CHAPTER 9 – THE LOST MEMORY

WHERE MY HEART BELONGS ?

Nina’s POV

Aku menatap tubuh Yuto yang masih penuh dengan selang. Sudah 18 hari dia tertidur dalam kondisi koma. Aku merasa sangat bersalah. Karena ingin menolongkulah Yuto jadi seperti ini. Karena hari itu kami bertengkar untuk pertama kalinya sebagai pasanganlah Yuto menjadi begini menderita. Aku kini terbiasa menangis. Selama 18 hari aku tak berhenti menangis. Setiap melihat Yuto aku menangis. Setiap mengingat Yuto aku menangis. Bahkan aku tak bersemangat melakukan apa-apa. Klinikku kini diambil alih oleh kakak Yuto yang dengan senang hati bersedia menggantikanku.

Aku mengambil cuti tanpa batas. Aku ingin merawat Yuto. Satu-satunya yang kulakukan adalah aku menjadi salah satu tim dokter yang merawatnya. Secara sukarela aku menjaganya siang dan malam. Aku yang mengganti setiap infusnya habis. Aku yang mengganti perban-perban lukanya. Dan bahkan aku yang membantu menggantikan pakaiannya. Aku ingin selalu berada didekat Yuto.

Tik tok tik tok

Aku melirik kearah jam dinding kamar rawat khusus Yuto. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dan aku merasa lapar. Aku baru sadar sejak pagi aku belum makan apa-apa. Aku tersenyum melihat wajah Yuto. Kalau saja dia sadar dan tahu aku belum makan sampai lebih dari 12 jam dia akan memarahiku dan akan otomatis langsung menarikku menuju restoran apapun yang buka, memaksaku makan bahkan mungkin dia menyuapiku seperti yang selalu dilakukannya dulu. Ritme yang menjadikan hidupku sempurna.

Aku beranjak dari kursiku yang tepat berada disebelah kanan Yuto. Aku mengusap dahi Yuto dan meninggalkan sebuah kecupan itu untuk Yuto, berharap saat sadar nanti Yuto menyadarinya. Aku meraih long coat wara hitamku. Selama dua minggu ini, coat inilah yang menemaniku. Hadiah pertama dari Yuto sejak kami menjadi pasangan. Aku meraih beberapa lembar uang dan memasukkan dalam kantong coatku. Tentunya aku tak lupa membawa ponselku.

Aku keluar kamar Yuto pelan-pelan, berhati-hati agar tidak mengganggu Yuto. Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit sampai langkahku berhenti. Aku terpaku melihat seseorang yang duduk tak jauh dariku berdiri. Seseorang itu mengenakan coat tebal warna biru tua dengan tangan melipat didadanya dan tidur dengan pulas. Aku menghampiri figure seseorang itu. Memastikan penglihatanku. Dan memanglah benar dia yang ada disana.

“Inoo-kun?? Inoo-kun??” panggilku sambil sedikit mengguncang-guncangkan tubuhnya. Perlahan dia menggeliat dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka kemudian membelalak kaget saat menyadari aku sudah berdiri didepannya. “Nina-chan!!” serunya. Nyawanya sudah terkumpul rupanya. Dia segera merapihkan pakaiannya dan menghapus bibirnya, mungkin takut-takut ada bekas air liurnya yang tak disadarinya selama tidur tadi.

Aku mengulas senyum, “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku. Dia terlihat bingung lalu menundukkan kepalanya. Tak berani menatapku. Kemudian perlahan kepalanya terangkat dan menemukan sepasang mataku. Tatapannya teduh dan menenangkan. “Aku ingin menemanimu. Namun aku tak berani mengganggu waktumu dengan Yuto.” Ujarnya. Aku terperanjat. Tak mempercayai apa yang aku dengar.

