03 - The Scar Tho
More Money No HappinessMemerlukan banyak waktu bagi Aerim untuk keluar dari cafetaria sebelum Hyuna menyadari keberadaannya disana. Dia berbohong soal sakit perut yang tiba-tiba dialaminya. Luhan menawarkan bantuan, ingin mengantar Aerim ke asrama. Lalu Seulgi yang protes keras tapi mengingat makanannya yang belum habis dan Aerim tahu gadis itu sebelumnya kelaparan karena belum sarapan. Akhirnya Seulgi mengalah, dan mulai cerewet bagaimana dia harus menghabiskan waktu di cafetaria dengan Baekhyun cs jika Aerim pulang.
"Kau tahu, aku bisa sendiri." Aerim meyakinkan Seulgi, gadis itu terus menerus menawarkan diri dan hampir membungkus makanannya. Tapi secepat mungkin Aerim tolak, dia hanya butuh waktu untuk sendiri dan juga takut dalam waktu yang bersamaan. Dia hanya ingin mengurung dirinya di kamar, meminimalisir ataupun memperlambat pertemuannya dengan sosok itu. Walaupun Aerim yakin mereka pasti akan dipertemukan oleh takdir cepat atau lambat. Dan dia akan kembali mengulang hidup yang menyedihkan itu selama tiga tahun ke depan, lagi. Atau mungkin selamanya, karena mungkin takdir sudah membuat dirinya melekat dengan gadis itu. Kemudian Aerim melihat enam orang yang baru saja disebutnya sebagai teman dihadapannya, rasa sedih keluar dari dirinya. Memikirkan bagaimana orang-orang ini akan menjauhinya ketika mereka tahu keadaan yang akan datang.
Aerim benci Kim Hyuna.
"Aku akan mengantarmu."
Luhan bangkit dari kursinya, memandang Aerim seperti menunggu gadis itu melangkah untuk pulang. Mata mereka bertemu dan Aerim bisa melihat sedikit ketenangan dan kehangatan dibalik mata coklat Luhan. Aerim juga melihat sesuatu, entah apa tapi Aerim tidak bisa menebaknya. Seperti perasaan yang campur aduk.
"Aku bisa sendiri," ucapnya. Berusaha bersuara sepelan mungkin agar Hyuna benar-benar tidak menemukannya sekarang. Memikirkan bahwa gadis itu bisa saja mendengar dan mengenali suaranya sudah membuat kaki Aerim lemas. Dari sudut matanya dia melihat bahwa Hyuna mengambil meja di sudut cafetaria dan memunggungi mereka. Dia bersama seorang lelaki, yang bisa Aerim tebak mungkin pacarnya yang kesekian. Jarak mereka terlalu jauh, tapi cukup membuatnya was-was. Hyuna bisa saja menoleh kebelakang dan membuat hidupnya kembali jungkir balik dari sekarang. Hidupnya yang ia pikir adalah awal baru dari segala yang terjadi di masa lalu. Ia pikir, Baeksang adalah tempat dimana dia bisa memulai hidup yang baru.
"Kau pucat." Luhan sekarang berada dihadapannya. Jarak mereka cukup dekat dan Aerim tidak bisa berpikir panjang selain berbalik dan hendak berjalan pulang, meninggalkan cafetaria.
Ia mendengar Seulgi mulai angkat bicara dibelakangnya tapi tiba-tiba terhenti. "Aerim, ka--"
Kemudian dia menemukan sesorang berjalan di sebelahnya. Entah kenapa dia sudah tahu itu siapa. Luhan menyeringai, kedua tangannya ia tempatkan di sakunya.
Aerim sudah tidak peduli apapun, yang ia inginkan hanyalah keluar secepat mungkin dari ruangan ini dan menghindar dari Kim Hyuna. Ia hanya diam ketika Luhan mengikuti langkahnya keluar dan bahkan membukakan pintu cafetaria untuknya.
"Seulgi sangat khawatir." Luhan kembali berada di hadapannya. Menahannya untuk bergerak maju. Aerim merasakan kehadiran lelaki ini kembali membuatnya lemas, tapi bukan karena dia takut dan Aerim tidak yakin ini perasaan apa. Ia melihat Luhan menunjuk ke belakang Aerim, kemudian ia mengikuti pandangan lelaki itu. Disana, Seulgi dan yang lain memandanginya dari balik dinding kaca cafetaria, dan kemudian dia tahu bahwa mereka terlihat khawatir.
Dia memaksakan diri tersenyum, melukiskan pesan bahwa dia baik-baik saja. Seulgi mengangguk dan melambaikan tangannya di udara.
Aerim menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya seraya merasakan keadaan pada dalam dirinya. Jantungnya masih belum stabil berdetak dan entah kenapa perasaan takut ini masih mengitari dirinya. Aerim benci perasaan ini.
Ia melihat Luhan yang menunggunya di depan. Lelaki itu diam, tapi matanya seperti mengobservasi apapun pada diri Aerim.
"Apa kau mau sendiri atau kau butuh aku?" tanyanya. Kemudian dia mengusap belakang kepalanya, mungkin baru menyadari pertanyaannya yang aneh. "Maksudku, kau bisa cerita apapun. Kau terlihat kacau."
"Benarkah?"
Luhan mengangguk. "Wajahmu pucat, keringat dingin, kau
Comments