Langkah yang Salah

Hate That I Hurt You (Previously 'Hate That I Love You')
Please log in to read the full chapter

Siang di Seoul. Suara decit sol sepatu beradu dengan lantai terdengar nyaring. Entah sudah berapa lama Joon dan anggota MBLAQ lainnya berada di dalam ruangan yang dikelilingi kaca itu, mengulang langkah-langkah koreo untuk lagu mereka. Tubuh mereka basah dengan peluh, seolah pendingin dalam ruangan itu tak bekerja dengan baik.

Mr. Jung Jihoon tampak bersandar di bingkai pintu mengamati gerakan kelima pemuda itu. Siang itu ia sengaja mampir ke ruang latihan JTune Camp seusai menghadiri pertemuan dengan beberapa petinggi CJ Entertaiment, di mana ia menanamkan sahamnya.

Sesekali decak tak puas keluar dari bibirnya dan kepalanya menggeleng setiap kali ia merasakan cacat dalam gerakan yang dilakukan MBLAQ, tangannya mulai melepaskan satu persatu kancing depan jas armani hitamnya.

”Power!! Kalian harus memberikan power!! Bukan gerakan gontai seperti itu!!” Akhirnya komentar yang sudah ditahannya sedari tadi keluar juga. Ia melangkah mendekati MBLAQ, jasnya sudah tersampir di sofa dan kedua lengan kemeja putihnya sudah separuh tergulung, memperlihatkan lengannya yang kokoh.

Mr. Jung Jihoon tampak menjulang berdiri di hadapan para trainenya. Kedua tangannya bertompang di pinggang. Matanya tajam menyusuri wajah kelima pemuda yang sekarang berbaris rapi di hadapannya tampak tertunduk sambil sekali-kali mengusap peluh di wajah mereka yang tak berhenti menetes. Keringat mengalir deras dari tubuh mereka akibat berlatih selama dua jam penuh.

”Dengan kemampuan tari yang lembek seperti itu, kalian berharap menjadi grup nomor satu di Korea?? Kalian ingin membuatku dan JTune malu?!” Jihoon melontarkan komentar pedas ke telinga lima anak didiknya. ”Berhenti bermain-main!! Ulangi lagi!! Sampai kalian benar-benar menyatu dengan gerakannya!! Dan aku tak mau melihat gerakan yang gontai seperti tadi!!”

”Ne Sangjanim!!” sahut Seungho dkk, membungkuk hormat di hadapan Mr. Jung Jihoon, lalu mulai mengatur posisi, kembali bersiap melatih koreo mereka. Mr. Jung Jihoon menyingkir ke pinggir menyandarkan punggungnya di dinding dengan kedua tangan terlipat di depan dada, matanya terfokus ke gerakan anak-anak didiknya.

Sore baru saja menjelang di Cheongdam-dong. Saat latihan rutin itu selesai. Joon, Mir, G.O, Seungho dan Sanghyun sudah bergeletakan di lantai, tenaga mereka habis. Dada mereka naik turun dengan cepat, rambut dan baju mereka sudah basah sepenuhnya dengan peluh. Mr. Jung Jihoon memandangi tubuh-tubuh yang terkulai itu dengan seringai puas. Ia duduk bersila di dekat mereka sembari memberikan handuk dan minuman isotonik.

”Kerja yang bagus, aku harap kalian juga tampil seperti itu di atas panggung,” puji Jihon menepuk pundak G.O yang tengkurap di sebelahnya. G.O tersenyum lemah mendengar pujian atasannya.

”HUAAAAA!!!!” teriak Mir tiba-tiba, mengagetkan Mr. Jung Jihoon. Ia mengelus dadanya, jantungnya hampir saja loncat dari tempatnya.

”Ya! Maknae!! Perlukah berteriak di saat seperti ini?!” Joon mendorong pantat Mir dengan ujung kakinya, kupingnya bedenging karena Mir berteriak tepat di sampingnya.

”AAAAAAHH!!!” Mir kembali berteriak, tak peduli, ia perlu mengekspresikan rasa lelah yang menyerang setiap sendi ototnya.

”MIIRRR!!!!” teriak Seungho, Joon dan G.O berbarengan, sama-sama melirik kesal ke arah maknae. Sanghyun mulai terkikik, merasa geli melihat ekspresi takjub Mr. Jung Jihoon dan tingkah konyol sang maknae. Tak urung Jihoon pun mulai terkekeh, ia melemparkan handuk ke muka Mir yang berbaring tak jauh dari G.O.

Mr. Jung Jihoon lalu melirik ke arah Joon yang sedang melepaskan kaosnya. ”Joon, kau tak menjenguk Jihye?” tanyanya.

Joon menoleh memandangi mentor serta atasannya dengan tatapan bingung, ”Memangnya Jihye kenapa??”

Mr. Jung Jihoon menghampiri Joon, lalu menjitak kepalanya. ”Dia sakit, kau ini benar-benar!” ujarnya sembari menggeleng heran. Joon sedikit meringis mengelus kepalanya.

”Dasar payah, pacar sakit kau tak tahu,” Seungho melirik Joon, menggelengkan kepalanya. Joon hanya bisa tersenyum hambar, bagaimana ia bisa tahu kalau sudah tiga hari ini Jihye tak membalas sms dan mengangkat telponnya. Ia mendesah panjang.

”Jihye Nuna, AIERU!!!!” Mir tiba-tiba kembali berteriak. G.O melirik kesal ke arah Mir, ia membekap mulut Mir dengan kaosnya, telinga dan jantungnya sudah tak tahan dikagetkan dengan teriakan Mir. Seungho dan Joon langsung mengeluarkan nafas lega, menyetujui tindakan G.O. Sanghyun terbaring memegangi perutnya menahan geli.

”Joon sebaiknya kau menjenguknya,” ujar Mr. Jung Jihoon dari seberang ruangan sembari mengenakan jasnya. ”Dan kalian semua, jangan sampai melewatkan latihan!” pesannya.

Kelima personil MBLAQ berdiri memberi salam kepada Mr. Jung Jihoon yang beranjak keluar dari ruangan itu untuk menghadiri pertemuan lainnya. Joon mengelap keringatnya, alisnya berkerut. Ada apa dengan Jihye? Kenapa ia tak mengabariku?

*

Petang baru saja datang di Seoul. Di KVS TV, Haerin bersandar di dinding lift yang membawanya turun dari lantai tujuh gedung itu. Capek, itu yang ia rasakan setelah mondar-mandir ke beberapa tempat, kalau saja ia tak ingat sudah berjanji untuk menjenguk Jihye, rasanya ia ingin segera pulang, berbaring di dalam selimutnya yang nyaman. Ahh, memikirkannya saja sudah membuat dirinya mengantuk.

Tangan kanannya memeluk erat map-map yang tak sempat ia masukan ke dalam tasnya setelah menghadiri rapat dengan beberapa staff devisi produksi KVS di kafetaria yang terletak di lantai teratas gedung itu. Setidaknya ia bisa bernafas lega karena rapat tersebut berlangsung dengan lancar, satu lagi kerjasama yang menguntungkan ia peroleh hari itu.

Haerin merasakan pegal di lehernya, kalau tak ingat tangan kirinya masih dalam proses penyembuhan, ingin rasanya ia mengurut lehernya yang terasa pegal dengan tangannya itu. Ia memandangi tangan kirinya yang masih terbalut perban, benar-benar menghambat, keluhnya. Perbannya baru akan dibuka hari sabtu ini. Sampai hari itu tiba ia harus bersabar untuk tak menggunakan tangan kirinya untuk bekerja.

Perhatiannya teralih saat lift yang ia tumpangi itu berhenti di lantai lima. Haerin mendongakkan kepalanya melihat orang-orang yang berdiri di luar lift saat pintu besi itu terbuka. Seorang wanita paruh baya, dua orang karyawan KVS, dan seorang pemuda dengan jaket hijau tua dan binnie putih. Ia tertegun memandangi pria dengan binnie putih itu, ini tak mungkin terjadi kan?

Rombongan kecil itu masuk ke dalam lift dan pemuda dengan jaket hijau tua dan binnie putih itu sekarang bersandar tepat di sebelahnya. Tubuh Haerin langsung terasa kaku dan nafasnya mulai tercekat, hal-hal yang sering terjadi bila pria itu berada di sekitarnya. Tuhan apakah kau sedang benar-benar mengujiku? rintihnya.

Seunghyun tak dapat menutupi rasa senang yang timbul saat matanya mendapati Haerin di dalam lift itu. Berbalut cardigan wol merah marun, jeans ketat bewarna biru pucat, dengan syal merah melingkar di lehernya. Baru tadi ia berpikir untuk mencarinya, tapi tampaknya dewi fortuna sedang bersamanya, tanpa perlu susah payah ia langsung dipertemukan dengan Haerin hari itu.

”Urinmanhee,” sapanya berbisik di dekat telinga Haerin. Haerin diam, memalingkan wajahnya ke sisi lain, mendesah pelan. Tangannya semakin erat memeluk map-map di depan dadanya.

Seunghyun melirik ke arah tangan Haerin yang di perban. ”Tanganmu, masih sakit?” tanyanya dengan suara pelan, sengaja tak ingin menarik perhatian orang-orang yang juga berada di dalam lift itu. Haerin menggigit bibir bawahnya, tak menjawab.

Seunghyun memejamkan matanya, tersenyum sinis. Selalu begini, aksi diam dan acuh. Ia melirik wajah Haerin yang menolak untuk melihatnya, lalu ke arah map-map yang dipeluk Haerin di depan dadanya. Dari sudut matanya, ia memperhatikan telunjuk Haerin yang memainkan ujung map yang ia peluk, wajah Haerin masih menoleh ke sisi lain, tampak jelas mengacuhkannya.

Lift itu akhirnya berhenti di lantai satu, lantai yang Haerin tuju. Ia sudah siap untuk melangkah keluar seperti para penumpang lainnya, meninggalkan Seunghyun. Menghindar, itu satu-satunya yang ada dipikirannya sejak ia menyadari keberadaan Seunghyun. Tapi ia harus mengurungkan niatnya saat ia merasakan tangan Seunghyun sudah mencengkram lengan kanan atasnya yang terbungkus cardigan.

Haerin melirik ke lengannya, ”A..apa yang kau lakukan?” tanyanya setengah berbisik memandangi Seunghyun yang menatap lurus ke depan. Seunghyun diam tak menjawab, tangannya memegangi lengan Haerin dengan tenaga cukup.

”Seunghyun-ssi, lepaskan?” desis Haerin menggoyangkan lengannya, ia mendorong lengan Seunghyun dengan lengan kirinya. Sekarang ia menyesali kenapa tadi tak segera memasukan map-mapnya ke dalam tas. Dengan tangan kanan memeluk map dan tangan kiri yang masih cidera, jelas membuatnya tak memiliki kekuatan yang cukup untuk melepaskan diri dari tangan Seunghyun. Pintu lift itu akhirnya kembali menutup, hanya menyisakan ia dan Seunghyun di dalamnya.

Haerin menghela nafas panjang, memandangi wajah Seunghyun yang menyeringai kecil tampak puas. Aku membencinya, benar-benar membencinya, batinnya. Lift itu mengantarkan mereka ke lantai basement di mana mobil Seunghyun diparkir.

”Ayo,” Seunghyun menarik lengan Haerin pelan, mengajaknya keluar dari dalam lift. Haerin mengikuti Seunghyun dengan enggan, ia sengaja memperlambat langkahnya. Matanya memperhatikan punggung lebar di depannya dengan tatapan kesal. Apa sih maunya dia? ia mengeluh dalam hati.

Seunghyun menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Haerin, geram. Ia sedikit menunduk menatap wajah Haerin, menghela nafas panjang. ”Haerin kumohon,” ujarnya berusaha berbicara dengan nada lembut, walau rasa kesal mulai menyeruak. Sabar, sabar, kau harus sabar Seunghyun, tak boleh ada kesalahan seperti kemarin lagi, ia berusaha mengingatkan dirinya.

Haerin tampak mematung, menghindari tatapan Seunghyun. Ia tak pernah menyetujui ajakan Seunghyun, jadi kenapa ia harus mengikutinya? ”Kau tak bisa memaksaku mengikutimu!” protesnya, membalas tatapan Seunghyun. Mata Seunghyun yang bewarna gelap membuatnya terpaku untuk beberapa sesaat, sebelum akhirnya buru-buru kembali mengalihkan pandangannya ke ujung rajutan syal bewarna merah miliknya.

”Ya Tuhan Haerin, bisakah kau tak bersikap keras kepala?! Kita tak mungkin berbicara di sini, terlalu banyak orang,” desis Seunghyun sedikit frustasi dengan sikap Haerin bersikeras untuk tak mengikutinya.

”Bukankah sudah pernah kukatakan dengan jelas, tak ada yang perlu kita bicarakan!” ujar Haerin, ia merasakan suaranya sedikit begetar karena rasa kesal. Ia ingin melawan, tapi tenaganya tak cukup kuat. Aku tak mungkin berkelahi dengannya, bisa-bisa kali ini kakiku yang cidera. Ia sedikit meringis membayangkan kemungkinan yang ada. Dari segi fisik jelas-jelas ia bukan lawan Seunghyun yang bertubuh jangkung dan besar, sekali lihat saja orang-orang bisa menilai kalau dirinya bukan lawan Seunghyun.

Seunghyun menghela nafas panjang, berusaha mengontrol amarahnya akibat sikap keras kepala Haerin. Kalau saja ia tak memikirkan keberadaan mereka di salah satu stasiun TV terkemuka di negara Korea Selatan itu mungkin ia sudah menggotong tubuh gadis yang ada di hadapannya dan memaksanya masuk ke dalam SUVnya. Tapi ia tak mungkin berbuat begitu, itu sama saja ia menyuguhkankan hidangan lezat ke hadapan para pemburu berita gosip. Dan ia sedang berada di salah satu sarang mereka.

Untuk beberapa saat mereka berdua hanya berdiri diam di depan pintu menuju lantai parkir. Entah kenapa petang itu koridor tempat Seunghyun dan Haerin berdiri sepi, tiada orang yang berlalu lalang. Seunghyun mengamati Haerin, sementara Haerin membuang muka ke arah lain, menghindari tatapan Seunghyun. Tuhan, kumohon kasihanilah hambamu ini, rintih Haerin dalam hati.

”Ohh Hyung, kau juga sedang di sini?!” Sebuah suara serak tiba-tiba menyapa Seunghyun, memecahkan konsentrasinya. Seunghyun melirik melalui kepala Haerin. Ia mendapati sosok Daesung yang berbalut jaket abu-abu dan celana jeans hitam sedang mendekat ke arahnya dan Haerin, tersenyum lebarnya. Bagus, penganggu mulai datang, keluh Seunghyun.

”Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Seunghyun, kurang senang.

”Aku baru saja mengunjungi temanku. Hyung sedang apa di sini? Ini siapa?” Daesung menunjuk ke arah Haerin yang menunduk, masih memeluk map-mapnya. Beberapa helai rambutnya yang panjang jatuh menutupi wajahnya.

Haerin mengangkat kepalanya perlahan, “Anyeong Dae,” sapanya dengan senyum lemah. Mata Dae yang sipit membulat, mulutnya terbuka membentuk huruf ‘O’ dan telunjuknya bergerak dari Haerin lalu Seunghyun kembali ke Haerin.

“A..a..anyeong Haerin Nuna,” ucap Dae terbata, masih belum lepas dari rasa kagetnya. Ia melirik sekilas ke arah Seunghyun, lalu tangan Seunghyun yang berada di lengan Haerin. Hyung benar-benar nekat. Ia menggelengkan kepalanya pelan.

Seunghyun menghela nafas panjang, melirik ke arah Dae yang menatap kasihan ke arah Haerin. Ia yakin rentetan protes dari Youngbae dkk akan menyambutnya sekembalinya ia ke gedung apartemen mereka nanti.

“Hyung, tidakkah sebaiknya Haerin Nuna dibiarkan pergi?” usul Dae terbata.

”Tidak sekarang Dae,” jawab Seunghyun malas.

”Tapi…Nuna tampak tak sehat Hyung,” ujar Dae pelan melirik ke arah Seunghyun. Seunghyun melirik sekilas wajah Dae lalu wajah Haerin. Walaupun enggan mengakuinya tapi Dae benar, Haerin tampak sedikit pucat, tapi ia tetap tak mau melepaskan Haerin.

”Aku bermaksud mengantarnya pulang, tapi sayangnya nunamu ini bersikeras untuk tidak kuantar.” Seunghyun melirik sebal ke arah Haerin. Kenapa begitu sulit untuk membuatnya menurut, geramnya.

”Dae…bisakah kau katakan pada hyungmu, bahwa aku bisa pulang sendiri,” kata Haerin kepada Dae lemah. Ia benar-benar mulai merasa lelah. Lengan kirinya rasanya sudah tak kuat lagi menompang map-map itu, sementara lengan kanannya kebas akibat genggaman Seunghyun. Tuhan, kumohon bantu aku lepas darinya, pintanya sembari memejamkan matanya.

Dae menelan ludah mendengar permintaan Haerin. Ia melirik ke arah Seunghyun. Rahang Seungyun tampak mengeras mendengar kata-kata Haerin. Kenapa saat aku bersamanya, aku merasa sepertinya aku benar-benar orang yang sangat jahat.

”Dae, bisakah kau bilang kepada Haerin agar jangan keras kepala?!” Seunghyun melirik tajam ke arah Dae, membuat Dae semakin salah tingkah. Ia mulai menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu tertawa janggal. Kenapa aku jadi terjebak dalam situasi seperti ini?? ringis Dae.

”Seunghyun-ssi kumohon,” Haerin akhirnya menoleh ke Seunghyun, ”Aku harus pergi, aku ingin pulang,” pintanya dengan suara lemah. Ia bisa merasakan lingkaran tangannya di map-map yang ia peluk mulai melemah, entah berapa lama lagi ia bisa menyangga map-map itu.

Seunghyun menatap Haerin sesaat lalu ke map-map di depan dada Haerin. Seolah membaca pikiran Haerin, ia melepaskan cengkramannya dari lengan Haerin. Refleks Haerin menghela nafas lega, begitu juga Dae yang memperhatikan mereka berdua.

Tiba-tiba Seunghyun mengulurkan kedua tanganya mengambil alih map-map yang Haerin peluk, menentengnya di sisi tubuhnya dengan satu tangannya. Membuat Haerin menatap marah ke arahnya. Sementara Dae terbengong. Helaan nafas lega dari mulut Haerin kini berganti kembali dengan rasa kesal.

”Kau tampak kesusahaan membawanya,” komentar Seunghyun pendek.

”Seunghyun-ssi!” Haerin rasanya sudah ingin menangis, ”aku sudah benar-benar lelah, yang aku mau hanya pulang, apakah begitu sulit untuk dimengerti?”

”Kau bisa pulang,” ujar Seunghyun menatap Haerin lurus, ”tapi denganku, aku yang akan mengantarmu, apakah sangat sulit bagimu untuk menerima bantuanku?”

”Aku tak memerlukannya, aku bisa naik taksi!” balas Haerin frustasi, seharusnya ia sudah tahu sifat keras kepala Seunghyun. Tak boleh, aku tak boleh menyerah, manusia ini patut dihindari. Ia mengingatkan dirinya.

”Kau…” Seunghyun kehabisan kata-kata, ia menatap Haerin lalu mendengus kesal. Kenapa gadis ini menjadi begitu keras kepala seperti ini? Lagi-lagi Seunghyun dan Haerin kembali terdiam, sama-sama bersikeras dengan keputusan masing-masing.

Dae meringis melihat ketegangan di hadapannya, tak mengerti harus berbuat apa. Ia ingin membantu Haerin, tapi kalau ia melakukannya itu sama saja ia menyulut amarah Seunghyun. Aku mesti bagaimana? Matanya bergerak memperhatikan keadaan sekeliling, sebuah mobil Jeep bewarna merah terang tampak memasuki pelataran parkir itu. Bagus ada yang datang, kondisi selalu saja bisa menjadi lebih rumit ternyata, keluhnya.

”Mmm…Hyung,” Dae menarik-narik lengan jaket Seunghyun, pelan.

”Wae?!” ujar Seunghyun ketus, melirik Dae kesal.

”Sepertinya ada yang datang,” Dae menunjuk ke arah pelataran parkir di belakang Seunghyun. ”Apakah tak sebaiknya kita menyingkir dari sini, sebelum ada yang mulai curiga?” usul Dae dengan suara pelan. Ia benar-benar khawatir.

Seunghyun menarik pergelangan tangan kanan Haerin, bermaksud mengajaknya menyingkir seperti kata Dae, tapi Haerin bergeming, tak mau beranjak dari posisinya. Seunghyun benar-benar gemas dibuatnya. Ia mulai merasa ide menggotong Haerin ke mobil merupakan ide terbaik.

”Haerin ayolah, kumohon.” Seunghyun menatap lekat gadis dengan rambut hitam panjang itu.

”Shiro,” ujar Haerin singkat. Mata Seunghyun menyipit karena kesal.

”Haerin?!” sebuah suara memanggil Haerin menghentikan mulut Seunghyun dari mengucapkan kata-kata balasan. Haerin dan Dae melirik ke belakang tubuh Seunghyun ke arah pintu yang menghubungkan koridor itu dengan pelataran parkir. Seunghyun pun mau tak mau menoleh, ia ingin tahu siapa lagi penganggu yang datang.

Seorang pria dengan tubuh atletis mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans biru laut dengan binnie berwarna abu-abu melindungi rabutnya tampak menghampiri kerumunan kecil Seunghyun, Dae dan Haerin.

”Ahhh oppa,” nada riang dari suara Haerin menarik Seunghyun untuk menoleh kembali ke arah Haerin. Ia mendapati ekspresi lega sekaligus bersyukur tergambar di wajah Haerin. Entah mengapa ia tak menyukai ekspresi Haerin itu. Ia bisa merasakan tangannya mengenggam lebih erat map-map Haerin, seolah menyalurkan rasa kesalnya.

”Aku kira aku sudah terlambat,” ujar Jay sembari melangkah mendekat. Matanya melirik ke arah tangan Seunghyun yang berada di pergelangan Haerin, heran. Matanya bergerak dari Seunghyun ke Dae lalu Haerin. Ia bisa merasakan ada aura tegang di antara mereka.

Seunghyun diam tak menanggapi, tangannya masih mengenggam lengan Haerin erat. Pria ini lagi?! Sebenarnya ada hubungan apa dia dengan Haerin? Rahang Seunghyun mengeras menahan marah.

”Ahhh, anyeonghaseyo, pangabsumnida,” sapa Dae tiba-tiba, perhatian Jay sejenak beralih ke Daesung yang menghampirinya. ”Joneun, Kang Daesung imnida,” Dae tersenyum lebar, mengulurkan tangannya memberikan salam.

Jay menyambut tangan Dae, ”Jay Park imnida,” ujarnya membalas salam Dae.

Haerin berusaha menarik tangannya dari genggaman Seunghyun selagi Jay sibuk dengan Dae, tapi sia-sia, Seunghyun tak mau melepaskan tangannya. Ia hanya bisa menatap kesal ke arah Seunghyun.

Jay sekarang menghampiri mereka berdua, matanya kembali melirik ke arah tangan Seunghyun, merasa sedikit terganggu dengan apa yang ia lihat. ”Aku kira aku terlambat menyusulmu?” ujarnya pada Haerin. ”Sedari tadi aku menelpon, tapi tak ada jawaban.”

”Ohhh, hp sengaja ku getarkan tadi,” jawab Haerin merasa tak enak. Bagaimana ia bisa mengangkat hpnya kalau dirinya tadi sedang sibuk meladeni Seunghyun.

”Kalian, sedang apa?” tanya Jay, sedikit curiga. Ia menatap Seunghyun dan Haerin bergantian. Seunghyun diam tak menanggapi, masih mengenggam pegelangan tangan Haerin dengan sikap posesif.

”Ohh, oppa kau ingat Seunghyun

Please log in to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
wha_04 #1
Nice, don't give up
FatButPretty #2
Chapter 5: awesome!!! update soon !!
Banyakin part haerin sama senghyun nya dong ^^