Sembilan

The Dark Whisper

Changmin menyambut kedatangan Donghae dan kedua sepupunya di depan pintu rumah. Donghae memeluk Changmin sekilas, pemuda kekanakkan itu menyempatkan diri mengelus kepala Changmin lalu beranjak masuk ke dalam. Diikuti Heechul dan Kibum yang melakukan hal sama pada Changmin. Ketiganya nampak murung dan terpukul, namun Changmin melihat ada tatapan lain dari Donghae, tatapan penuh tekad, untuk menyelamatkan adiknya. Dan itu membuat Changmin sedikit bernafas lega, Donghae memang selalu paling bisa diandalkan.

                “Terima kasih ahjumma, maaf adikku merepotkan kalian tiga hari ini.” Changmin menangkap sosok ibunya baru saja melepas pelukan pada Donghae ketika ia masuk ke dalam ruang keluarga.

                “Jangan sungkan begitu, Hae-ah. Adikmu sudah seperti bungsu di sini. Ayo duduklah, Chullie, Bummie. Biar ahjumma bawakan teh panas ya?”

                “Aku ingin menemui Kyuhyun. Bolehkah?”

                “Dia ada di kamar, Hae.” Yunho menepuk bahu Donghae sekilas sambil menunjuk pintu sebuah kamar. Donghae mengangguk, pemuda itu berjalan perlahan ke arah yang Yunho tunjuk. Heechul dan Kibum memilih untuk duduk di sofa, membiarkan Donghae bicara berdua dulu dengan adiknya.

                Donghae menghela nafas perlahan lalu membuka pintu kamar. Ditutupnya perlahan pintu di belakangnya lalu ia memusatkan pandangan pada sosok yang duduk terdiam di depan jendela. Donghae tersenyum sedih, keadaan Kyuhyun sama persis seperti yang Changmin jabarkan melalui telepon tadi. Donghae memilih duduk di tepi ranjang, masih berdiam diri, mencoba memberi kesempatan Kyuhyun membuka diri padanya lebih dahulu. Walau sebenarnya dalam hati ia sudah ingin menerjang adiknya, memeluk Kyuhyun, memaksanya untuk bercerita padanya. Tapi Donghae sadar bukan begitu cara untuk mendekati adiknya.

                “....Hae hyung.” Terasa amat lama mereka tetap dalam posisi saling terdiam ketika akhirnya sebuah suara kecil menerpa gendang telinga Donghae. Kyuhyun memutar duduknya perlahan, hingga mereka kini duduk saling berhadapan. Kyuhyun berhasil menyunggingkan senyuman kecil, “Kau baik-baik saja?”

                Donghae tertegun. Seharusnya ia yang bertanya begitu. Ingin rasanya ia meneriakkan tidak, ingin rasanya ia mengeluhkan semuanya, ingin rasanya ia memarahi sosok di hadapannya yang sudah jelas jauh dari kata baik tapi masih bisa menanyakan kabar orang lain.

                “Aku baik-ba....”

                “Tidak, kau tidak baik. Kau tidak baik-baik saja.” Donghae memotong ucapan Kyuhyun, “Aku juga tidak baik. Semua juga. Sudah tidak ada yang baik-baik saja akhir-akhir ini.”

                “Hyung....”

                “Bolehkah hyung bicara dulu?” Donghae tersenyum ketika Kyuhyun langsung menutup mulutnya dan mengangguk, “Aku sudah lelah, dengan semua ini. Rasanya begitu menyesakkan. Kau tahu apa yang paling tidak tertahankan? Penyesalan Kalau saja kalau saja semua kalau saja berputar terus menerus di benakku. Kau marah pada appa? Aku juga. Kau marah pada Teuki hyung? Aku juga. Kau marah padaku? Aku juga benci diriku sendiri saat ini. Kau marah juga pada Rae? Aku juga, marah karena dia tidak pernah membagi segalanya denganku, padahal aku kakaknya. Kau marah pada dirimu sendiri? Aku juga marah padamu. Tidak ada yang terasa benar saat ini, semua terasa salah. Kau pernah tidak terpikir untuk menyusul Rae? Aku begitu sering memikirkan kemungkinan itu setiap malam sejak ia tiada, bahkan saat ini pun aku berpikir akan lebih menyenangkan untuk mengikuti jejaknya daripada terperangkap di saat ini dan menanggung semua beban ini.”

                “Hyung! Kau...”

                “Kalau kau saja pernah memikirkannya, kenapa aku tidak? Kalau kau saja bisa  mempertimbangkan hal itu, kenapa aku tidak boleh?”

                “Hyung!”

                “Kenapa aku tidak boleh?”

                “Karena... karena...” Donghae tersenyum lebih lebar melihat wajah Kyuhyun bersemu merah, tandanya perkataannya tepat sasaran, “Karena itu akan membuatku makin hancur? Makin terluka? itu... artinya hyung semakin menyakiti aku? Itu artinya hyung menambah lukaku lagi?”

                “Tepat itulah yang kurasakan juga padamu, Kyuhyunie.” Donghae berkata lembut. Ia memberanikan diri menghampiri Kyuhyun dan mengelus kepala adiknya. Sebuah pemahaman merasuk ke pikiran Kyuhyun. Dia mengingat tiga hari ini bagaimana ia bersikap, bagaimana pemikiran-pemikiran tidak logis mulai merasuki benaknya dan membuat dirinya mempertimbangkan segala kemungkinan yang di luar logika, betapa ia begitu egois. Hanya mencoba memikirkan untuk kenyamanan diri sendiri. Kakaknya benar, bukan hanya dia seorang yang menderita, Donghae dan Leeteuk bahkan sang appa juga pasti menderita. Dan kenyataan itu membuat Kyuhyun malu.

                “Semua akan baik-baik saja nantinya kan?” Sebuah tuntutan, Donghae sadar itu. Kyuhyun menuntut sebuah kepastian. “Aku... aku tidak baik-baik saja, hyungie. Berat sekali di sini.” Kyuhyun menunjuk dadanya sendiri. Ingin rasanya Donghae berteriak gembira, akhirnya kunci itu terbuka, Kyuhyun yang mau berterus terang mengenai kondisinya adalah sebuah kemajuan besar.

                “Kita akan mencoba. Bersama. Tidak ada satupun orang yang bisa sembuh dalam sehari, semua butuh proses. Hyung juga sama sepertimu. Sakit sekali di sini. Tapi, kita akan buktikan, pada malaikat pelindung kita, bahwa kita adalah kakak-kakaknya yang kuat, kita akan jadi kakak yang bisa ia banggakan.” Donghae menuntun Kyuhyun berdiri, memaksa adiknya itu membaringkan diri ke ranjang, “Nah, sudah berapa lama kau tidak tidur dengan benar? Tidurlah, Kyu. Tubuhmu membutuhkannya.”

                Donghae ikut membaringkan diri di sebelah Kyuhyun, setengah memeluk tubuh jangkung adiknya. Donghae sedikit terkejut, adiknya sudah tumbuh sebesar ini. Kapan terakhir dirinya tidur bersama adiknya di satu ranjang seperti ini? Rasanya dulu saat ia di sekolah dasar. Begitu banyak tumbuh kembang Kyuhyun yang ia lewatkan karena ia sibuk dengan pertumbuhannya sendiri. Dan Donghae menyesalinya. Mulai saat ini pemuda itu bertekad untuk lebih memperhatikan Kyuhyun.

                “Hyung, aku tidak ingin pulang ke sana.” Kyuhyun bergumam sambil tetap memejamkan matanya. Padahal ia sulit sekali tertidur kemarin-kemarin. Namun kedatangan kakaknya, janji kakaknya untuk menanggung beban ini bersama, harum parfum kakaknya yang khas juga pelukan hangat sang kakak mampu membuatnya sangat mengantuk. Tapi sesuatu yang mendesak keluar dari dalam dirinya membuat kantuknya tertunda.  “Aku belum siap.”

                “Mmhm. Tapi mau sampai kapan kau merepotkan di sini, Kyu. Pulanglah. Kami membutuhkanmu. Lagipula ada mama dan papa juga di rumah. Mereka rindu padamu.”

                “Mama? Papa? Kalau begitu Heechul hyung dan Kibum hyung...”

                “Ne, mereka ada di luar sekarang. Mereka menjemputmu pulang. Banyak yang menyayangimu, Kyu.” Donghae gemas, walau berbicara mata adiknya tetap terpejam. Donghae mengira Kyuhyun merasa sangat mengantuk hingga tidak mampu lagi membuka matanya. Tapi kemudian Kyuhyun memiringkan badannya, masuk ke dalam pelukan Donghae. Pemuda itu menenggelamkan wajahnya di dada bidang kakaknya.

                “Sekali ini saja, Hyung. Sekali ini saja. Aku janji akan lebih kuat ke depannya.” Donghae diam saja, bahkan ketika merasakan kaosnya basah, ia tetap diam. Tangannya tidak henti mengelus punggung adiknya, memeluk lebih erat menegaskan keberadaanya. Menegaskan bahwa ia akan selalu ada di samping adiknya. Entah berapa lama Kyuhyun menangis dan Donghae mempertahankan posisinya hingga kedua kakak beradik itu terlelap.

 

* * *

 

FLASHBACK

                “Kau mau ke mana?” Nyonya Kim berdiri begitu melihat putrinya berjalan tergesa keluar dari kamarnya. Wanita itu buru-buru menghampiri putrinya, memegang tangannya walau sang putri berusaha berontak.

                “Lepaskan, eomma.”

                “Kim Hana! kemarilah!” Suara menggelegar Tuan Kim terdengar, membuat tubuh nyonya Kim membeku. Ia memohon dengan pandangan matanya, agar putrinya menuruti perintah sang ayah. Dan lagi-lagi Hana mengalah. Ia selalu tidak bisa mengabaikan permohonan ibunya. Dengan berat hati, Hana berjalan perlahan ke ruang keluarga, mendudukkan diri di hadapan sang ayah, “Sore nanti Kangin akan datang kemari. Dan saat ia datang, appa harap kau ada di sini, menemuinya.”

                “Appa, sudah kubilang berapa puluh kali, aku menentang keputusan ini! Aku tidak mau menikahi orang yang tidak jelas asalnya. Dan aku tidak mengenalnya.”

                “Ini semua demi kebaikanmu. Menurutlah! Kami tahu yang terbaik untukmu.” Suara lembut nyonya Kim terdengar, menengahi amarah yang hampir keluar lagi dari tuan Kim. Percakapan ini sudah sangat sering terjadi hingga Hana merasa muak. Butuh berapa kali penjelasan lagi hingga orangtuanya mau mengerti?

                “Tapi, eomma, aku sudah punya...”

                “Cih, apa yang bisa kau banggakan dari Choi itu. Pacarmu yang bahkan tidak bisa mempertahankan kekayaannya sendiri dari tikus-tikus pemakan harta saudara-saudaranya itu! Lupakan dia! Kau tidak akan ada masa depan bersamanya! Kau tidak akan bahagia hidup bersamanya, semua saudaranya akan menganggapmu musuh dan mereka tidak akan segan-segan berusaha menyingkirkanmu.”

                “Tapi aku mencintainya, appa.”

                “Cinta? Jangan terlalu munafik, Hana-ya. Menikahi Kangin adalah sebuah kehormatan untukmu. Kau akan menjadi nyonya besar keluarga Cho, dan semua wanita akan iri melihatmu. Seiring berjalannya waktu kau akan berterimakasih pada kami karena menjodohkanmu dengan orang yang tepat. Martabatmu akan terangkat jauh.”

                “Martabatku?” Hana terkekeh, “Martabatku atau martabatmu, appa? Jangan megnira aku bodoh, kau menjodohkanku dengan Cho itu agar perusahaan kita selamat kan? Agar kita tidak jatuh miskin? Martabat? Kau bicara martabat padaku seolah-olah kita memang memilikinya sebelumnya.”

                PLAK!! Pandangan Hana menggelap sesaat setelah Tuan Kim menamparnya. Pria itu berusaha keras menormalkan emosi dan nafasnya yang memburu. Mengesampingkan ekspresi terkejut luar biasa dari nyonya Kim.

                “Dasar anak kurnag ajar! Dasar anak tidak tahu diuntung!”

                “Untung ya. memang dari dulu hidupmu hanya selalu tentang untung dan rugi kan appa? Lalu berapa, berapa kau akan membagi komisi untukku? Kalau dengan menikahi Cho itu akan menguntungkanmu, maka dengan pola pikir yang sama, apa keuntungan untukku? Setidaknya kau harus membagi persenan untukku kan? Persenan yang akan sangat mahal karena kau telah menjual putri kandungmu sendiri!!” Dengan itu Hana berlari keluar rumah, tidak menghiraukan teriakan ayahnya yang memintanya kembali. Ataupun suara ibunya yang memanggil namanya. Ia sudah sangat muak di sana.

                Sesampainya di ujung jalan, Hana memelankan larinya. Mengelus pipinya yang masih terasa panas namun anehnya tidak terasa sakit, malah lebih sakit hatinya. Hana mengusap kasar sebutir air mata yang lolos mengalir di pipinya, ia sunggguh benci hidupnya.

                Sebuah notifikasi di ponselnya membuat raut wajahnya menjadi cerah, Hana melihat jam tangannya dan terkejut, ia hampir terlambat. mengesampingkan masalah lainnya, Hana kembali berlari. Namun dengan langkah lebih ringan. Ia akan menemui pacarnya, seseorang yang sudah 3 tahun ini menemani kesendiriannya. Orang yang benar-benar paling mengerti dirinya dan sosok yang setengah mati Hana harapkan untuk menjadi suaminya kelak.

                Tidak butuh waktu lama Hana sampai di cafe favoritnya, langkahnya membawanya langsung menuju ke meja yang menjadi favoritnya di sini, wanita itu tersenyum lebar melihat sesorang sudah menduduki kursinya. Hana duduk di hadapan orang itu, menyesap langsung minuman yang sudah dihidangkan di atas meja. Tidak perlu bertanya, Hana yakin seratus persen orang di depannya yang sudah memesankan minuman untuknya. Tapi senyum Hana memudar, menyadari ada yang berbeda dengan kekasihnya. Hana hafal mati raut wajah kekasihnya, dan kini pria itu nampak gelisah.

                “Wae? Terjadi sesuatu?” Hana perlahan meletakkan minumannya kembali ke atas meja.

                “Hana-ya... Kau lebih baik menikahi Kangin.”

                “Kau... Terjadi sesuatu? Kenapa tiba-tiba kau berubah pikrian?” Hana menggenggam tangan pria di hadapannya, memaksa pria itu menatap wajahnya, “Apa terjadi sesuatu? Choi Kiho! Jawab aku!”

                “Hana, maafkan aku.”

                “Apa ayahku mengancammu?”

                “Tidak, bukan begitu...”

                “Lalu ibuku?”

                “Tidak, Hana...”

                “Lalu kalau begitu, Cho itu? Dia mengancammu?” Kiho terdiam, telak. Ia tidak akan pernah bisa berbohong pada wanita di hadapannya, “Aku benar kan? Cho Kangin itu?”

                “Hana...”

