CHAPTER 5 – A STADIUM OF STARS

WHERE MY HEART BELONGS ?

Nina’s POV

Dadaku naik turun dan tubuhku rasanya sudah lemas dan bersandar mematung ke pintu dibelakangku. Kakiku benar-benar tidak mampu berdiri tegak sehingga perlu disanggah pintu seperti ini. Mataku memejam, perlahan air mata luruh kepipiku. Aku tak tau ini air mata untuk bahagia atau sedih. Aku tak bisa membedakannya. Tapi beberapa menit yang lalu aku mendengarnya dengan jelas.

“Nani Yuto?”

“Bisakah kau tidak menjadikannya mainan seperti sepuluh mantan pacarmu kei?”

“Aku bersungguh-sungguh kali ini.”

Kalimat demi kalimat percakapan Yuto yang marah pada Inoo Kei terulang seperti kaset rusak dirongga kepalaku. Otakku bahkan lebih menyebalkan, memutar gambaran saat mereka bertengkar, saat Yuto melayangkan pukulannya. Aku menutup telingaku kuat-kuat. Berharap dengan begitu semua suara itu berhenti.

“Nina?? Daijoubu?” suara Yuto terdengar khawatir dari balik pintu. Mereka berdua sukses membuatku merasa bersalah dan bingung. Aku tidak menyukai keadaan ini. Aku benci ketidaksempurnaan. “Pergi Yuto! Kumohon pergi. Aku ingin sendirian.” Ujarku. Yuto masih terdengar memanggilku dan aku mengabaikannya. Tubuhku luruh kelantai. Aku menekuk lututku dan memeluknya. Kali ini aku benar-benar menangis. Tangisanku yang kedua setelah kematian ibu.

Aku benci menangis ibu. Aku benci.

 

 

Aku berjalan melangkah keluar ruanganku, lalu berjalan keluar klinik. Tadi aku meminta semua jadwal pasien diatur ulang untuk besok pagi. Aku mengatakan akan membuka klinik 3 jam lebih awal. Jam 6 pagi aku akan stand by disini. Dan syukurlah semua tatapan asisten dan perawat yang bekerja di klinikku tampak mengerti keadaanku. Saat kematian ibu aku tak mengambil libur. Aku tak pernah mengambil libur. Dan bukankah ini jadi waktu yang tepat untuk berlibur?

Aku melangkahkan kakiku dengan berat. Kejadian tadi masih membayangiku tapi aku sudah lebih kuat menghadapinya. Aku bukan perempuan rapuh seperti kebanyakan orang. Aku perempuan kuat. Dan aku selalu sempurna. Aku menghela nafas memandangi langit malam yang nampak bersih. Ribuan bintang nampak terhampar. Sangat indah.

“Nina-chan…” aku menoleh kearah sumber suara yang memanggilku. Aku mendapatinya berdiri disana. Wajah kirinya sedikit lebam, dan ujung bibirnya terplester dengan rapih. Mataku mengerjap tak percaya. Dia menungguku? Setelah aku memintanya pergi? Setelah Yuto memukulnya dan marah? Dia masih menungguku? Dia tahu aku akan lewat sini tapi tetap saja, aku bisa kapan saja lewat sini. Apa dia berencana menungguku sampai aku benar-benar lewat.

“Inoo-kun..” panggilku. Dia tersenyum dan kemudian berjalan menghampiriku. Pakaiannya masih sama tapi wajahnya terlihat mulai lusuh dan… “Aku lapar. Mau makan ramen denganku?” tanyanya. Ya, wajahnya terlihat sangat kelaparan. Mau tak mau aku tersenyum dan mengangguk. Dia menungguku sampai aku mencapainya. Dia menjajari langkah-langkahku. Tangannya masuk kedalam saku celananya. Dan dia menjadi lebih pendiam. Akupun demikian. Memilih diam dengan pikiranku. Aku mulai menduga-duga apa yang diingankan oleh seorang Inoo Kei padaku. Menjadikan pacarnya yang kesebelas? Atau hanya bermain-main padaku? Seperti yang dikatakan Yuto dua minggu yang lalu.

 

(flashback 2 weeks ago)

Yuto melepaskan ciumannya dari bibirku. Dia masih menatapku tajam, namun sebuah senyum terulas dibibirnya yang merah. Dan dari jarak sedekat ini aku jadi dapat melihat bibir kiri Yuto masih berbekas sebuah bekas jahitan. Aku ingat itu disaat dia menolongku yang hampir tertabtrak mobil saat kami berusia 17 dan 16 tahun. Saat itu aku yang sudah duduk dibangku kelas 3 SMA (lebih cepat 2 tahun darinya) tengah merajuk karena dia membatalkan janjinya menemaniku makan es krim di hari ulang tahunku karena harus menjalani serangkaian pemotretan untuk single JUMP yang katanya di reschedule. Aku berlari karena kesal dan tak mempedulikan panggilannya yang baru turun dari sebuah mobil hitam.

Aku tak menyadari sebuah mobil akan menabrakku. Lalu dengan cepat Yuto sudah menarikku kearahnya, membuatku jatuh menimpanya, dan wajahnya entah bagaimana bisa membentur anak tangga trotoar dan mengakibatkan wajah kirinya lebam dan tergores, yang paling parah adalah bibir kiri bagian atas. Saat itu aku berteriak panik memanggil namanya. Melupakan kalau aku tengah merajuk. Aku begitu menyayanginya, kupikir saat itu aku menganggap dia kakakku. Satu-satunya kakak yang kumiliki.

“Aww..” seruku saat menyadari dia sudah menarik hidungku keras, membuatku tersadar dari lamunanku. Mengingat kenangan kami berdua. Lalu aku menyadari kalau saat ini tubuh kami masih berdekatan. Terlalu dekat. Aku mundur dari tempat dudukku. Menghindarinya. Dan barulah aku sadari kalau aku hanya menggunakan pakaian tidur tipis. Bahkan celanaku terlalu pendek dan aku tak memakai bra! Aku meraih sebuah bantal dibelakangku, mencoba menutupi tubuhku dari Yuto. Aku merasa malu.

“Hei.. aku bahkan tahu tubuhmu seperti apa dari kecil.” Ujarnya sambil nyengir jahil. “!!!” seruku mencoba memukulnya, namun dia berhasil menghindar. Dia terkekeh kemudian membawaku dalam pelukannya. Dan aku menolak melepasnya. Kejutan ketiga setelah kematian Ibu. Aku menyurukkan kepalaku kedadanya, membaui wanginya yang maskulin, merasakan tubuhnya yang hangat. Memejamkan mataku. Rasanya tenang berada disini. Dipelukannya.

“Aku tak mau kau terluka, Nina-chan. Inoo-kun selalu playboy sejak dulu. Bukan karena aku cemburu karena pertama kalinya kau berkencan justru bersamanya. Tapi karena aku menjadi saksi mata dulu bagaiamana dia memperlakukan sepuluh mantan pacarnya. Kami saling mengenal sudah lebih dari sepuluh tahun. Dan karena aku sangat peduli padamu. Juga…aku menyayangimu. Aku menyukaimu.” Suara Yuto melirih saat mengatakan 2 kata terakhir itu. Aku tersenyum. Kejutan keempat kalau ini dihitung sebagai kejutan yang baru.

“Wakatta. Aku akan menghindarinya. Arigatou-na.” ujarku. Dia menguraikan pelukannya. Kemudian mencium puncak kepalaku. “Maukah kau jadi pacarku?” ujarnya. Mataku membulat mendengarkan pertanyaannya. Aku mengulas senyum, “Aku mau. Tapi aku ingin kita seperti apa adanya kita. Kau kakakku Yuto. Aku adikmu bukan?” tanyaku. Meskipun tersirat kecewa diwajahnya dia tetap tersenyum, “Aieru. Tapi aku mengerti. Tidurlah.” Ujarnya. Aku mengangguk. Kemudian aku beranjak, tapi sepasang lengan Yuto menahan pinggangku. Dia membenamkan wajahnya dipunggungku. “Berjanjilah kau tidak akan terluka.” Katanya. “Emm.. Wakkatta. Aku mengerti. Arigatou Yuto.” Ujarku. Dia melepasku dan aku tak menoleh lagi.

(flashback end)

 

Setelah hari itu, aku dan Yuto masih seperti sebelumnya. Bersaudara dan bersahabat baik. Pergi bersama saat waktunya luang. Berargumen soal mana yang lebih enak bagian buntut bebek atau pahanya. Merajuk saat dia kupaksa menyetir mobil ketika mengunjungi rumah nenek. Seperti itu. “Nina-chan..” aku tersadar dari lamunanku. Menyadari kalau Inoo tidak lagi menjajari langkahku. Aku menoleh mencarinya. Dia disana, 3 meter jauhnya dariku berdiri. Sebuah boneka Hello Kitty ukuran sekepalan tangan ditangannya. Wajahnya terlihat ragu-ragu namun dia menatapku.

“Nani?” tanyaku. Dia terlihat menarik nafasnya, “Malam ini langit begitu indah. Kau tahu sebuah ramalan, jika kau menyatakan perasaanmu dibawah ribuan bintang maka kau berjodoh dengan orang yang kau sukai. Lihatlah, malam ini begitu sempurna. Aku memang tidak sempurna, tapi kau menyempurnakanku. Maukah kau…”

“Cukup Inoo-kun. Kau tak mengenalku.” Ujarku memotong kalimatnya, kejutan yang keempat. Aku tak mau mendengar lebih banyak kalimatnya. Karena aku takut. Aku takut mengingkari janjiku. Takut aku mencintai Inoo dan pada akhirnya aku takut aku yang terluka. Alasan selama ini aku menyukai hidupku yang sempurna adalah karena aku takut terluka. Aku takut ditolak. Dan aku benci menangis. Aku bersyukur selama ini hidupku sudah cukup sempurna. Cukup bersama ayah, ibu. Yui dan Yue juga Yuto. Sempurna.

Aku berjalan semakin menjauhi Inoo. Aku tidak mempedulikan panggilannya. Sampai sebuah mobil warna putih berhenti didepanku. Kaca mobil itu diturunkan dan aku menemukan wajah sangat familiar dari dalam mobil itu. Aku bergegas masuk dan duduk diam. Mobil terus berjalan kearah yang tentunya familiar denganku. Menuju rumahku.

 

 

Sudah 30 menit mobil berjalan. Kami berdua masih berdiam diri dengan pikiran masing-masing. Akhirnya justru aku yang tidak tahan, aku menoleh kearahnya. Dia masih serius menatap jalanan didepannya. Aku menarik nafasku dan menghelanya. “Daijoubu?” tanyanya akhirnya. Aku menoleh. Aku berhasil menarik perhatiannya. Aku menggeleng lemah. Perlahan air mataku luruh, meskipun sedikit tapi tetap saja aku menangis. Tangisan ketiga kalinya setelah kematian ibu. Sebuah tangan menyentuh puncak kepalaku. Membelai rambutku beberapa kali. Aku menoleh dan menemukannya masih menatap jalanan namun satu tangannya terulur padaku.

“Jangan terluka. Kumohon jangan terluka. Atau aku akan ikut terluka.” Ujarnya. Tangisku makin deras. Aku merasa bersalah. “Yuto berhenti! Hentikan mobilnya.” Ujarku. Dia menoleh padaku. Tapi dia menghentikan laju mobil menuruti permintaanku. Aku menghapus air mataku, dia menatapku. Aku bergerak keluar mobil dan berhenti hanya ketika Yuto menarik tanganku dan membawaku dalam pelukannya. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Yuto. Dia makin memererat pelukannya sampai terasa sakit ditulang-tulangku, namun aku membiarkannya. “Aku marah padaku sendiri karena membuatmu terluka, Yuto.” Ujarku. “Wakatta. Aku tak akan terluka. Aku tidak terluka.” Ujarnya. Dia membenamkan wajahnya dibahuku.

Kemudian dia melepaskan pelukannya dan menciumku, ciuman kedua setelah kematian ibu, atau seumur hidupku? Ciumanku bersama Yuto beberapa minggu lalu. Dan kini kami berciuman lagi. Aku mulai membalas ciuman Yuto. Aku tak akan membuatmu terluka Yuto. Dia melepaskan ciumannya. Kami berdua sama-sama bersemu merah karena malu. “Jadilah pacarku. Aku akan meminta izin pada otosan dan kedua orang tuaku dan keluarga besar kita. Kumohonnnn…” ujarnya ditambah rajukan kecil dibagian akhir kalimat. Aku mengangguk, “Iya Yuto. Iya.”

Dia tersenyum lebar kemudian memelukku lebih erat namun terasa sangat hangat. Disela-sela pelukannya aku melihat ribuan bintang dilangit. Benar kata Inoo tadi, langit begitu indah. Bintangnya begitu indah. Eh? Aku barusan memikirkan Inoo?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet