05 - It Can't Be Her
More Money No HappinessAerim berusaha terlihat tenang. Akan terlihat gegabah jika ia meronta-ronta pada kamera tentang kebohongan yang diutarakan oleh Luhan. Aerim yakin lelaki itu tahu betul kalau Aerim tidak akan bertindak sejauh itu. Tapi lain dari gambaran tenangnya, di dalam dirinya ia terus merutuki apa yang sedang terjadi sekarang.
Wartawan-wartawan ini menunjukkan senyuman puas mereka, terlihat senang karena ada banyak bahan bagus untuk dibicarakan hari ini. Lalu ketika berita itu keluar, masyarakat akan berbondong-bondong berbicara sana-sini. Itulah mengapa Aerim tak suka dirinya terekspos dulu. Dia tidak punya media sosial dan tidak pernah datang ke charity event seperti yang di lakukan anak-anak lain.
Tapi bukankah itu hebat, di saat kau muncul untuk pertama kalinya dengan berita bahwa kau berpacaran dengan Luhan? The-greatest-and-powerful-Lu? Keluarga paling terkenal di Korea dan Cina dengan banyak wanita di luar sana yang berharap menjadi salah satu menantunya? Uang yang tidak akan habis kalau kau pakai selama puluhan generasi sekalipun?
Aerim yakin tadi Luhan berada di luar kesadarannya.
"Hei." Tanpa dia sadari ternyata mereka berhasil memasuki pintu masuk. Auditorium terasa dingin, tidak seperti penat yang ia rasakan di luar tadi. Luhan berhasil menyeret dirinya bergerak lebih dalam. Dia bisa melihat Seulgi dan yang lain berjalan tidak jauh dari tempatnya.
"Katakan sesuatu," ucap Luhan yang berada di hadapannya, terlihat pasrah. Apa yang diharapkannya? Entah dia menyesal atau apa, dan Aerim terlalu malas untuk memikirkannya.
"Aku rasa kau yang harus berbicara padaku. Jelaskan."
Luhan mengeluarkan nafasnya denga berat, tampak terlihat pusing. "Itu.. Seharusnya tidak begitu."
"Ya, memang seharusnya tidak begitu. Mana mungkin--"
"Bukan Aerim," potong Luhan. "Seharusnya berita itu tidak keluar sekarang."
"Apa maksudmu?"
Luhan berdecak. "Kau memang tidak mengerti."
Aerim hanya diam. Karena yang ia tunggu adalah penjelasan. Bertengkar dengan Luhan hanya membuat waktu terbuang sia-sia.
"Kita dijodohkan."
Aerim tertawa. "Ya, mereka bilang itu rumor, Luhan. Kau tidak harus langsung percaya dengan itu."
"Maaf?"
"Ya. Maksudku, aku dengar dari wartawan itu adalah rumor. Jadi itu yang membuatmu menganggap bahwa kita benar-benar dijodohkan?"
Kini giliran Luhan yang tertawa. "Aku bukan anak bodoh, Aerim. Menurutmu aku mengatakan hal seperti itu hanya karena wartawan yang merumorkan kita?"
Aerim mengernyit, semakin tidak mengerti dengan semuanya.
"Aku sudah tahu Aerim. Perjodohan ini memang benar, kau dan aku," jelas Luhan.
Gadis itu terdiam sesaat. Apakah ini terlalu berlebihan untuk dijadikan bahan candaan atau Luhan yang menjadi tidak lucu?
"Akan aku jelaskan nanti. Aku yakin ayahmu--"
"Tapi kenapa ayah tidak mengatakan apapun padaku?" Potongnya. Terdapat kekecewaan di balik pertanyaannya.
"Dia mungkin akan menjelaskan padamu di waktu yang tepat. Kau tahu, bahkan rumornya lebih cepat beredar--"
"Kenapa dia tidak meminta persetujuanku? Kau lucu, Luhan. Ini tidak benar."
"Aerim.."
"Aku pikir dia tidak akan pernah bertindak sejauh ini."
"Aerim.."
Tidak ada yang bisa Luhan lakukan, bahkan lelaki itu juga terlihat bingung dengan keadaan ini. Tapi fakta bahwa Luhan memang punya skill layaknya aktor. Dia bisa berlakon dengan bagus, tadi. Dan Aerim benci dengan semua ini. Lagi. Satu lagi tanda yang membuat hari-hari SMA akan seperti dulu ketika SMP.
Sebuah musik tradisional korea terdengar, mendadak keributan di auditorium menjadi senyap. Di atas panggung--yang sudah di dekorasi sebagus mungkin--terdapat sekelompok wanita dengan hanbok berwarna pink dan hijau. Mereka membawa kipas dengan warna senada, siap dengan posisi masing-masing. Tarian Buchaechum.
Acara sudah dimulai, dan Aerim ingin sekali pulang ke kamarnya. Atau pulang ke rumahnya dan bertemu dengan ayahnya. Menanyakan semua yang barusan ia dengar dari Luhan tidaklah nyata.
Luhan menariknya menuju barisan sofa bagian depan, dimana teman-teman mereka sudah duduk seraya bercengkrama disana.
"Ayo bertemu malam nanti di atap asrama. Ada banyak yang harus kita bicarakan," bisik Luhan sebelum mereka duduk terpisah ke sofa yang tercatat nama mereka masing-masing. Aerim mengangguk setuju.
Please Subscribe to read the full chapter
Comments