                “Apa yang dia ancam padamu? dengar, jangan kau hiraukan pria itu. Aku masih akan berusaha membuat ayah dan ibuku mengerti, kita hanya harus berjuang sedikit lagi. Kau bisa kan? Kau bilang kau mencintaiku. Jangan begini, Kiho-ya. Percayalah padaku, jangan dengarkan ancaman Cho itu, dia tidak akan ada apa-apanya melawan kita berdua.” Hana hampir menangis. Ia panik sekarang, apalagi yang harus ia katakan agar pria di hadapannya menarik kembali kata-katanya? Ia tidak mau kehilangan kekasihnya, tidak sekarang, di saat ia benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi untuk dipercaya. Ingat, bahkan orangtuanya saja menjual dirinya.

                “Ini...” Kiho mengeluarkan sebuah amplop dan mengangsurkannya pada Hana. Wanita itu mengambilnya, dengan tergesa ia membukanya dan melihat ke dalam. Sontak bola matanya membulat terkejut, “Aku akan pergi, Hana-ya. Maafkan aku.”

                “Amerika? Tapi, tapi...” Tangan Hana bergetar memandangi tiket first class penerbangan ke Amerika yang dijadwalkan besok pagi. Kiho mengambil tiket itu dari tangan Hana dengan lembut, menaruhnya ke atas meja lalu pria itu menggenggam tangan Hana, merasakan betapa selalu pasnya tangan Hana di genggamannya.

                “Mianhe.”

                “Kau... kupikir kau mencintaiku.” Hana menarik tangannya, ekspresinya terluka, “Ternyata bukan hanya orangtuaku yang bisa dibeli dengan uang. Kau juga.”

                “Bukan begitu.” Kiho menelan ludahnya susah payah, ia benci melihat Hana menangis dan ia membenci dirinya karena membuat Hana menangis, “Maukah kau mendengarkan penjelasanku dulu? Aku akan menjelaskan semuanya, tanpa kebohongan.”

                “Untuk apa aku...”

                “Please. Setidaknya biarkan aku menjelaskan. Terserah padamu bila nanti setelah itu kau menamparku atau memakiku atau membunuhku.” Kiho mencoba tersenyum melihat Hana diam saja, maka ia melanjutkan, “Hana-ya, aku minta maaf. Aku sangat mencintaimu, kau harus percaya itu. Tapi kau tahu kan selama ini ibuku sakit, ayahku sudah meninggal lama, ibuku yang membanting tulang membiayaiku dan saudara-saudaraku. Namun ibuku sakit, dan kau juga tahu kan harta keluargaku sudah habis dimakan oleh saudara-saudaraku yang tidak tahu diri? Mereka tidak ada yang mau merawat ibuku, hanya tersisa aku. Aku yang hanya lulusan SMA, berpenghasilan seadanya dari part time, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengusahakan kesembuhan ibuku. Dan Kangin menawarkan hal itu, menawarkan akan membiayai seluruh pengobatan dan hidup kami bila kau menikahinya. Kau tau betapa berartinya itu untukku. Bukan aku menomorduakan dirimu, namun kalau harus memlih antara kau dan ibuku, maafkan aku, kau tahu mana yang akan kupilih. Lagipula aku juga tidak sanggup membiarkanmu hidup sengsara bersamaku. Bukan masa depan seperti itu yang kurencakan untukmu. Sekali lagi maafkan aku. Untuk sekarang bisakah kita mengalah dulu, pada keadaan? Aku janji, aku janji padamu, suatu hari aku akan kembali padamu, dengan masa depan yang lebih baik dengan modal untuk membahagiakanmu. Aku akan berusaha keras, aku akan membuktikan padamu bahwa aku bisa lebih baik dari Cho itu.” Mereka sama-sama terdiam, Hana sudah menangis. Ia tahu jelas bahwa ia sudah kalah. Bagaimanapun mereka tidak bisa menandingi Kangin. Kiho menghampiri Hana, merengkuh wanita itu ke dalam pelukannya. “Bisakah kau percaya padaku?”

                Sore menjelang malam, Hana berjalan lunglai masuk ke dalam rumahnya. Sebuah mobil mewah yang terparkir di depan rumahnya menegaskan dengan jelas siapa yang ada di dalam. Setelah melepas sepatunya, Hana langsung menuju ke ruang makan, di mana suara-suara orang mengobrol terdengar. Tidak menghiraukan nyonya Kim yang langsung berdiri melihatnya, atau tuan Kim yang langsung menghentikan suapan dan menaruh sendoknya kembali ke atas piring, Hana memandang hanya pada Kangin. Gadis itu menghampiri Kangin, pria itu langsung berdiri menyambut kedatangannya. Kangin mengambil tangan Hana kemudian menciumnya. Tersenyum begitu lebar kali ini Hana tidak menyentakkan tangannya.

                “Kau baik-baik saja?” Suara Kangin mengalun, keningnya berkerut melihat Hana nampak linglung. Wanita yang biasanya menatap tajam padanya, kini hanya menatap kosong.

                “Kangin-ssi...” Hana menunjuk lantai dengan tangan satunya yang tidak sedang digenggam Kangin, “Berlututlah.”

                “Kim Hana!”

                “Hana-ya!”

                “Maksudmu?” Kangin bertanya bingung, tidak menghiraukan teguran tuan dan nyonya Kim pada putrinya.

                “Bila kau ingin meminangku, berlutulah, ucapkan kata-kata itu. Dan aku akan menjadi milikmu.”

                Kangin tersenyum lebar, ia mengerti. Pria itu segera berlutut di atas satu kakinya, masih menggenggam tangan Hana, ia mengucapkan kata-kata itu, “Maukah kau menikah denganku?”

                “...ya.” Hana menjawab berbisik. Tubuhnya langsung dibawa ke dalam pelukan Kangin, pria itu begitu bahagia, Impiannya, kekasih yang selama ini ia incar akhirnya menjadi miliknya. Priia itu sama sekali tidak menyadari bahwa Hana menjawab pinangannya sambil meneteskan air mata, tidak ada pancaran kebahagiaan dari mata Hana, pandangan itu kosong.

                Beberapa tahun kemudian, dua tahun setelah Hana melahirkan anaknya yang keempat, janji itu ditepati. Kiho menghampiri Hana, menepati janjinya datang sebagai orang yang sangat sukses. Pria itu menawarkan kehidupan yang selalu mereka impikan, dengan ia dan Hana didalamnya. Dan untuk pertama kalinya, kerlipan kehidupan itu kembali di mata Hana, senyum tlus itu tersungging kembali di bibirnya, jerih lelahnya menunggu selama ini terbayarkan. Kiho kembali, kekasihnya telah kembali, dan kini saatnya Hana mewujudkan impian akan keluarga bahagia yang selalu ia ulang-ulang dalam doa malamnya. Tidak butuh waktu lama bagi Hana untuk menyambut uluran tangan Kiho padanya, hidupnya tidak akan sama lagi. Dan walau keadaan agak berbeda dengan yang Hana bayangkan, Hana berusaha menerimanya. Seperti Kiho yang menerima bahwa Hana sudah memiliki 4 anak, Hana juga berusaha menerima bahwa Kihonya kini adalah pria berstatus duda beranak satu.

 

* * *

 

                Padang rumput itu begitu luas, nampak sangat hijau dan menyegarkan mata. Beberapa pohon-pohon rindang berayun-ayun tertiup angin, menawarkan tempat bernaung dari teriknya matahari. Ia berjalan tidak tentu arah, mencoba mencari setitik kehidupan lain selain dirinya di sana. Ia di mana dan sedang apa sama sekali tidak teringat oleh dirinya sendiri. Yang ia tahu ia hanya harus terus melangkah maju.

                Suara aliran air tertangkap oleh pendengarannya. Ia memicingkan matanya, memandang garis keperakan melintang jauh di depan sana. Ia mempercepat langkahnya menjadi berlari, entah kenapa tapi ia merasa harus segera sampai di sana. Dan benar saja, sebuah sungai terpampang di hadapannya. Airnya begitu jernih hingga batu-batu di dasar terlihat jelas olehnya. Teriknya matahari dan dahaga habis berlari jelas menggodanya untuk menangkupkan air sungai tersebut dan meminumnya. Nampak sangat menyegarkan.

                “Jangan bilang kau mau meminum air itu.” Sebuah suara mengagetkan dirinya. Ia segera menoleh ke kanan dan mengerutkan kening melihat sesosok anak kecil perempuan tengah menatap ke dalam sungai. Anak itu nampak mungil dan cantik, memakai baju terusan berwarna pink pucat. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai lepas di punggungnya, berkibar tertiup angin. Ada sesuatu yang amat tidak asing dari sosok anak ini, namun ia tidak bisa mengingatnya. “Hei, aku mengajakmu berbicara. Kau tidak sopan.”

                “Kau? berapa umurmu memanggilku ‘kau’. Justru kau yang tidak sopan.”

                “Masa?” Anak itu terkikik geli dengan ucapannya. Bola matanya yang jernih menatap sosok di hadapannya dari atas ke bawah begitu seterusnya. Lalu kepala anak itu mengangguk-angguk paham, “Ah, kau bukan dari sini ya? Tersasar?”

                “Hei anak kecil, sepertinya kau yang tersasar. Di mana orangtuamu? Dan tempat apa ini?” Ia melihat ke kanan dan kiri berharap menemukan sosok lain. Namun nihil. Hanya ada ia dan anak kecil itu di sini.

                “Aku? Ini rumahku.” Anak kecil itu merentangkan tangannya lebar, berusaha menjelaskan keseluruhan padang ini adalah rumahnya.

                “Rumahmu? Tapi tidak ada rumah di sini.”

                “Ya ini rumahku. Kau itu mengerti tidak sih? Ini rumahku!” Anak kecil itu menghentakkan kaki dengan kesal.

                “Ini? Padang ini?”

                “Kau sedang mengerjaiku ya?” anak kecil itu memicingkan matanya curiga, “atau meledekku? Siapa yang mengirimmu? Haejin? Yechan? ah tidak mungkin Yechan, ia kan sudah menyebrang.”

                “Kau itu anak aneh.” Ia semakin bingung. Kata-kata anak itu sama sekali tidak ada yang masuk akal baginya.

                “Ah, kau haus? Ya kan? makanya kau berusaha minum air sungai itu?” Anak kecil itu kembali bersemangat, bahkan sudah melonjak-lonjak kegirangan, “Cobalah, kau akan merasa segar sekali. Airnya enak.”

                “benarkah?” Ia kembali memandang sungai di depannya, airnya berkilauan menggoda. Ia pun berjongkok, menggulung lengan bajunya lalu mencelupkan tangannya ke sungai. Airnya terasa sejuk, dan itu semakin membuat dirinya dahaga.

                “AW!!!!” Suara teriakan anak kecil itu mengagetkannya, ia menoleh dan mendapati anak kecil itu sedang tersenyum dan memasang muka seakan tertangkap basah, “Ah, tidak boleh ya? Eonni tidak seru!!” Anak kecil itu kemudian menggandeng tangannya, menarik setengah paksa agar ia menjauh dari tepi sungai.

                “Apa yang terjadi?”

                “Eonni memarahiku. Katanya aku nakal membiarkanmu dan bahkan menyuruhmu minum dari sana. Eonni tidak seru! Padahal kan kita hanya bersenang-senang ya? Lagipula aku tidak keberatan mendapat teman sepertimu.”

                “Eonni? Siapa?” Ia kembali menolehkan kepala ke kanan dan kiri, namun tidak menemukan siapa-siapa lagi.

                “Itu, eonni itu!!”

                “Siapa?”

                “Malaikat pelindungmu!”

                “Huh? Siapa?”

                “Ma.lai.kat. pe.lin.dung.mu.” Anak kecil itu melafalkan kata demi kata dengan penekanan seolah berkata ‘masa begitu saja tidak tahu sih’.

                “Malaikat pelindung?”

                “Ya, malaikat pelindungmu. Namanya Raekyo. Cho Raekyo eonni.”

               

                Hana terbangun dalam kegelapan kamarnya, mengerjapkan matanya seolah membuatnya tersadar ia ada di dalam kamarnya dan bukan di padang rumput bersama seorang anak kecil aneh. Hana mengusap wajahnya, ketika melirik ke arah jam di dinding, masih tengah malam rupanya. Ia pun memutuskan untuk bangun dan mengambil minum. Entah di mimpi atau dalam dunia nyata sekarang, Hana jelas merasa kehausan.

                Suasana dapur nampak lengang, beberapa lampu sudah dimatikan oleh para maid. Hana mengambil segelas air lalu meneguknya lambat-lambat. Mimpi tadi jadi mengingatkannya akan anak bungsunya. Ia memandang foto keempat anaknya yang ia tempel di kulkas, ikut tersenyum bersama mereka di dalam foto.

                “Eomma? Belum tidur?” Sebuah suara membuat Hana menoleh. Ada Siwon di sana, lengkap memakai baju kerjanya. Anaknya itu pulang larut malam lagi sepertinya.

                “Eomma terbangun karena haus. Kau baru pulang? Jam segini?”

                “Ne, ada operasi dadakan tadi.” Siwon mengambil gelas untuk dirinya sendiri kemudian mendudukan diri di hadapan eommanya. “Eomma, aku menemukan caranya.”

                “Hm? cara apa?”

                “Menuntut hak asuh keempat anak eomma dari Kangin ahjussi.”

                “Mwo? benarkah?” Hana meletakkan gelasnya, kemudian memandang Siwon dengan tatapan gembira yang tidak disembunyikan, “Bagaimana bisa?”

                Maka Siwon menceritakan semuanya. Dari mula ia dipanggil malam-malam menggantikan sunbaenya, pertemuan dengan Kyuhyun, Leeteuk dan Donghae, dan semua cerita tentang Kyuhyun terluka. Lambat laun raut wajah sang eomma berubah gelap.

                “Kangin itu!! Beraninya dia!”

                “Eomma tenang saja, Kyuhyun baik-baik saja. Tapi ini bisa jadi bukti untuk memberatkan Kangin ahjussi kan eomma? Bahwa ia tidak becus merawat anaknya?”

                “Tapi, benar Kyuhyun baik-baik saja? Luka di kepalanya?”

                “Ne, dia sudah sembuh. Eomma tenang saja. Sehari setelah ia kurawat, pagi-pagi ia mencabut infusnya paksa lalu segera berlari keluar rumah sakit. Aku diceritakan oleh suster yang bertugas. Eomma memang benar, sebegitu bencinya ya Kyuhyun dengan rumah sakit sampai kabur langsung keesokan harinya? Kalau ia sudah bisa kabur begitu, tandanya sudah sembuh kan?”

                “Mwo? Aissh, anak nakal itu.” Hana geleng-geleng kepala. Ia memang ingat Kyuhyun itu nakal dan jahil.

                “Oh iya eomma, apakah Kangin ahjussi chat eomma lagi? Mengenai Raekyo?”

                “Tidak. Aneh, sudah tiga hari ini ia tidak mengganggu eomma. Baguslah. Tandanya Raekyo baik-baik saja kan? Ah, eomma sangat senang Siwon-ah. Impian eomma berkumpul bersama mereka berempat akan terwujud. Pantas saja tadi eomma bermimpi tentang Raekyo, rupanya itu pertanda kabar baik ini ya kan?” Hana melonjak kegirangan. Siwon balas tersenyum lebar, sudah lama ia tidak melihat sang eomma sebahagia ini. Dan Siwon ikut tidak sabar menantikan serumah dengan keempat saudara tirinya. “Semua akan baik-baik saja setelah ini. Semua akan sempurna. Ya kan, Siwon-ah?”

                “Ya, semua akan sempurna.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet