CHAPTER 4 – WHAT’S WRONG WITH YOU?

WHERE MY HEART BELONGS ?

Inoo’s POV

Aku mengecek kembali ponselku, mengharapkan satu buah email yang mungkin dikirimkan untukku. Namun 3 email yang masuk semuanya berkaitan dengan pemotretan dan reality show yang harus aku datangi sore ini untuk proses promosi dramaku yang terbaru. Aku menghela nafasku. Ini sudah hampir dua minggu sejak aku mengajaknya berkencan. Terakhir, malam itu aku mengiriminya email, namun sampai hari ini dia tak membalasku. Bahkan mencoba teleponku juga tidak. Sedangkan aku sendiri sudah kepalang malu untuk memulainya lagi. Aku pikir dia butuh waktu untuk menerimaku.

“Kei… kenapa?” tanya Hikaru. Aku menoleh padanya yang kini sudah berganti kostum untuk keperluan shooting drama kami. Tahun baru ini aku dan Hikaru mendapatkan peran disalah satu drama. Drama tentang music dan aku berperan sebagai pianis berbakat yang pemalu. Sedangkan Hikaru sebagai violis yang berkepribadian ganda. Kami menghabiskan waktu hampir sebanyak waktu istirahatku yang hilang.

“Tidak ada apa-apa kok, Hika. Hanya saja aku mengharapkan email yang aku terima bukan dari kantor.” Jawabku sambil memasukkan kembali ponselku kedalam tas ransel hitam yang kebetulan hari ini aku bawa. Hikaru terkekeh kemudian menepuk bahuku. “Kau sedang mendekati seorang perempuan huh?” tanyanya. Aku menoleh dan aku yakin wajahku sudah lebih cukup untuk menggambarkan rasa terkejutku, karena Hikaru semakin tertawa dan merasa menang. “Bagaimana kau tahu?” tanyaku akhirnya.

Hikaru menghentikan tawanya, “Kau tidak sadar? Selama ini kalau kau sedang mendekati seorang perempuan kau akan selalu uring-uringan. Takut Jimusho tau, takut fans tau, takut member tau. Kau selalu khawatir berlebihan. Dan itulah kenapa pada akhirnya perempuan-perempuan itu meninggalkanmu. Lihatlah sudah hampir kira-kira dalam 5 tahun terakhir kau mendekati 10 perempuan. Dan kau selalu tidak beruntung. Mereka meninggalkanmu.” Ujarnya. Aku menelan ludahku. Bahkan Hikaru sudah menghafal semuanya. Aku tersenyum kecut.

“Ah, kau. Aku hanya mengkhawatirkan yang perlu dikhawatirkan kok. Lagipula, mereka yang meninggalkanku.” Kilahku. Hikaru kembali tertawa, “Tapi ingat tidak mereka bersepuluh selalu beralasan kalau kau semakin membosankan saat berkencan. Berbeda dengan kencan pertama yang selalu kau mulai.” Aku terdiam, apakah aku begitu membosankan?

“Tapi kali ini berbeda. Aku ingin akulah yang pertama kali melihat dia tertawa dan menangis. Dan aku berhasil melakukan keduanya setelah apa yang dialaminya. Kali ini akan berbeda.” Ujarku. Hiakru mengangguk-angguk, “Baiklah. Aku mengerti. Selamat berjuang, kawan.” Ujarnya lalu pergi, baru saja tim make-up memanggilnya untuk segera dirias keperluan shooting.

Aku menghela nafasku, mengeluarkan sekali lagi ponselku dari tas ransel. Memandangi layar kosong tanda tidak ada notifikasi. Kuputuskan mengetik sebuah pesan.

 

To : Kaminari Nina

Subject : Wondering

Just wondering what happen with you these 2 weeks? Aku tak mendapatkan balasan emailku. Dan kau tak juga bertanya padaku apalagi mencoba meneleponku. Bukankah biasanya perempuan akan penasaran dengan lelaki tampan sepertiku? ~ just kidding.

Aku hanya ingin bertemu denganmu. bisakah? Aku menunggu kabar darimu.

Have a nice day.

~Kei

 

Pesan terkirim, lalu kusimpan ponselku dalam ranselku. Aku beranjak menuju lokasi dimana aku harus berada.

 

….

 

From : Kaminari Nina

Subject : Meet up

Hei… long time no see.

Aku juga bertanya-tanya kenapa Inoo-kun tidak ada kabar. Umm… sayang sekali seminggu kedepan aku akan sibuk. Gomen na. mungkin lain kali ya.

-Nina

 

Aku membaca pesan ini berualang kali sejak kuterima satu jam yang lalu bukankah ini berarti aku ditolak. Kenapa? Ada apa?

“Ishh…” aku mengumpat, kemudian sebuah ide besar muncul dikepalaku. Kutekan sebuah nomor yang aku ingat sebagai nomor Yuto. Sebuah nada sambung terdengar.

….Nakajima Yuto-kun calling…

Moshi moshi. Kei-kun?” sapa suara Yuto. Aku tersenyum lega. Setidaknya ini akan membantuku.

“Yuto-kun, apakah Nina memang susah didekati?” tanyaku langsung. Tidak ada jawaban dalam belasan detik. “Yuto?” panggilku.

“Gomen na Kei-kun. Aku sedang dimake-up. Bisa telepon lagi nanti?” ujarnya. Bahkan sebelum menunggu jawabanku ponselnya sudah dimatikan. “Ish… Yuto!!!!” umpatku kesal. Aku masih berada dibalik kemudi mobilku. Masih disekitar lokasi shooting. Aku mencoba menghubungi Yuto kembali tapi tetap gagal. “Ish…” akhirnya aku makin kesal tapi kuputuskan pergi meninggalkan tempat ini segera menuju ke klinik dimana dia bertugas.

Aku harus bertemu dengannya.

 

….

 

“Inoo-kun…” suaranya lembut namun nadanya terkejut. Aku tahu kehadiranku yang tiba-tiba tanpa pemberitahuan akan membuatnya tidak nyaman. Yang aku dengar dari ceritanya sebulan yang lalu, dia sangat menyukai keteraturan. Baginya keteraturan adalah ritme sempurna hidupnya. Dan itulah kenapa dia benci kejutan karena katanya dia tidak ingin tidak tahu apa yang sedang terjadi. karena itulah dia menyukai science dan memutuskan menjadi dokter. Tidak sepertiku yang suka ‘letupan’ dan akhirnya membuatku focus dengan JUMP dan arsitektur. Aku suka seni.

Akhirnya setelah 15 menit mengemudi aku sampai di klinik. Aku sudah disini, didepannya dengan seikat bunga daisy warna pink. Aku tahu dia suka pink. Beberapa kali aku melihat dia mengenakapn benda berwarna pink. Dan bukankah semua perempuan suka pink?

Sengaja aku pilih bunga sebagai bagian dari kejutan kehadiranku hari ini, karena aku ingin merebut hatinya. Aku juga ingin tahu alasannya kenapa menghindariku. Aku ingin bertemu dengannya. Kerena jujur saja, dialah yang membuatku setiap malam gelisah karena memikirkannya. Dan aku benci rasa penasaran. Aku tahu dia akan jatuh hati padaku akhirnya. Aku bisa melihat masa depanku dengannya. Aku yakin ada benang merah diantara kami.

“Kenapa kau disini?” tanyanya. Aku mengatur nafasku yang terengah-engah. Dia menatapku bingung. Dilehernya masih tergantung stetoskop. Tangan kirinya memegang file pasien dan tangan kanannya memegang jas putihnya. Wajahnya berpeluh karena keringat. Ternyata bukan hanya aku  yang kehabisan energy. Keringat tidak hanya membasahi sekujur tubuhku yang tadi berlari dari parkir mobil menuju dalam klinik.

“Aku ingin bertemu denganmu. ini.” Ujarku sambil melemparkan senyumku untuknya. Dia menatapku seakan-akan aku hantu. Dia terkejut. Dan tentu saja dia tidak menyukai kejutan. “Silahkan pulang Inoo-kun. Aku sibuk. Tapi terima kasih bunganya.” Dia mengambil bunga yang kuberikan dan berjalan meletakkannya dibagian admission desk dan tanpa menatapku dia beranjak pergi. Aku tahu dia marah dan aku rasa aku menjadi sedikit tidak peduli.

Kuraih tubuhnya dengan satu hentakan tanganku setelah aku berjalan menghampirinya tanpa dia sadari. Aku memeluknya dengan tangan kananku dan tangan kiriku menahan tangan kirinya untuk melepaskan diri. Aku hanya ingin melakukannya. Aku merindukannya. Tapi sepertinya dia tidak mengerti. “Aku merindukanmu. Aku sangat ingin mendengarkan suaramu. Menatap wajahmu. Meskipun aku merasa lelah dengan semua pekerjaanku, tapi rasanya saat bertemu denganmu semua terasa nyaman.” Ujarku. Dia bergeming.

Aku merangkulkan tangan kiriku kearahnya. Memeluknya makin erat. Untungnya kondisi klinik dimalam hari seperti ini sudah sepi. Waktu memang baru menunjukkan pukul 6 sore. Tapi tentu saja untuk klinik sekecil ini, mereka tidak repot mengurus antrian yang sepanjang rumah sakit besar. “Kau membenciku?” tanyaku disela-sela hembusan nafasku dirambutnya yang tergerai. Dia masih bergeming. “Kau marah padaku?” tanyaku. Dia tidak menjawab. Aku menghela nafasku.

“Haruskah aku mengancammu untuk kucium saat kau tak menjawab pertanyaanku? Bisakah kau menjawabnya?” dia menggeleng. Kemudian dia sudah berhasil melepaskan diri dari pelukanku yang melonggar. “Gomen. Aku sibuk. Aku tidak membencimu dan tidak marah padamu. Aku hanya sibuk. Aku ingin kehidupanku yang normal. Gomen.” Ujarnya lalu beranjak pergi. Dan seeorang menepuk bahuku. Aku menoleh dan mendapati Yuto tengah memandangku. Wajahnya tanpa ekspresi. Tapi aku tahu pasti dia sedang marah.

Bukk!!!! Yuto memukulku kuat tepat kerahang kiriku dengan tangan kanannya. Aku menyentuh bibirku yang seketika robek karena pukulan Yuto, beberapa percikan darah ikut terbawa ditanganku. “Nani Yuto?” tanyaku dengan nada marah, biasanya Yuto tidak begini. “Bisakah kau tidak menjadikannya mainan seperti sepuluh mantan pacarmu kei?” ujarnya keras. Beberapa perawat yang tersisa diruangan itu saling berbisik. Tentu saja mereka tengah membicarakanku.  Tapi aku yakin mereka tak akan menyebarkan apapun mengingat Yuto adalah salah satu keluarga dari pemilik klinik ini.

“Aku bersungguh-sungguh kali ini.” Ujarku sambil mendorong bahu Yuto dan meninggalkannya. Aku marah dan kesal. Juga patah hati.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet