Es ist Showzeit

Luziden Träumen

—Dreams are free, so free your dreams. [Terri Guillemets]

.

.

.

“Hallo, Jungs! Traurig bin ich spät...”

Pemuda bertubuh sedang itu membuka topeng putihnya. Dari balik topeng itu, terlihatlah wajah yang sangat familiar bagi keempat pemuda itu—

“HAH?”

—wajah yang tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka berempat sebagai sosok pemimpin   Luziden Träumen.

Kedua mata sipit Baekhyun membelalak sempurna. Jari telunjuknya mengarah lurus ke sosok pemimpinnya. “Kyu—Kyungsoo? Jadi lo—”

“Jadi—elo yang selama ini mengatur kerja kita semua?” potong Chanyeol, menyambung kalimat terputus Baekhyun.

“Maaf, aku baru bisa mengungkapkan identitasku sekarang,” Pemuda yang dipanggil Kyungsoo itu menyunggingkan senyum tipis pada keempat pemuda—yang masih terperangah—di depannya, “hitung-hitung kejutan buat kalian.”

Permintaan maaf Kyungsoo dianggap angin lalu. Baekhyun masih tetap membombardirnya. “Tapi lo beneran nggak bercanda kan? April Mop udah lewat sebulan yang lalu!”

Chanyeol (masih) terkesiap. “Jadi kerjaan lo sebagai manajer di restoran itu....”

“Itu hanya sambilan. Aku memang sengaja memilih untuk mengurus restoran itu karena letaknya dekat dengan markas kita. Supaya aku bisa mengawasi kerja kalian juga.” tambah Kyungsoo.

Chanyeol pun ber-oh panjang. Namun beberapa detik kemudian ia balik bertanya, “Eh, tapi lo bukan kembarannya Kyungsoo kan?”

Kyungsoo melotot sebal. Pemuda bermarga Park itu mulai merusak mood baiknya. “Sejak kapan aku punya kembaran, Park Chanyeol!”

Di sisi lain, Kai menggeleng tidak percaya; sulit membayangkan bahwa orang dihadapannya memiliki dua peran yang sangat berbeda. “Aku kaget banget, nggak nyangka kalau Hyung selama ini yang memberi kami tugas—”

“Tentu saja, Kai. Memang respon yang kuharapkan memang seperti itu.”

“Tapi kenapa suara Hyung bisa berubah pas di telepon?”

Pertanyaan polos Sehun membuat Kyungsoo sukses terbahak. Tawa pemimpin tertinggi Luziden Träumen itu mulai mereda ketika Sehun memajukan bibirnya sebal.  

“Aku hanya pakai aplikasi pengubah frekuensi suara. Aku pernah berpikir untuk menghirup gas argon untuk memberatkan suara tapi  cara itu sangat tidak praktis.”

Melihat Sehun yang masih ingin berkomentar, Baekhyun bergegas memutusnya, “Udah, udah! Pertanyaan buat pemimpin kita ditutup aja! Ada yang lebih urgent dari itu!” serunya dengan suara dikeraskan.  Mata sipitnya menatap tajam Kyungsoo, “apa rencana lo sekarang, Soo?”

“Kali ini Luce Nella Ombra telah bangkit. Aku tidak mau mereka merusak rencana besar kita,” Kyungsoo melihat ponsel androidnya sekilas, lalu memperlihatkan layar ponsel yang lebar itu pada keempat anggota inti lainnya. Beberapa deret angka dan huruf menunjukkan tanggal dan hari terpampang di layar ponsel itu, beserta bagan alur perencanaan yang sudah dibuat sedemikian rupa.     

“Rencana besar kita akan dimulai dari sekarang.”

.

.

EXO © SM Entertainment

Members of EXO (K and M) are not mine, but God and themselves. I don’t take any profit from this fanfiction.

Luziden Träumen © Eka Kuchiki

Inspiration from movie Inception by Christopher Nolan

Warning: OOC, alur loncat-loncat, death character, rating dinaikkan jadi M, Alternate Universe (AU)

.

.

Kyungsoo tahu keempat bawahannya—atau sekarang menjadi rekan kerjanya—gagal paham dengan gambar di ponselnya. Bahkan Baekhyun yang seorang ilmuwan juga ikut mengerutkan dahinya dan siap mencecarnya dengan sejumlah pertanyaan.

“Maksud lo bikin bagan-bagan itu apa, Soo?”

“Tentu saja biar kerja kita lebih terarah—“

“Bukan itu! Maksud gue, buat apa lo bikin semua rencana itu?”

“Aku belum bisa menjawabnya sekarang,” jawab Kyungsoo sembari memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. “mungkin butuh waktu dua sampai tiga hari agar kalian punya gambaran langsung dari bagan tersebut.”

Baekhyun mendengus sebal. Sosok misterius Kyungsoo benar-benar membuatnya harus meraba-raba isi pikiran si pemimpin Luziden Träumen.    

“Oh ya. Gue punya satu pertanyaan lagi buat lo,” Chanyeol mengamit tangan Kyungsoo sebelum pemuda itu beranjak pergi, “apa alasan sebenarnya lo mendirikan Luziden Träumen?

Kyungsoo menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan. Mata bulatnya menatap lurus pemuda bertubuh tinggi itu. Suasana seketika hening saat Kyungsoo membuka mulutnya.

“Ayahku salah satu korban pembunuhan dari  Luce Nella Ombra. Kakekku langsung drop kesehatannya setelah ayahku—anak kesayangan kakekku—meninggal. Perusahaan kakekku hampir saja kolaps, dan sebagian besar pegawai di perusahaan ayahku sempat mengalami PHK besar-besaran karena harus menutupi kerugian dari ‘permainan’ organisasi mafia itu.”

Saat Kyungsoo memberi jeda, keempat anggota inti masih mendengarkan dengan khidmat cerita Kyungsoo. Tidak ada satu pun yang menyela cerita itu hingga Kyungsoo kembali menyambung kalimatnya.

“Awalnya aku hanya berharap Luce Nella Ombra akan ditangkap oleh penegak hukum beserta jajarannya. Namun kalian tahu sendiri keadaan hukum dan birokrasi Korsel seperti apa. Terlebih lagi anggota inti organisasi tersebut bukan orang asli Korea Selatan, jadi sangat memungkinkan organisasi tersebut untuk lebih leluasa meloloskan diri.”

Keempat pemuda di depannya mengangguk—Kyungsoo tahu kalau bawahannya sudah mengetahui tujuan utama Luziden Träumen ketika mereka diangkat menjadi anggota inti organisasi yang dipimpinnya. 

“Aku mulai mencari tahu bagaimana cara menghentikan gerakan organisasi mafia tanpa adanya campur tangan polisi. Salah satunya dengan cara yang kita lakukan dari setahun yang lalu sampai sekarang.”

“Jadi makanya selama ini lo nyuruh kita minum obat atau minta prekursor ke Baek, lalu nyuruh kita ngacak-ngacak mimpi target kita?” 

Kyungsoo mengangguk, membenarkan pernyataan Chanyeol. “Oneironaut natural dan mimpi target kita adalah katalis dari hasil reaksi prekursor,” jelasnya. “makanya aku memintamu untuk membujuk Baekhyun agar bisa bergabung dengan Luziden Träumen.”

“Jadi itu sebabnya lo ngajak gue bergabung?” Baekhyun menatap tajam Chanyeol.

“Tapi lo mau-mau aja kan?”

Jawaban lugas Chanyeol membuat Baekhyun mendelik sebal. Pukulan bertubi-tubi pun diluncurkan ke punggung supermodel itu. Yang dipukul pun menghindari pukulan ganas ilmuwan itu.

“Tapi gimana caranya Baekhyun-hyung ngerti cara kerja obat buatan Hyung berstimulasi ke sistem saraf? Padahal Hyung bukan lulusan kedokteran.”

“Sebenarnya gue emang tahu cara kerja sistem saraf dari catatan ayah gue,” Baekhyun menggigit bibir bawahnya, kemudian meneruskan jawabannya, “Ayah gue memang spesialis neurologi sekaligus ilmuwan tergenius yang pernah gue kenal.”

“Seseorang bisa saja mengalami koma karena prekursor yang disuntikkan di saraf yang berhubungan langsung dengan otak tengah, tapi waktu reaksinya cukup lama. Bahkan lebih sering tidak berhasil. Oleh karena itu, dorongan emosi dalam kondisi seseorang sedang bermimpi dapat mempercepat reaksi tersebut.”

Baekhyun tersentak. Kalimat yang diutarakan Kyungsoo adalah kalimat yang pernah diucapkan oleh ayahnya. “Kenapa lo bisa tahu teori ayah gue?”

“Karena ayahmu sempat memimpin riset di salah satu perusahaaan kakekku,” jawab Kyungsoo. “kurasa dia sempat bercerita tentang kakek dan ayahku kepadamu.”

Jawaban Kyungsoo berhasil membungkam Baekhyun. Dunia memang begitu sempit. Baekhyun tersadar akan kenyataan bahwa orang berdiri di hadapannya adalah darah daging orang yang sangat dihormati oleh ayahnya. 

Pandangan Kyungsoo beralih pada Kai. Kai menatap balik pimpinan tertingginya—orang yang selalu ditemuinya setiap kali lapar menyerang di restoran Bulgoginya—dengan keraguan. Sulit untuk mempercayai orang yang ditemuinya semalam di restoran Bulgogi bertransformasi menjadi pemimpin Luziden Träumen.

“Aku mengajak Kai untuk bergabung karena dia punya bakat oneironaut paling cemerlang selain Lay—ah, maksudku Zhang Yixing.”

Kai mengulum senyumnya. Tapi Chanyeol begitu jeli melihat ekspresi wajah rekan kerjanya, kemudian mencibir pelan, “Cie… bangga ya... yang jadi anak kesayangannya bos Kyungsoo...”

Sehun tersenyum kecil saat melihat raut wajah Kai yang sedikit mengeruh. Namun raut wajahnya kembali gugup saat namanya disebut oleh Kyungsoo.  

“Dan Sehun adalah salah satu bagian terpenting dari organisasi—” 

“Karena dia adik angkatnya Luhan kan?”

“Park Chanyeol, lo bisa nggak sih nggak motong kalau orang lain lagi bicara?”

Chanyeol memamerkan cengirannya. Kyungsoo langsung menyadari kesalahannya—bahasa informalnya keluar tanpa sengaja. Tatapan membunuh yang dihunuskan pada Chanyeol tidak mempan untuk mengertak pemuda bertubuh tinggi itu.  

“Cukup sampai di sini obrolan kita. Besok kalian harus mempersiapkan diri untuk latihan besok."

"Latihan apa, Soo?" tanya Baekhyun.

"Tentu saja latihan mimpi lucid.”

“Latihan di mana?”

“Rahasia.” Senyum miring Kyungsoo makin memanjang.

Keempat anggota inti Luziden Träumen menatap pemimpin mereka dengan ekspresi penuh tanda tanya. Sosok yang dulu mereka kenal kini menjadi sosok yang asing.

Kyungsoo tidak mau dirinya menjadi penyebab anak buahnya terlarut dalam kebingungan. Ia meminta keempat anggota intinya untuk beristirahat sebelum beranjak dari ruang rapat.

—karena ia akan memulai hari esoknya dengan identitas ‘pemimpin tertinggi’ di depan mereka.    

.

.

.

Jam layanan untuk konsultasi psikis dan kejiwaan telah ditutup. Joonmyun bergegas meninggalkan ruang kerjanya. Ia melirik jam tangannya yang menunjuk angka tujuh lewat lima belas menit.  Dengan setengah berlari, ia masuk ke dalam lift dan sigap menekan tombol G—menuju basement.

Sebelum meluncur ke apartemennya, Joonmyun menjemput Luhan terlebih dahulu di tempat pelatihan sepak bola Seoul. Beruntung dirinya langsung bertemu dengan pemuda berwajah imut itu di depan halte bis tak jauh dari tempat pelatihan sepak bola tersebut. Tak lama setelah Luhan masuk ke mobil, sebuah pertanyaan pembuka terlintas di kepala Joonmyun.  

“Gimana sakit kepalamu?” tanyanya. 

“Udah mendingan.” jawab Luhan.

“Oh, syukurlah kalau begitu.”

Luhan melirik Joonmyun. “Jadi... apa hari ini kita masih pakai mimpiku lagi?”

“Mungkin lebih cepat kalau kita pakai mimpinya Jongdae.” jawab Joonmyun dengan pandangan (tetap) lurus ke depan. 

“Terus mimpi lucidku yang kemarin nggak stabil itu maksudnya apa? Apa harus diulang lagi?”

Joonmyun tak menoleh padanya, ia masih fokus dengan setirnya. “Kemarin mimpi lucidmu nggak stabil karena kamu menggunakan memori masa lalu, sementara ingatanmu sendiri kan belum pulih sepenuhnya.” jelasnya.

“Jadi karena itu latar mimpiku langsung berantakan?”

“Ya. Dan kita nggak punya waktu buat ngulang lagi latihan mimpi. Kita nggak tahu seberapa cepat pergerakan Luziden Träumen, dan apa rencana mereka selanjutnya.”

“Sekarang kita ke mana?”

Alis Joonmyun naik sebelah. “Tentu saja langsung ke apartemenku.”

“Oh, aku kira kita jemput Jongdae dulu—“

“Astaga! Aku lupa jemput Jongdae!”

Joonmyun langsung memutar balik mobilnya. Luhan melirik jam digital di dashboard mobil, yang menunjukkan pukul setengah delapan. Ia menghela napas berat. Kalau saja ia tidak mengingatkan Joonmyun, mungkin mimpi lucid mereka baru dimulai pukul sepuluh malam.    

.

.

.

Minseok menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia baru saja sampai di apartemen Joonmyun, namun yang menyambutnya hanya Yifan, Yixing, dan Tao. Justru orang yang memintanya datang ke apartemen ini belum menunjukkan batang hidungnya.

“Joonmyun belum pulang? Tadinya aku mikir bakal telat nyampe di sini!” kata Minseok. 

Yifan mengangkat bahu. “Nggak tahu tuh!”

Suara bel pintu mengurungkan niat Minseok untuk berdebat. Yifan beranjak dari sofa empuknya untuk melihat intercom. Wajahnya langsung merengut dan membuka pintu dengan ogah-ogahan.

“Hai semua! Maaf aku terlambat!”

Semua orang di dalam ruang tamu langsung menatap tajam Joonmyun—yang menyapa mereka tanpa dosa. Luhan dan Jongdae memilih duduk di samping Yixing, sementara Joonmyun hanya tertawa sekilas, lalu naik ke lantai kedua untuk mengambil perlengkapan mimpi lucidnya.

Yifan duduk di samping Luhan dan menyikut pemuda babyface itu. “Hoi, kenapa kemaren lo nggak buat mimpi yang kayak biasa?”

Luhan tetap mengunci rapat mulutnya. Yifan hanya bisa mendengus pelan, percuma saja mendesak pelatih sepakbola junior itu.   

“Maaf ya, membuat kalian menunggu lama...” kata Joonmyun sambil mengulas senyum.

Joonmyun meletakkan peralatan mimpi lucidnya di atas meja. Ia menyalakan laptop, lalu menyambungkan alat penerima gelombang theta ke laptop hitamnya. Ia menatap Jongdae   

“Sekarang giliranmu untuk beraksi, Chen. Aku dan yang lainnya minta izin untuk masuk ke dalam mimpi lucidmu  Boleh, kan?”

Jongdae tidak menjawab. Joonmyun membisikkan kalimat itu pada pemuda pemilik senyum ramah itu. Dan Jongdae (masih) menatap psikiater itu dengan kepala penuh tanda tanya. Seolah mempertanyakan alasan Joonmyun memilih latar mimpinya.

“Jadi sekarang mimpiku yang akan dimasuki mereka?”

Joonmyun mengangguk. Wajah Jongdae langsung pias. Ia memperhatikan semua orang di ruang tamu itu dengan wajah ragu-ragu.

“Tapi semuanya akan baik-baik saja kan?”

“Mereka yang memasuki mimpimu bukan orang jahat. Mereka semua akan jadi temanmu.”

Jongdae menggigit bibir bawahnya. Namun setelah diyakinkan kedua kalinya, ia setuju jika mimpinya menjadi latar mimpi lucid kali ini. Ketika pelipisnya dipasangkan stiker penangkap frekuensi gelombang theta, ia mengulang-ulang kata-kata Joonmyun, “Aku akan baik-baik saja.” dalam hati sebagai sugesti.  

Setelah Jongdae mulai terlelap, keenam pemuda lainnya pun bersiap menuju alam bawah sadar masing-masing. Semenit berlalu, hanya ada bunyi dengkuran halus dan jam dinding berdetak di ruang tamu apartemen Joonmyun.

#

.

.

#

Luhan membuka matanya dan mengerjap sekali, membiasakan cahaya dalam mimpi yang cukup menyilaukan. Ia memandang langit lembayung dengan awan merah semburat jingga sambil mengusap lengan kirinya yang tak tertutupi sehelai kain. Diam-diam pemuda China itu menyesal, seharusnya ia membayangkan dirinya mengenakan kaus berlengan panjang yang lebih tebal.

Luhan beranjak dari tempatnya, dan berpapasan dengan Yifan yang tengah memandang langit dan pemandangan yang bertentangan dengan akal sehat.        

 “Jadi kayak gini mimpi lucid Jongdae?”

“Ya, menarik bukan?” timpal Joonmyun dengan senyum mengembang.

“Iya, kalo lo penganut aliran surealisme.”  

Di sebelah Yifan, Tao mengusap tengkuknya lalu memasang wajah ketakutan. “Apa cuma aku yang ngerasa suhu di sini dingin dan bikin... bulu kuduk merinding?” tanyanya.

“Jangan hiraukan hawa-hawa anehnya! Coba liat latarnya!” sahut Minseok dengan mata berbinar-binar. Telunjuknya menunjuk semangat ke arah langit dan pemandangan sekitar, “Sangat artistik, kan?”

“Ternyata ada yang lebih gila lagi.” cibir Yifan. Minseok langsung menoleh ke arah suara dan tak segan untuk memberikan tatapan membunuh pada supermodel itu.

Luhan buru-buru berdiri di tengah, memisahkan Minseok dari Yifan.  “Aih, kalian berdua ini berantem terus!”

Yixing menatap tajam Yifan; ucapan Yifan jelas membuat Jongdae merasa tidak nyaman. “Ini masih lebih baik dibanding saat pertama kali aku masuk dalam mimpi Chen.”

“Kondisi Chen memang sudah mulai membaik, namun bisa jadi penyakitnya menjadi lebih parah. Tapi Chen sudah berusaha dengan baik sampai saat ini—“

 “Aaahhh!”

Teriakan Tao membuat keenam pemuda lainnya serempak menoleh ke belakang. Pemuda bermata panda itu mengelus dadanya, lalu menunjuk sebuah objek yang membuatnya terkejut.    

“Kukira itu tangan manusia! Ternyata cuma ranting pohon!”

Dengan sigap, Yifan menyumpal mulut Tao dengan sapu tangan.    

.

.

.

Menelusuri mimpi Jongdae tidak cukup sehari. Joonmyun meminta rekan-rekannya untuk berpencar. Joonmyun menggandeng tangan Jongdae menuju arah Utara. Yifan mendampingi Tao—yang sempat protes kenapa ia tidak bersama Yixing saja—ke arah Selatan. Yixing menuju arah Barat. Luhan dan Minseok memilih jalur yang tersisa ke arah Timur.

Luhan melirik Minseok sekilas, kemudian membuang muka sebelum pemuda itu menyadarinya. Tapi Minseok menyadarinya dan merangkul pemuda berdarah China itu.  

“Nggak perlu ngerasa bersalah karena lo lupa semuanya, Han.”

Luhan menoleh; Minseok sepertinya mulai bisa membaca isi pikirannya—ekspresi wajahnya yang terlalu mudah untuk dibaca. Ia balas menepuk pundak arsitek muda itu ketika rangkulannya terlepas.

Yeah, maaf kalau aku cuma inget nama, suara, sama pipi bakpaumu—” Mata cokelat gelap Luhan melirik pipi Minseok, lalu buru-buru meralat permintaan maafnya, “oh, maaf. Ternyata pipimu nggak kayak bakpau lagi.”

Minseok  dan Luhan terbahak. Keduanya dikelilingi lingkungan perumahan     

Keduanya berhenti di pekarangan sebuah rumah tua yang tak terurus lagi. Tembok dan atap rumah tersebut sudah lapuk dimakan usia. Minseok dengan tenang menyingkirkan alang-alang yang hampir setinggi dirinya. Wajah Luhan mulai memucat saat langkah Minseok makin mendekati rumah tua itu. 

“Kamu yakin mau masuk  ke rumah itu?”

Minseok menaikkan alisnya. “Bukannya lo itu cowok manly? Harusnya cowok manly itu nggak takut sama hantu dan sejenisnya—“

“Oke! Kita masuk bareng-bareng aja!” balas Luhan cepat.

Kenyataan berbanding terbalik dengan pernyataan. Di depan pintu, Luhan mendorong Minseok yang sedang membuka pintu. Arsitek muda itu hampir saja merusak pintu saking lapuknya daun pintu rumah itu.

“Kalo lo bukan best buddy gue pas SMA, udah gue kunciin lo di dalem rumah ini.” geramnya. 

Luhan terbahak, namun hanya beberapa saat sebelum ia kembali menarik lengan Minseok. Persetan dengan tatapan membunuh pemuda Korea disampingnya. Udara pengap, gelap, serta hiasan sarang laba-laba bonus debu selama belasan tahun—atau mungkin puluhan tahun—membuatnya rela menukar harga dirinya.

“Ini mimpi lucid siapa ya? Bisa-bisanya membuat latar seperti film horror.”

“Sebagian besar latarnya dari mimpi Chen. Lo lupa sama yang tadi dibilang Joonmyun?”

Luhan pura-pura tidak mendengar. Ia memilih fokus ke jendela ruang tamu. Cuaca mendung membuat ruang tamu tanpa penerangan itu semakin gelap saja—   

‘Prang!’

Suara kaca pecah membuat Luhan menggenggam tangan Minseok lebih erat. Yang digenggam tangannya menunjuk ke arah kanan.  

“Suaranya dari sebelah sana, kan?”

Luhan mengangguk cepat. Mereka berdua mendekati sumber suara pecahan kaca. Sampai sepasang mata Luhan melihat sekelabat bayangan berlari di koridor rumah.

“S-Seok, lo liat bayangan tadi?”

Muka Minseok mulai berkeringat dingin—namun tidak sepucat Luhan. Matanya tertuju pada sebuah kot  

Minseok memungut kotak kecil itu, lalu membukanya. Ia mengeluarkan kalung dengan liontin cincin perak dari kotak kecil berwarna biru gelap itu.

 “Ini jadi barang bukti kita.”

“Seok, boleh gue liat liontin itu?”

“Lo pernah liat liontin itu di mana?”

“Setahun yang lalu. Setelah kejadian Sehun—ugh!”

Luhan refleks memegang kepalanya. Rasa sakit itu muncul kembali. Minseok menyuruh Luhan untuk duduk dan menarik napas

“Lo nggak apa-apa, Han?” tanyanya khawatir

“Cuma sakit kepala biasa,” Luhan menyunggingkan senyum, berusaha mengenyahkan sakit kepalanya. “kayaknya kita harus balik.”

Langit-langit rumah tua itu mulai runtuh, disusul dengan  guncangan hebat dari tanah yang mereka pijak. Luhan mengamit erat tangan Minseok dan memejamkan matanya. Mungkin ini proses transisi mimpinya yang paling buruk.

—tapi setidaknya masih ada sahabat terbaik disisinya.   

#

.

.

#

Suara bel berdering nyaring menjadi tanda berakhirnya perjalanan mimpi. Luhan membuka matanya perlahan lalu berkedip sekali. Kepalanya masih terasa pusing.

Ia melirik ke arah Yixing dan Yifan yang bangun lebih dulu. Kemudian disusul oleh Joonmyun, Minseok, dan Tao.      

“Simulasi mimpi lucid kita untuk sekarang disudahi sampai di sini saja,” “besok akan dilanjutkan lagi.”

“Aku lapar...” Tao mengelus perutnya, “ada makanan nggak, Ge?”

“Tadi aku udah pesan jajangmyun sebelum masuk ke dalam mimpi,” Joonmyun membuka pintu depan, lalu mengangkat tujuh kotak berisi pesanan jajangmyun—yang diletakkan di depan pintu, “wah syukurlah, ternyata masih hangat.” gumamnya senang ketika mengangkat kotak-kotak itu.

Keenam pemuda yang tengah kelaparan itu langsung menyerbu kotak jajangmyun di tangan Joonmyun. Dengan semangat, mereka berlomba menghabiskan ‘makan malam babak kedua’ mereka, seolah itu uang muka untuk latihan mimpi lucid mereka.

“Ada yang mau share pengalaman mimpi lucid tadi?” tanya Joonmyun.

Yifan mengangkat tangannya. “Lain kali jangan pasangin gue sama Tao, Pendek! Umur gue bisa makin pendek denger teriakan dia melulu!” ketusnya sambil menunjuk ke Tao.

Yifan makin sebal karena orang yang hampir membuatnya terkena serangan jantung malah cuek bebek. Pemuda bermarga Huang itu sibuk menghabiskan jajangmyun.

Yixing berdeham, gilirannya untuk menceritakan pengalamannya. “Ada beberapa latar dan pondasi lapisan di mimpi tadi yang cukup rapuh. Aku sempat mengira kalau mimpi lucid Jongdae mendadak tidak stabil. Ternyata memang mimpi lucid Jongdae mudah dipengaruhi oleh latar mimpi lucid Minseok dan Luhan, tapi sambungannya masih terlalu lemah.”

“Kurasa latar dan pondasi mimpi lucid bisa diatasi dengan memperbaiki hubungan,” Joonmyun merangkul Jongdae. “jika ada sesuatu yang mengganjal, jangan ragu untuk mengatakannnya, Chen.”

Jongdae mengangguk pelan. Joonmyun tahu bahwa penderita skizofrenia cukup sensitif jika disinggung untuk bersosialisasi. Dan kali ini Jongdae berhasil membuatnya kagum dengan persentase penyembuhannya yang meningkat.

Giliran Minseok dan Luhan yang berbagi cerita. Dimulai dari Minseok yang menggambar sketsa kilat sebuah kalung berliontin cincin perak dan menjelaskan kepada teman-temannya.  

“Aku dan Luhan menemukan kalung berliontin cincin perak. Nanti akan aku gambarkan lebih rinci seperti apa cincin itu dan dimana tempat aku menemukannya.”

“Cincin itu sepertinya berkaitan dengan masa laluku dan keluargaku,” Luhan memijat kepalanya yang kembali berdenyut dan menghela napas, “aku benci kenapa diriku jadi selemah ini.” keluhnya.

Jajangmyun dan hidangan pendamping lainnya sudah habis. Joonmyun berdeham, membiarkan yang lain diam terlebih dahulu sebelum dirinya berbicara.  

“Kita rehat dari mimpi lucid dua hari,” Joonmyun beranjak dari tempat duduknya, lalu mendekati Luhan dan merangkulnya.  

“…Sepertinya kita harus mengunjungi Kyuhyun-hyung lagi, Han.”    

.

.

.

Suasana malam hari di sebuah apartemen Nowon kali ini tidak seperti malam sebelumnya. Kyungsoo mengajak keempat anggota inti Luziden Trӓumen menuju sebuah lorong rahasia yang belum pernah mereka lewati selama bekerja di organisasi tersebut.

“Lo mau bawa kita kemana, Soo?”

Pertanyaan Baekhyun terdengar tidak sopan, mengingat ia sedang berbicara dengan pimpinan tertinggi Luziden Trӓumen. Tapi tidak satu pun yang menyela ilmuwan muda itu karena Kyungsoo hanya menyuruh mereka mengikutinya tanpa memberikan penjelasan.

Sampai akhirnya Kyungsoo berhenti di depan pintu metalik dengan alat pemindai sidik jari di samping kanan pintu tersebut. Kyungsoo menempelkan satu persatu jari-jari di tangan kanannya di atas alat pemindai itu. Kemudian pintu metalik itu terbuka lebar.

“Kita sudah sampai di depan ruang latihan khusus. Hanya aku dan orang-orang seperizinanku yang boleh memasukinya.”

Keempat anggota inti Luziden Trӓumen membelalak melihat ruang ‘rahasia’ mereka. Sepertinya Do Kyungsoo senang membuat kejutan untuk bawahannya, dan tak mau berhenti membuat mereka berhenti untuk takjub.  

“Jadi inilah tempat latihan yang kumaksud.”

Baekhyun takjub melihat lemari asam* dengan rak penyimpanan yang terbuat dari baja. Belum lagi beberapa alat untuk menganalisa bahan-bahan kimia seperti spektroskopi UV-Vis*, AAS*, SEM*, TEM* dan alat-alat analisis bernilai puluhan, bahkan ratusan juta won lainnya berderet rapi di hadapannya.

Chanyeol geleng-geleng kepala. “Ini sih kayak tempat kerjanya si Baek!”

“Lebih canggih di sini!” sorak Baekhyun. Ia langsung menghambur ke deretan alat instrument analisis tersebut, tidak sabar untuk mencobanya.  

“Aku menyewa alat-alat itu secara khusus. Jadi pergunakan alat itu seperlunya, Baek-ie.”

“Kalau Baek bisa menggunakan alat-alat itu, gimana dengan kita?”

“Sebenarnya ada satu tempat lagi yang belum kita masuki.”

Kyungsoo berjalan ke sebelah lemari asam. Ia menempelkan telapak tangannya ke sebuah kotak tipis berwarna metalik. Keempat anggota inti terkejut ketika tahu tembok di samping lemari asam ternyata pintu rahasia yang terbuka dengan kelima sidik jari pimpinan mereka.

“Wow!”

Mata keempat anggota inti Luziden Träumen tidak diizinkan untuk menyipit. Enam tempat tidur single bed yang saling berhadapan. Di setiap samping tempat tidur ada kotak hitam di atas meja nakas yang  terhubung dengan tempat tidur tersebut. Ada dua televisi 40 inci berlayar datar, jendela serta langit-langit yang bisa diganti latar pemandangannya. Ruangan ini terlihat seperti hotel dengan peralatan mimpi lucid yang serba modern dan minimalis.

“Kotak itu untuk merekam mimpi lucid kita selama latihan. Alat itu sudah didesain semirip mungkin dengan black box di ekor pesawat.”

“Lo bayar berapa buat fasilitas sekeren ini, Soo?” tanya Chanyeol. Kyungsoo hanya tersenyum tipis, sang pimpinan sudah terbiasa dengan sikap dan pertanyaan kurang ajar dari pemuda bermarga Park itu.

“Sebaiknya kita segera latihan di ruangan ini.” Baekhyun nampak tidak sabar untuk memakai alat-alat instrumen tadi.  

Kyungsoo mengernyitkan dahi melihat Kai dan Sehun yang sedari tadi hanya berkeliling namun tidak seantusias kedua seniornya. Mereka berdua lebih memilih mengobrol berdua.

—sepertinya ia harus memperketat pengawasan ‘kedua aset berharganya’ itu.

.

.

.

Semenjak keempat anggota inti Luziden Trӓumen mengetahui identitas Kyungsoo, ada perubahan yang begitu mencolok. Mereka sudah tidak memandang Kyungsoo sebagai manajer restoran tempat nongkrong favorit mereka, yang bisa diajak bercanda seperti dulu.

Malam ini  tidak berjalan seperti malam sebelumnya, Kyungsoo langsung mengajak Chanyeol dan Kai ke dalam ruangan manajer. Padahal dua pemuda itu hanya ingin memesan makan malam, mengingat mereka butuh suplai energi tambahan untuk mengendalikan mimpi.

Ruang manajer restoran yang mereka masuki terlihat seperti ruang manajer biasa. Tetapi aura di dalam ruangan itu begitu menusuk bagi Kai. Tekanan di dalam ruangan it mengintimidasi, seperti ada cctv di keempat sudut langit-langit yang mengawasi gerak-gerik mereka.   

“Eh, kita boleh masuk ke sini, Hyung?” tanya Kai ragu.

“Kalau tidak boleh, kenapa aku mengajak kalian masuk ke sini?”

Kai tertawa canggung, sementara Chanyeol memukul pundaknya.

“Soo... gue mau ngomong sama lo—”

“Kamu mau bilang penyadap yang kamu pasang di Kris rusak kan?”

Chanyeol terkejut mendengar jawaban tepat sasaran dari Kyungsoo. “Kok elo bisa tau?” tanyanya.

“Baekhyun yang ngasih tahu,” Kyungsoo  melirik Kai, “Dan kamu ke sini buat masalah yang sama kan, Kai?”

Kai mengangguk pelan. Ia menyesal karena lengah memperhatikan perkembangan Jongdae. Kalau saja bisa memilih, lebih baik ia dihukum secara langsung—hukuman harakiri kalau perlu.  

Namun wajah Kyungsoo tetap setenang air danau; bahkan ia menyunggingkan senyum. Sepasang mata bulat pimpinan tertinggi itu berbinar, menandakan ia telah memiliki rencana cadangan.  

“Tenang saja, rencana kita akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.”

“Tapi gue sama Kai kan udah kehilangan jejak Kris dan Jongdae, Soo! Gimana kita mau tenang—”

“Aku sudah memprediksikan hal kayak gini bakalan terjadi. Untungnya aku mendapatkan ip address seseorang yang berhubungan dekat dengan kedua orang itu.”

Kyungsoo menyentuh lagi layar ponsel androidnya, lalu menunjukkan layar ponselnya pada kedua pemuda itu. Wajah Kai mendadak pias, berbanding terbalik dengan Chanyeol yang terlihat antusias. Ada ip address, nomor telepon, dan nama pemilik nomor telepon tersebut.

“Itu... ip address psikiater Kim Joonmyun yang sedang beken di Korean News itu kan?”

Kyungsoo tersenyum bangga. “Ya. Aku berhasil dapat ip address dari nomor ponselnya.”  

“Jadi lo nyadap si Joonmyun, Soo? Keren!”

“Bukan nyadap juga sih, lebih tepatnya mengawasi secara nggak langsung.”

“Sama aja itu, Soo!” bantah Chanyeol.

“Kalau menyadap, kamu bisa tahu semua kegiatan dia selama penyadapnya tertempel di bagian tubuh kita. Sementara aku hanya mengetahui posisi Joonmyun, tapi nggak tahu aktivitas yang sedang dia kerjakan dan apapun yang sedang dia kerjakan—”

“Aku pergi dulu ya, Hyungdeul.” kata Kai pelan.

Chanyeol dan Kyungsoo mengernyitkan dahi. Tidak biasanya Kai meminta izin untuk pergi, terlebih lagi di saat krusial seperti ini.

“Kenapa pergi duluan, Kai?” tanya Kyungsoo. “Aku belum selesai bicara.” 

“Ada urusan mendadak. Maaf, aku permisi dulu.”

Kai langsung berbalik badan memunggungi Kyungsoo dan Chanyeol ke arah pintu keluar. Langkah kakinya pun diperlebar, sampai suara kedua orang itu makin mengecil dan tak terdengar lagi.

.

.

.

Kyungsoo menghela napas. Kai adalah anggota inti kesayangannya karena naluri oneironaut pemuda tersebut sangat jarang ditemukan. Kini ia berdiri di depan pintu kamar Kai, berusaha agar ia tak membuat emosi pemuda berkulit lebih gelap itu tidak memuncak.

Kyungsoo mengetuk pintu kamar Kai. Satu dan dua ketukan tak ada jawaban, pemuda bertubuh sedang itu mengetuk lebih keras. Usahanya tak sia-sia karena ada sahutan dari dalam kamar.

“Siapa itu?”

Suara Kai terdengar rendah dan enggan. Kyungsoo

“Boleh aku bicara sebentar, Kai?”

Tidak ada jawaban dari dalam kamar, namun Kyungsoo mendengar suara kunci pintu diputar. Lalu pintu pun terbuka. Kai menunduk, mengarahkan tatapannya pada lantai marmer putih.

“Kenapa kamu pulang duluan?”

Mulut Kai tetap terkunci. Kyungsoo akhirnya menyebutkan satu nama sebagai pembuka mulut anak buahnya itu.

“Jangan bilang karena Joonmyun. Benar begitu?”

Hyung nggak akan membunuh kakakku kan?” tanya Kai balik dengan suara parau.

“Aku hanya membuntuti Joonmyun, kenapa kamu secemas itu?”

“Bukan begitu, Hyung! Aku—“

“Kamu sudah tahu siapa pembunuh orangtua aslimu kan?”

Kai mengangguk lemah. Kyungsoo memegang kendali pada dirinya tepat sasaran.

“Apa kamu sudah dapat keterangan dari kepala panti kalau orangtua aslimu meninggal karena pembunuhan berantai?”

Seperti dipaksa untuk menjawab, Kai mengangguk lagi.

“....Dan ternyata kakakmu bersekongkol dengan anak pembunuh orangtuamu.”

“Tapi Joonmyun-hyung—“

“....Aku hanya ingin menghabisi semua keturunan Mr. Lu, dan aku rasa kamu sudah tahu rencana itu, Jongin.”

Kai membeku di tempat. Jika pemimpin tertinggi  sudah memanggil nama aslinya, berarti semua perintah yang akan keluar dari mulutnya adalah mutlak dan tak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Ia harus memastikan rencana apa yang tengah dirancang oleh pemuda bermata bulat dihadapannya itu.    

Mata Kai memicing, “Jadi target kita hanya Luhan saja, kan?”

Senyum Kyungsoo mulai melebar. Dari ulasan senyum pemimpinnya, jantung Kai makin berdebar kencang. Alarm firasat buruknya mulai berbunyi nyaring ketika Kyungsoo memeluknya dan berbisik di telinganya.   

“Bukan hanya itu, Jongin,” jawab Kyungsoo tenang. Deru napas dari mulut pimpinan tertinggi membuat Kai menahan napas.

 “kita juga harus mencabut akar Luce Nella Ombra sampai tak tersisa.”

—firasatnya memang selalu benar.

.

.

.

Sebelum berangkat ke rumah Jongdae, Joonmyun mengisi energinya di sebuah restoran dekat rumah sakit Seoul. Kali ini ia tidak menyantap makanan sendiri. Ia bersama Minseok dan Joohyun duduk di meja untuk empat orang. Ekor mata Joonmyun meneliti tas laptop hitam yang diletakkan di bangku sebelah.

“Kamu bawa laptop?” tanya Joonmyun.

Minseok tersenyum sekilas, lalu membuka tas laptopnya. “Buat ngasih liat animasi mimpi lucid berlapisnya ke kalian.”

“Jadi kamu juga membuat animasinya?”

Minseok mengangguk sekali. “Biar kita nggak kebingungan sendiri waktu ngejelasin ke yang lainnya.”

Joonmyun melirik ke arah Joohyun, senyumnya makin mengembang. “Berarti aku beruntung mengajak kamu, Joohyun,” ujarnya lega. “soalnya aku harus masuk ke dalam mimpi juga.”

Joohyun tersenyum simpul sebagai balasan senyuman Joonmyun. “Ya selama Dokter mau memasukkan kegiatan tidak resmi ini sebagai bagian dari kerja lembur.” balasnya.

Joonmyun langsung menarik kembali senyumannya; kini bibirnya hanya membentuk garis lurus. “Ya, ya. Aku akan transfer uang lemburnya besok.” balasnya datar.

Ulasan senyum Joohyun makin melebar. Minseok hanya bisa geleng-geleng kepala melihat hubungan atasan dan bawahan di hadapannya. 

Mata cokelat gelap Joonmyun melihat lingkaran hitam di bawah mata Minseok mulai menebal. Rasa bersalah mulai menelusup di dalam hatinya. Tanpa sadar, proyeknya telah melibatkan banyak orang dan mulai menyita waktu istirahat mereka.  

“Maaf ya, karena aku terus memintamu untuk membantu—“

“Minta maaf untuk apa? Aku kan yang berinisiatif untuk membantumu mengembalikan ingatan Luhan. Aku bakal berani bayar mahal supaya ingatan sahabatku kembali!”

Suara keras Minseok membuat Joonmyun terdiam. Beberapa detik kemudian, keheningan pecah dengan dehaman Joohyun.

“Emm… jadi kapan kita ke rumah anda, dokter Kim?”

Joonmyun menatap lurus Joohyun, tak lupa dengan senyum lebarnya. “Terima kasih sudah mengingatkanku, Seo Joohyun.”

“Pokoknya awas kalau kau sungkan denganku lagi, Myun!” ancam Minseok.

Joonmyun mengangguk cepat. Bahkan pemuda dengan wajah seimut Kim Minseok bisa terlihat garang jika sedang marah.

.

.

.

Tidak seperti di malam sebelumnya, Yifan menyesal telah pulang cepat. Padahal kesempatan inilah yang ditunggu olehnya saat ia merasa penat dengan kerjaannya yang mengharuskan pulang tengah malam; bahkan tak jarang menginap jika pemotretan atau show di luar kota.

Ia menatap geram Tao. Tak ada angin ataupun hujan, pelatihnya yang super berisik itu memaksa ikut ke apartemennya.

“Yifan-ge! Ayo kita latihan wushu lagi! Kau udah lama nggak latihan!”

Yifan berdecak sebal. Sudah jelas tidak ada waktu istirahat jika Tao datang ke apartemen ini. Belum lagi Joonmyun sempat mengatakan akan melakukan latihan mimpi lucid malam ini.

Mereka berdua melakukan senam pemanasan di kamar Yifan. Tao mengangkat kakinya hingga setinggi kepala seperti balerina.

“Woi, gue mau belajar wushu, bukan balet!”

Kelenturan tubuh juga merupakan faktor utama wushu, Yifan-ge,” Tao berhenti melakukan pose baletnya, dan mengamit tangan Yifan, “Oh iya! Gege coba merenggangkan kaki sampai lurus!”

Yifan menepis tangan Tao. “Makasih, Tao! Gue masih sayang sama kaki gue!”

“Tapi Ge—“

Suara bel pintu menjadi dewa penyelamat Yifan. Supermodel itu bergegas ke pintu depan, diikuti Tao yang merengut. Yifan melihat dari intercom Luhan dan Yixing berdiri di depan pintunya.

Namun satu kejutan terlihat di belakang Luhan dan Yixing. Joonmyun, Jongdae dan Minseok mengekor dari belakang—sebentar, ternyata bukan hanya mereka bertiga.

Tao membelalak dan bersorak saat mengetahui siapa yang datang setelah Luhan dan Yixing. Baru kali ini ia melihat seorang gadis cantik dalam sejarahnya menjadi tamu tetap di apartemen Yifan.

“Wah, aku baru tahu kalau Joonmyun-hyung punya kenalan cewek cantik!” katanya senang.

Yifan terbahak mendengar komentar Tao. “Itu asistennya Joonmyun, Tao. Gue juga sering ketemu dia!”

Luhan dan Yixing jelas memilih untuk tidak ikut mengomentari Joohyun. Mereka lebih fokus pada Jongdae yang terlihat kurang nyaman dengan suasana di ruang tamu ini. Beruntung Minseok berinisiatif menyapa Jongdae, walaupun tetap saja berakhir canggung.

Joonmyun berdeham, meminta anggotanya untuk kembali fokus. “Sebelum kita memulai mimpi lucid, aku ingin menunjukkan ke kalian gambaran mimpi lucid yang dibuat oleh Minseok.”   

Joonmyun menunjukkan rancangan mimpi lucid tiga dimensi dari Minseok. Awalnya layar laptop memunculkan animasi sebuah bangunan berbentuk seperti tabung dan berlantai empat tingkat. Namun ketika lantai keempat dibuka, muncul tiga tingkat bangunan dengan bentuk tabung.

“Kalian bisa lihat kan? Mimpi lucid yang akan kita bangun memiliki 4 tingkat bangunan mimpi utama dan di setiap tingkatnya ada tiga tingkat mimpi lucid semu.”

“Latar mimpi lucid empat tingkat utama dikendalikan sepenuhnya oleh Luhan, Jongdae dan Minseok. Sementara buat latar tiga tingkat mimpi lucid semu di setiap tingkat utama, kita gunakan latar mimpi oneironaut yang mendampingi Luhan, Minseok, dan Jongdae.”

Mata cokelat gelap Joonmyun menatap Melihat ekspresi semua wajah peserta mimpi lucid yang kebingungan, psikiater itu menghela napas untuk menghentikan penjelasannya.

“Oke, karena konsep mimpi lucid ini terlalu kompleks buat dijelaskan, lebih baik kita langsung melihat bangunan mimpinya saja.”

 “Karena struktur mimpi lucidnya rumit, kita juga memakai alat yang sedikit berbeda.”

Joonmyun mengeluarkan sesuatu dari tas punggung hitamnya. Beberapa utas kabel putih dengan dua stiker di setiap ujungnya itu adalah kabel penghubung gelombang otak ke perangkat detektor gelombang theta. Namun yang membedakannya adalah bentuk kabel itu persis seperti dendrit*, yang memiliki inti berbentuk kotak, dan beberapa cabang yang masing-masing memiliki dua anak cabang.   

Yifan mengernyit aneh melihat benda yang ditunjukkan Joonmyun, sekilas bentuk kabel itu mengingatkannya dengan sarang laba-laba. “Myun, gue aja pusing liat kabel bercabang dua. Apalagi yang kayak gitu!” cibirnya. “Emangnya nggak ada yang teknologi bluetooth?”

Merasa peralatannya dicemooh, Joonmyun pun meradang, “Mana ada yang kayak gitu, Fan! Nemu kabel penghubung kayak gini aja udah bagus—“

“Berantemnya disudahi dulu, sekarang kita atur posisi masing-masingnya kayak gimana...”

Kali ini Yixing yang menjadi penengah dua pemuda berbeda tinggi badan itu. Joonmyun menghela napas. Salah satu dari mereka harus mengalah.

Joonmyun menempelkan plester konektor ke kening masing-masing sesuai dengan posisinya. Khusus untuk Yifan, ia menekan plester ke kening supermodel itu kuat-kuat hingga si pemilik kening mengaduh kesakitan.

“Myun, lo kalo dendem nggak begini juga kali!”

“Ah, maaf. Soalnya keningmu berkeringat cukup banyak. Jadi aku harus menekan plester itu supaya nggak gampang lepas.”

“Kalian berdua ini selalu ribut, kayak pasangan suami istri—“

Minseok berhenti bicara. Tatapan membunuh Yifan dan Joonmyun tepat mengarah padanya.  Pemuda bermarga Kim itu langsung menempelkan stiker penangkap gelombang theta di keningnya dan memejamkan mata.   

.

.

.

Luhan membuka matanya perlahan, rasa pusing masih membayanginya. Ia mulai bangun dalam posisi duduk lalu indra penciumannya menangkap aroma musk bercampur dengan vanila. Meskipun aroma manis parfum itu familiar di hidungnya, namun ia tak bisa mengingat siapa pemilik parfum tersebut.

“Sekarang kita ada di mimpi siapa?” suara Tao menyakinkan Luhan bahwa bukan dirinya saja yang sadar dalam mimpi lucid ini.

“Sekarang kita di bangunan mimpi lucid Luhan,” jawab Yixing. Ia menengadah ke atas dimana langit masih berwarna biru dengan awan putih sebagai motifnya, “kalau Minseok dan Chen sudah sadar, maka latar mimpinya akan berubah.”

Argumen Yixing mulai terbukti beberapa menit kemudian. Ketika semuanya sadar, latar mimpi langsung berubah. Langit berganti warna menjadi gradasi biru-ungu. Sisi kiri dan kanan mereka yang awalnya tanah kosong mulai tertanam gedung-gedung tinggi persis seperti di tengah kota.  

“Gimana kalau kamu yang bagi saja, Myun?” usul Yixing. “Supaya cepat beres.”

“Karena mimpi utamanya adalah mimpi lucid Luhan, jadi Luhan harus berpindah sampai ke mimpi tingkat keempat.”

“Lalu gimana dengan mimpi semunya?” tanya Luhan.

“Siapapun bisa membentuk mimpi semu. Orang yang pertama sampai keempat yang terlebih dahulu sadar setelah Luhan akan mengisi latar mimpi semu itu.” jelas Joonmyun.  

“Yang jelas, aku sudah merancang agar mimpi semu sulit dibedakan dengan mimpi utama,” tambah Minseok. “sehingga yang memasuki bangunan mimpi kita yang akan tertipu saat memasuki mimpi semu itu.”

“Aku akan menyiapkan sejumlah penjaga imaginer di dalam keempat mimpi semu tersebut. Jadi aku akan bersama dengan Luhan.” usul Yixing.

Joonmyun menggeleng. “Minseok dan Yixing bisa berpindah mengikuti Luhan, bisa juga tidak. Tergantung situasi penyusup yang akan kita hadapi nanti.” 

“Hoi, kacang udah mahal ya?”

“Apaan sih, Yifan?”

“Yifan pengin ngomong,” Yixing menyikut Yifan yang sedari tadi memasang wajah cemberut.

“Gue rasa pembagian orang dan ruangan itu useless, Myun.”

“Maksudmu apa, Fan?”

“Di saat orang kepepet, lebih banyak peluang buat bertindak di luar rencana buat nyelametin dirinya sendiri,” Yifan  “percuma aja bikin rencana tapi akhirnya bubar jalan.”

“Kamu lupa kalau yang kita hadapi itu bukan sekelompok oneironaut biasa?”

“Gue tahu, Myun. Tapi rencana lo nggak bakal kepake karena kita nggak pernah tahu pergerakan mereka di dalam mimpi lucid!” 

Yixing tidak tahan dengan perdebatan Yifan dan Joonmyun.  

“Oke, supaya adil, sementara kita pakai rencana Joonmyun. Tapi aku dan Yifan akan berjaga-jaga di inti mimpi lucid utama saat mereka masuk dalam rancangan mimpi lucid.”

Diluar dugaan Yifan dan Yixing, Joonmyun tersenyum. Psikiater yang bergelar doktor itu menerima dengan senang hati

“Aku jadi nggak sabar buat mencobanya. Kurasa kau paling cocok sebagai strategis, Xing.” “dan aku juga setuju dengan pendapatmu, Fan.”

“Cepat kita coba praktekkan di sini!” seru Luhan antusias. Ia menggandeng tangan Jongdae dan Minseok.   

 “Ngomong-ngomong, Tao di mana ya?”

Tidak lama kemudian, yang dicari datang sambil membawa beberapa senjata yang sering dipakai saat wushu. Nunchuk, pedang panjang, tongkat panjang, dan beberapa pucuk pistol dijejerkan di depan Joonmyun.

“Aku memang masih asing dengan mimpi lucid, tapi aku punya saran untuk latihan ini.”

Yifan ingin meledek gaya bicara Tao yang mendadak serius dan formal. namun Joonmyun terlanjur menyikut lengannya, “Silakan, Tao. Aku akan menerimanya dengan senang hati.” balasnya.

“Aku akan mengajarkan sedikit gerakan wushu. Gerakan ini cukup ampuh melumpuhkan lawan dalam jarak dekat.”

Luhan menatap haru keenam temannya, yang sebulan lalu bukan siapa-siapa, sekarang berusaha melindungi dirinya. Ia ingin menangis, tetapi harga dirinya terlalu tinggi untuk menitikkan air mata.

.

.

.

Sore hari adalah waktu yang ditunggu oleh Kim Joonmyun. Kebetulan ruang kerjanya di lantai enam dan  pandangan di luar jendela tidak terhalangi gedung-gedung pencakar langit. Semburat jingga, merah, dan lembayung matahari terbenam bisa ia saksikan di jendelanya.  

Jam di dinding menunjukkan pukul enam sore KST, namun ia belum merapikan laptop dan buku jurnalnya. Ada seseorang yang sedang dinantinya, yang seharusnya sudah sampai lima belas menit lalu.

Joonmyun memicingkan mata sipitnya, memastikan ia tidak salah lihat. Ternyata benar, pasien yang akan menuju ruangannya adalah Luhan. Gayung pun bersambut, Luhan mempercepat langkahnya dan menjabat mantap tangan psikiater muda itu.

“Gimana sakit kepalamu, Han?”

“Udah lebih baik diandingkan tiga hari sebelumnya.” jawab Luhan.

“Aku baru aja ditelepon Kyuhyun-hyung. Dan dia bakal ke sini.”

“Myun, apa aku nggak bisa dapet semua memori masa laluku?”

“Mungkin aja. Tapi kalau hipotesis Kyuhyun-hyung soal zat mirip morfin itu benar, sepertinya ingatanmu akan kembali.”  

“Beneran?”

“Tapi kayaknya butuh waktu yang lama, kira-kira sampai efek zat metabolitnya benar-benar hilang.”

Senyum Luhan langsung memudar. Joonmyun menepuk pundak pemuda pemilik nama ‘rusa’ itu. Sebagai seorang psikiater, ia tahu pernyataan terakhirnya sempat membuat semangat Luhan redup.

Seseorang mengetuk dari luar. Luhan bersorak dalam hati ketika Kyuhyun masuk ke dalam ruangan. Joonmyun menyambut kedatangan Kyuhyun dengan antusias.

“Bagaimana hasilnya, Hyung?”

“Gue rasa Luhan akan mendapatkan ingatannya kembali. Tapi gue masih kepikiran gimana cara membuang zat morfin itu secara total dari dalam otaknya.”

Kyuhyun menyodorkan hasil MRI otak Luhan. Ia menunjuk bagian otak tengah Luhan.  

“Di bagian hipotamus, zat itu sudah mulai berkurang. Tapi gue malah nemuin zat asing baru di dalam otak Luhan. Hipotesis gue, zat asing itu hasil metabolit dari morfin dengan protein atau hormon di dalam otak.”

Kyuhyn merogoh saku jas putihnya, lalu menyodorkan kertas resep kepada Luhan. Luhan membaca tulisan Kyuhyun yang menurutnya terlalu rapi untuk tulisan resep obat.

“Itu resep terakhir gue buat lo,” Kyuhyun menepuk pundak Luhan, “maaf ya karena gue cuma bisa bantu sampai sini aja.”

“Kenapa, Hyung?” tanya Joonmyun khawatir. “Apa karena aku merepotkan Hyung?”

Kyuhyun terbahak mendengar permintaan maaf Joonmyun. “Bukan, bodoh! Minggu depan, gue mau berangkat ke Jerman buat lanjut sekolah,” Kyuhyun menyunggingkan senyum. “akhirnya gue bisa lanjutin lagi penelitian obat antikanker otak gue!”

“Kalau ada pertanyaan, lo tetep bisa tanya lewat skype, Myun.”  

Kyuhyun melambaikan tangan sebelum ia meninggalkan ruangan Joonmyun. Joonmyun mengernyitkan dahi melihat Luhan yang tersenyum membaca resep yang diberikan oleh dokter muda itu. Rasa penasaran yang membuncah membuatnya meminta kertas resep Luhan lalu membacanya.

“Jangan terlalu banyak berpikir masa lalu. Jalani saja dulu apa yang ada di depan mata, maka ingatanmu akan kembali padamu tanpa paksaan.”

.

.

.

Joonmyun menghempaskan tubuhnya sejenak di atas sofa birunya. ia perlu mengistirahatkan dirinya setelah bergelut dengan kemacetan jalan akibat adanya ledakan gardu listrik di persimpangan jalan menuju Busan. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore KST.  

Joonmyun memutuskan untuk kembali menulis blognya. Satu ide telah berakar di dalam otaknya. Tinggal memanjangkannya menjadi batang, ranting, bunga, serta elemen pohon lainnya.

.

#

.

[Kita dapat membuat tingkatan mimpi dalam mimpi lucid kita. Mungkin hal ini yang paling rumit, karena memerlukan pengendalian emosi yang baik serta kesiapan mental untuk gagal melakukannya.

Umumnya seseorang mengalami mimpi berlapis karena adanya jeda waktu antara kesadaran saat tertidur menjelang terbangun. Seseorang yang baru saja berpindah dari mimpi satu ke mimpi lainnya pada awalnya bisa seperti sedang terbangun setelah bermimpi, atau langsung berpindah mimpi dengan pergantian latar mimpi.

Mimpi berlapis sering juga dikaitkan dengan mimpi lucid, walaupun kedua jenis mimpi itu sebenarnya peristiwa tidur yang berbeda. Mimpi berlapis bisa terjadi pada saat seseorang tidak sadar bahwa ia sedang bermimpi. Otak bekerja untuk membuat ilusi seolah-olah kita terbangun, padahal kita masih bermimpi.

Semua kejadian dalam mimpi—baik mimpi berlapis ataupun mimpi lucid—tidak ada yang bisa memprediksi kapan terjadinya kecuali diri kita sendiri. Pastikan diri kita selalu siap untuk mengenali setiap detil dalam mimpi lucid kita.

—karena kita harus ‘hidup’ di dalam mimpi kita.]  

.

#

.

Joonmyun melihat satu notifikasi yang baru masuk, setelah dirinya memajang postingan terbaru blognya beberapa menit yang lalu. Rasa penasaran sekaligus tidak percaya memicunya untuk membuka notifikasi itu. Notifikasi berupa moderasi komentar itu menampilkan komentar yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

“Semua orang bisa lari dari mimpi buruk, tapi tidak ada yang bisa lari dari kematian.”

Komentar aneh itu membuat Joonmyun langsung menarik lengan Yifan yang baru beranjak dari kamarnya. Sebelum supermodel itu mengomel panjang lebar, ia menunjukkan artikel blog yang baru dan membuka email berisi moderasi komentar itu.

“Kenapa aku ngerasa semua pesan yang dikirimkan akun anonim itu berkaitan dengan apa yang baru aja kita diskusikan?”

“Bener juga ya,” celetuk Yifan saat membaca komentar terbaru itu. “gue curiga jangan-jangan orang yang mengirim pesan ini adalah orang kurang kerjaan.”

Joonmyun memutar bola matanya. “Kalau ini dilakukan oleh orang kurang kerjaan, seharusnya aku sudah menebaknya dari awal!”

“Lo terlalu paranoid, Kim Joonmyun,” cibir Yifan.

“Aku sudah menyimpan data anonim itu. Mungkin Yixing tahu siapa dia.”

“Nanti malem lo bakal ngundang mereka lagi?”

Joonmyun mendengus. “Tentu saja! Kita kan nggak tau seberapa cepat pergerakan Luziden Träumen,” jawabnya semangat. “Oh, iya. Kamu nggak ada jadwal pemotretan kan?”

“Ini gue baru mau berangkat. Mungkin jam delapan malam baru nyampe di sini.”

“Beneran?”

Yeah, maybe… until tomorrow.”

Joonmyun mengasumsikan jawaban Yifan adalah ‘ia baru pulang besok’. Jadi personil mereka berkurang satu. Ia mengambil ponselnya, lalu mencatat semua rencananya di benda persegi itu.   

.

.

.

Joonmyun menatap frustasi layar laptopnya. Isi pesan anonymous tersebut mulai mengganggu pikirannya. Ia ingin menelepon Yixing, berharap bahwa pemuda China itu punya waktu untuk diganggu.  

Dewi fortuna nampaknya berada di pihaknya. Suara bel dan wajah Yixing membuat Joonmyun ingin bersorak sambil salto. Namun ia mengingatkan dirinya untuk tetap jaim di depan oneironaut natural itu.

“Aku butuh bantuanmu, Yixing.”

Tanpa sungkan, Joonmyun menunjukkan pesan yang baru saja diterimanya.  “Apa kamu bisa mengecek siapa anggota Luziden Trӓumen yang punya ip address ini?” tanyanya.

Yixing membaca pesan itu sekilas, lalu menggeleng sekali,  “Aku nggak tau siapa pemilik ip address ini, Myun. Tapi aku merasa familiar dengan isi pesannya.”

Yixing terdiam; berusaha mengingat pemilik gaya tulisan tersebut. Hening beberapa detik itu mulai pecah karena Yixing mulai melanjutkan jawabannya.

“…dari susunan kalimatnya, aku rasa penulis pesan ini adalah Baekhyun.”

Air muka  Joonmyun langsung sumingrah. Yixing pernah menjadi bagian dari Luziden Trӓumen, pasti ia tahu kebiasaan dan gaya penulisan rekan kerjanya.  

“…tapi bisa saja tebakanku meleset. Aku belum pernah lihat gaya tulisan ‘pemimpin tertinggi’.”

Joonmyun memijat keningnya yang mulai berdenyut. Ia tak menyangka bahwa proyeknya menjadi serumit ini. Dari keinginannya membantu seseorang memahami mimpi lucidnya, sampai harus berurusan dengan Luziden Träumen—organisasi oneironaut pembunuh. Kali ini, pikirannya mulai dimasuki dugaan terburuk yang pernah dipikirkannya.  

—bagaimana kalau sekarang dalang dari Luziden Träumen tengah mengawasi dirinya dan mengetahui semua rencananya?   

.

.

.

Kyungsoo melirik jam digital yang menunjukkan waktu tujuh malam KST. Tinggal lima jam lagi menuju waktu mereka menunjukkan taring Luziden TräumenKeempat anggota inti lainnya sudah lengkap berkumpul dan ia siap membuka briefing singkat sebelum aksi besar mereka dimulai.

“Untuk penyergapan Luce Nella Ombra, kita harus hati-hati dengan mereka, terutama Zhang Yixing dan Kim  Joonmyun,”

“Jadi yang lain bukan apa-apa buat kita—“

“Tidak juga,” Kyungsoo memotong kalimat Chanyeol, “mereka semua memiliki tingkat bahaya yang berbeda. Jadi semuanya perlu kita awasi.”

“Apa ini proyeksi rencana dari bagan yang lo bikin, Soo?”

“Benar sekali, Baekhyun,” “aku mengandalkanmu mengawasi Luhan dan Jongdae untuk memastikan mereka masih dibawah pengaruh precursor.”

Hyung, apa sebaiknya kita berpencar dan mengintai satu-satu orang Luce Nella Ombra?” tanya Kai.

Kyungsoo mengangguk sekali. “Aku sudah memasangkan kalian dengan target masing-masing,” jawabnya lugas. “jumlah mereka memang lebih banyak dari kita, tapi strategi yang mereka gunakan memiliki celah yang cukup lebar untuk kita masuki.”    

Sehun hanya terdiam mendengarkan pimpinan dan ketiga temannya bertukar pikiran dan rencana menghancurkan Luce Nella Ombra. Bagai ditawarkan buah simalakama, baik dirinya ikut membantu atau tidak, Luhan akan tetap mati

“Sehun, ada yang ingin kau katakan?”

“Ti-tidak ada, Kyungsoo-hyung.” jawabnya panik. Ia tertangkap basah melamun di tengah briefing.

Chanyeol menepuk keras punggungnya. “Pasti lo grogi kan karena hari ini kita bakal beraksi full personil!” tebaknya.

“Yang bener?” seru Sehun syok. Itu lebih buruk lagi.

“Tengah malam kita sudah harus sampai di Busan.” Kyungsoo beranjak dari kursi, lalu menatap keempat anak buahnya,  “aku harap tidak ada satu pun rencana kita yang gagal.”

Mata bulat Kyngsoo tertuju pada Sehun.

“Terutama kau, Oh Sehoon. Aku memerlukan dirimu untuk menjebak Luce Nella Ombra.”

.

.

.

Tengah malam mulai berganti ke dini hari. Waktu tersebut adalah waktu paling tepat seseorang untuk terlelap dan mulai memasuki alam mimpi.

Joonmyun menyiapkan peralatan mimpi lucidnya. Sebuah ruang kosong di basement apartemennya disulap menjadi tempat praktik mimpi lucid darurat. Luhan dan Minseok mengatur kursi yang akan mereka duduki. Yixing dan Tao memastikan di luar ruangan basement aman tanpa gangguan, kemudian duduk mengapit Jongdae.   

Joonmyun mengecek ponselnya; belum ada pesan ataupun panggilan masuk di layar ponselnya. “Sepertinya Yifan akan menyusul—“

Sorry, masih ada tempat kan buat gue?”

Senyum Joonmyun melebar saat pintu ruang basement terbuka. Yifan membuka jasnya, lalu duduk bersandar dan menempelkan stiker penangkap gelombang theta di keningnya. Setelah memastikan semuanya telah bersiap di tempatnya masing-masing, psikiater muda itu memberikan aba-aba berhitung mundur.   

“Kita mulai percobaan mimpi lucid berlapis ini dengan menghitung mundur dalam hati, dimulai dari angka 60.”

Satu menit hampir berlalu. Tinggal hitungan mundur dari angka sepuluh. Sebagian besar dari mereka sudah masuk pada masa transisi mimpi. Hanya Joonmyun yang masih menghitung mundur dengan pikiran dilandasi kesadaran penuh. 

‘Sepuluh... sembilan... delapan...’

Tak jauh dari tempat mereka tertidur di atas kursi, muncul siluet lima orang dengan tinggi badan berbeda mendekati mereka. Sooyoung dan Joohyun sebagai pengatur mimpi lucid tak sadarkan diri setelah bau kloroform menusuk penciuman mereka.

Satu orang mengambil alih laptop beserta alat penghubung mimpi lucid yang dihubungkan pada mereka. Dia menyambungkan sesuatu pada laptop tersebut. Ia mendekati Joonmyun, menempelkan stiker di dekat penangkap gelombang theta sebelum berbaring di sebelahnya.       

‘Tujuh... enam... lima...’

Dua orang bertubuh tinggi mengambil ancang-ancang mendekati Jongdae. Atensi mereka tak lepas dari Jongdae. Satu orang dengan postur tubuh tinggi tengah memastikan Minseok sudah jatuh tertidur. Ia merogoh sesuatu dalam sakunya.    

‘Empat... tiga... dua...’

Satu orang terakhir dengan postur tubuh sedang bersiap mendekati Luhan. Ia menempelkan sebuah stiker transparan bertumpuk dengan stiker penangkap gelombang theta. Setelah ia mengambil posisi berbaring, ia mengangkat tangan kanannya, kemudian menjentikkan jarinya.    

‘...Satu!’

“Es ist Showzeit, Luziden Trӓumen .”

.

[Bersambung]

.


Sesi Glosary

Dendrit: Cabang-cabang (segmen) dari neuron yang menerima stimulasi agar sel menjadi aktif.

Spektroskopi UV-Vis: Alat buat ngukur panjang gelombang sinar UV (ultraviolet) dan sinar tampak (visible) yang dipantulin dari sampel bahan yang dianalisis. Alat sejuta umat para laboran karena cara kerjanya yang paling simpel.

AAS: Atomic Absorption Spectroscopy atau disingkat AAS. Alat buat ngukur kadar logam dalam sampel. Agak ribet prinsip kerjanya karena sampel harus dibakar sampai jadi atom-atomnya.

SEM: Scanning Electron Microscopy atau disingkat SEM. Intinya sih alat ini buat melihat permukaan sampel dari ukuran 1 cm sampai dengan 5 mikro, dan perbesarannya bisa sampai 30.000 kali.

TEM: Transmission Electron Microscopy atau disingkat TEM. Alat ini mirip-mirip fungsinya dengan SEM, cuma cara kerjanya elektron ditransmisikan ke sampel yang super tipis. 

(Sengaja saya nggak jelasin detail karena saya baru nyadar kalau ini fanfic, bukan rangkuman diktat analisa instrumentasi kimia)

Es ist Showzeit : ‘It’s Showtime.’


Selama saya menulis fanfic Luziden Träumen, saya banyak mendapat pertanyaan (yang sebenarnya udah saya jawab baik eksplisit maupun implisit di chapter 1 sampai 10. Cuma takut ada yang masih bingung, saya kasih FAQ (frequently Asked Questions) beserta jawabannya biar nggak pada bingung lagi dan kita bisa lanjut dengan lancar jaya ke chapter 11-12 yey.  

.

FAQ Luziden Träumen

.

  1. “Sebenarnya kenapa Luhan bisa amnesia? Terus kenapa Chen bisa kena skizofrenia?”

Sebenarnya di chapter 7.5 (Memori Masa Lalu), saya udah jelasin caranya. Tapi kalau secara teknisnya sih, Lay sama Sehun menginjeksi tengkuk Luhan, terus invasi mimpi lucidnya. Penghancuran memori dalam bentuk brankas itu cuma ilustrasi aja. Caranya hampir mirip sama yang dilakuin Kai sama Sehun ke Chen.

  1. “Kenapa Lay gabung sama member EXO-K di tim Luziden Träumen, sedangkan Suho gabung sama member EXO-M di tim Luce Nella Ombra?”

Sebenarnya dari awal saya nggak bermaksud menukar(?) tempat Suho dan Lay. Dulu saya cuma kebayang ini cerita mimpi lucid yang tokoh utamanya Suho, Kris dan Luhan, kesananya eh malah jadi kayak begini.

Tapi saya nggak tahu (kayaknya ini cuma kebetulan) ternyata semua anggota inti  Luziden Träumen itu semuanya member EXO yang paling banyak jumlah fansnya. Sampai kasus Kris, Luhan dan Tao terjadi, Lay, yang akhirnya saya keluarin dari Luziden Träumen, langsung jadi salah satu member yang memiliki fans Korea paling sedikit hanya gara-gara dia berkewarganegaraan sama kayak Tao, Kris dan Luhan... :’(

(Ini waktu zaman EXO tahun 2015. Kalau sekarang udah beda)

  1. “Siapa sih bosnya Luziden Träumen?”

Do Kyungsoo a.k.a D.O, yang hampir semua readers menyangka kalau peran dia (beneran) cuma jadi manajer restoran tapi ternyata pemimpin tertinggi Luziden Träumen dan hacker handal yang pernah sekolah di Jerman. Maaf buat fans D.O yang mau gorok Eka, Ekanya udah gorok diri duluan.

  1. “Sebenarnya di sini siapa yang jahat? Luziden Träumen atau Luce Nella Ombra?”

Saya nggak mau bilang member EXO yang jadi anggota inti Luziden Träumen   ataupun Luce Nella Ombra itu jahat. Semua tergantung persepsi pembaca. Memang beberapa di antara mereka ada yang niatnya nggak bener karena pengen bales dendam (Chanyeol, Baekhyun, dan D.O), tapi ada juga yang motifnya karena buat nyari identitas dirinya (Kai), dan karena ancaman (Lay dan Sehun). Dan persepsi itu bisa saja berubah kalau udah baca chapter 11-12 (yang sekarang masih dalam proses pengetikan).

  1. “Semua adegan dan mimpi lucid dalam fanfic Luziden Träumen bisa kejadian di dunia nyata atau nggak?”

Untuk semua proses mimpi lucidnya memang saya nanya ke mbah google dan gambaran mimpi lucidnya dari nonton film inception + supernova gelombang-nya mbak Dee. Tapi kalau untuk proses pembunuhan lewat mimpi lucid dengan bantuan prekursor, itu murni khayalan saya. Buat bahan prekursornya sendiri, alkohol dan morfin udah dikenal sebagai narkotika yang punya efek depresan (bersifat memperlambat sistem kerja saraf). Adapun penyadap yang dibuat Baekhyun itu dari bahan protein fibrous (bentuk protein yang ada di rambut kita) yang tidak larut dalam air. Itu dibentuk semirip mungkin dengan tekstur kulit.      

  1. “Oneironaut itu sebenernya apa? Gimana caranya dia bisa masuk ke dalam mimpi orang lain?”

Oneironaut itu aslinya adalah orang yang bisa mengendalikan alam mimpinya sendiri (yang berarti dia sedang mengalami mimpi lucid). Tapi kalo gitu doang kan nggak seru, jadi harus ada sebuah alat yang bisa menghubungkan mimpi orang yang satu ke mimpi orang lainnya. Karena nggak ngerti cara kerja alat penghubung mimpi di inception, saya bikin sendiri prosedurnya. Media penghubungnya saya pake aja detektor frekuensi gelombang theta yang dihubungin ke laptop buat diatur agar frekuensi dua orang (kayak waktu Kris masuk ke dalam mimpi Luhan) sama. Yang masuk ke dalam mimpi (Kris) bakal diatur frekuensi gelombang thetanya biar sama dengan gelombang di otak pemilik mimpi lucidnya (Luhan).   

  1. “Yang bakalan mati siapa aja sih? Jangan ada yang mati dong... plis...”

Maaf ya... saya nggak bisa kasih tau clue-nya sekarang. Mohon tunggu aja sampai chapter 11 dan 12 tayang. Dan saya emang dari awal ngerencanain ada yang bakalan mati sih... hehehe... (serem amat Eka)

  1. “Atas dasar apa kamu nentuin penokohan di fanfic ini?”

Jujur aja, saya beneran random nentuin penokohan member EXO di sini. Ya berdasarkan muka, tingkah laku serta bakatnya sih. Kayak Suho leader ya berarti dia yang ngatur member lainnya. Kayak gitu (Beneran clueless).  

  1. “Kenapa dialognya pake gue-elo sih? Masa orang Korea ngomongnya gue-elo?”

Awalnya saya nulis chapter pertama fanfic ini dengan dialog baku. Tapi saya jadi empet sendiri karena berasa baca jurnal. Makanya saya ubah dialognya menjadi informal (Tapi nggak semua tokoh pake dialog gue-elo. Saya cocokin aja yang kayaknya demen pake bahasa informal). Ya terserah sih gimana nanggepinnya. Informasi di fanfic ini cukup berat (buat saya), jadi biar lebih ringan dikasih dialog yang santai. Untuk narasi, saya usahakan tetap baku dan sesuai dengan EYD.

(Lagian mau saya nulis pake gue-elo, dalam bayangan pembaca kan tokohnya tetep ngobrol dengan bahasa Korea.)  

  1. Apa fanfic ini bakal dilanjutin sampai selesai?

“Insya Allah akan saya usahakan. Tapi saya nggak janji bakal secepatnya selesai. Karena pekerjaan real life saya bener-bener strict.” (Nangesh)

 


Eka’s Note : Mohon maaf karena saya harus nyusruk dulu untuk melanjutkan fanfic ini. Sebenarnya saya udah pernah ngetik sampai 6000 kata lebih, tapi pas udah ganti laptop saya baru nyadar selama ini nyimpen file-nya di desktop laptop lama dan kehapus :’( . Untungnya saya masih nyimpen data fanfic (dan terpaksa ngetik ulang karena backup fanfic saya cuma sampai 3800 kata aja).  

Sekarang saya sudah bekerja (tapi bukan di bidang kimia #nangis), dan kebetulan lagi libur akhir tahun. Dan kebetulan banget saya lagi berusaha membangkitkan semangat menulis saya. Jadi kalau ditanya kelanjutan chapter 11-12 saya belum bisa jawab kapan.

Maaf banget buat para pembaca yang nunggu sampai 1,5 tahun lebih buat kelanjutan fanfic ini. Tapi untuk kelanjutan chapter 11-12 saya udah mikirin sampai endingnya. Cuma kalau lanjutin pas awal tahun saya modar juga… (menatap lesu tanggal merah tahun depan)  

Maaf ya jadi numpang curcol dan maaf banget karena chapter ini gaya bahasanya atau plotnya aneh banget. Nanti kalau fanfic ini udah selesai, akan saya rapikan lagi. 

(Ini Eka minta maaf melulu kayak mpok Minah)

Makasih banget buat kalian udah ngikutin fanfic ini sampai sekarang. Padahal fanfic saya mah banyak banget kurangnya (dan update-nya kelamaan serta PHP), tapi masih ada yang nanyain kelanjutan fanfic ini. Saya terharu… :’) 

P.S.: Maaf ya nggak ada curcol EXO kayak di chapter sebelumnya. Saya rada gimana gitu pas ngetiknya. Nanti kalau fanfic ini udah rampung saya mau buat spin-off fanfic ini, dengan genre humor pastinya :D.

P.S.2:  Saya lagi bikin novel project Lima Pangeran. Yang mau liat bisa mampir ke ekakuchiki.wordpress.com  #promosi

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ssabrinazfr #1
apakah ini masih ada kemungkinan buat dilanjutkan? ?????
emyuki
#2
Chapter 11: Baru selesai baca chapter ini dan aku bingung. Mungkin karena kelamaan nggak baca ffnya kali ya? Kayaknya harus baca ulang dari awal deh. Sebenernya masih bingung kak meskipun udah ada FAQ. Maafkan~
Kak Eka yang kuliah di jurusan kimia malah nggak kerja di bidang kimia. Aku yang kuliah bukan di kimia malah kerja di bidang kimia dan aku puyeng dengan segala alat laboratorium.
oktafia #3
Chapter 9: Huh kak kapan ff ini di lanjut,,,
kakak bikin penasaraan deh lanjutannya apa,,,
itu ketuanya kyungsoo kan ....???? iya kan... #maksa
tau gak kak ff kakak itu yang aku tunggu-tunggu loh kak,,,,
please kak cepet update ya kakkk,,,, Keep Writing kaka..
aku sabar kok nungguin ff kakak,,,,
dyeolita
#4
Chapter 9: Setelah skian lama menunggu,akhirnya terupdate...dan lagi-lagi bersambung lagi..

Thank you for updating and keeping us waiting again ,,, xD
emyuki
#5
Chapter 9: Baru sempat review padahal bacanya semalem. Udah keburu ngantuk soalnya xD
Akhirnya yah, LT diupdate juga. Itu ChanBaeknya berisik amat. Tiap ketemu pasti berantem mulu. Yeol kayaknya hobi godain (?) Baek.
Akun anonim itu siapa sih? Salah satu anggota Luziden Traumen?
Itu Kyungsoo mau jelasin apa sih ke Chanyeol tentang tanggal 22 itu. Itu ulangtahunnya Junmyeon kan?
Tao tetep ya rempong. Kayak di exo showtime xD
Yifan Junmyeon itu juga nggak kali berisiknya kayak ChanBaek, ribut, debat mulu. Tapi aku suka xD.
Btw, dari mana Yixing tau kalo ada penyadap?
Yixing dulu anggota Luziden Traumen kan? Kenapa keluar? (Aku nggak tau ini udah dibahas atau belum, aku lupa xD)
Jadi titik temu Luziden Traumen sama Luce Nella Ombra apa ya? Motif mereka apaan? Siapa yang memulai lebih dulu? Maafkan kapasitas otakku yang nggak bisa diajak kerjasama ini, jadinya nggak ngerti apa maksudnya xD.
Bagian Junmyeon mau gabungin mimpi Minseok, Jongdae sama Luhan itu aku bingung, kek apa jadinya nanti.
Siapa sij bosnya? Aku penasaran. Kenapa mesti bersambung disana??? Satu wajah yang familiar buat mereka berempat kayaknya cuma Kyungsoo. Soalnya peran Kyungsoo disini cuma dikit masa? Kan nggak mungkin Kyungsoo cuma penjaga caffe ato manager caffe ato apalah itu namanya.
Okeeeh, kayaknya komennya udah cukup panjang. Cukup sampe disini. Ya walopun masih banyak yang belum kumengerti. Dan di foreword kan dibilang death chara, penasaran siapa ini nanti. Belum kepikiran endingnya.
Semoga cepet diupdate deh. Fighting!!
ssabrinazfr #6
Chapter 9: itu siapa yang jadi bosnya huhuhuhu masa iya Kyungsoo................................tapi dia kandidat yang paling mungkin....
beneran sekepo itu sama bosnya beneran yg sekepo itu..

suka banget moment2 lucunya BaekYeol dan juga Yimyeon(?) suka sama moment2 mereka semua itu ngalir banget/ suka sama percakapan2 merekaaa..

ini semanya berasa punya peran penting masing2 yaaa...

kakak authornim semangat ya melanjutkan ff ini!!!! soalnya suka sekali.
ittaopta #7
Chapter 8: selamaaaaaaat. akhirnya uda fix jd S.Si nih si eka. chukkae!!!! alhamdulillah..

dan alhamdulillahnya lagi ni ff dilanjut lagi. kirain bakalan ditelantarin.

hmmmm chap 7,5 ini cukuo menjawab semua pertanyaan2 yg sempet muncul pas awal2 baca. dannn wiiiiiih ternyata setiap orang punya kaitan masing2. tp.kalo diliat2 kok yg kyknya gak kesangkut sama sekali tuh si kyungsoo ya? kek cuma sekedar lewat. sekedar dimunculin doang, biar ot12 nya lengkap. huweeeee sotoy bgt ya? maapin ya ka! kkkkkkkkkkk. huweeeeeee bias aku tuh ka si d.o!!! tp gpp jg sih. aku kesini n ngikutin ni ff jg bukan krn d.o nya. tp krn emang ni ff bagus bgt sih. dr plot n penggambarannya kece badai. jd sayang bgt kalo sampe dilewatin. hihihijiji..

ane tunggu updatean ente berikutnya ka! fighting!
ssabrinazfr #8
Chapter 8: akhirnya ini di lanjut juga dan still amazing eventho aku agak lupa cerita sblmnya tapi aku msh inget inti2nyaaa.. Yg jelas yixing nih paling bikin kepooo.. Anyway mereka semua ada hubungan terkait satu sama lain tapi kesannya sama sekali Ga maksa so this is really good seriously.

Aku kasihan sama Jongdae yg kaki tangan bos mafia kan bapaknya kenapa dia yg tersiksa dan Luhan, dia anaknya mr Lu padahal kan yah tapi dia ga ada mafia2an sama sekali???

Terus kai udah dpt blm itu info soal bonyoknya pls aku suka sekali sama hubungan brothership mrk. Kyungsoo dam tao apakah beneran persn tak memihak atau malah mrk yg bos mya/ga. Itu bapaknya yifan bnrn pembunuh ortunya chanyeol? Tapi bete abis chanyeol jahatnya agak manipulatif yaaaaaa..

Aku suka bahasanya btw soalnya aku anaknya bosenan parah tapi ini gapernah bosen malah enak terus bacanya trs dialognya juga santai2 lucu ada kekasan sendiri.

Keren bgt kak dan selamat atas sarjananya. I still wait for next chapter.
nora50
#9
Chapter 2: Awesome. Ini potensial bgt untuk jafi cerita bagus. Sebenernya baru baca 2 chapter tapi ga tahan mau komen. Overall keren banget ceritanya. Soalnya dah cape banget baca lovestory yang plotnya sangat biasa. Ceritanya mirip Inception, tapi yaa mana ada sih cerita yang beneran beda satu dengan lainnya? Inception aja terinspirasi dari Donal bebek hehe. Alur cepat, tapi ngga juga meninggalkan detil kecil. Humor antara Kris ama Suho bener2 bikin mereka kaya pasutri yg uda nikah 10 tahun, ledek2an melulu, kocak juga. Hmm...ngga sabar nemuin plot twist ditengah2 cerita ini.

Mungkin sama juga sama beberapa pengguna AFF dsini...aku juga udah ilang interest ama Exo (Trutama sejak kepergian Luhan yg membuat jiwa raga gw terguncang *lebay), tapi tetep aja aku baca AFF heheh. Exo ngga bagus klo nyanyi...mereka keren di dalem fanfic.

Anyway, ngga sabar banget baca kelanjutanya. Jadi saya hentikan saja komen berkepanjangan ini.