CHAPTER 13 – IT’S ALREADY TWISTED

WHERE MY HEART BELONGS ?

Inoo’s POV

Aku menyerahkan segelas cappuccino hangat pada gadis yang memejamkan matanya didepan ruang rawat Yuto. Gadis itu membuka matanya dan menatapku. Senyumnya merekah, “Arigatou, kei.” Ujarnya sambil bersemangat meraih gelas karton itu. Dia meniupnya pelan baru menyesap cappucinonya. Aku mengulas senyumku, bangga dengan apa yang aku lakukan. Aku masih menemaninya, terutama sejak 2 hari kejadian dipantai yang lalu. Pandangannya nampak kosong kembali, namun setidaknya selama beberapa menit denganku aku bisa mengubahnya dengan senyuman.

“Daijoubu Nina?” tanyaku. Dia menoleh, tersenyum dan kemudian mengangguk, “Umm. Genki desu!” serunya ringan kemudian menyesap cappucinonya kembali. Tapi kemudian kembali terdiam beberapa detik berikutnya. “Bagaimana kondisi Yuto?” tanyaku mencari topic pembicaraan. Nina menoleh, wajahnya berubah sangat sumringah. Dia paling suka membahas tentang Yuto dan Yuto. Aku mempersiapkan hatiku untuk patah hati sekali lagi.

“Yuto akan pulang besok pagi. Semua kondisinya akan membaik. Pihak Jimusho sudah mengingatkannya kalau dia harus beristirahat terkait dengan tour JUMP. Tapi dasar Yuto dia bilang dia sudah bisa backflip lagi. Tapi untungnya Chinen-kun menyelanya, katanya ‘sejak kapan Yuto bisa backflip huh?’ lalu Yuto sadar begitu saja kalau backflip bukan keahliannya lagi. Ditambah dia cidera kaki kemarin. Jadinya dia bilang mengalah untuk tidak backflip.” Ujarnya sambil tertawa. Mau tidak mau aku ikut tertawa.

Lalu sedetik kemudian suasana kembali berubah. Nina kembali terdiam menatap pintu kamar Yuto, seperti ada yang dikhawatirkannya. “Kenapa Nina?” tanyaku. Dia menoleh padaku, air matanya sudah mengumpul dan sedikit lagi dia akan mulai menangis.

 

….

 

Yuto’s POV

“Kenapa Nina?” suara Inoo bertanya begitu jelas. Menghentikan langkahku yang akan menuju kamar mandi. Aku mematung menunggu jawaban Nina yang aku yakin kini sedang duduk disebelah Inoo. Ada beberapa detik kosong tanpa jawaban, namun akhirnya Nina menjawab juga. “Aku akan kehilangan waktu bersama Yuto. Aku tidak bisa lagi merawat Yuto kalau Yuto keluar dari rumah sakit. Ibunya berkata akan menjaga Yuto dan aku bisa kembali bekerja, begitu katanya. Tapi aku tak mau melakukannya. Aku ingin berada disebelah Yuto. Selalu.”

Aku menahan nafasku mendengar jawaban Nina. Tapi aku tak boleh terlalu cepat merasa bahagia. Mungkin saja jawaban Nina adalah murni karena dia ingin menjagaku sebagai seorang saudara. Seperti yang selama ini dia lihat dariku. Tak lebih dari seorang saudara.

“Nina, mungkin ini waktunya tidak tepat, tapi aku ingin mengatakannya sekali lagi. Aku menyukaimu.” Aku mendengar suara Inoo. Tuh kan benar. Lebih baik aku tidak usah mendengarkan mereka lagi. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi.

 

….

 

Nina’s POV

“Nina, mungkin ini waktunya tidak tepat, tapi aku ingin mengatakannya sekali lagi. Aku menyukaimu.” Inoo menghentikan kalimatnya setelah sebelumnya dia meraih kedua tanganku, mencoba menghangatkannya. Aku menatapnya, menunggu kalimatnya diselesaikan. “Karena aku menyukaimu itulah aku tidak mau membutamu terluka karena itu. Tentu aku akan membantumu membujuk bibi agar kamu bisa ikut menjaga Yuto. Agar kamu bisa dekat lagi dengan Yuto.” Ujarnya menyelesaikan kalimatnya.

Aku tak mempercayai kedua telingaku, namun aku menangkap dengan pasti perasaan terluka di matanya. Aku memeluknya dengan tiba-tiba. Aku tidak ingin melukainya lebih jauh lagi. “Jangan terluka karena aku, Kei. Kumohon jangan terluka karenaku seperti ini. Mana mungkin aku melakukannya.” Ujarku dalam pelukannya. Aku dapat merasakan jemarinya membelai rambutku yang tidak terlalu panjang. Belaian lembut. Bahkan aku berani bertaruh aku juga dapat merasakan dia mengecup puncak kepalaku.

Aku melepaskan pelukanku, “Apa yang harus aku lakukan agar Kei-kun tidak terluka karenaku?” tanyaku. Dia terdiam dan berpura-pura berpikir. “Jadilah pacarku.” Ujarnya. Aku terpaku. Dari semua kemungkinan permintaannya aku tak pernah membayangkan yang satu ini. Tapi kemudian dia sudah tergelak. Menjentikkan telunjuknya kedahiku, “Aww.” Seruku pelan. Mengeluh.

“Baka! Biar saja aku terluka begini. Asal kau bahagia itu semua sudah cukup. Jangan lagi bertanya apa yang ingin kau lakukan, mengerti?” ujarnya. Aku mengangguk. “Hounto gomen na, Kei-kun.” Ujarku

 

….

 

Yuto’s POV

Mulai dari dua hari yang lalu aku berada dirumah. Tiap sore Nina datang mengunjungiku bersama Inoo, terkadang juga dia menginap. Mereka sepertinya sudah resmi berpacaran kalau aku melihat perilaku mereka. Aku terluka, itu pasti. Bagaimanapun siapa yang tidak terluka melihat orang yang dicintai bersama orang lain dan mereka nampak serasi dan saling mencintai.

Dulu, aku pernah tidak menyetujui hubungan Nina dan Inoo lebih karena aku tak mau kehilangan Nina. Sesungguhnya aku tidak peduli fakta bahwa Inoo dulunya seorang playboy sejati. Bagaimana tidak, dia bisa berpacaran dengan 10 orang tidak kurang dari 5 tahun lamanya. Tapi setidaknya ada lusinan perempuan yang mengantri untuk menunggu jadi pacarnya. Sebenarnya Inoo adalah pria yang baik, mungkin dengan sedikit usaha dia akan mampu membahagiakan Nina. Hanya saja aku tak bisa begitu saja melepaskan Nina pada Inoo. Aku benar-benar merasa cemburu.

Aku selalu iri pada Inoo. Dia mampu menghapus lukanya hanya dengan mengencani gadis lainnya. Sedangkan aku, sejak dulu aku hanya menyukai satu orang gadis, dan dia adalah Nina. Aku selalu terperangkap dengan jebakan yang aku buat sendiri, aku mengurung perasaanku pada satu orang tanpa mempertimbangkan luka yang diakibatkan semisal aku patah hati. Seperti saat ini. Tapi aku memanglah demikian pengecut. Aku lebih takut kehilangan Nina dan tak pernah menyiapkan hatiku untuk patah hati sebelumnya.

Tapi sejak aku tersadar dari komaku kemarin, aku sudah mempersiapkan diri. Aku memilih ‘menghapus’ semua ingatan tentang perasaanku pada Nina. ‘Melupakan’ apa hubunganku dengan Nina. Membiarkannya perlahan membenciku dan menerima Inoo sebagai kekasihnya. Karenakulah mereka tidak dapat saling mencintai. Karena aku mereka tidak bisa hidup bahagia. Aku yang selama ini egois dengan perasaanku. Aku yang terlalu posesif pada, Nina.

“Yutooooo….” Nina memanggilku. Aku berjalan pelan menghampirinya, dia kemudian berlari menghampiriku. Mungkin dia tidak sabar dengan langkah kakiku yang lambat. Dia tersenyum sambil mengamit lenganku, “Kei-kun membawakan pizza. American favourite kesukaan Yuto.” Ujar Nina sambil membantuku berjalan. Sesungguhnya aku ingin sekali berteriak kalau aku tidak menginginkan pizza itu. Aku ingin sekali sekalian mengatakan kalau aku ingin Inoo segera pergi dari rumahku. Membiarkanku berdua saja dengan Nina.

“Mana pizzanya? Aku lapar.” Ujarku akhirnya. Senyuman Nina membuat relung dadaku menghangat, mengingatkan akan kekuatan senyuman itu. Aku meraih sepotong pizza dan makan dengan lahap. Seberapa besar aku marah tapi pizza ini memanglah enak. “Arigatou, Kei.” Ujarku. Inoo mengangguk sambil mengangkat botol colanya.

“Eh?? Kei-kun tidak membelikanku minum? Kenapa hanya Yuto saja?” tanya Nina. Inoo menepuk singkat kepala Nina, “Baka! Kamu kan tidak boleh minum soda.” Ujarnya sambil meraih kaleng berisi jus jeruk. Bahkan Inoo sudah hafal kebiasaan Nina. Tentunya dia sudah mulai belajar mengenai Nina. Aku tersenyum singkat dan mengembalikan konsentrasiku pada pizza didepanku.

“Makannya pelan-pelan Yuto.” Ujar Nina sambil menghapus bekas saus diujung bibirku. Kalau saja aku berani aku sudah mencium gadis ini. Tapi sayangnya aku pengecut. Kalau aku melakukannya maka aku harus mengaku padanya kalau aku tak pernah melupakannya. Mengakui kalau ‘amnseia’ itu hanyalah permainanku, permainan kecil untuk menarik perhatiannya.

“Ihh, memangnya aku anak kecil.” Seruku sambil mengambil tissue. Nina dan inoo terkekeh menertawakanku. “Kei, jadikan megajariku bermain piano?” tanya Nina pada Inoo. Inoo mengangguk, “Pakai ruang music Yuto saja kan?” tanyanya. Nina menoleh padaku, “Boleh kan Yuto??” tanyanya manja. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan dengan perilaku perempuan satu ini?

“Huh? Boleh saja. Tapi aku mau tidur. Tidak tahan dengan kalian yang lagi kasmaran.” Ujarku kemudian aku beranjak pergi dan masuk kedalam kamarku. Aku kesal sekali, Nina benar-benar sudah melupakanku dengan perasaannya. Aku sudah terganti.

 

….

 

Nina’s POV

Aku menatap punggung Yuto yang mengenakan sweater warna kuning cerah. Bahunya makin berjalan pergi menuju kamarnya sendiri. Meninggalkanku berdua dengan Inoo. Membuatku bingung, dan terluka. Dan kalimat itu, “aku mau tidur. Tidak tahan dengan kalian yang lagi kasmaran” kalimat Yuto terus terngiang diotakku.  Kenapa begitu Yuto? Kenapa kau tak melihat aku begitu menyukaimu? Aku mencintaimu, kemarin, sekarang dan semoga sampai nanti.

“Nina-chan..” suara Inoo mengagetkan lamunanku. Aku menatapnya kemudian tersenyum. “Yuk..” ujarku sambil mengarahkannya menuju keruang music milik Yuto. Tapi Inoo tidak bergerak sama sekali. “Kamu, aku tidak ingin melihatmu sedih seperti itu saat belajar piano.” Ujarnya. Aku terkesiap, tersadar akan sesuatu, “Gomen Kei.  Belajarnya tidak jadi saja ya. Aku.. aku ingin sendiri.” Ujarku. Inoo tersenyum, kemudian mencium keningku, untunglah tidak ada siapa-siapa dirumah Yuto.

“Aku pulang ya. Kamu menginap disini lagi kan?” tanyanya. Aku mengangguk, “Itterasai.” Ujarku, dia mengangguk dan melambai pergi.

 

….

 

Yuto’s POV

Aku melihatnya, ketika Inoo mencium kening Nina. Aku tak mendengar apa yang mereka bicarakan, namun setelah itu Inoo pergi meninggalkan Nina. Aku merasa seperti orang bodoh. Bahkan aku mengintip mereka berdua. Aku benar-benar bodoh.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet