CHAPTER 11 - ACCIDENTALLY LOVE

WHERE MY HEART BELONGS ?

Nina’s POV

Dia membukakan pintu mobilnya untukku. Membantuku turun dengan tangan kanannya. Dia tersenyum. Aku tahu dia menangis dalam hatinya. Aku sebenarnya tidak tega padanya. Aku sedikit menyimpan perasaan tersentuh dengan perasaannya untukku ketika dia menyatakan untuk kesekian kalinya tadi dirumah kaca. Tapi bukankah hatiku masih milik Yuto?

“Arigatou, Inoo-kun.” Ujarku. Dia mengangguk. Senyumnya terulas lebar. Palsu. Aku tahu itu palsu. Aku diam menatapnya. Dan aku dapat menangkap wajahnya yang bingung menatapku. Aku ragu-ragu tapi aku ingin melakukannya, sekali saja padanya, meskipun tidak berarti apa-apa lagi, baginya. Bukankah dia yang melepau? Bukankah dia yang menyerah?

Aku bergerak menghadapinya, mengalungkan sepasang lenganku kelehernya. Menyentuh bibirnya dengan bibirku. Mengecupnya singkat. Aku dapat merasakan tubuhnya kaget. Namun tepat saat tangannya hendak bergerak memeluk pinggangku aku melepaskan pelukanku padanya. Aku tahu sekarang akulah yang jahat padanya. Mungkin sekarang aku jadi perempuan brengsek. Tapi aku benar-benar ingin melakukannya.

Harus kuakui selama beberapa menit dia memarahiku dan menyatakan cintanya padaku aku merasa amat sangat bahagia karena dicintai olehnya. Dia mengakui telah melukai gadis lain karena ditolakku. Aneh bukan aku merasakan bahagia karena hal bodoh seperti itu. Tidak pada tempatnya, karena seharusnya hatiku milik Yuto seutuhnya. Tapi selama diperjalanan tadi aku tak bisa berhenti untuk tidak memikirkan kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh Inoo.

Dia menatapku bingung. Dia masih terpaku menatapku. Matanya mencari-cari jawaban atas tindakanku. Aku tidak tersenyum pun menangis, “Aku hanya ingin melakukannya. Selama sepersekian detik tadi aku merasa aku harus melakukannya. Karena.. karena selama beberapa menit tadi aku merasa menjadi paling bahagia karena Inoo-kun mengatakan mencintaiku. Aku tahu ini tidak benar. Bukankah harusnya hatiku ini milik Yuto? Tapi aku tetap ingin melakukannya. Meskipun bagi Inoo-kun ini tidak berarti apa-apa. Hontou gomennasai.” Ujarku.

Dia tersenyum, tangannya bergerak meraih jemariku. “Aku sangat bahagia. Arigatou. Meskipun setelah ini kau kembali pada Yuto. Aku berterima kasih mendapatkan kesempatan untuk membahagiakanmu. Aku akan disini menunggumu.” Ujarnya. Aku mengangguk. “Kalu begitu. Sampai jumpa. Aku akan kembali ke kamar Yuto. Inoo-kun hati-hati.”

Dia tersenyum dan kembali masuk dalam mobilnya. “Anoo… Nina-chan, aku punya permintaan.” Aku menghentikan langkahku dan berbalik menghadapinya. “Nani?” tanyaku.

Dia terlihat ragu-ragu, kemudian berkata “Tolong panggil aku Kei. Aku ingin kau memanggilku Kei.” Ujarnya. Aku kaget dengan permintaannya tapi akhirnya aku mengiyakan permintaannya. “Baiklah, Kei-chan. Hontou arogatou. Itterasai.” Ujarku. Dia mengangguk dan menjalankan mobilnya. Meninggalkan aku yang semakin bingung dengan apa yang aku lakukan. Gomen na Yuto.

 

….

 

Aku menemukan Yuto tengah memandangi keluar jendela kamarnya menggunakan kursi roda. “Yuto…..” panggilku. Dia menoleh padaku. Senyumnya mengembang, “Nina. Okaeri.” Ujarnya. Aku meletakkan coat hitam dan tas tanganku. “Apa yang menarik sore ini?” tanyaku padanya. Dia kembali menatap langit diluar jendela.

“Langitnya berkata kalau kesepian. Pelangi sedang enggan menemani karena hujan sedang pergi.” Ujarnya. Aku mengulas senyum. Yuto selalu seperti itu. Kalimatnya random dan kadang susah dimengerti. Tapi aku mengerti, itu tanda kalau dia merasa kesepian. Aku bergerak memeluknya. Menempelkan pipi kiriku ke pipi kanannya. “Daijoubu Nina?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Rasanya aku merindukan pizza favorite Yuto. Aku juga merindukan berantem dengan Yuto. Rindu bermain hujan dengan Yuto. Rindu ci..” aku tidak jadi melanjutkan kalimatku. Menyadari apa yang hampir aku katakan. Tentunya aku akan mengacaukan memori Yuto kalau mengungkit soal ciuman yang tidak diingatnya.

“Kenapa Nina?” tanyanya. Aku menggeleng sambil melepaskan pelukanku. Aku berpindah tempat dan kini berhongkok didepan Yuto. “Yuto harus segara sembuh. Karena aku merindukan Yuto. Aku berjanji akan menemani Yuto kemana saja yuto mau.” Ujarku. Mata Yuto membulat sempurna. “Hounto? Benarkah? Aku ingin mengajak Nina ke pantai. Tapi bisakah? Kaki dan tanganku masih terluka.” Ujarnya terlihat sedih.

Aku mengangguk, “Aku kan dokternya. Aku akan mengijinkan Yuto untuk berjalan-jalan sejenak kalau Yuto merasa bosan.”

“Yatta! Arigatou na.” ujar Yuto bersemangat kemudian dia mendorong rodanya dan meraih ponselnya. Membuka-buka file yang tak kumengerti. Aku menungguinya dengan sabar. Aku suka berada didekat Yuto.

“Aku ingin kita kesini.” Ujar Yuto sambil menyodorkan sebuah foto yang diambil ketika kami masih berusia 9-10 tahun. Sebuah pantai kecil tempat kami dulu berkemah bersama. Itu kenangan pertama kami berdua tanpa kedua orang tua kami. Kenangan kecil, dan seingatku itu adalah pertama kalinya Yuto menggenggam tanganku. “Umm.. kita bisa kesana. Kalau kaki Yuto sudah baikan yaaa…” ujarku sambil memeluk bahu Yuto sekali lagi.

Aku dapat merasakan anggukan kepala Yuto, “Umm.. kita pergi sama-sama.”

 

….

 

Tiga hari berlalu. Sejak hari itu Inoo tidak berhenti mengunjungi Yuto dan aku. Tiap hari kami bertemu dan selalu makan bersama. Meskipun Inoo sibuk dan banyak pekerjaan, setidaknya dia menyempatkan waktunya selama satu jam penuh untuk menemaniku dan Yuto. Terkadang Inoo membawa makanan dari luar dan mengajak Yuto bersamaku makan di kamar atau kadang Inoo mengajak kami ke kantin rumah sakit. Dia nampak lebih cerah. Begitupun Yuto.

Perlahan kondisi Yuto semakin baik. Dia sangat bersemangat untuk fisiotherapy untuk pemulihan kakinya. Luka-lukanya mulai mongering. Yang paling bahagia tentu aku. Karena hari ini aku mendapatkan izin dari ketua tim dokter Yuto untuk membawa Yuto keluar rumah sakit. Pagi-pagi sekali aku menelepon Inoo, meminta bantuannya untuk mengantarkan kami berdua ke pantai kecil yang ingin dikunjungi Yuto. Dan Inoo mengatakan akan datang kerumah sakit 2 jam lagi.

Aku melirik jam dipergelangan tanganku. Jarum sudah menujukkan pukur 8 pagi. Aku merapihkan pakaian Yuto. Yuto sedang mandi dibantu dengan juru rawat (tentu saja laki-laki). Saat kukabari dia kalau kami akan ke pantai dia begitu bersemangat. Terdengar pintu yang bergeser terbuka. Aku menemukan Yuto sudah dengan balutan pakaian kasual, meskipun masih menggunakan celana seragam rumah sakit yang berwarna biru. Senyumnya mengembang.

Juru rawat membantu Yuto duduk di kursi rodanya. Aku menghampiri Yuto, mengecek temperature tubuhnya serta kondisi mata dan tenggorokannya. Semua nampak normal. “Daijoubu Yuto?” tanyaku. Dia mengangguk. Aku tersenyum, “Baiklah kita berangkat. Inoo-kun sudah menunggu kita.” Ujarku. Yuto mengangguk. Aku membantu mendorong kursi rodanya. Di lobby, Inoo sudah menunggu, dengan sigap dia membantu Yuto masuk kedalam mobilnya.

“Arigatou, Kei.” Ujarku. Inoo nampak menoleh kepadaku, ini pertama kalinya aku memanggilnya ‘Kei’ sejak pertemuan kami 3 hari yang lalu. Dia tersenyum sumringah dan entahlah, hatiku berdegub.

 

….

 

Kami tiba di pantai kecil yang masih tetap bersih dan hawanya enak. Untunglah kami berangkat pagi. Aku membantu Inoo menurunkan Yuto dari mobil dan duduk di kursi rodanya. Aku kemudian mengambil alih kursi roda Yuto. Mendorongnya lebih dekat kearah pantai. Inoo membiarkan kami berdua, dia hanya berdiri menyandar ke mobilnya. Aku berjalan pelan-pelan, merasakan angin-angin yang memainkan kami. Yuto menyentuh tanganku, membuatku sedkikit kaget.

“Kau bahagia Nina?” tanyanya. Aku tersenyum, tentu saja aku bahagia karena bersama Yuto. Aku mengangguk, “Emm! Aku suka tempat ini. Ingat kan dulu kita pernah berkemah disini berdua saja?” ujarku. Yuto mengangguk, “Umm… aku ingat. Aku juga ingat kalau Nina dan aku akhirnya terkena demam setelahnya karena kedinginan. Padahal villa papa tidak jauh dari sini.” Aku terkekeh karenanya.

“Habisnya Yuto jahil sekali mengajakku berenang dimalam hari.” Candaku. Yuto terdiam, senyumnya menghilang. Aku bingung karenanya. “Gomen. Maaf kalau membuat Nina selalu sakit karenaku. Maaf karena terus menerus merepotkan Nina. Kalau saja aku bisa memiliki pacar tentu akan lebih baik. Aku tak akan merepotkan dan mengganggu Nina lagi.”

Demi mendengar kata-katanya lututku rasanya lemas. Aku menarik nafasku dalam, menguatkan diriku. “Memang seperti apa gadis impian Yuto?” tanyaku akhirnya. Yuto menoleh padaku. Wajahnya terlukis sebuah senyuman cerah, senyuman yang aku rindukan, membuatku ingin mengecup bibirnya dan berlari kepelukannya. Tapi aku harus menahan diri. Pelan-pelan aku akan mengembalikan ingatan Yuto.

“Kau tahu, belakangan ini aku bermimpi ada seorang gadis. Figurenya mirip sekali dengan Nina. Tidak tinggi, tidak gemuk, tidak juga kurus, tapi rasanya dia rapuh sekali, membuatku ingin memeluknya. Rambutnya hitam legam sebahu, lurus dan rapih. Dia mengenakan headband bintang warna sapphire bertahtakan beberapa permata dengan warna yang senada. Lalu dia mengenakan dress selutut tanpa lengan warna biru dipadu dengan heels warna sapphire. Cantik sekali. Diperlengkap dengan lesung pipi diujung bibir kanannya. Mirip sekali dengan Nina bukan?” ujarnya.

Aku menahan nafasku. Tentu saja itu aku. Yang didalam mimpinya itu aku, aku yang dia deskripsikan itu pernah mengenakan kostum seperti itu. Rasanya aku ingin mengubur diriku sendiri mendengar kalimat Yuto. Kenapa dia tidak juga menyadari kalau itu semua adalah aku? Apakah bagi Yuto aku sudah tidak berarti selain seorang keluarga?

“Umm… mirip sekali denganku. Apa Yuto yakin itu bukan aku?” tanyaku mengujinya. Dia terkekeh kemudian menggeleng, “Bagaimana mungkin aku menyukai Nina. Nina adalah saudaraku satu-satunya. Selain Nina aku tak punya siapapun lagi. Aku akan kesepian tanpa Nina.” Jawabnya. Aku juga lebih baik mati jika tanpamu Yuto. Aku mengulas senyum. “Semoga Yuto segera menemukan gadis impian Yuto.” Rasanya patah hati mengatakan ini semua pada Yuto.

Aku mendorong kembali kursi roda Yuto. Membawanya menuju mobil, “Yuk, kita harus kembali. Yuto harus beristirahat.” Tapi tangan Yuto menahan rodanya. “Matte. Nina, matte.” Ujarnya. Aku menghentikan langkahku. Menunggu apa yang akan dilakukan oleh Yuto. Perlahan Yuto mulai berlatih berdiri dan berjalan. Dia berjalan kearahku dengan tertatih-tatih. Kemudian dengan sekali langkah dia mencapaiku dan memelukku.

“Aku tahu Nina sedang jatuh cinta. Berbahagialah dengan Kei.” Ujar Yuto tepat saat Inoo menghampiri kami berdua. Sempurna sudah aku patah hati dan jatuh cinta disaat yang sama karena Yuto. Namun anehnya perasaan ini lebih ringan. Kemanakah hatiku?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet