Antara Dunia Nyata dan Mimpi

Luziden Träumen

—sometimes dreams are wiser than waking. [Black Elk]


.

.

.

“Gue… baru aja ngeliat Yixing di dalam mimpi Luhan.”

Joonmyun menggelengkan kepalanya tidak percaya. Pernyataan Yifan adalah sesuatu yang mustahil.

—karena keadaan Yixing di dunia nyata tidak seperti di dunia mimpi.  

“Kamu jangan ngawur deh, Fan! Mana mungkin Yixing—“

”Iya, gue tau. Yixing lagi koma kan? Dia gak mungkin keluyuran di dalam mimpi orang, kan? Gue tau lo pasti bakal bilang begitu!” potong Yifan.

Joonmyun menepuk pelan pundak Yifan berkali-kali—mencoba menenangkan pemuda berambut pirang yang terbakar emosinya itu. “Oke, oke. Jangan emosi dulu, Fan. Kamu lagi nyetir, dan aku belum selesai ngomong!”

Yifan mendengus, lalu menoleh sekilas ke arah Joonmyun. “Apa yang mau lo omongin sekarang?” tanyanya tajam.

Joonmyun menghela napas, kemudian kedua mata bulan sabitnya menatap lurus Yifan. “Kalaupun kamu ngeliat Yixing di mimpi Luhan, berarti ada dua kemungkinan,”

“... kamu berhalusinasi atau Luhan memang pernah dekat dengan Yixing.”

.

.

.

EXO © SM Entertainment

Members of EXO (K and M) are not mine, but God and themselves. I don’t take any profit from this fanfic.

Luziden Träumen © Eka Kuchiki

Inspiration from movie Inception by Christopher Nolan

Warning: OOC, alur loncat-loncat, (mungkin) death character, Alternate Universe (AU)

.

.

.

“…kamu berhalusinasi atau Luhan memang pernah dekat dengan Yixing.”

Yifan membuang muka. Hening pun menyergapi mereka berdua. Tidak ada tanggapan dari Yifan—lebih tepatnya ia tidak ingin berdebat dengan Joonmyun. Sepasang obsidiannya memilih untuk fokus ke jalanan Busan yang sunyi.  Sementara `pikirannya berusaha memutar momen di mana ia melihat delusi Yixing (menurut Joonmyun) dan mencari bukti bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.

“Maaf… tapi aku gak bermaksud menyinggung kamu—” Ucapan Joonmyun terpotong ketika ia menyadari jalan yang dilaluinya bukanlah jalan pulang.

“Fan?”

“Hmm?”

“Ini kan jalan ke rumah sakit umum Busan…“ Mata sipit Joonmyun menatap tajam Yifan, “Jangan bilang kamu mau nengokin Yixing?”

“Kenapa? Gak suka?” gertaknya.

Joonmyun menjaga ekspresinya tetap tenang. Ia berusaha menyadarkan Yifan dengan fakta bahwa psikiater sekaliber dirinya tidak akan mempan digertak. “Apa boleh berkunjung ke rumah sakit jam segini? Besok pagi aja emang gak bisa?”

“Sekalian lewat kali, Myun!” balas Yifan setengah membentak.

“Otak kamu mulai nggak beres!” Titik kesabaran Joonmyun sudah melewati ambang batas, sehingga pemuda pendek itu refleks menarik tangan kanan Yifan yang sedang memegang setir, “Sini gantian nyetirnya!”

Yifan menggeser paksa tangan Joonmyun, “Dasar bego! Jangan gangguin gue kalo lo gak mau kita mati konyol di tengah jalan!” bentaknya.  Ia memutar kemudinya berbalik ke arah kanan menuju apartemen mereka.

Sepanjang perjalanan pulang, kedua pemuda berbeda kewarganegaraan itu sibuk dengan pikiran mereka sendiri dan duduk diam hingga mobil mereka sampai di apartemen Busan.

.

.

.

Sekitar jam 9 pagi KST, Yifan sudah ribut sendiri di dalam apartemennya. Ia telah membuat janji  pada jam setengah sembilan dan sialnya, ia baru bangun jam sembilan kurang sepuluh menit. Orang yang ingin dimakinya, Kim Joonmyun, ternyata sudah ‘melarikan diri’ dengan modus  ‘berangkat ke rumah sakit’. Demi menyingkat waktu, ia mandi kilat dan mengambil pakaian yang sudah tersedia di dalam lemari tanpa berpikir dua kali.

Dalam perjalanan, Yifan yang terbiasa menyetir dengan tenang kini memacu mobilnya setengah ngebut. Ia hampir menyerempet satu mobil BMW sport kalau saja ia tidak membanting setir ke kanan dan mengelit dengan cepat sebelum ia menabrak tepi trotoar. Persetan dengan makian pemilik BMW itu. Ia hanya punya waktu tiga jam untuk orang itu.    

Biasanya Yifan selalu berjalan dengan santai. Tidak untuk kali ini. Ia setengah berlari masuk ke dalam lift untuk menuju secepatnya ke lantai  tiga. Keluar dari lift, Yifan berlari-lari kecil di lorong rumah sakit umum Busan khusus VIP. Dua perawat yang melihatnya berlari hanya mengernyit bingung , sementara perawat lainnya seperti memaklumi tingkah Yifan terhadap salah satu pasien VIP  mereka.

Langkah pemuda China itu berhenti di pintu kamar VIP nomor 321. Pintu kamar VIP itu dibukanya perlahan. Ia melangkah masuk tanpa menimbulkan suara berisik, padahal ia tahu pasien yang terbaring di kamar itu tidak akan merasa terganggu dengan kedatangannya.   

“Gue dateng, Xing…” bisik Yifan. Ia masih berdiri, berusaha menjaga jaraknya terlebih dahulu dengan tubuh yang terbaring di atas ranjang berseprai putih—khas rumah sakit.

“Yeah, I’m so sorry for coming late,” Yifan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Si Joonmyun lupa bangunin gue. Gue heran, masa sifat lo yang pelupa bisa pindah ke Joonmyun sih? Mana dia sekarang bawel banget lagi kayak elo!”

Grafik detak jantung Yixing di layar elektrokardiogram terlihat stabil, namun pemilik detak jantung itu masih larut dalam ‘tidurnya’. Yifan mengambil kursi lipat, berjalan mendekat, lalu duduk di samping kiri ranjang Yixing.

“Gue sama Joonmyun baru aja ketemu klien bernama Luhan. Dia punya masalah sama mimpinya, jadi gue masuk ke dalam mimpinya buat tau apa masalahnya.”

“And you know what I saw in his dream?”  Yifan memberi jeda untuk menghela napas,  “I saw you, Xing! Gue liat elo! Elo senyum ke gue di dalam mimpi Luhan! It’s so ridiculous, Right?”

Bunyi elektrokardiogram mengisi keheningan sejenak sebelum Yifan menyelesaikan rangkaian pertanyaannya.

“Sehabis keluar dari mimpi itu, gue yakin lo pasti kenal sama Luhan. Kenapa lo gak pernah kasih tau gue siapa itu Luhan? Siapa dia? Sepupu lo? Temen deket lo? Atau pacar gay lo?”

Kali ini tangan besar Yifan menggenggam tangan kanan Yixing. Tangan putih itu diusapnya perlahan; berharap Yixing bisa merasakan kehadirannya. Obsidian Yifan menatap lurus dua mata yang tertutupi oleh kelopak mata itu dan mulai mengajaknya berbicara empat mata. Kalimat pembukanya adalah sebuah pertanyaan retoris. 

“Sampai kapan kamu mau terus terkurung dalam mimpi, Xing?”

.

.

.

Jam tiga sore KST adalah waktu harga mati bagi Kim Joonmyun untuk mengurangi intesitas pasiennya—pasien yang datang biasanya hanya satu atau dua orang pada jam tersebut. Dalam waktu itu, diam-diam ia mendesah resah. Walaupun tidak ingin dibawa menjadi beban, tapi kejadian semalam masih membuat otaknya ikut mereka ulang (dan menjadikannya sebagai beban pikiran). Beruntung beban itu terpotong sedikit saat satu nada sms masuk menyentaknya.     

[Joonmyun, aku sudah kirim jadwal latihanku lewat e-mail~ :D]

Joonmyun tersenyum simpul melihat pesan singkat dari Luhan yang baru masuk di inbox ponselnya. Ia mengecek isi e-mail itu dan menentukan hari apa yang cocok untuk mengajak Luhan melakukan lucid dream. Ia tidak bisa memaksa Luhan untuk melakukan lucid dream jika tenaganya sudah dikuras seharian oleh jadwal latihannya. Alih-alih lucid dream, yang diperoleh hanyalah sleep paralysis.  

Lima menit kemudian, jemarinya selesai menulis balasan e-mail Luhan dengan sebuah tautan artikel yang baru ditulisnya semalam beserta jadwal ‘asistensi lucid dream’ yang sudah ditentukan dari jadwal latihan Luhan.

[Tolong cek artikel yang saya kirimkan lewat e-mail. Semoga artikel itu bisa membantumu… :)]

.

.

.

Waktu istirahat tinggal sepuluh menit lagi. Luhan kembali memperhatikan layar ponsel flip hitamnya yang tidak menampilkan pesan apapun. Ia menunggu dengan harap-harap cemas. Beberapa menit yang lalu ia baru saja mengirimkan pesan singkat ke Joonmyun.

Tak lama kemudian, kedipan lampu di ponsel pertanda e-mail masuk menyita perhatian Luhan. Pemuda berwajah imut itu mengecek e-mail masuk dan hampir menjerit kegirangan karena ia menemukan satu e-mail yang masuk dari Kim Joonmyun.

Luhan membaca sekilas artikel yang dikirimkan Joonmyun sebagai balasan e-mail untuknya. Senyum lebarnya kini terulas sempurna. Ia berniat mencetak artikel itu dan mempraktikannya sendiri. Tangan kanannya mengepal  erat; tidak sabar untuk segera menuntaskan rasa penasarannya.

‘Sebentar lagi aku bakal tau siapa si pemuda misterius itu!’

Waktu istirahat sudah habis, dan Luhan masih harus melatih kumpulan anak-anak usia 10-14 tahun itu selama dua jam. Tetapi dua jam waktu latihan itu Luhan menunjukkan perubahan dari ekspresi wajah, teriakan semangat untuk tim yang dilatihnya, serta intonasi saat menjelaskan strategi penyerangan. Anak-anak didikan Luhan bisa melihat jelas bahwa pelatih mereka lebih bersemangat dibandingkan dengan  satu jam sebelumnya.

—anak-anak itu seharusnya berterima kasih kepada e-mail yang baru saja diterima oleh pelatih mereka.  


.

#

.

….

Lucid dream diawali dari sebuah peralihan gelombang alfa ke dalam gelombang theta. Saat mata kita melakukan REM, kita dituntut untuk menjaga pikiran kita agar jangan tertidur.  Metode-metode yang digunakan untuk melakukan lucid dream adalah sebagai berikut:

1. Pada siang hari, berulang kali bertanya kepada diri sendiri, “Apakah aku bermimpi?”

2. Buatlah sebuah buku catatan (jurnal) mimpi (dream recall).

3. Pelajari waktu terbaik untuk mendapatkan lucid dream.

4. Cobalah teknik MILD (mnemonic induction of lucid dreaming).

5. Lakukan teknik WBTB (Wake Back To Bed).

6. Cobalah teknik WILD (Wake Initiated Lucid Dream).

7. Lakukan teknik ‘Diamond Method of Meditation’.

8. Melibatkan diri ke dalam subjek lucid dream.

9. Cobalah menandai "A" (yang berarti “Awake” atau "Bangun") di telapak tangan.

10. Biasakan melakukan pemeriksaan kenyataan (apakah anda sedang bermimpi atau tidak).

11. Memperpanjang lucid dream dengan memutar tubuh anda atau jatuh ke belakang dalam mimpi.

12. Jadilah lebih pro-aktif tentang impian anda.

13. Dengarkan binaural beats.

14. Lihatlah mimpi sebelumnya dalam jurnal mimpi anda.

Dengan mengikuti metode di atas, maka diri kita akan sering mengalami lucid dream. Saat kita melakukan lucid dream, pikiran kita telah mengatur kesadaran kita bahwa mimpi bukanlah suatu kebetulan belaka. Ada rahasia tersendiri pada mimpi yang terkoneksi dalam dunia nyata, sehingga dapat dikontrol oleh diri kita.

Pada dasarnya, semua mimpi berisi tentang sugesti terhadap diri kita, baik dan buruknya suatu mimpi juga bergantung pada sugesti dalam diri sendiri. Berhati-hatilah terhadap sugesti terhadap diri sendiri, karena bisa jadi mimpi kita adalah hasil sugesti  dari otak kita.

….

.

#

.


Malam ini, Yifan sudah memutuskan untuk menegur Joonmyun terlebih dahulu.  Ia berjalan ke arah ruang tamu, dan… Bingo! Orang yang ingin ditemuinya baru saja selesai memakai baju dan sedang mengeringkan rambut hitamnya dengan handuk.  Pemuda bersurai pirang itu berdehem sebelum membuka dialognya.    

“Myun, ternyata tanggal gue berangkat ke Jepangnya dimajuin jadi besok. Besok gue udah ke Seoul Airport jam 9 pagi. Lo minta bantuan Luhan aja buat bantuin proyek lo selama gue gak ada.”

Joonmyun memiringkan kepalanya, lalu ia menyunggingkan senyum tipis. “Oke, Fan! Nikmatin aja jalan-jalan kamu di sana…” kelakarnya.

Yifan memalingkan muka; untuk saat ini, ia tidak senang diajak bercanda. “Jalan-jalan pala lo! Gue kerja di sana, Pendek!” balasnya dingin.

Joonmyun menaikkan alisnya. Tidak biasanya mood Yifan sejelek ini. “Yaelah, digituin aja marah-marah. Kok kamu gampang sensian sih sekarang?“

“Au, ah, gelap!” Yifan melangkahkan kaki menuju kamarnya, merampungkan kegiatan packing-nya. Namun langkahnya terhenti oleh suara lembut tapi bernada tegas milik Joonmyun.

“Kita pasti bisa nyadarin Yixing, Fan.”

Yifan menoleh dengan alis naik sebelah—merasa tersentil dengan pernyataan Joonmyun. “Kok elo nyambung-nyambung ke Yixing sih?”  sengitnya.

“Mata kamu nggak bisa bohong. Sorot mata kamu dari dua minggu yang lalu sampai sekarang nggak berubah.”

Pemuda berambut pirang itu tersenyum kecut. Percuma menutupi semuanya dari Joonmyun. “Gue takut Yixing gak balik lagi, Myun,” Suara Yifan berubah menjadi serak, “dia pernah bilang ke gue kalo terkadang mimpi lebih bijaksana dibandingkan dengan kenyataan. Di dunia mimpi, kita bisa membangun apapun yang kita inginkan, dan—”

Joonmyun menggeleng cepat. “Kamu salah, Fan! Mimpi bagi Yixing adalah ‘kenyataan yang belum tercapai’!”

“Tau apa lo soal Yixing?” Yifan meradang dengan kedua tangan terkepal kuat di bawah, “Gue aja yang sahabatnya dari kecil gak bisa tau semua hal tentang Yixing!”

“Aku udah baca dan menaksir ide dari semua novel Yixing! Dari ketiga novel tetraloginya, semuanya merujuk pada mimpi yang diwujudkan di kehidupan nyata!” Joonmyun mengatur napasnya yang terengah-engah; mencoba menenangkan diri dan mengendalikan emosinya sebelum melanjutkan analisisnya,

“…tapi satu novel terakhirnya menceritakan antiklimaks dari novel  tetralogi itu. Mimpi dan kenyataan gak bisa bersatu! Gak selamanya  mimpi jadi kenyataan! Kamu harusnya bisa—”  

“Myun, lo lagi mikirin adik lo yang ngilang di Amerika kan? Lo frustasi karena nggak bisa nyari dia di dalam kenyataan maupun di dalam mimpi lo sendiri kan?”

Pertanyaan Yifan membuat Joonmyun bungkam.  Hening menjadi jeda sampai pemuda China itu menyunggingkan senyum pedih.

How pity we are. Ternyata kita berdua seri,” bisiknya pelan seolah bercakap pada dirinya sendiri, “such of two hypocrite men.”

Joonmyun masih tertegun di tempat saat Yifan berbalik badan menuju kamarnya. Mulutnya terkunci, obsidiannya hanya berani menatap pemilik punggung berbalut kemeja hijau toska itu sampai ia menutup pintu kamarnya. Kini pikiran Joonmyun mulai ribut berkomentar entah kepada siapa.  

‘Bener, Fan. Aku lagi mikirin kehilangan jejak adik angkatku di Amerika, dan kamu juga lagi mikirin Yixing yang masih koma.’

Joonmyun melangkah gontai ke arah kamarnya di lantai dua, dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur berlapis seprai putih. Ia menatap langit-langit kamarnya dan sesekali melirik ke arah pintu. Ia ingin melewati pintu itu; mengucapkan selamat malam ke Yifan seperti biasanya. Sayang, hatinya memilih untuk terpaku di atas kasur. Dalam hati, ia menyadari dirinya dan Yifan sama-sama menyimpan masalah dan tidak ada yang mau mengakuinya.  

 ‘Kita berdua menjadi orang paling munafik dengan berpura-pura tidak ada masalah yang perlu diselesaikan.’

Inilah malam terbeku bagi Kim Joonmyun—mungkin juga untuk Wu Yifan.  Tidak ada sapaan selamat malam sesama roomates seperti malam biasanya.

.

.

.

Saat Joonmyun terbangun jam tujuh pagi, tidak ada cahaya matahari yang menembus celah-celah tirai jendela kamarnya. Ketika ia menyibak tirai jendelanya, hanya warna kelabu langit yang menyambutnya.

Cuaca yang suram ternyata belum cukup untuk menggambarkan suasana hati Joonmyun. Ponsel androidnya pun bersekutu ingin membuatnya semakin ditelan suram. Ada satu pesan yang belum dibaca dan pesan itu dari Yifan.

[I’m sorry, Myun-ie. Gue buru-buru sampe gak sempet pamitan langsung ke elo.]

Joonmyun merasakan pandangannya berkabut. Ini bukan pertama kalinya Yifan pergi meninggalkannya tanpa membangunkannya terlebih dahulu, tapi kejadian semalam yang membuatnya mendadak sensitif seperti ini.  

—semalam itu ia dan Yifan memulai perang dingin dan tidak ada satu pun yang berniat mencairkannya.

Diamnya Joonmyun mulai melebur ketika ponselnya menjeritkan lagu. Ia mengangkat telepon itu dengan nada malas, “Halo?”  

“Udah bangun? Ternyata lo moloran juga ya,” Suara husky itu bernada meledek, tetapi Joonmyun tidak menggubris pancingan itu. Ia sudah menyiapkan kata-kata yang lebih penting untuk diucapkan.

“Fan… maaf yang soal semalam. Aku—“

Myun, don’t bring the past to the present! So—Damn! Pesawat gue udah datang! Bye, Shortie!”

Sambungan telepon diputus, tetapi wajah Joonmyun seperti menahan tawa. Sepertinya telepon Yifan berhasil mengembalikan sinar matahari; setidaknya di dalam hatinya.

‘Yifan yang kukenal ternyata udah balik. As always, he calls me shortie.’

.

.

.

Pada waktu istirahat, Joonmyun kembali mengecek blog lucid dream-nya. Dan ia seperti mengalami déjà vu. Ada satu komentar yang menarik perhatiannya, terselip di antara belasan komentar positif dan negatif yang tak menarik minatnya.  Persis seperti pertemuan pertamanya dengan Luhan.

[“Nama saya Kim Minseok. Saya seorang arsitek. Saya tertarik dengan pengalaman lucid dream yang anda ceritakan. Beberapa hari yang lalu, saya diminta membuat desain sebuah apartemen mewah di daerah Gangnam, tapi saya belum memiliki ide untuk desainnya.

Oleh karena itu, saya ingin masuk ke dalam mimpi saya sendiri untuk menentukan desainnya. Saya harap anda bisa membantu saya. Terimakasih sebelumnya…” :)]

Lagi-lagi Joonmyun kembali menjawab e-mail arsitek itu dengan jawaban yang senada dengan jawaban dari e-mail Luhan.

“Halo, bisa bicara dengan Kim Joonmyun?” sapa suara penelepon itu. Suara peneleponnya kali ini setipe dengan Luhan. Tidak terlalu berat, tetapi nadanya cukup tegas.

“Ya, ini saya sendiri. Ini dengan siapa?” sahut Joonmyun.

“Saya Kim Minseok , yang mengirimkan permintaan konsultasi…”

Kemudian berlanjutlah pembicaraan itu dari kesepakatan jam konsultasi dan praktik lucid dream sampai membahas alamat si klien. Joonmyun mencatat jam dan alamat klien di scheduler-nya; jam setengah sebelas malam KST di kawasan perumahan Apgujeong.

Joonmyun merasakan ada yang mengganjal saat sambungan telepon diputus. Yang terlintas di pikirannya sekarang adalah Luhan. Pembicaraannya dengan klien bernama Minseok itu membuatnya teringat pada Luhan.    

.

.

.

Semburat jingga kemerahan di langit terlihat cantik di balik jendela ruangan Joonmyun. Pemandangan cantik yang biasanya selalu menjadi pusat perhatian pemuda berkulit putih susu itu tidak lagi menarik minatnya. Pikirannya yang riuh bercabang mendadak rontok oleh panggilan dari asistennya, Seo Joohyun. 

“Dokter Kim, ada calon pasien yang membuat jadwal dengan anda besok pagi. Dia penderita skizofrenia[5].”

Joonmyun mengangguk dengan wajah datar. Tanggapan itu dianggap wajar bagi Joohyun, karena kasus skizofrenia yang dihadapi oleh psikiater berkulit putih sekarang ini adalah kasus yang kelima. “Siapa nama pasiennya?” tanyanya pada Joohyun.

“Namanya Kim Jongdae. Ini berkasnya,” jawab gadis berambut hitam sepunggung itu sambil menyerahkan berkas data-data pasien penderita skizofrenia yang dimaksud.

“Jadi namanya Kim Jongdae…” Joonmyun mengulangi nama itu dan berpikir sejenak. Beberapa saat kemudian, ia tersentak. Nama itu bukanlah nama yang asing baginya.

‘Kim Jongdae? Anak tunggal dari penyanyi Kim Youngdae itu… penyakitnya kambuh lagi?’

 

.

.

.

Gemerlap dan sibuknya kota Tokyo merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kota tersibuk di Jepang itu seakan tidak pernah tidur, bahkan puncak dari kesibukan itu jatuh pada pukul tujuh malam. Sebuah fashion show brand ternama tingkat Asia merupakan sebagian kecil dari gemerlap sekaligus kesibukan di ibukota Jepang.

Tepat pukul jam tujuh malam, Yifan menginjakkan kakinya di ruang rias. Ada lima model pria—selain dirinya—yang tengah menunggu gilirannya untuk dirias. Yifan mencibir pelan saat ia diberitahu oleh salah satu model bahwa fashion show ini tengah kekurangan penata rias dan hair stylish—yang berarti akan membuatnya semakin lama menunggu. Cibirannya terhenti saat ia merasakan bahunya ditepuk seseorang. 

“Kris?” panggil pemuda tinggi berambut cepak itu. Ia memasang ekspresi wajah creepy yang sangat dikenali oleh Yifan. Siapa lagi kalau bukan orang itu.

“Park Chanyeol,” desis Yifan pada pemuda yang tingginya tidak jauh berbeda dengan dirinya itu. “ngapain lo di sini?”

“Gue jadi model buat rancangan Andre Kim,” jawab Chanyeol semangat, lengkap dengan cengiran yang memamerkan deretan gigi rapinya. “lo sendiri kenapa bisa ada di sini?”

“Sama kayak lo. Cuma beda desainer aja.” Yifan ingin menghindari percakapan dengan beranjak diam-diam. Baru saja Yifan berpindah dua langkah, tiba-tiba Chanyeol sudah berpindah di sisi kanannya.    

“Nanti habis fashion show kita karaokean yuk!” ajaknya to the point sambil menepuk pundak pemuda China itu.

Yifan mendengus. Tempat karaoke bagi Park Chanyeol memiliki arti ambigu, antara tempat karaoke asli atau club. Pemuda tinggi dan periang itu sepertinya tidak tahu bahwa ia paling tidak suka berlama-lama di kedua tempat itu. Membuang-buang waktu dan uang. 

“Lo mau ngajak ke tempat karaoke atau club? Lo pasti mau hunting cewek kan?“ sindirnya dengan nada tajam.

Chanyeol terbahak mendengar sindiran Yifan sambil memukul keras punggung pemuda berambut pirang itu. “Itu normal kali! Dua tempat itu kan buat have fun! Gue justru curiga sama lo yang susah banget diajak pergi ke tempat karaoke ataupun ke club. Elo itu normal nggak sih?” tanyanya dengan nada mengejek.

Raut wajah Yifan yang mulai mengeruh bukannya membuat Chanyeol jera meledeknya, malah semakin senang menggencarnya, “Ah! Gue tau! Jangan-jangan… lo gay ya?”

Yifan mengernyit jijik mendengar pernyataan Chanyeol. Tangannya mengibas ke arah pemuda tinggi berambut hitam pendek itu. “Mendingan lo ke sana deh. Cari penata rias yang nganggur dan berhenti gangguin gue.”  usirnya.

“Dasar Kris Wu,” Chanyeol memamerkan cengirannya sebelum kaki jenjangnya melangkah ringan ke meja riasnya, “pokoknya nanti kalo fashion show ini udah selesai kita harus langsung karaokean!”  

Yifan mengangguk sekali dan berpura-pura tidak melihat derp face Chanyeol itu. Ia harus mencari penata rias yang agak jauh dari tempat Chanyeol dirias. Berurusan dengan pemilik julukan ‘Rich Teeth’ itu lama-lama bisa merusak mood.  Padahal untuk tampil di fashion show, mood-nya harus dalam keadaan baik.

Untuk menetralisir bad mood,  Yifan ganti memaki Chanyeol dalam hati, ‘Kenapa gue bisa ketemu orang kayak dia sih? Bikin ancur suasana aja!’

.

.

.

Langit biru gelap semakin memekat saat Joonmyun masuk ke dalam apartemennya. Ia menyalakan lampu ruang tamu dan ruangan yang terang itu masih apik—karena penghuninya cuma dia. Untuk pertama kalinya, ia mendesah kecewa begitu menyadari apartemen akan sepi selama seminggu. Mungkin otaknya harus sering disugesti, ‘Setidaknya aku punya waktu lebih untuk istirahat tanpa diganggu siapapun.’

Joonmyun memijat dahinya yang mulai terasa pening. Entah karena besok pagi harus menghadapi penderita skizofrenia , meneliti mimpi dari seorang arsitek, memikirkan masalahnya dengan Yifan yang belum terselesaikan, atau—

—ada momen penting yang tidak bisa diingatnya.   

‘Semoga aku masih diberikan kewarasan…’

Setelah mensugesti diri dengan ‘mantra penenang’ itu, Joonmyun memandangi tanggal yang tertera di layar ponsel androidnya. Matanya membelalak saat ia melihat tanggal di layar ponselnya. Ia baru menyadari bahwa inilah maksud momen penting yang dilupakannya.  Sekarang tanggal 24 Februari 2016, tepat setahun hari hilangnya sang adik yang tengah tinggal di Amerika untuk meneruskan kuliah.

24 Februari 2015. Joonmyun baru saja diwisuda selama setahun kuliah jenjang S3  di Berkley University. Ayah dan ibunya ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan, jadi ia hanya pergi ke hari wisuda itu dengan adiknya, Jongin.

Selesainya acara wisuda, Joonmyun menghubungi nomor Jongin untuk mengajaknya pulang. Tiga kali ia menelepon, yang didapatnya hanya jawaban operator, “Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.”

Awalnya ia mengira bahwa Jongin bertemu dengan teman sekelasnya lalu mereka mengadakan pertemuan dadakan. Mungkin ponsel Jongin kehabisan baterai, jadi ia tidak bisa menghubungi siapapun.

Tapi saat waktu terus berjalan dan jam di apartemennya menunjukkan pukul sebelas malam, Joonmyun merasakan ada yang ganjil. Jongin bukanlah orang yang suka keluyuran malam tanpa memberi kabar sama sekali. Ia mencoba menghubungi nomor Jongin, lagi-lagi yang menjawabnya adalah suara operator.

Joonmyun menghubungi semua teman kuliah Jongin yang berada di kontaknya. Dan mereka semua tidak tahu menahu keberadaan Jongin.  Kali ini kepanikan benar-benar menyerangnya.   

Keesokan harinya, ia menghubungi kantor polisi. Semua selebaran foto Jongin sebagai orang hilang disebar di kampus Berkley, bahkan ia juga menyebarkan lewat media Koran, sosial media dan televisi di seluruh kota California. Ia menunggu seminggu, dua minggu, sebulan, tetapi tidak ada telepon yang masuk untuk memberitahukan keberadaan Jongin.

Joonmyun sempat mengecek keberadaan adiknya lewat social media Twitter dan Facebook. Tetapi kedua akun itu ternyata sudah deactive.

Kedua orangtuanya bukannya tidak peduli dengan anak angkat mereka. Semua biaya pencarian Jongin yang mereka kucurkan, termasuk menyewa detektif ternama, juga tidak dapat membobol jalan buntu untuk menemukan Jongin. Di bulan ketiga, ia akhirnya menyerah.

Pada saat puncak keputusasaannya, Joonmyun mendapatkan panggilan dari rumah sakit umum di Seoul yang menerima lamaran kerjanya. Ia memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya, Seoul, dan menenggelamkan waktu dan pikirannya sepenuhnya untuk bidang psikologi.

Joonmyun tidak menyadari, ia telah menghabiskan lima belas menit waktunya untuk perjalanannya dari tahun lalu ke tahun ini. Masa lalunya ditutup dengan sebuah pernyataan dalam hati. Ia selalu mengucapkannya saat ia merasa ragu akan keberadaan Jongin dan menjadikannya sebuah sugesti dalam otak.

‘Selama aku belum nemuin mayat Jongin, aku tetap menganggapnya masih hidup.’

Joonmyun melihat jam di ponselnya, sudah pukul 9 malam KST. Ia tersentak ketika menyadari waktunya tinggal satu setengah jam—mengingat ia telah membuat janji dengan Minseok jam setengah sebelas. Ia buru-buru menghubungi Luhan, menyuruhnya tetap menunggu di apartemen sebelum mereka berdua meluncur ke rumah Kim Minseok.

.

.

.

“Ini rumah klien kita?” Luhan menatap takjub sisi depan rumah dua lantai yang terlihat kokoh dengan desain kaya akan sentuhan gaya mediteran (baik pilar, pintu depan, maupun langit-langitnya) itu, namun ada unsur ornamen khas Korea yang diselipkan secara artistik sehingga membaur sempurna dengan gaya mediterannya.

Joonmyun terkekeh melihat tingkah Luhan yang ekspresif. “Dia arsitek, Han. Pasti dia ngerancang sendiri rumahnya.”

Binar mata Luhan terlihat makin jelas setelah mengetahui profesi kliennya. “Keren banget! Kalau tabunganku udah cukup buat bikin rumah, aku pengen minta dia ngedesain rumahku…”

Joonmyun tersenyum maklum melihat antusiasme dari pemuda sanguinis seperti Luhan. Ketika bel dipencet tiga kali, seorang pemuda  tidak terlalu tinggi membukakan pintu untuk mereka. Mata  Joonmyun dan Luhan mendadak tidak berkedip dan mulut menganga lebar, karena wajah pemuda yang membukakan pintu untuk mereka itu mirip dengan artis Sohee ‘Wonder Girls’.

—tapi profesionalitas seorang psikiater dan asistennya menuntut wajah kedua pemuda itu kembali normal.

“Anda pasti tuan Kim ya?” tanya Joonmyun pada pemuda berkaus polo abu-abu itu. Pemuda itu mengangguk dan menyambut uluran tangan Joonmyun, kemudian menjabatnya dengan semangat.

 “Benar sekali! Dan—“ Raut wajah Kim Minseok mendadak berubah saat menyadari  ada satu sosok yang tidak asing baginya. Ia berdiri di samping Joonmyun sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Luhan!” Minseok memekik girang. Tanpa ragu, ia memeluk erat tubuh kurus Luhan dan menepuk-nepuk punggungnya, melampiaskan rasa kegembiraannya bertemu teman lama, “Gue kangen berat sama lo! Udah lama kita gak ketemuan, Bro! Gimana kabar lo?”

Namun Luhan menunjukkan reaksi balasan yang sebaliknya. Ia melepaskan diri dari pelukan Minseok, mengedipkan kedua matanya kebingungan, lalu bertanya dengan suara tertahan.

“Kamu… siapa?”

.

.

[Bersambung]

.

.


Glosarium:

[5]Skizofrenia : Gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, emosional dan tingkah laku. Ciri-cirinya yakni hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). 75% pengidap skizofrenia adalah usia 16-25 tahun.

 

Eka’s note: Saya sengaja gak beberin penjelasan metode lucid dream-nya. Nanti akan saya jelaskan bagaimana di dalam chapter selanjutnya.  Tapi pas di chapter 2 (tepatnya di dalam mimpi Luhan) udah saya beberin kok sebagian. :)

Maaf ya Cheeen~ saya habisnya bingung mau pake siapa yang kena skizofrenia~ Saya pilih yang tukang nge-troll aja deh~ *diteriakin sampe 8 oktaf* *mendadak tuli*

Sebenernya saya mau posting chapter 3 ini sekaligus dengan chapter 4 (karena kalo dijadiin satu chapter kepanjangan), jadi saya terpaksa potong di sini. Maaf chapter 4 masih dalam rekonstruksi(?)

Akhir kata, komen? :D

P.S: Jika ada yang ingin tahu MV apa saja yang mengandung unsur lucid dreaming, silakan cek ‘Dream Girl’ SHINEE dan ‘Insane’ AJAX. XD

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ssabrinazfr #1
apakah ini masih ada kemungkinan buat dilanjutkan? ?????
emyuki
#2
Chapter 11: Baru selesai baca chapter ini dan aku bingung. Mungkin karena kelamaan nggak baca ffnya kali ya? Kayaknya harus baca ulang dari awal deh. Sebenernya masih bingung kak meskipun udah ada FAQ. Maafkan~
Kak Eka yang kuliah di jurusan kimia malah nggak kerja di bidang kimia. Aku yang kuliah bukan di kimia malah kerja di bidang kimia dan aku puyeng dengan segala alat laboratorium.
oktafia #3
Chapter 9: Huh kak kapan ff ini di lanjut,,,
kakak bikin penasaraan deh lanjutannya apa,,,
itu ketuanya kyungsoo kan ....???? iya kan... #maksa
tau gak kak ff kakak itu yang aku tunggu-tunggu loh kak,,,,
please kak cepet update ya kakkk,,,, Keep Writing kaka..
aku sabar kok nungguin ff kakak,,,,
dyeolita
#4
Chapter 9: Setelah skian lama menunggu,akhirnya terupdate...dan lagi-lagi bersambung lagi..

Thank you for updating and keeping us waiting again ,,, xD
emyuki
#5
Chapter 9: Baru sempat review padahal bacanya semalem. Udah keburu ngantuk soalnya xD
Akhirnya yah, LT diupdate juga. Itu ChanBaeknya berisik amat. Tiap ketemu pasti berantem mulu. Yeol kayaknya hobi godain (?) Baek.
Akun anonim itu siapa sih? Salah satu anggota Luziden Traumen?
Itu Kyungsoo mau jelasin apa sih ke Chanyeol tentang tanggal 22 itu. Itu ulangtahunnya Junmyeon kan?
Tao tetep ya rempong. Kayak di exo showtime xD
Yifan Junmyeon itu juga nggak kali berisiknya kayak ChanBaek, ribut, debat mulu. Tapi aku suka xD.
Btw, dari mana Yixing tau kalo ada penyadap?
Yixing dulu anggota Luziden Traumen kan? Kenapa keluar? (Aku nggak tau ini udah dibahas atau belum, aku lupa xD)
Jadi titik temu Luziden Traumen sama Luce Nella Ombra apa ya? Motif mereka apaan? Siapa yang memulai lebih dulu? Maafkan kapasitas otakku yang nggak bisa diajak kerjasama ini, jadinya nggak ngerti apa maksudnya xD.
Bagian Junmyeon mau gabungin mimpi Minseok, Jongdae sama Luhan itu aku bingung, kek apa jadinya nanti.
Siapa sij bosnya? Aku penasaran. Kenapa mesti bersambung disana??? Satu wajah yang familiar buat mereka berempat kayaknya cuma Kyungsoo. Soalnya peran Kyungsoo disini cuma dikit masa? Kan nggak mungkin Kyungsoo cuma penjaga caffe ato manager caffe ato apalah itu namanya.
Okeeeh, kayaknya komennya udah cukup panjang. Cukup sampe disini. Ya walopun masih banyak yang belum kumengerti. Dan di foreword kan dibilang death chara, penasaran siapa ini nanti. Belum kepikiran endingnya.
Semoga cepet diupdate deh. Fighting!!
ssabrinazfr #6
Chapter 9: itu siapa yang jadi bosnya huhuhuhu masa iya Kyungsoo................................tapi dia kandidat yang paling mungkin....
beneran sekepo itu sama bosnya beneran yg sekepo itu..

suka banget moment2 lucunya BaekYeol dan juga Yimyeon(?) suka sama moment2 mereka semua itu ngalir banget/ suka sama percakapan2 merekaaa..

ini semanya berasa punya peran penting masing2 yaaa...

kakak authornim semangat ya melanjutkan ff ini!!!! soalnya suka sekali.
ittaopta #7
Chapter 8: selamaaaaaaat. akhirnya uda fix jd S.Si nih si eka. chukkae!!!! alhamdulillah..

dan alhamdulillahnya lagi ni ff dilanjut lagi. kirain bakalan ditelantarin.

hmmmm chap 7,5 ini cukuo menjawab semua pertanyaan2 yg sempet muncul pas awal2 baca. dannn wiiiiiih ternyata setiap orang punya kaitan masing2. tp.kalo diliat2 kok yg kyknya gak kesangkut sama sekali tuh si kyungsoo ya? kek cuma sekedar lewat. sekedar dimunculin doang, biar ot12 nya lengkap. huweeeee sotoy bgt ya? maapin ya ka! kkkkkkkkkkk. huweeeeeee bias aku tuh ka si d.o!!! tp gpp jg sih. aku kesini n ngikutin ni ff jg bukan krn d.o nya. tp krn emang ni ff bagus bgt sih. dr plot n penggambarannya kece badai. jd sayang bgt kalo sampe dilewatin. hihihijiji..

ane tunggu updatean ente berikutnya ka! fighting!
ssabrinazfr #8
Chapter 8: akhirnya ini di lanjut juga dan still amazing eventho aku agak lupa cerita sblmnya tapi aku msh inget inti2nyaaa.. Yg jelas yixing nih paling bikin kepooo.. Anyway mereka semua ada hubungan terkait satu sama lain tapi kesannya sama sekali Ga maksa so this is really good seriously.

Aku kasihan sama Jongdae yg kaki tangan bos mafia kan bapaknya kenapa dia yg tersiksa dan Luhan, dia anaknya mr Lu padahal kan yah tapi dia ga ada mafia2an sama sekali???

Terus kai udah dpt blm itu info soal bonyoknya pls aku suka sekali sama hubungan brothership mrk. Kyungsoo dam tao apakah beneran persn tak memihak atau malah mrk yg bos mya/ga. Itu bapaknya yifan bnrn pembunuh ortunya chanyeol? Tapi bete abis chanyeol jahatnya agak manipulatif yaaaaaa..

Aku suka bahasanya btw soalnya aku anaknya bosenan parah tapi ini gapernah bosen malah enak terus bacanya trs dialognya juga santai2 lucu ada kekasan sendiri.

Keren bgt kak dan selamat atas sarjananya. I still wait for next chapter.
nora50
#9
Chapter 2: Awesome. Ini potensial bgt untuk jafi cerita bagus. Sebenernya baru baca 2 chapter tapi ga tahan mau komen. Overall keren banget ceritanya. Soalnya dah cape banget baca lovestory yang plotnya sangat biasa. Ceritanya mirip Inception, tapi yaa mana ada sih cerita yang beneran beda satu dengan lainnya? Inception aja terinspirasi dari Donal bebek hehe. Alur cepat, tapi ngga juga meninggalkan detil kecil. Humor antara Kris ama Suho bener2 bikin mereka kaya pasutri yg uda nikah 10 tahun, ledek2an melulu, kocak juga. Hmm...ngga sabar nemuin plot twist ditengah2 cerita ini.

Mungkin sama juga sama beberapa pengguna AFF dsini...aku juga udah ilang interest ama Exo (Trutama sejak kepergian Luhan yg membuat jiwa raga gw terguncang *lebay), tapi tetep aja aku baca AFF heheh. Exo ngga bagus klo nyanyi...mereka keren di dalem fanfic.

Anyway, ngga sabar banget baca kelanjutanya. Jadi saya hentikan saja komen berkepanjangan ini.