ngetik apaan?”

“Bukan ngetik. Aku sedang mencari jurnal buat bahan referensiku.” jawab Joonmyun sambil tetap melenggang ke lantai atas.

“Oh.” respon Yifan pendek.

Setelah memastikan psikiater muda itu memasuki kamar di lantai atas, Yifan mendekati layar laptop hitam mengilat itu. Sebenarnya melihat laptop orang lain tanpa seizin pemiliknya bukan tipikal Yifan. Namun supermodel itu merasa ada sesuatu yang ganjil dengan deretan tulisan yang terpampang di layar laptop itu. Yang dilihatnya di layar laptop bukanlah deretan paragraf untuk jurnal, melainkan blog penelitian kecil mereka mengenai mimpi lucid, D.R.E.A.M world.   

‘Jadi si pendek itu sudah merancang blognya seperti ini?’

Ada rasa sedikit bersalah dalam diri Yifan. Peran pemuda berkewarganegaraan China itu dalam penelitian tersebut sangat minim, mengingat dirinya yang juga memiliki jadwal yang begitu padat.

Jari telunjuk Yifan menekan tetikus ke bawah sampai akhirnya ia menemukan beberapa komentar di bawah. Ia membaca sekilas komentar-komentar tersebut, lalu kedua matanya membulat ketika menemukan satu komentar dari akun anonim.

“Berhati-hatilah dengan mimpi yang kamu rancang, karena mimpi bisa menjadi senjata makan tuan.” 

‘Bisa aja ini kerjaan orang iseng. Tapi apa mungkin ada orang yang tau rencana gue sama Joonmyun—‘

“Wu Yifan, kamu ngapain di depan laptopku?”

Wajah Joonmyun terlihat kesal. Yifan menyingkir pelan-pelan dari depan laptop. Supermodel itu menggaruk kepalanya yang tak gatal, sambil menunduk—menghindari tatapan mata Joonmyun.

“Oke, gue minta maaf buka-buka laptop lo seenaknya.”

Joonmyun menghela napas. Walaupun sikap Yifan memang mengganggu privasi, tapi ia menyadari bahwa proyek ini dulunya adalah proyeknya dan Yifan—jadi ia berhak mengetahuinya. "Yah, mungkin memang seharusnya aku nggak bekerja sendiri."

“Apa lo tau siapa orang yang ngirim komentar ini?”

“Aku nggak tahu. Tapi ini bukan kedua kalinya aku mendapat pesan seperti itu.” 

"Udah dicek ip address-nya?"

"Tapi penulisnya anonim, Fan..."

"Ya udah, dicuekin aja." Yifan beranjak dari tempat duduknya, lalu pergi ke kamar mandi sebelum Joonmyun menahannya.

Joonmyun menatap frustasi layar laptopnya. Yifan benar, seharusnya mereka tak menghiraukan pesan misterius itu.  

—walaupun komentar itu seperti pesan tersembunyi yang memang ditujukan untuk proyeknya.

.

.

.

Pagi hari di kawasan Namdaemun street, banyak orang yang sudah hilir mudik baik untuk pergi ke kantor, sekolah, ataupun membuka toko mereka.

Tidak seperti pagi biasanya, Chanyeol masih sempat menikmati secangkir espresso dan seporsi kimbap reguler di restoran bulgogi Kyungsoo.  Bahkan pemilik restoran itu sendiri sempat kaget melihat teman dekatnya sedang menyantap seporsi kimbap. 

“Tumben banget sarapan di sini.” tegur Kyungsoo.—

“Iya dong, kan gue kangen sama lo...”

“Gombalanmu menggelikan!” Kyungsoo mengernyit jijik, “pantas saja kau masih single!”

“Apa hubungannya?”

Belum sempat Kyungsoo menjawab, nada dering ponsel Chanyeol terlanjur memotongnya. “Ah, sebentar, Soo.  Ada telepon dari Soooung-noona.”

Chanyeol menerima telepon itu. Beberapa detik kemudian, ia menjauhkan ponselnya dari telinganya demi keselamatan gendang telinganya.    

“Chanyeol, kenapa semalam ponselmu nggak aktif sih?  Cepat datang ke kantor! Kamu kan masih ada jadwal modeling sampai besok!”

Supermodel itu refleks menepuk dahinya. Ia lupa semenjak kemarin ponselnya terus dinonaktifkan. 

“Tapi, Sooyoung-noona—“

“Nggak ada kata tapi! Kamu udah nggak ngasih kabar sama sekali, jadi aku sampai bohong ke desainer Choi kalau kamu nambah cuti sehari tahu!”

“Iya, Noona! Maafkan aku!  Siap laksanakan, Noona!"

Telepon di seberang langsung diputus. Chanyeol buru-buru memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu bangkit dari kursinya.   

“Buru-buru amat. Emangnya itu telepon dari siapa?”

“Gue cabut dulu ya! Sooyoung-noona udah ngomel-ngomel tadi di telepon, minta gue cepet ke kantor! Bye, Soo!”

Chanyeol mengambil selembar uang sepuluh ribu won dari dompetnya, lalu meletakkannya di meja. Ia langsung bergegas pergi tanpa menghiraukan panggilan Kyungsoo.

"Hah, padahal aku mau menyampaikan sesuatu buatnya." keluhnya. Pemuda bermata bulat itu melihat punggung Chanyeol yang sudah lenyap di balik pintu masuk, lalu beralih ke layar ponsel android teranyarnya. Ia menandai tanggal 22 Mei—tiga hari lagi setelah hari ini—di kalendernya, lalu tersenyum tipis.

"Mungkin aku harus menjelaskannya di lain hari."

.

.

.

Malam ini masih sekitar pukul tujuh malam KST. Beruntung bagi Tao karena Yifan akan mengajaknya ke apartemennya sebentar sebelum mengantar pemuda berkantung mata itu pulang. Saat mereka sampai di apartemen Busan, pemuda bermata panda itu tidak henti-hentinya menghujani dengan pertanyaan, “Kau tinggal dengan siapa, Ge?”

Lalu, “Kenapa aku baru tau kalau Gege tinggal dengan seorang psikiater?”

Sampai, “JADI SEKARANG YIXING-GE UDAH NGGAK TINGGAL DI APARTEMEN INI LAGI? KENAPA? YIFAN-GE NGUSIR YIXING-GE YA?” 

—sekarang Yifan sangat menyesali keputusannya mengajak Tao.

Baru saja ia mencari sesuatu di dapur untuk menyumpal mulut berisik Tao, ia mendengar suara bel pintunya berdering. Ia berbalik arah dari dapur menuju pintu depan.  

Yifan mengintip dari lubang pintu. Ia mengenal dengan jelas tamunya kali ini. Luhan berdiri di balik pintu dengan dahi berlipat. Tangan Luhan bersiap menekan bel lagi namun gagal karena Yifan sudah lebih dulu membuka pintu apartemen.

“Oh, hai, Yifan!” Luhan tersenyum canggung.      

“Pasti lo disuruh Joonmyun ke sini ya?”

Luhan mengangguk. Mulut Yifan berdecak, “Dasar pendek! Tau gitu gue nggak bilang-bilang bakal nyampe duluan di apartemen!” gerutunya.

Sadar bahwa ada orang yang memperhatikannya, Yifan menghentikan gerutuannya lalu membuka pintu lebih lebar. “Sayangnya dia belum pulang. Lo tunggu aja di dalam.”  katanya sambil mempersilakan Luhan masuk.

Ketika Luhan masuk ke ruang tamu, Tao pun menoleh dan melihat siapa tamu yang baru saja datang itu. Kemudian mereka berdua sama-sama membelalakkan mata dan menunjuk satu sama lain.

“Lu-Luhan-ge?” seru Tao.

Luhan tak kalah terkejutnya dengan Tao. “Kau itu... Edison kan?”

Giliran Yifan yang mengernyit kebingungan. 'Edison?'

"Jangan panggil aku dengan nama itu, Luhan-ge!" elak Tao dengan muka memerah. “Aku kan udah nggak bergabung lagi di Luce Nella Ombra!”

Yifan menyikut Luhan—meminta penjelasan pada pemuda bermarga Lu itu. “Elo kenal sama dia? Jangan bilang Tao itu... pernah jadi bawahan ayah lo?”

“Ya. Dia anggota termuda dari bagian assassin  divisi sniper. Dulu dia sering ke rumahku buat jadi guru privat menembak jika ayahku tidak sempat mengajariku.  Jadi aku sempat dekat dengannya.”

“Jadi... Tao itu... mantan anak buah ayah lo?”

Luhan mengangguk. Yifan nampak tidak puas dengan jawaban tubuh Luhan. Ia menatap tajam Tao—meminta tambalan jawaban Luhan dari pemuda dengan kantung mata tebal itu.

“Jadi bener tukang makan terus penakut kayak lo pernah gabung di organisasi mafia?”

Merasa diremehkan, mata tajam Tao memberikan tatapan membunuh kepada Yifan.  “Ya, aku memang pernah bergabung di organisasi tuan Lu, tapi aku nggak penakut!” jawabnya dengan nada sebal.

“Hah, lalu yang semalam lo minta ditemenin ke kamar mandi gara-gara ngeliat penampakan—“

“Yifan-ge jahat! Yang itu jangan dibocorin dong!” jerit Tao sambil mengacak rambut hitamnya. “Habis deh image aku di depan Luhan-ge!”

Yifan hanya memamerkan cengirannya, balas dendamnya sukses.  Semalam ia terlambat pulang ke apartemen gara-gara instruktur wushu-nya itu melihat bayangan di kamar mandi. Alhasil, ia harus menunggui Tao di luar kamar mandi sampai setengah jam. Belum lagi usahanya membujuk pemuda bermata panda itu kalau bayangan itu hanya ilusinya saja.

—skor satu sama.

.

.

.

Joonmyun dan Yixing baru saja pulang dari rumah sakit Seoul. Mereka berdua terkejut melihat Luhan yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Keterkejutan mereka berdua belum usai karena dua orang bertubuh tinggi  mendekati mereka.  

"Wah, ternyata semuanya berkumpul di sini..." Mata sipit Joonmyun mengerjap senang ketika melihat Tao duduk di sofa, “Dan ternyata ada tamu baru juga di sini!”  

"Myun, lo jangan mikir macem-macem. Gue ajak Tao ke sini bukan buat jadi calon kelinci percobaan lo!"

"Namamu Huang Zitao ya?" Joonmyun mengabaikan komentar miring Yifan, lalu mengulurkan tangan kanannya, “Aku Kim Joonmyun, teman satu apartemen Yifan. “

Tao balas menjabat tangan putih pucat Joonmyun.  “Jadi kamu beneran psikiater ya?” mata elang instruktur wushu itu mengamati wajah Joonmyun—yang diamati hanya mengernyitkan dahi, “Nggak kelihatan gila ah! Yifan-ge berlebihan banget!”

Yifan buru-buru membuang muka. Joonmyun menatap tajam pada pemuda China itu, pasti supermodel itu menceritakan dirinya yang tidak-tidak pada pelatih wushu bermata panda itu.

Tapi perhatian Joonmyun beralih ketika Yixing mendekati psikiater muda itu, lalu membisikkan sesuatu pada telinganya. Hal tersebut memancing perhatian Yifan, Luhan bahkan Tao.   

Yixing berdeham kaku. “Maaf, apa kalian semua bisa duduk sebentar? Aku ingin memeriksa tengkuk kalian.”

Yifan mengernyit bingung. “Buat apa, Xing?”

“Nanti akan aku jelaskan.”

Semua orang di dalam ruangan itu pun duduk, kecuali Yixing, dengan kepala penuh tanda tanya. Penulis novel tetralogi itu memperhatikan tengkuk setiap orang lalu merabanya. Dimulai dari Joonmyun, Luhan, Tao dan terakhir Yifan. Ia berhenti cukup lama di tengkuk Yifan. Firasat buruk mulai mengganggu si pemilik tengkuk.

“Maaf, Fan. Tapi ini bakal sakit banget....”

“Emangnya ada apa—AAAWWW! K! I’LL KILL YOU, ZHANG YIXING!”

Tanpa menghiraukan kelanjutan makian Yifan, Yixing langsung beranjak menuju kamar mandi. Dari luar, terdengar suara kloset di-flush.

Tanda tanya masih memenuhi benak semua orang di ruangan—termasuk Yifan yang berhenti memaki. Mereka masih terdiam sampai Yixing keluar dari toilet. Joonmyun langsung menghampiri Yixing, menanyakan apa yang ia lakukan di dalam toilet tadi.

“Yang ada di tengkuk Yifan tadi itu penyadap,” jawab Yixing, menghiraukan tatapan membunuh dari Yifan—yang masih mengelus tengkuknya, “jadi aku buang di kloset.”

“Buat apa orang seperti Yifan disadap?”

Yifan mendelik sebal ke arah Joonmyun. “Jangan bilang lo ngiri gara-gara nggak disadap.”

Joonmyun malah tertawa mendengar sindiran Yifan. “Ah, aku tahu kenapa kamu yang disadap. Karena saking tidak sensitifnya dirimu, jadi kamu nggak sadar kalau kamu udah disadap.” 

Mata Joonmyun kini tinggal segaris, sementara dahi Yifan jadi bertambah satu kerutan.

“Kurasa pihak Luziden Träumen sudah mempertimbangkan siapa saja yang akan mereka sadap untuk rencana mereka selanjutnya.” kata Yixing.

Joonmyun mengangguk setuju. “Ah, apa saja yang mereka dapat ya dari Yifan?” gumamnya.

“Mereka pasti sudah menemukan jejakku juga beberapa rekaman mimpi Luhan.” tambah Yixing.

“Tolong ya, jangan ngobrol cuma berdua aja! Kita ada berlima di sini!”

Joonmyun dan Yixing menoleh ke arah sumber suara. Si pemilik suara, Wu Yifan, melipat tangan di depan dada. Sementara Tao dan Luhan yang sedari tadi hanya menjadi pendengarmengangguk setuju; satu suara dengan Yifan.   

“Ah, maaf semuanya. Aku terlalu bersemangat,“  Joonmyun menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari tertawa canggung, “Sebentar, aku mau ke kamar mandi dulu.”

Joonmyun mengernyit ketika memasuki kamar mandi.  Bau klorin bercampur fenol yang menyengat mulai menusuk indra penciumannya.

“Bau pembersih toiletnya—” Joonmyun refleks menutup hidungnya, “Yixing, kamu menumpahkan pembersih toilet ya?”

“Aku sengaja menuangkan pembersih toilet sebelum membuang penyadap itu,” jawab Yixing tenang—tanpa dihinggapi rasa bersalah. “mungkin saja  penyadap itu akan rusak jika ditambahkan pembersih toilet.”

Joonmyun mengurungkan niatnya untuk pergi ke toilet. Sebagai gantinya, ia meminta Yifan dan Yixing untuk kembali duduk.  

“Atas saran dari Yifan, Yixing harus menjelaskan tentang organisasi Luziden Träumen.”

Yixing berdeham, lalu menatap lurus keempat pemuda yang memasang telinga mereka demi mendapatkan informasi yang dimilikinya.

Luziden Träumen memiliki tim inti atau tim primer serta tim sekunder. Tim inti mencakup pemimpin tertinggi beserta orang-orang yang memiliki bakat oneironaut natural yang mumpuni. Selain dari kriteria tersebut, pemimpin tertinggi memasukkannya dalam tim sekunder."

“Berapa banyak anggota tim inti dari Luziden Träumen ?”

“Ada enam orang, dan aku salah satu dari mereka,” Yixing menghela napas. Sudah saatnya ia memberitahu semua yang ia ketahui dari Luziden Träumen ,  “aku akan jelaskan siapa saja mereka dan kalian harus menyimaknya baik-baik. Karena mereka bukan orang sembarangan.”

Joonmyun mencondongkan tubuhnya ke depan—sedari tadi ia menunggu penjelasan ini. Luhan mengepalkan tangannya tidak sabar. Yifan dan Tao acuh tidak acuh—walaupun keduanya juga diliputi rasa penasaran.

“Baekhyun, salah satu toksikolog dan ahli polimer termuda di Korea Selatan. Penyadap di tengkuk Yifan yang kubuang tadi dan prekursor yang membuat Luhan amnesia adalah hasil karyanya.”

“Jadi mereka punya tim ilmuwan untuk membuat formula dalam misi mereka...” gumam Joonmyun sembari mengelus dagunya. “masuk akal juga. Otak memang pusat dari semua mimpi yang terjadi.”

Yixing mengangguk sekali—mengiyakan argumen Joonmyun—sebelum kembali membongkar identitas tim inti Luziden Träumen lainnya. “Yang kedua adalah Chanyeol. Setahuku dia penembak jitu terhebat dalam Luziden Träumen. Dia berhasil membunuh Mr. Lu saat masuk dalam mimpi Mr. Lu.”

“Bentar, gue punya temen namanya Chanyeol juga. Tapi masa iya temen gue yang sinting itu bisa masuk dalam organisasi kayak gitu?” ujarnya sangsi.   

Yixing hanya mengangkat bahu. “Aku nggak tahu mukanya seperti apa karena kita nggak pernah ditugaskan dalam satu misi.”

“Bisa saja itu Chanyeol yang berbeda, Fan.” tambah Joonmyun yang satu suara dengan Yixing.

Yifan berhenti bicara, walaupun mukanya masih menekuk—masih ingin mengeluarkan argumen. Percuma saja berdebat dengan Joonmyun jika ia sudah angkat bicara.

“Selanjutnya Kai. Dia bisa memasuki semua mimpi orang lain dan memberikan jalan kepada anggota lain meskipun ada bermacam hambatan seperti penjaga imajiner, labirin, dan sebagainya,” Yixing menghela napas, lalu memelankan suaranya, “Dia juga ikut membunuh Mr. Lu bersama dengan Chanyeol.”

Luhan menggigit bibir bawahnya. Yixing melirik sekilas ke arah Luhan, lalu menghela napas. Ia merasa sedikit bersalah telah mengingatkan Luhan soal kematian ayahnya.  Semoga petunjuk yang keluar dari mulutnya nanti tidak membuat pelatih sepakbola junior itu bertambah resah. 

“Yang terakhir, Sehun. Dia juga oneironaut natural, namun tidak sehebat Kai dan Chanyeol,” Yixing berusaha mengingat kemampuan dari pemuda yang pernah menjadi rekan kerjanya itu, “walaupun dia paling lemah diantara anggota tim inti lainnya, dia yang paling sulit untuk ditangkap.”

Kali ini Luhan hanya menggangguk pelan.  Ia sudah melihat sendiri betapa sulitnya menangkap Sehun di dalam mimpi lucidnya.

Karena Luhan tidak memberikan komentar lagi, Joonmyun langsung mengambil alih pembicaraan, “Terus apa kamu tahu siapa orang yang paling tinggi jabatannya di Luziden Träumen?” tanyanya.

Yixing menggeleng lemah. “Dari awal aku diterima di organisasi itu sampai sekarang, aku belum pernah bertemu dengan pemimpin Luziden Träumen.”

“Seketat itukah peraturan di sana? Bahkan tim intinya sendiri sampai nggak tahu siapa pemimpin mereka?”

“Dari tim inti sendiri, aku baru mengenal secara tatap muka dengan Baekhyun, Sehun dan Kai. Itu pun kami jarang bertemu satu sama lain.  Aku hanya mengenal Chanyeol dari cerita Baekhyun.”

“Kenapa elo nggak pernah satu tim dengan Chanyeol?” 

“Mungkin Bos merasa tidak perlu menggabungkanku dengan Chanyeol,” jawab Yixing. “karena pada intinya kami bisa menghabisi penjaga imajiner di mimpi lucid orang lain dalam jumlah besar.”

Joonmyun tersenyum simpul. “Aku kira semuanya sudah cukup jelas, Xing. Terima kasih buat informasinya.”

Semula peserta diskusi menyangka diskusi mereka akan berakhir sampai di sini. Namun Joonmyun

“Dari tadi kita sudah mengetahui sedikit motif dari Luziden Träumen,” Joonmyun menatap Yifan, Luhan dan terakhir pandangannya dipusatkan pada Tao,  “untuk memandang dari sudut yang berbeda, kita juga harus tahu apa motif dari Luce Nella Ombra .”

“Gue nggak terlibat dalam organisasi itu!”

Semua mata menatap Yifan. Supermodel itu membuang muka, menghindari tatapan mata yang lainnya. Melihat respon sahabatnya, Yixing secara sukarela menyelesaikan jawaban supermodel itu.

“Yifan memang tidak terlibat dalam Luce Nella Ombra, tapi ayahnya adalah salah satu orang penting dalam organisasi mafia itu.”

“Ya, ayahku memang salah satu orang penting dalam organisasi itu. Aku baru mengetahuinya tiga hari setelah acara pemakaman mereka.” 

Seketika semua orang dalam ruangan itu membeku di tempat. Kalimat yang diucapkan Yifan barusan sangat formal—berbeda dari biasanya.

“Dua tahun sebelum kejadian itu, orangtuaku memang sudah cerai. Ayahku menetap di Korea, sementara ibuku menyusul ke California, tempat aku kuliah dulu.”

"Terus kamu belajar menembak jitu dari siapa?"    

Belum sempat Yixing menimpali pertanyaan Yifan, yang dibelanya sudah membuka mulut lagi; menolak pembelaan darinya.

“Aku sempat belajar menembak dari ayahku, dia memang penembak terhebat yang pernah kukenal. Ibuku memang tidak terlibat secara langsung dengan Luce Nella Ombra, tapi aku tahu kalau ia sengaja menyembunyikan semua informasi itu.”

Keheningan sempat menyapa setelah Yifan selesai menjawab. Agar waktu diskusi tetap efisien, Joonmyun melempar pertanyaan ke salah satu (terduga) anggota Luce Nella Ombra. 

“Apa ada hal yang mau kamu sampaikan, Tao?”

“Aku hanya bergabung selama enam bulan di sana, jadi aku kurang tahu seperti apa keadaan Luce Nella Ombra setelah aku tinggalkan.”

“Apalagi aku (gue), Tao!” seru Luhan dan Yifan serempak. 

“Maaf, Tao. Tapi bisa kamu jelaskan sedikit tugasmu selama di Luce Nella Ombra?”

“Aku ditugaskan untuk membunuh. Dengan senjata apa saja asalkan nggak ada yang bisa menghalangi Luce Nella Ombra,” Tao menghela napas, tangan kanannya mengepal kuat,  “tapi sekarang aku sudah berjanji pada diriku sendiri agar nggak terjerumus lagi ke profesi yang sama.”

“Oke, terima kasih buat penjelasannya, Tao. Sepertinya cukup sampai di sini saja untuk bagian Luce Nella Ombra.” tukas Joonmyun menutup diskusi mereka.  “Aku harap kita semua bisa bekerja sama agar bisa menghentikan pergerakan mereka."

Keempat peserta diskusi bisa bernapas lega. Titik temu antara Luziden Träumen dan  Luce Nella Ombra mulai terlihat jelas. Yang mereka butuhkan sekarang adalah strategi menghadapi pembunuh mafia nomor satu itu.

.

.

Diskusi itu selesai hingga pukul setengah dua belas malam. Yifan mengantarkan Tao dan Luhan pulang. Penghuni ruang tamu itu hanya tersisa dua orang. Yixing enggan untuk pulang dengan Luhan karena ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikirannya.

“Joonmyun, siapa nama pasien skizofrenia yang waktu itu pernah kita masuki mimpinya?”

“Namanya Kim Jongdae. Bukannya aku pernah mengenalkannya ke kamu?” jawab Joonmyun dengan alis terangkat.

“Aku baru ingat! Sehun pernah cerita kalau dia dan Kai punya rencana untuk mengacaukan pikiran dengan meneror mimpi target mereka...”

“Jadi... target mereka salah satunya adalah Jongdae?” Joonmyun terkesiap. Ia langsung teringat dengan hasil MRI Jongdae yang diberikan Kyuhyun.   “Tapi apa motif mereka melakukan itu semua?”

 “Aku juga tidak tahu. Itu semua perintah dari bos.”

“Aku benci rasa penasaran,” keluh Joonmyun disertai dengusan sebal,  “apa Jongdae pernah terlibat dalam Luce Nella Ombra ?”

“Kurasa tidak,” Yixing menggaruk kepalanya yang tak gatal, “kau tahu kan Kim Youngdae—ayah dari Jongdae—tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang?”

“Apa dia bunuh diri?”

Yixing mengangkat bahu. “Mungkin saja.”

”Oh ya, apa aku bisa ikut ketemu dengan Jongdae besok?”

Joonmyun menaikkan sebelah alisnya mendengar permintaan Yixing. “Sepertinya kita bisa menjemputnya besok malam. Memangnya untuk apa kamu ketemu dengan dia?”

Ternyata jawaban Yixing sukses membuatnya kaget setengah mati.

“Aku harus melepas penyadap di tengkuknya.”  

.

.

.

Kai dan Sehun tidak habis pikir. Biasanya pada pukul delapan malam, Chanyeol dan Baekhyun masih bergelut dengan kesibukan masing-masing. Namun kali ini kedua pemuda itu sudah berkumpul terlebih dahulu di ruang rapat.

“Gue laper nih! Tapi males makan sendirian!”

“Gimana kalau kita makan bareng di restoran bulgogi Kyungsoo-hyung?”

Kai hanya mengangkat bahu. “Gue sih ikut kata kalian aja.”

“Boleh juga. Lagian masih jam segini juga.”

“Lo yang traktir ya!” Baekhyun menepuk pundak Chanyeol. Dengan spontan, supermodel itu mengelak dengan mulus.   

“Tapi kan lo lebih tua dari gue!” elak Chanyeol.

“Eh tapi kemaren gue udah nraktir lo! Gantian dong!”

“Udah, Sehun. Tinggalin mereka berdua. Kita ke sana duluan aja.”

Kai menggandeng—lebih tepatnya menarik paksa—Sehun keluar dari ruang rapat. Mereka berdua meninggalkan kedua senior mereka yang saling melempar argumen tidak penting.

.

.

.

Ketika waktu menunjukkan pukul delapan malam, restoran bulgogi Kyungsoo ramai pengunjung yang tengah menyantap hidangan mereka. Mata Kai menjelajahi sekeliling restoran, mencari manager restoran yang biasanya hilir mudik melihat kinerja karyawannya. Sementara Sehun hanya asal melempar pandangan.  

“Tumben kalian datangnya berdua.”

Kai melirik ke arah Sehun—meminta pemuda berkulit putih susu itu untuk menjelaskan, namun yang dilirik malah membuang muka. Pemuda berkulit gelap—untuk ukuran kulit orang Korea—itu mendengus sebal. 

“Rencananya sih berempat, Hyung. Tapi tau sendiri kalau Baekhyun-hyung sama Chanyeol-hyung ketemu, mereka pasti pakai acara berantem dulu.”

“Oh, jadi begitu ceritanya...” Kyungsoo terkekeh mendengar penjelasan Kai, “dasar mereka berdua itu seperti anak kecil saja.”

Melihat respon positif dari Kyungsoo, Kai makin bersemangat.  “Lagipula mereka juga terkadang kayak cewek. Kebanyakan hebohnya daripada seriusnya. Terus—”   

Sehun menoleh ke belakang, lalu langsung menyikut pinggang Kai. “Kai, di belakang kita...”

“Apaan sih, Hun—“

Terlambat. Baekhyun sudah menepuk pundak Kai, sementara Chanyeol menggebuk kencang punggung Kai—hingga si pemilik punggung hampir jatuh ke depan.   

“Oh, bagus ya anak baru ninggalin seniornya terus ngomongin mereka dari belakang. Hebat banget.” sinis Baekhyun sambil bertepuk tangan.

“Ternyata emang bener sekarang anak baru udah nggak ada respeknya sama senior!” tambah Chanyeol berapi-api.

Kai tertawa canggung sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. sementara  Sehun sebaliknya. Ia menatap sinis kedua seniornya yang berbeda tinggi badan itu.  “Lebai banget sih Hyungdeul ini. Kita kan cuma mau makan lebih dulu.”

Kyungsoo tak bisa menahan tawa melihat keempat temannya itu saling melempar tatapan membunuh.

.

.

.                                                                                 

Malam ini seharusnya menjadi waktu yang paling tepat bagi Yifan untuk beristirahat. Namun Tao memaksanya untuk berkunjung kembali ke apartemennya.  Yifan benar-benar menyesali mulutnya yang lancang memberitahukan kalau Luhan dan Yixing kembali ke apartemennya.

Yixing sedikit sumingrah melihat kedatangan Yifan dan Tao—berbeda dengan ekspresi Tao yang benar-benar bahagia dengan kedatangan penulis favoritnya. Tapi ekspresi tersebut hanya bertahan beberapa detik, karena orang yang mengundangnya tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Di mana Joonmyun?” tanyanya.

“Katanya dia bawa tamu lagi ke apartemen ini,” Yifan menghela napas frustasi, “gue nggak habis pikir kenapa dia demen banget bawa tamu cowok. Bawa cewek cantik atau makanan kek sekali-kali.”

Luhan dan Yixing terkekeh mendengar curhat selipan dari Yifan. Hanya Tao yang tidak ikut larut dalam tawa itu.  Ia berpindah tempat duduk dari samping Yifan ke samping kiri Yixing.

Beberapa menit kemudian, orang yang mereka tunggu sedari tadi menunjukkan batang hidungnya. Tapi kali ini ia tidak datang sendiri. Ada dua orang yang tengah mengapitnya. Sebelum dimintai penjelasan, Joonmyun mulai mengenalkan kedua pemuda itu pada tamunya.

“Ada dua orang yang akan bergabung dalam tim kita. Mungkin beberapa dari kalian sudah mengenalnya—”

“Ah, Minseok-ie!” Luhan memanggil pemuda berwajah imut itu dengan wajah sumingrah. Yang dipanggil namanya hampir memeluk Luhan kalau saja tidak disikut oleh Joonmyun.  Minseok memberikan tatapan membunuh, berbeda dengan Luhan yang langsung menutup mulut.   

Gestur tubuh yang diperlihatkan Joonmyun cukup  jelas; mereka masih dalam suasana serius dan formal. Jadi mereka tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang dapat mengganggu jalannya diskusi. Dan sayangnya, bantahan Minseok dan Yifan ("Kau (lo) itu terlalu kaku, Joonmyun!”) hanya dianggap angin lalu.     

Joonmyun memperkenalkan dua orang yang duduk mengapitnya. “Yang berwajah mirip Sohee ini Kim Minseok, lalu yang punya tulang pipi yang eksotik di sebelah kiriku ini namanya Kim Jongdae.”

“Bahasa lo aneh banget, Myun!” Yifan mengernyit karena pilihan kata Joonmyun yang aneh untuk mendeskripsikan wajah Jongdae.

“Panggil saja aku Minseok—" Pemuda berpipi chubby itu terkejut ketika melihat Yifan, yang dilihatnya juga memberikan ekspresi wajah yang sama.

"Kau—“ seru mereka berdua serempak.

“Kenapa ada arsitek jutek sepertimu di sini?” tuding Yifan.

Minseok mendelik sebal. “Kenapa ada supermodel arogan sepertimu di sini?”

“Hei, ini apartemenku, tahu!” balas Yifan sengit.

“Sudahlah kalian berdua... Padahal kan kalian cuma salah paham.”

Kedua pemuda berbeda tinggi badan itu serempak balik melirik tajam Luhan. Yang ditatap hanya menggaruk kepala sambil memamerkan cengirannya. Beruntung Yixing mengajak mereka berdua duduk, sehingga keributan kecil itu bisa dipadamkan.

Jongdae bergeming di tempat. Ia masih menggenggam tangan Joonmyun—malah genggaman itu semakin menguat. Joonmyun mengerti apa yang ditakutkan Jongdae. Pemuda yang biasanya hanya bertatap muka dengan keluarga atau dirinya secara mendadak dibawa ke tempat asing dan bertemu dengan orang asing.

Joonmyun mengajak Jongdae duduk sambil berjanji bahwa ia tidak akan meninggalkannya. Setelah dua menit psikiater itu menyakinkan, akhirnya pemilik suara sopran itu duduk di sampingnya. Tangan kanan Jongdae menggenggam erat tangannya, lalu pandangannya dilemparkan ke lantai—tidak berani menatap ke depan. Sadar bahwa tingkah laku pasiennya itu dilihat oleh Yifan dan yang lainnya, Joonmyun buru-buru memberikan klarifikasi.       

“Jongdae menderita skizofrenia. Jadi dia kurang bisa mengekspresikan isi pikirannya dengan mudah, lalu mengungkapkannya lewat gerakan tubuh."

Yifan tak segan-segan memamerkan cengirannya. Senyumnya makin memanjang ketika ia melirik ke arah tangan kanan Jongdae dan Joonmyun begitu erat menyatu seperti dilem satu sama lain. “Kayaknya lo lebih cocok sama dia, Myun.” celetuknya.

Respon Joonmyun hanya tertawa malu-malu. Ia tetap membiarkan tangannnya digenggam Jongdae selama itu membuat pasiennya tenang.  Sementara Jongdae tampak acuh tak acuh dengan komentar miring Yifan. Pemuda bertulang pipi tegas itu lebih memilih sibuk dengan isi pikirannya sendiri.     

“Jadi apa rencanamu mengajak mereka berdua?” tanya Luhan, berusaha meluruskan pembicaraan—yang hampir keluar jalur.

"Aku berencana menggabungkan rancangan labirin mimpi Minseok, dengan latar mimpi Jongdae di dalam alam mimpi Luhan,” Joonmyun berdeham sekali,  “tapi sekarang aku ingin masuk ke dalam mimpimu dulu. Apa kamu keberatan?”

Luhan menggeleng pelan.  Joonmyun sudah banyak membantunya, jadi ia mau tidak mau berusaha memenuhi permintaan Joonmyun.

Setelah memohon Jongdae agar melepas tangannya, ia langsung menyiapkan laptopnya, kabel USB disertai stiker, serta alat tambahan berupa perekam mimpi berwarna silver  berukuran 12 x 10 cm. Tao menjerit heboh saat instrumentasi mimpi lucid tersebut dikeluarkan.  

“Jadi mimpi Luhan-ge bakal direkam di kotak sekecil ini? Cool!”

“Heboh amat.” cibir Yifan. Yang mendapat cibiran hanya tertawa sambil menunjuk ke wajah kaku Yifan.

“Yifan-ge pasti sirik ya... mau heboh, tapi harus jaga image...“

“Diem lo!”

“Tao, apa kamu sebelumnya pernah bermimpi lucid?”

Tao menggeleng pelan. Joonmyun melirik Yixing, memberi isyarat ke pemilik lesung pipi itu untuk menemani Tao selama mimpi lucid Luhan berlangsung. “Kalau begitu, kamu ditemani Yixing buat masuk ke dalam mimpi lucid.”

Luhan menyandarkan dirinya pada sofa, lalu memejamkan matanya bersamaan dengan terpasangnya kedua stiker di pelipisnya. Suara lembut Joonmyun yang tengah berhitung mundur dari lima puluh membuatnya semakin terbawa ke dalam kondisi REM.

—lalu hitam pun menyapa sebagai awal dari mimpi.

.

.

.

Luhan membuka matanya. Yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit dengan lukisan biru langit dan gumpalan-gumpalan awan putih. Ia mengedipkan matanya, lalu menyadari bahwa latar mimpinya kali ini adalah ruang tamu rumahnya setahun yang lalu.

Luhan bangun dari posisi tidurnya di atas sofa berwarna merah marun. Ia melirik Tao yang sempat tercengang dengan latar mimpinya. Tatapan mata pemilik nama alias Edison itu tertuju pada lukisan keluarga Lu. Lukisan bak foto berukuran hampir dua meter itu memuat potret dirinya, ayahnya dan ibunya.

Suara bas Yifan membuyarkan lamunan Luhan. “Kita sekarang di mana?”    

“Ini rumahku setahun yang lalu.” jawab Luhan singkat.

“Luhan-ge, apa kau masih ingat tempat dulu kita latihan menembak?”  

Luhan menggeleng lemah. Jangankan tempat latihan menembak, latar ruang tamunya saja baru diingat sekarang.

“Rasanya udah lama banget ya,” gumam Minseok. “terakhir aku ke sini sekitar empat atau lima tahun yang lalu.”

“Apa semuanya sudah masuk ke dalam mimpi?”

Suara Joonmyun bergema di belakang. Luhan menoleh ke belakang, ia menemukan sosok Joonmyun menggandeng tangan Jongdae.  

“Sekarang kita tinggal mencari bidang kosong yang bisa diutak-atik oleh Yixing, Minseok, dan Jongdae."

Luhan memijat keningnya. Ia harus bisa memikirkan suatu tempat yang dimaksud oleh Joonmyun sebelum mereka—

"Awas, ada gempa bumi! Cepat keluar dari sini!"

Teriakan Yifan menyadarkannya bahwa ada retakan tanah yang siap membuat lubang untuk menelan mereka. Dengan cepat, ia berlari mengikuti yang lain, sampai ada sebuah jalan bercahaya menyambut kedatangan mereka.

.

.

.

Kedua tim inti Luziden Träumen yang paling muda itu baru saja sampai di kamar apartemen mereka. Sehun pergi ke kamar mandi.  Sementara Kai, alih-alih bersiap untuk tidur, malah menyalakan laptop untuk memantau aktivitas Jongdae saat tidur dengan stiker penyadap yang ditempelkan itu.

Laptop hitam dinyalakan. Setelah proses booting selesai, Kai langsung menjalankan aplikasi pengintainya. Sehun yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung duduk di sebelah kanan Kai.

“Sehun, kenapa tampilannya kayak begini?”

“Gue rasa Lay-hyung berada di dekat target kita, lalu mencabut stiker penyadap itu.”

“Huh, orang itu benar-benar merepotkan,” desis Kai. “mau tidak mau kita harus sadap Jongdae lagi!”

“Jangan, Kai!” seru Sehun.

Kai memicingkan matanya.  “Kenapa lo?”

“Gue ngerasa kalau kita bakalan percuma aja kalau nyadap dia lagi. Selama masih ada Lay-hyung di sana.”

“Bener juga,” Kai mengangguk setuju, “sepertinya kita harus bikin rencana baru lagi. Kalau perlu kita diskusiin ini sama bos.”

“Apalagi kalau Lay-hyung dibantu sama psikiater bernama Joonmyun itu! Kita harus siapin rencana cadangan lagi. Bener nggak, Kai?”

Alis Sehun naik sebelah melihat Kai menundukkan kepalanya.  “Kenapa lo?” 

Kai tetap enggan menjawab. Melihat perubahan sikap dari rekan kerjanya, Sehun

“Jangan-jangan lo kenal Joonmyun?” sentilnya.  “Atau Joonmyun itu kakak lo?”

Kai mendelik ketka Sehun menyebutkan nama itu. “Hah, gue nggak kenal siapa Joonmyun itu!”

“Udahlah, Kai. Lo emang nggak bakat bohong. Joonmyun itu kakak angkat lo kan?”

“Bukan urusan lo, Hun!” bentak Kai. “Mending lo pikirin nasib kakak lo itu!”

Sehun tetap bungkam sampai Kai bangkit dari sofa dan membuka pintu lalu membantingnya.  Suara jam dinding berdetik, diikuti helaan napas.

.

.

.

Jam beker langsung berdering nyaring ketika salah satu dari mereka telah terlempar dari mimpi. Dering alarm itu membuat semua yang memejamkan mata langsung membuka lebar mata mereka dengan paksa.  

“Tadi itu simulasi mimpi lucid Luhan yang sayangnya belum solid. Jadi rencanaku, kita akan coba padukan mimpi Luhan yang sudah solid dengan rancangan labirin Minseok dan campuran latarnya dari mimpi Jongdae.”

Raut wajah Luhan terlihat bingung mendengar pernyataan Joonmyun tentang mimpi lucid tidak solid. Sepertinya yang lain juga merasakannya kecuali Yifan dan Yixing yang tak kunjung bertanya soal mimpinya itu. 

"Jadi bagaimana buat hari ini, Myun?" tanya Yixing.

“Untuk saat ini, cukup sampai di sini. Besok atau lusa, aku ingin kita semua mengetahui mimpi Jongdae seperti apa. Supaya kita punya gambaran latar mimpi kita untuk menjebak  seperti apa.”

Mata Yifan membelalak. “Masuk ke dalam mimpi pasien skizofrenia? Lo beneran udah gila, Myun!”

“Sebenarnya aku sedang dalam masa penyembuhan... kau tidak usah khawatir karena aku akan coba mengontrol mimpiku sebisaku...”

Suara pelan namun menusuk dari Jongdae berhasil membungkam Yifan. Merasa tidak enak, Yifan mengucapkan kata maaf pada penderita skizofrenia itu.

“Aku sudah tiga kali mengajak Jongdae masuk dalam mimpinya. Dan menurutku, mimpinya sedikit demi sedikit sudah mengarah ke realis.” tambah Joonmyun.

Yixing “Jadi kamu sudah membuat rancangan pembuatan mimpi lucidnya? Beserta dengan tugas kita di sana?”

“Hanya rancangan kasar.” ralat Joonmyun dengan nada merendah. Mata sipitnya memperhatikan satu-persatu raut muka peserta diskusi—khawatir jika salah satu dari mereka mulai mengantuk. 

“Jadi menurutku, karena yang menjadi pusat mimpi lucid kita adalah Minseok, Jongdae, dan Luhan, mereka harus dijaga ketat saat memasuki mimpi lucid. Yixing akan menjaga Minseok karena ia bisa menyisipkan penjaga imaginer di setiap labirin. Aku akan menjaga Jongdae.  Yifan dan Tao akan menjaga Luhan.”

“Besok kita akan memulai penggabungan mimpi Luhan dan Jongdae terlebih dahulu,” Joonmyun melirik ke arah Luhan dan Jongdae, “jika semuanya aman terkendali, baru kita terapkan labirin rancangan Minseok ke dalam gabungan mimpi Luhan dan Jongdae,”

"Kita harus melakukannya sesegera mungkin untuk membekukan pergerakan Luziden Träumen."

.

.

.

Chanyeol menghempaskan dirinya di atas sofa. Kepalanya mulai penat, efek dijejali instruksi dan terlalu lama bertumpu di atas panggung dengan kaki jenjangnya. Ia sempat memejamkan mata, namun beberapa saat kemudian kembali membuka matanya.

Ia mengambil laptop hitam miliknya, lalu membuka sebuah aplikasi yang sudah terkoneksi dengan penyadap yang ditempelkan pada Yifan. Setelah beberapa menit menunggu, mata Chanyeol mengedip tidak percaya.

“Kenapa jadi begini?”

Lima belas menit berlalu, Chanyeol hanya bisa menatap frustasi layar laptopnya. Ini sudah kelima kalinya ia me-restart laptopnya untuk memastikan kalau ia tidak salah lihat. Tapi tetap saja hasilnya sama dengan yang sebelumnya. Layar laptopnya tetap menampilkan gerombolan semut hitam putih, disertai dengan kotak dialog, “The application is unknown. Please plug in the driver to read this application.”

The driver... nggak terpasang? Apa  jangan-jangan—“ Chanyeol terkesiap. Firasat buruk mulai menghantuinya.

—ada yang tidak beres dengan penyadap yang ditempelkan pada Yifan.

.

.

.

Malam ini, Baekhyun sedang tidak menghabiskan waktunya di dalam laboratorium. Ia memilih untuk berkutat dengan beberapa tautan jurnal terbaru mengenai penelitian mimpi lucid di komputer sekunder ruang pertemuan. Entah apa yang merasuki dirinya untuk membaca jurnal-jurnal tersebut, alih-alih memikirkan formula untuk rencana Luziden Träumen selanjutnya.

—saking larutnya ia meringkas jurnal-jurnal itu, ia tidak menyadari ada orang yang masuk ke dalam ruang pertemuan.

“Baekhyun, gue punya berita buruk...”

Suara bas itu membuat Baekhyun menoleh ke belakang. Chanyeol berdiri sedikit jauh di belakangnya.  Tapi ada yang membuat ilmuwan muda itu mengernyitkan dahi. Baru kali ini Chanyeol menghampirinya dengan wajah pias. 

“Alat penyadap... yang gue pasang di Kris... hancur... jadi kita... nggak bisa memantau Kris lagi.”

Mata sipit Baekhyun membulat sempurna.  “Gimana penyadapnya bisa hancur?” serunya panik. “Polimer yang gue buat itu dari protein fibrous yang anti air! Mana mungkin bisa rusak kecuali kalau—”

Wajah ilmuwan muda itu langsung memucat. “Kecuali... kalau polimer itu direaksikan dengan asam kuat!”

“Gue juga nggak tahu kenapa tiba-tiba bisa kayak begitu!”

Baekhyun meraup wajahnya dengan kedua tangannya, lalu  menghela napas agar emosinya tidak memuncak. “Lo liat rekaman sebelumnya nggak?”

“Belum, soalnya—“

Baekhyun langsung bangkit dari tempat duduknya, lalu mencengkram kasar kerah kemeja merah Chanyeol. “Kenapa lo ceroboh banget sih? Kalau kejadiannya kayak gini harusnya lo liat rekaman sebelumnya!”

Chanyeol balik mencekal tangan Baekhyun, tapi tangan kurus itu ternyata sangat sulit untuk dilepaskan. Pemuda bermarga Park itu lupa bahwa teman kecilnya ini pernah mengikuti pelatihan hapkido.  Meskipun tak punya kemampuan bela diri, ia tetap berusaha melepaskan cengkraman Baekhyun. Harga dirinya terlalu tinggi untuk dijatuhkan.   

“Heh, gue juga nggak tau kalau bakal kejadian kayak gini!“

“Harusnya lo tahu kalau—“

Hyungdeul kayak anak kecil aja.”

Baekhyun sontak melepaskan cengkramannya dari kerah kemeja Chanyeol. Ia menatap tajam si komentator bernama Sehun itu. Yang ditatap juga tak mau kalah dengan tatapan tajamnya sembari melipat tangan di dada.

“Lo nggak usah ikut campur, anak bawang!” bentak Baekhyun.

“Baekhyun-hyung lebih baik diam. Karena aku bawa instruksi dari bos untuk tim inti buat berkumpul di ruang  pertemuan...”

“Kita berempat?”

“Ya, sama si Kai juga—“  Sehun baru menyadari, satu orang lagi belum menunjukkan batang hidungnya, “Ke mana dia?”

“Paling dia molor. Hah dasar kebo,” cemooh Chanyeol.

“Setidaknya dia masih bisa diandalkan daripada lo!” sinis Baekhyun. Dengan senang hati, Chanyeol memberikan tatapan mata membunuh terbaiknya ke pemuda bermata sipit itu.

.

.

.

Kai baru saja membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia baru saja menyelesaikan satu misi dan tubuhnya kini terasa remuk. Ia butuh istirahat sebentar guna menyegarkan kembali tubuhnya. Ia memejamkan matanya—

—lalu bel intercom berbunyi nyaring hingga membuatnya refleks loncat dari tempat tidur.

“Woi, Kai! Jangan molor aja lo! Cepetan kumpul di ruang pertemuan sekarang!”

Teriakan Chanyeol di intercom benar-benar merusak mood pemuda berambut hitam itu. Dengan mulut komat-kamit merapalkan makian untuk Park Chanyeol, Kai beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan ke arah ruang pertemuan. Ia menempelkan ibu jarinya di detekor sidik jari untuk membuka pintu itu.

Pintu ruang pertemuan terbuka. Di dalam ruangan itu, Sehun, Chanyeol dan Baekhyun duduk melingkar dengan tangan terlipat di atas meja bundar berwarna krem. Mereka bertiga serempak menatap Kai yang memasang muka kusut.

“Jadi ada masalah apa sampai kita dikumpulin di sini?” tanya Kai to the point.

“Bos mau ngomongin rencana selanjutnya di ruang rapat. Kali ini rencananya ngelibatin kerja kita berempat.” jawab Chanyeol.

Kai masih kurang puas dengan jawaban Chanyeol. Ia memilih duduk di samping Baekhyun, lalu melempar pertanyaan lagi,  “Kok tumben bos ngumpulin kita?”

Kali ini yang menjawab pertanyaan Kai adalah Baekhyun. “Nggak tau. Biasanya kan kita bekerja cuma berpasangan dan komunikasi lewat telepon.”

"Tapi gue penasaran sama tampang bos kita.”

Seringai Chanyeol memanjang, nampaknya ia sudah menantikan momen ini. Ekspresi wajah Chanyeol membuat Sehun bergidik dan langsung menambah jaraknya dengan pemuda itu.

Dari luar, terdengar suara detekor sidik jari berbunyi pelan. Pintu ruangan langsung terbuka otomatis. Seseorang bertubuh tinggi sedang dengan topeng setengah wajah berwarna putih melangkah masuk, lalu menyapa semua orang di dalam ruangan itu.

“Hallo, Jungs! Traurig bin ich spät...” *

Tanpa aba-aba, pemuda bertubuh sedang itu membuka topeng putihnya. Dari balik topeng itu, terlihatlah wajah yang sangat familiar bagi keempat pemuda itu—

 “HAH?”

—wajah yang tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka berempat sebagai sosok pemimpin Luziden Träumen .

 

.

[Bersambung]

.


*Catatan: “Halo semua! Maaf aku terlambat...” (bahasa Jerman hasil gugel translet *shot*)

 

EXO’s Note:

Kris: Sumpah, si Eka makin mager aja hidupnya. Sampe ngomong di A/N aja mager.

Suho: Gue takut Eka makin gaje ngetiknya. Lagian siapa suruh ya bikin akun instagram, path, ask.fm dll! Orang dia nggak bakat gaul!

D.O: Katanya sih dia ada project novel, makanya bikin banyak akun sosmed... Padahal... (Eka: Gw tau lo mau ngomong apa, Yo... Update ginian aja gak kelar-kelar, gimana mau punya novel sendiri... *pundung*)

Tao: Hah. Lagian siapa suruh dia kebanyakan galau. Galauin tes toefl sama ngelamar kerja tapi mager... (Eka: Gak nyadar diri dia... dasar Tao si anak galau...)

Xiumin: Mungkin masih pengen seneng-seneng... wajarlah baru lulus...

Chen: Ya semoga aja Eka cepet selesai urusan Real Life-nya.

Lay: Bener kata Xiumin-ge sama Chen... jangan ngehakimin Eka... dia kan udah capek-capek ngetik...

Semua (kecuali Xiumin, Chen dan Lay): Lo bertiga disogok apaan sih sama si Eka? Eka udah tiga bulan nganggur, tau!

Luhan: Udah ah! Pusing pala Luhan! (megangin pala)

Semua: Lo kenapa dah, Han?

Luhan: pusing kapan semua ini akan berakhir...

Suho : Oke. Sebelum semuanya jadi pusing, makasih buat yang udah baca fanfic ini... :)

Semua: Boleh direview lagi, kakak~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ssabrinazfr #1
apakah ini masih ada kemungkinan buat dilanjutkan? ?????
emyuki
#2
Chapter 11: Baru selesai baca chapter ini dan aku bingung. Mungkin karena kelamaan nggak baca ffnya kali ya? Kayaknya harus baca ulang dari awal deh. Sebenernya masih bingung kak meskipun udah ada FAQ. Maafkan~
Kak Eka yang kuliah di jurusan kimia malah nggak kerja di bidang kimia. Aku yang kuliah bukan di kimia malah kerja di bidang kimia dan aku puyeng dengan segala alat laboratorium.
oktafia #3
Chapter 9: Huh kak kapan ff ini di lanjut,,,
kakak bikin penasaraan deh lanjutannya apa,,,
itu ketuanya kyungsoo kan ....???? iya kan... #maksa
tau gak kak ff kakak itu yang aku tunggu-tunggu loh kak,,,,
please kak cepet update ya kakkk,,,, Keep Writing kaka..
aku sabar kok nungguin ff kakak,,,,
dyeolita
#4
Chapter 9: Setelah skian lama menunggu,akhirnya terupdate...dan lagi-lagi bersambung lagi..

Thank you for updating and keeping us waiting again ,,, xD
emyuki
#5
Chapter 9: Baru sempat review padahal bacanya semalem. Udah keburu ngantuk soalnya xD
Akhirnya yah, LT diupdate juga. Itu ChanBaeknya berisik amat. Tiap ketemu pasti berantem mulu. Yeol kayaknya hobi godain (?) Baek.
Akun anonim itu siapa sih? Salah satu anggota Luziden Traumen?
Itu Kyungsoo mau jelasin apa sih ke Chanyeol tentang tanggal 22 itu. Itu ulangtahunnya Junmyeon kan?
Tao tetep ya rempong. Kayak di exo showtime xD
Yifan Junmyeon itu juga nggak kali berisiknya kayak ChanBaek, ribut, debat mulu. Tapi aku suka xD.
Btw, dari mana Yixing tau kalo ada penyadap?
Yixing dulu anggota Luziden Traumen kan? Kenapa keluar? (Aku nggak tau ini udah dibahas atau belum, aku lupa xD)
Jadi titik temu Luziden Traumen sama Luce Nella Ombra apa ya? Motif mereka apaan? Siapa yang memulai lebih dulu? Maafkan kapasitas otakku yang nggak bisa diajak kerjasama ini, jadinya nggak ngerti apa maksudnya xD.
Bagian Junmyeon mau gabungin mimpi Minseok, Jongdae sama Luhan itu aku bingung, kek apa jadinya nanti.
Siapa sij bosnya? Aku penasaran. Kenapa mesti bersambung disana??? Satu wajah yang familiar buat mereka berempat kayaknya cuma Kyungsoo. Soalnya peran Kyungsoo disini cuma dikit masa? Kan nggak mungkin Kyungsoo cuma penjaga caffe ato manager caffe ato apalah itu namanya.
Okeeeh, kayaknya komennya udah cukup panjang. Cukup sampe disini. Ya walopun masih banyak yang belum kumengerti. Dan di foreword kan dibilang death chara, penasaran siapa ini nanti. Belum kepikiran endingnya.
Semoga cepet diupdate deh. Fighting!!
ssabrinazfr #6
Chapter 9: itu siapa yang jadi bosnya huhuhuhu masa iya Kyungsoo................................tapi dia kandidat yang paling mungkin....
beneran sekepo itu sama bosnya beneran yg sekepo itu..

suka banget moment2 lucunya BaekYeol dan juga Yimyeon(?) suka sama moment2 mereka semua itu ngalir banget/ suka sama percakapan2 merekaaa..

ini semanya berasa punya peran penting masing2 yaaa...

kakak authornim semangat ya melanjutkan ff ini!!!! soalnya suka sekali.
ittaopta #7
Chapter 8: selamaaaaaaat. akhirnya uda fix jd S.Si nih si eka. chukkae!!!! alhamdulillah..

dan alhamdulillahnya lagi ni ff dilanjut lagi. kirain bakalan ditelantarin.

hmmmm chap 7,5 ini cukuo menjawab semua pertanyaan2 yg sempet muncul pas awal2 baca. dannn wiiiiiih ternyata setiap orang punya kaitan masing2. tp.kalo diliat2 kok yg kyknya gak kesangkut sama sekali tuh si kyungsoo ya? kek cuma sekedar lewat. sekedar dimunculin doang, biar ot12 nya lengkap. huweeeee sotoy bgt ya? maapin ya ka! kkkkkkkkkkk. huweeeeeee bias aku tuh ka si d.o!!! tp gpp jg sih. aku kesini n ngikutin ni ff jg bukan krn d.o nya. tp krn emang ni ff bagus bgt sih. dr plot n penggambarannya kece badai. jd sayang bgt kalo sampe dilewatin. hihihijiji..

ane tunggu updatean ente berikutnya ka! fighting!
ssabrinazfr #8
Chapter 8: akhirnya ini di lanjut juga dan still amazing eventho aku agak lupa cerita sblmnya tapi aku msh inget inti2nyaaa.. Yg jelas yixing nih paling bikin kepooo.. Anyway mereka semua ada hubungan terkait satu sama lain tapi kesannya sama sekali Ga maksa so this is really good seriously.

Aku kasihan sama Jongdae yg kaki tangan bos mafia kan bapaknya kenapa dia yg tersiksa dan Luhan, dia anaknya mr Lu padahal kan yah tapi dia ga ada mafia2an sama sekali???

Terus kai udah dpt blm itu info soal bonyoknya pls aku suka sekali sama hubungan brothership mrk. Kyungsoo dam tao apakah beneran persn tak memihak atau malah mrk yg bos mya/ga. Itu bapaknya yifan bnrn pembunuh ortunya chanyeol? Tapi bete abis chanyeol jahatnya agak manipulatif yaaaaaa..

Aku suka bahasanya btw soalnya aku anaknya bosenan parah tapi ini gapernah bosen malah enak terus bacanya trs dialognya juga santai2 lucu ada kekasan sendiri.

Keren bgt kak dan selamat atas sarjananya. I still wait for next chapter.
nora50
#9
Chapter 2: Awesome. Ini potensial bgt untuk jafi cerita bagus. Sebenernya baru baca 2 chapter tapi ga tahan mau komen. Overall keren banget ceritanya. Soalnya dah cape banget baca lovestory yang plotnya sangat biasa. Ceritanya mirip Inception, tapi yaa mana ada sih cerita yang beneran beda satu dengan lainnya? Inception aja terinspirasi dari Donal bebek hehe. Alur cepat, tapi ngga juga meninggalkan detil kecil. Humor antara Kris ama Suho bener2 bikin mereka kaya pasutri yg uda nikah 10 tahun, ledek2an melulu, kocak juga. Hmm...ngga sabar nemuin plot twist ditengah2 cerita ini.

Mungkin sama juga sama beberapa pengguna AFF dsini...aku juga udah ilang interest ama Exo (Trutama sejak kepergian Luhan yg membuat jiwa raga gw terguncang *lebay), tapi tetep aja aku baca AFF heheh. Exo ngga bagus klo nyanyi...mereka keren di dalem fanfic.

Anyway, ngga sabar banget baca kelanjutanya. Jadi saya hentikan saja komen berkepanjangan ini.