“Aku lapar. Kau mau menemaniku makan?” tanyaku. Aku bingung harus berkata apa. Hanya kalimat itulah yang keluar. Mata Inoo membulat kemudian tersenyum. “Yuk. Aku juga lapar. Kau mau makan apa?” tanyanya. Aku berpikir sejenak memikirkan makanan apa yang sebaiknya aku makan malam ini.

“Aku ingin pizza.” Ujarku akhirnya. Inoo mengangguk. “Baik! Mari kita makan pizza.” Serunya kemudian mengamit lenganku menuju restoran pizza yang buka 24 jam dan tak jauh dari rumah sakit.

 

….

 

Pesanan kami sudah datang. Kami tak banyak memesan. Hanya pizza jenis American Favourite ukuran sedang yang terdiri dari keju Mozzarella, pepperoni, dagung cincang dan juga paprika. Kami memadukannya dengan sebotol cola ukuran sedang untuk masing-masing. Kami makan dalam diam. Aku mengunyah pizza ini pelan-pelan. Perlahan air mataku luruh.

“Nani, Nina-chan? Ada apa?” tanyanya. Aku menggeleng lemah sambil terus memakan pizzaku. Inoo masih memandangku dengan rasa penasaran. Aku tahu itu. Aku tetap mengabaikannya. “Kupikir kau tak akan menangis lagi. Ternyata Yutolah alasanmu menangis belakangan ini. Aku menebak tentunya sekarang kau teringat Yuto.” Ujarnya sambil terus mengunyah makanannya. Aku menoleh menghadapi Inoo yang duduk disebelahku (dia menolak duduk didepanku). Aku mengangguk.

“Pizza rasa ini kesukaan Yuto. Dulu sebelum kami memutuskan berpacaran kami sering makan pizza ketika dia tidak ada pekerjaan atau aku sedang tidak jaga malam diklinik. Tapi sejak berpacaran kesempatan itu menghilang. Kami lebih sering ke café-café romantis yang dulu tak pernah kami kunjungi karena tidak punya pacar. Rasanya sesak mengingat itu. Aku ingin bisa makan pizza dengan Yuto lagi.” Ujarku.

Aku dapat mendengar helaan nafas Inoo. Kemudian tangannya membelai lembut punggungku, “Dia akan baik-baik saja. Kau tenanglah. Dia akan segera sadar.” Ujarnya. Aku mengangguk. Kami melanjutkan makan dalam diam, menyelami alam pikiran masing-masing. Inoo kemudian mengantarku sampai keruang rawat Yuto.

“Jaa… aku sebaiknya pulang. Karena besok aku ada promosi drama terbaruku.” Ujarnya sambil menggaruk kepalanya. Aku baru menyadari rambutnya sudah tidak lagi blonde. Aku mengangguk. “Arigatou, Inoo-kun.” Ujarku. Inoo mengangguk, melambaikan tangannya sekilas kemudian beranjak pergi, tangannya masuk kedalam saku coatnya.

“Anoo.. Inoo-kun.. aku lebih suka kau berambut hitam. Warna hitam membuatmu lebih dewasa dan berkarakter. Kalau berambut blonde kau terlihat… terlihat lebih feminine.” Ujarku. Inoo menoleh padaku lalu mengangguk. “Umm.. aku tahu. Karena itulah aku menggantinya dengan segera.” Ujarnya. Aku tersenyum sambil mengacungkan ibu jariku untuknya. Saat aku hampir berbalik masuk kedalam kamar Yuto, Inoo memanggilku.

“Nina…”

Aku menoleh, “Ya?”

Dia terlihat ragu-ragu. “Aku tahu, aku adalah lelaki brengsek yang bersembunyi dibalik tubuh malaikat. Tapi aku sungguh-sungguh mencintaimu. Sejak awal bertemu denganmu, aku tak bermaksud mempermainkanmu. Tapi disitulah kebrengsekanku, 3 hari yang lalu akhirnya aku berani menghadapi Shida dan memutuskannya. Untunglah tidak ada bayi diperutnya. Kami memutuskan berpisah setelah semua aman.” Ujarnya. Aku sungguh kaget dengan kalimatnya. Aku tak mempercayai ucapannya. Bagaimana mungkin dia bisa seringan itu berkata mengenai perempuan lain? Aku merasa kecewa dan juga marah.

“Aku tak peduli.” Ujarku ketus. Aku menangkap dia tersenyum kecut. “Tapi aku sungguh-sungguh mencintaimu. Tapi aku tahu, baik Yuto maupun dirimu saling mencintai. Jadi aku akan menunggu. Entah sampai kapan.” Tambahnya. Aku diam. Dia melambaikan tangannya sekali lagi, “Jyaa.” Ujarnya lalu benar-benar berlalu.

Aku jatuh terduduk begitu dia pergi. Aku kecewa. Benar-benar kecewa padanya. Namun perlahan hawa hangat menyergapku. Air mataku luruh dan tanpa bisa kuhentikan. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku.

 

….

 

Aku bangun keesokan harinya dengan bunyi berdenging ditelingaku. Aku mengangkat kepalaku yang berat. Ah ya, aku harusnya tidak minum cola. Aku dilarang minum cola saat malam hari. Aku menoleh kearah tubuh Yuto yang masih terbujur. Dan saat itulah aku menyadari, posisi tidur Yuto sudah lebih tegak dari semalam, dan aku baru bisa merasakan tangaku digenggam erat. Aku melirik tanganku dan menemukan tanganku yang bertautan dengan Yuto. Rasa bahagia menyergapku.

“Yuto? Yuto?” panggilku. Yuto membuka matanya pelan, “Kamu berisik sekali pagi ini. Ohayyo.” Ujarnya sambil tersenyum. Mataku membulat lalu memeluknya. “Ohayyo Yuto. Okaeri! Kapan kau sadar?” tanyaku bersemangat. Yuto mengusap rambutku pelan. “Tadi subuh saat aku mendengarmu terisak sambil menggenggam tanganku dalam tidur.” Ujarnya. Mataku membulat. Tunggu! Apa dia mendengarkan igauanku? Apa yang aku mimpikan semalam?

Aku melepaskan pelukanku pada Yuto. “Aku menangis?” tanyaku. Dia mengangguk, “Ya. Keras sekali. Apa kau begitu merindukanku?” ujarnya jahil. Aku mencubit lengannya. “Itaiiii!!!  Kau tak boleh mencubit pasien tahu!” teriaknya. Tapi aku tak mempedulikan aksi protesnya. Aku terus memeluknya. “Aieru. Aierunda. Aku merindukanmu dan tak mau kehilanganmu.” Ujarku. Perasaan bahagia ini benar-benar menyenangkan. Aku tak peduli hidupku tak sesempurna dulu. Tapi bersama Yuto hidupku sangat sempurna.

“Hei hei… tunggu. Kenapa kau tiba-tiba menyatakan cinta seperti itu huh? Sejak kapan hubungan kita sevulgar itu eh?” ujarnya. Aku mematung mendengar kalimat Yuto. Aku melepaskan pelukanku. Aku mencurigai sesuatu yang ganjil terjadi padanya. “Yuto, kau ingat kenapa kau dirawat disini?” tanyaku. Yuto mengangguk. “Tentu saja. Aku ingat, kalau aku terjatuh saat mencoba alat akrobatik untuk konser JUMP minggu depan.” Katanya riang.

 Tidak! Sesuatu yang buruk terjadi. aku segera mengecek bola mata Yuta serta luka kepalanya. Aku menghubungi suster dan dokter kepala yang bersangkutan. Memaksa mereka untuk melakukan CT Scan lengkap untuk Yuto. Karena bagaimanapun dalam ingatan Yuto adalah hari ini adalah seminggu sebelum konser JUMP. Hari dimana kami belum memutuskan berpacaran. Aku mempersiapkan segala yang terburuk. Demi Yuto.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet