CHAPTER 8 – WHEN THE TEARS TELL EVERYTHING

WHERE MY HEART BELONGS ?

Inoo’s POV

Aku memukul kemudi mobilku dengan keras saat melihat mereka berdua keluar dari apartemen milik Yuto. Wajah mereka nampak sumringah dan bahagia. Aku benci dan sangat cemburu. Aku menyalakan mesin mobilku setelah semalaman aku dengan bodohnya menunggui Yuto dan Nina keluar dari apartemen mereka setelah aku membututi mereka dari kantor. Semalam Nina menjemput Yuto dari meeting JUMP berkaitan dengan album terbaru kami yang akan segera diluncurkan. Begitu mereka keluar kantor aku langsung membuntuti mereka dan berakhir di apartemen milik Yuto ini.

Semalaman aku menunggu. Berharap Nina keluar dari apartemen itu sendirian, meskipun kemungkinannya kecil, sehingga aku punya kesempatan untuk sekedar ngobrol dengannya. Kesempatan yang sangat langka datangnya. Aku menginjak pedal gasku keras-keras, melampiaskan kemarahanku dan berputar kesebuah apartemen yang belakangan familiar denganku.

 

….

 

Saat aku membuka mataku hari sudah gelap. Aku merasakan sepasang lengan memeluk perutku. Dan aku juga merasakan tubuhku terasa sakit dan dalam kondisi telanjang dibawah selimut putih nuanasa polkadot yang tak aku kenali. Aku mengumpulkan semua nyawaku dengan segera dan berbalik menemukan sebuah tubuh yang sempurna polos dengan mata terpejam. Shida Mirai.

Perlahan aku bangun dari tempat tidur yang kini kutahu milik siapa. Aku meraih kemeja soft pink yang kusut dan celana panjang warna khaki serta ikat pinggang warna coklat. Gadis itu masih tidak terbangun dengan semua gerakanku dan aku meninggalkannya begitu saja. Aku benci dengan diriku sendiri. Benci karena telah melakukannya dengan Shida. Dan semakin benci karena semalam adalah pengalaman pertama Shida. Rasa bersalah menghinggapiku.

Gomen na, Nina.  Eh Nina?

 

….

 

From : Mirai Shida

Subject : Where are you?

Its already 3 days you didn’t give any answer. Where are you Kei? I miss you! Don’t make me like a after that night. Please come back home. I am waiting for you.

~Shida

 

Aku melemparkan ponselku ke sofa dan membanting sekalian tubuhku. Daiki yang sedang memakan popcornnya bersama kekasihnya melirikku sebal. “Kei, akhir-akhir ini kalau kau ada masalah selalu kesini. Aku sih tidak masalah tapi yang peka dong, kei. Aku kan sedang dengan pacarku.” Ujarnya. Aku melirik. “Gomen na.” ujarku. Aku segera beranjak kedalam kamar mandi Daiki. Rasanya aku ingin menenggelamkan diriku sendiri. Aku merasa menjadi orang paling jahat dan tidak berguna karena aku tak memiliki muka untuk menemui Shida.

“Keiiii ada telepon!!” teriak Daiki dari depan pintu kamar mandi. Aku membuka pintu kamar mandi dengan enggan. Menemukan Daiki yang terlihat ingin tahu. Aku meraih

…Nina Kaminari Calling…

Aku segera menggeser panel kunci ponselku dan menjawab telepon itu. “Moshi moshi, Nina.” Sapaku. Aku menahan nafasku kuat-kuat. “Inoo-kun….. inooo kunnnn…” suara Nina hanya berupa teriakan histeris kemudian disusul dengan isakan-isakan keras. Aku panik dengan segera begitu mendengar suaranya. “Nina-chan? Nina? Ada apa? Kenapa?” tanyaku, Nina tidak segera menjawab namun tetap menangis.

..kring kring..

Telepon di apartemen Daiki berbunyi. Daiki bergegas meraihnya dan menjawab telepon tersebut. Tak berapa lama wajahnya memucat sempurna. Wajah Daiki menoleh kearahku dan aku semakin tidak mengerti. Nina yang masih terisak histeris tanpa bisa kutenangkan dan ekspresi Daiki yang menatapku. “Baik. Saya mengerti. Kami akan segera menyusul.” Ujar Daiki lalu meletakkan kembali teleponnya. Aku member isyarat pada Daiki untuk menjelaskan padaku. Daiki menghela nafasnya, “Yuto kecelakaan sekarang kondisinya kritis. Kita harus segera menyusulnya.” Ujar Daiki pelan.

Aku mematung. Ini kabar terburuk yang aku dengar. Aku kini mengerti kenapa Nina tak berhenti menangis dan histeris, dia tentu sangat mencintai Yuto dan takut kehilangan. Aku merutuki kebodohanku. Kenapa aku begitu jahat dengan menyumpahi Yuto waktu itu, meskipun dari dalam hatiku saja pasti Tuhan mendengarnya. “Nina-chan… tenanglah. Aku akan segera kesana. Kau akan menungguku. Kau akan menenangkan diri.” Ujarku akhirnya membujuk Nina.

Tak ada jawaban dari Nina tapi aku tetap mematikan ponselku dan bergegas menyusul Daiki dengan pacarnya. Kami harus bergegas.

 

….

 

Kami sampai dirumah sakit 25 menit kemudian setelah mengantarkan pacar Daiki ke stasiun terdekat. Aku dan Daiki berlarian sepanjang koridor rumah sakit sampai akhirnya berhenti ketika kami berdua menemukan Nina yang duduk dilantai sambil menelungkupkan kepalanya dipangkuannya. JUMP sudah lebih dulu datang. Chinen dan Yamada nampak berusaha membujuk Nina agar segera bangun dari duduknya. Samar-samar aku mendengar suara Chinen menjelaskan soal “masuk angin” dan “sakit”. Tapi Nina tetap menggeleng.

“Nina-chan…” panggilku. Nina mendongakkan kepalanya. Didahinya terdapat perban besar melingkari. Didagunya terdapat beberapa plester. Tangan kirinya juga dibalut. Dia berdiri seketika, rok selututnya yang berwarna kuning pucat tersingkap sedikit memperlihatkan lutut kirinya yang juga dibalut perban. Dia berlari kearahku dan memelukku. “Inoo-kun.. Inoo-kun..” panggilnya. Aku balas memeluknya. Meskipun terlihat jelas diwajah JUMP member mereka tidak mengerti apa yang terjadi antara kami tapi tetaplah mereka membiarkan apa yang terjadi didepan mereka. Nina kembali terisak dalam pelukanku. Dan aku perlahan membelai rambutnya.

“Apa yang terjadi Nina?” tanyaku setelah lebih dari 10 menit Nina menangis tanpa henti. Pelan dia melepaskan pelukannya. Kedua tangannya yang terlihat lecet menghapus air matanya. “Gomen na. gomen.” Ujarnya sambil membungkukkan badannya berkali-kali. Aku meraih kedua bahunya, menghentikan usahanya terus membungkuk padaku dan member JUMP. “Hentikan. Kumohon Nina hentikan.” Ujarku. Nina mendongak, air matanya kembali menggenang. “Kau selalu baik padaku.” Ujarnya lirih. Aku diam, menunggu kalimatnya.

“Yuto selalu baik. Tadi tadi…..”

 

(flashback)

Author’s POV

Nina menyuapkan salad buah buatannya untuk Yuto. Bekal makan siang mereka selama perjalanan menuju rumah nenek mereka. Hari ini mereka memutuskan untuk meminta restu keluarga besar mereka secara langsung untuk acara pertunangan mereka. 3 hari yang lalu ayah Nina mengatakan bahwa Nina dan Yuto sebaiknya secepatnya bertunangan karena khawatir terjadi sesuatu. Pernikahan mereka tidak akan lama menyusul setelah Yuto menyelesaikan semua urusan dengan agensinya bernaung.

Yuto tampak begitu bahagia mendapatkan banyak restu dari pihak orang tuanya juga orang tua Nina. Karena itulah dia begitu bersemangat. Tapi Yuto merasa ada yang mengganjal. Dia merasa ada saat dimana Nina terlihat kosong dan tidak sedang menikmati kebersamaan mereka. Meskipun mereka baru resmi berpacaran selama dua minggu tapi selama hidupnya Yuto sangat mengenal Nina. Menghafal kebiasaan Nina, mengetahui isi hatinya. Tapi sekarang tidak lagi. Karena itulah Yuto memutuskan untuk bertanya.

 “Nina, boleh aku bertanya.” Ujar Yuto. Nina yang tengah mengunyah buah semangka kini menoleh menghadap Yuto yang masih berada dibalik kemudi dan menatap ke jalanan. Nina mengangguk, “Bertanyalah.” Ujar Nina. Yuto tersenyum, “Aku tahu ini mendadak tapi bolehkah aku tahu akan perasaanmu pada Inoo-kun?” tanya Yuto. Mata Nina membulat dan dia juga tersedak. Beberapa kali terbatuk sampai membuat Yuto khawatir. Yuto segera menepikan mobil yang dikendarainya. Menepuk bahu Nina pelan-pelan, mencoba membantu Nina.

“Kenapa?” tanya Yuto. Nina hanya menggeleng. Dia masih terbatuk-batuk. Yuto segera mencari air mineral yang biasanya dia bawa. Menyerahkan pada Nina setelah terlebih dahulu membuka botolnya. Nina minum dengan perlahan sampai rasa batuknya hilang. “Nina… daijoubu?” tanya Yuto. Nina mengangguk. Yuto tersenyum kemudian mencium kening Nina. Nina diam mematung, baginya inilah saatnya untuk jujur.

“Anoo… Yuu-chan… aku belakangan ini memikirkan soal Inoo kun. Gomen na.” ujar Nina takut-takut. Yuto yang hendak menjalankan mobilnya mematung, membatalkan niatnya. Dia menoleh memandang Nina, berusaha menyelami apa yang ada dipikiran Nina. Wajah Nina berangsur-angsur merasa bersalah. Perlahan kepalanya menunduk, kedua ibu jarinya saling bertautan tanda merasa bersalah dan Yuto menangkap gerak gerik itu. Yuto sangat hafal kebiasaan Nina.

“Kau menyukainya?” tanya Yuto langsung pada pokok permasalahan. Hal yang paling ditakutinya. Kepala Nina terangkat, wajahnya menyiratkan kebingungan. Perlahan kepalanya menggeleng, “Iie. Aku hanya kepikiran dengan kalimatnya beberapa hari yang lalu. Aku tidak bisa melupakannya. Dia bilang menerima Shida karena aku menolaknya. Aku.. aku merasa bersalah. Rasanya aku merasa jahat. Aku…”

Suara Nina terpotong oleh ciuman keras Yuto dibibir Nina. Nina yang kaget dengan spontan mendorong tubuh Yuto dengan keras sehingga punggungYuto membentur kaca pintu mobil. Yuto sedikit meringis. “Gomen Yuto.” Bisik Nina. Perlahan air mata Nina luruh. Yuto menghela nafas. “Lalu kenapa kita melakukannya Nina? Kenapa kau mau bersamaku sejak awal? Kenapa kau memberikan semuanya untukku? Kenapa Nina? Kenapa kau lakukan ini padaku kalau hatimu saja tidak untukku.” Bentak yuto keras.

Nina yang hampir bergerak untuk memeluk Yuto langsung mematung. Dia tahu selama ini Yuto tak pernah benar-benar marah padanya seperti yang dilakukannya saat ini. Nina memandang wajah Yuto yang sudah merah padam. “Karena aku berjanji aku akan selalu ada untukmu Yuto. Karena aku..”

“Kau tak mencintaiku! Tidak pernah kan, Nina? Sedikitpun. Ya kan?”  teriak Yuto. Nina paling benci hidupnya yang menjadi jungkir balik. Dia mulai merindukan kehidupannya yang normal dan sempurna. “Ibu” bisik Nina lirih didalam hatinya. Kemudian dia teringat Inoo pada malam Ibu meninggal. Mata Nina melihat langsung kearah mata Yuto yang berubah menjadi tajam. Dia yakin tidak mengenali Yuto. Sejak Ibu pergi hidupnya yang sempurna berubah, dan Yuto juga ikut berubah. Dia ingin kembali.

Nina benar-benar berusaha air matanya yang sudah menggenang agar tidak luruh. Nina membanting pintu mobil Yuto dan berlari keluar mobil. Sekuat tenaga dia berlari, sampai sebuah suara klakson mengejutkannya dan membuatnya terpaku ditengah jalanan tanpa mampu bergerak. Dia akan menyusul ibu ke surga.

Tangan panjang Yuto berhasil menarik tubuh Nina tepat waktu, namun dia yang telambat. Nina terjatuh mengenai trotoar beberapa bagian tubuhnya tergores dan terluka, sedangkan tubuh Yuto melayang 3 meter jauhnya mengenai bemper truk dan terbanting keras keatas aspal. Nina berteriak seketika, “Yutoooooo!!!!”

(Flashback END)

 

Inoo’s POV

“Aku selalu mencintainya. Dia cinta pertamaku. Dan aku tak punya kesempatan untuk mengatakannya. Aku takut Inoo-kun. Aku..”

“Ssstttt…” Aku menyentuh bibir Nina dengan telunjukku. Mencoba menghentikan kalimatnya. Hatiku benar-benar diambang. Tadinya aku merasa bahagia mendengar Nina dan Yuto bertengkar gara-gara aku. Tapi kemudian aku patah hati seketika saat mendengar sendiri kalau Nina menjadikan Yuto sebagai cinta pertamanya. Aku menepuk pelan puncak kepala Nina, kemudian menarik tubuhnya kedalam pelukanku. Semua member JUMP melihatku tapi aku tak peduli. “Dia akan tahu. Kau akan punya kesempatan. Aku janji.” Ujarku.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet