Lima

The Dark Whisper

Seorang wanita duduk cemberut di meja makan rumahnya. Walau usianya tidak lagi muda, namun sisa-sisa kecantikan masa mudanya tidak mudah terhapus begitu saja. Perpaduan raut wajah jahil dan manja menyatu dalam dirinya menjadikannya sosok yang tidak mudah diabaikan. Tangan lentiknya dengan kuku yang terawat sempurna memegang sumpit dengan malas, mengaduk-aduk makanan di mangkuknya, sedikit terlalu keras sebenarnya berusaha menggapai perhatian pemuda yang duduk di seberangnya. Pemuda itu masih sibuk dengan kertas di tangannya walau tangan satunya masih aktif menyuapkan makanan ke mulutnya yang sesekali bergumam.

            “Eomma menyesal menyekolahkanmu di jurusan kedokteran.” Wanita itu akhirnya bersuara. Cukup keras agar pemuda tampan di hadapannya menoleh padanya. Tapi apa mau dikata, nihil. Pemuda itu masih komat-kamit sendiri dengan kertasnya. Choi Hana menarik nafas panjang, ia tahu anaknya yang satu ini tidak multi-tasking, tapi ini sudah keterlaluan kan?

            “CHOI SIWON!!!!!!”

            “AAAAA!!!!!” Akhirnya, akhirnya tatapan Siwon teralihkan. Pemuda itu menatap kaget sang eomma sambil memegang dadanya erat, jantungnya berdetak kencang, kaget setengah mati. “Eomma!! Apa-apaan itu tadi eoh??”

            “Habis kamu sih, kenapa bawa kertas itu ke meja makan huh? Kau tidak dengar dari tadi eomma mengajakmu ngobrol? Senang eoh mengacuhkan eommamu sendiri?” Hana menyilangkan tangannya di dada dengan raut muka sebal. Melihat ibunya merajuk, Siwon jadi tertawa. Sudah umur berapa eommanya ini memangnya?

            “Mianhe eomma. Aku ada presentasi besok, jadi aku harus belajar. Gagal bukan pilihan kan? Aku harus tampil sempurna. Ini menyangkut posisi direktur di rumah sakit loh. Kalau aku berhasil kan eomma juga yang bangga. Ya kan?”

            “Ya, iya sih. Tapi memangnya kau tidak bisa meluangkan waktu untuk eomma selama makan saja? Dasar anak nakal.” Hana jadi ikut tersenyum melihat senyuman lebar anaknya. Kesalnya menguap entah ke mana. Siwon mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Hana, sungguh hubungan yang hangat walau hanya ada mereka berdua di meja makan itu. “Eomma jadi kangen appamu.”

            “Aku juga. Tapi appa sudah bahagia sekarang eomma. Jangan memasang muka seperti itu lagi eoh? Kan sudah ada aku, memang aku tidak cukup untukmu eomma?” Siwon mengerling jahil, menimbulkan tawa dari Hana, sesuatu yang amat Siwon sukai. Pemuda itu benci setiap kali melihat raut wajah sendu ibunya yang tentu saja merindukan sang ayah yang telah dipanggil Tuhan beberapa tahun lalu.

            “Siwon-ah, lusa ayo pergi. Eomma kangen berbelanja bersamamu. Kau selalu saja lembur di rumah sakit. Kapan waktu untuk eomma?”

            “Mianhe eomma. Lusa ada lanjutan sidang di pengadilan.” Siwon menghela nafas keras, cukup membuat Hana tahu bahwa anaknya itu sudah lelah, “Semoga bisa cepat berakhir. Aku sudah muak dengan semua ini.”

            “Kan sudah eomma bilang, ikhlaskan saja warisan appamu, Siwon-ah. Tidak ada gunanya kau bertarung melawan saudara-saudara appamu. Kau akan lelah sendiri.” Hana mengelus tangan anaknya lembut. Ya, Hana tahu sudah bertahun-tahun ini Siwon bertarung dengan saudara-saudara ayahnya untuk memperebutkan hak waris. Sang ayah meninggal secara mendadak sehingga tidak sempat meninggalkan surat waris dan saudara-saudaranya juga dengan gigih memperjuangkan warisan adik bungsu mereka. Walau sudah jelas harus diwariskan kepada anak kandungnya yaitu Siwon namun dengan kekuatan uang mereka mempekerjakan para pengacara handal dan mencoba memutarbalikkan fakta. “Lagipula kan ada eomma, juga kau sudah bekerja, kita tidak akan kekurangan kan.”

            “Ne, eomma. Hanya saja aku tidak ikhlas hasil keringat appa dimakan para tikus seperti mereka. Aku ingin klaim warisan appa lalu menyumbangkan semuanya untuk yayasan anti kanker yang ada di sini. Appa akan lebih bahagia bila begitu kan eomma? Mereka semua tidak pantas untuk harta appa.” Hana tahu, Siwon yang memiliki hati yang lembut itu memiliki tujuan yang mulia. Hana tahu Siwon mati-matian mempertahankan warisan bukan untuk uang semata tapi karena Siwon ingin memberi pelajaran pada saudara ayahnya yang selama ini selalu berbuat jahat pada sang ayah.

            “Mm. Eomma mengerti. Hanya saja eomma takut kau terluka, Siwon-ah. Kau tahu sendiri betapa jahatnya mereka.” Siwon mengangguk. Ia sangat tahu betapa kejamnya saudara ayahnya. Bahkan Siwon tahu mereka menyebarkan gossip macam-macam menyangkut Hana. Bilang bahwa Siwon terpengaruh wanita itu dan bahwa Hana yang menyuruh Siwon memperebutkan harta itu untuk kepentingan Hana sendiri. Siwon menggelengkan kepala, tanpa harta milik ayahnya, Hana sudah lebih dari cukup. Wanita itu, eommanya, memiliki butik terbesar di Negara ini, bahkan cabangnya sudah di mana-mana. Dan Hana sudah sukses ketika hadir di kehidupan Siwon. Ya, karena sang ayah menikah lagi dengan Kim Hana, yang kini berganti marga menyesuaikan dengan suaminya menjadi Choi Hana, walau tidak secara resmi sebab Hana masih berstatus istri orang lain. Hana adalah ibu tiri Siwon. Jadi sangat tidak masuk akal bila Hana dituduh mata duitan segala macam karena nyatanya justru eommanya itu yang menyuruh Siwon untuk merelakan saja warisan milik appanya. Tapi Siwon memang sangat keras kepala kan? Dia akan berjuang mati-matian bila ada yang dia kehendaki.

            “Eomma tenang saja. Akan kubereskan dengan cepat. Ah, bagaimana dengan proses gugatan eomma?”

            “Eomma belum menemukan celah, Siwon-ah. Orang itu terlalu rapi. Tapi eomma masih akan berusaha. Berusaha hingga nanti eomma, Siwon dan keempat saudaramu bisa berkumpul lagi. Dan akan eomma pastikan sah secara hukum.” Siwon mengangguk. Dia mengerti perjuangan ibunya selama ini. Bagaimana ibunya berjuang mencari kelemahan seseorang bernama Cho Kangin, demi menceraikan pria itu dan mendapatkan hak asuh dari keempat anaknya. Namun Siwon juga tahu melawan orang bernama Kangin itu bukan perkara mudah. Pria itu tidak bercela sama sekali dan antek-anteknya ada di mana-mana. Uang juga merupakan pusat kuasa pria itu rupanya.

            “Ada apa eomma?” Siwon bertanya melihat ekspresi ibunya yang tiba-tiba menyendu.

            “Ini, orang itu kembali mengontak eomma. Bilang bahwa Raekyo kembali terluka. Melukai diri sendiri.” Hana memberikan ponselnya pada Siwon, membiarkan pemuda itu membaca chat dirinya dengan Kangin. Mendekati akhir, alis Siwon bertaut.

            “Eomma, apa tidak apa-apa begini? Di chat ini kau kejam sekali, eomma. Bagaimana bila ada salah satu dari mereka yang membaca?” Siwon menyuarakan kekhawatirannya.

            “Mereka akan mengerti. Ini semua demi kebaikan mereka, kan? Sebab bila eomma memperlihatkan bahwa eomma masih peduli, pria itu akan menyiksa mereka, agar eomma kembali ke sana. Dengan begini maka dia akan berhenti menggunakan mereka untuk memancing eomma. Ya kan?” Hana berkata amat yakin, namun tidak dengan Siwon.

            “Eomma, mengenai Raekyo yang sering dilaporkan oleh ahjussi,” Siwon berkata ragu-ragu, sebab hal ini sudah sering ia utarakan pada sang eomma. Hanya sang eomma selalu mengabaikan dan terlihat tidak suka dengan ucapannya. Lihat saja sekarang tatapan Hana berubah tajam, “Eomma, bukan maksudku lancang atau ikut campur. Tapi tindakan Raekyo sudah dalam tahap mengkhawatirkan, dia sering menyakiti dan membuat sakit diri sendiri. A-aku rasa Raekyo harus menemui psikiater, eomma. Dia…”

            “Sudah berapa kali eomma bilang, Raekyo tidak gila! Berhenti memberi saran seolah Raekyo mengidap penyakit jiwa!”

            “Tapi eomma, menemui psikiater belum tentu dia gila, hanya saja…”

            “Eomma lelah, Siwon-ah. Eomma ke kamar dulu. Kau habiskan dulu makanmu, ne?” Dan lagi-lagi Hana menghindar. Siwon tahu apa yang ada di pikiran sang eomma. Eommanya hanya tidak bisa terima bila terjadi sesuatu pada anaknya, wanita itu tidak mau terima. Dalam benak Hana keempat anaknya masih sama seperti dulu saat ia meninggalkan mereka di sana. Keempatnya sempurna, yah walau memang Kyuhyun berbeda namun keempatnya tidak bercacat. Siwon hanya bisa menghela nafasnya.

            Lamunan Siwon teralihkan ketika melihat notifikasi masuk dari ponselnya. Ia mendapat pasien gawat darurat di jam tengah malam begini, menggantikan tugas Hangeng, seniornya di rumah sakit yang sedang tugas ke luar kota. Tanpa membuang waktu, Siwon menyambar kunci mobilnya dan melesat keluar rumah. Tidak lupa berteriak memberitahu pelayan rumahnya agar memberitahu eommanya kalau dia ada di rumah sakit. Kalau-kalau sang eomma keluar kamar dan menanyakan dirinya.

            ‘Eomma, jangan seperti ini, tolong berpikirlah lebih rasional. Mereka berempat bukan barang, yang setelah eomma tinggalkan akan sama keadaanya seperti semula. Mereka bukan lagi Leeteuk kecil, Donghae kecil, Kyuhyun kecil dan Raekyo kecil yang polos dan belum tahu dunia. Mereka berempat sudah tumbuh dewasa, memiliki perasaan, pikiran, kehendak juga luka masing-masing. Eomma hanya tidak tahu seberapa dalam luka yang mereka simpan karena ketidakhadiranmu bertahun-tahun ini, eomma. Semua potret keluarga bahagia yang selama ini eomma dambakan dengan tambahan aku di dalamnya, nampak terlalu muluk-muluk untukku. Bukan karena aku tidak bisa menerima kehadiran mereka, eomma yang paling tahu seberapa inginnya aku memiliki kakak dan adik, seberapa bosannya aku melakukan semua sendiri karena aku anak tunggal. Tapi eomma, tidakkah eomma pernah berpikir bahwa mereka berempat akan berubah? Dan aku tidak siap melihat impianmu hancur berkeping-keping karena aku tahu sedikit banyak sakit yang akan eomma hadapi. Kecewa itu sakit eomma. Dan eomma juga tahu kan, betapa benci aku melihat eomma terluka dan bersedih? Jadi, cepatlah bergerak eomma, apa lagi yang sebenarnya kau tunggu? Cepatlah bertindak sebelum semua menjadi terlalu terlambat. Karena dari lubuk hatiku, aku tahu, sesuatu tengah terjadi pada mereka berempat. Dan aku tidak mau kita terlambat.’

           

* * *

 

            Siwon terdiam, memperhatikan pemandangan di hadapannya. Pemuda itu memperhatikan raut wajah di hadapannya dengan seksama. Ia hafal mati wajah ini, bagaimana tidak wajah pemuda di hadapannya ini selalu ia lihat setiap masuk ke dapur, setiap ia mengambil minuman dingin atau setiap ia membuka kulkas rumahnya. Raut wajah ini salah satu dari empat wajah yang ditempel eomma-nya di pintu kulkas. Raut wajah saudara tirinya.

            Saat baru tiba di rumah sakit tadi, Siwon tidak sempat memperhatikan sekitar, juga wajah pasien gawat daruratnya ini. Yang ia tahu, pasiennya terluka di sekujur tubuhnya dan yang paling parah di kepala. Pecahan beling dengan sukses melukai dan menempel di kepala pasiennya, membuatnya mengambil tindakan segera dengan operasi sebab ia harus mengambil seluruh pecahan kaca dan menjahit luka agar tidak semakin parah. Mana sempat bertanya-tanya siapa dan apa yang terjadi, Siwon bertindak sesuai naluri dokternya ia menyelamatkan dahulu baru memperhatikan kemudian. Dan kini, dengan perban membalut kepala juga di beberapa tubuhnya yang lain, setelah dipindahkan ke ruang rawat, barulah Siwon mempunyai waktu untuk memperhatikan. Dan hatinya mencelos, pasiennya tidak lain adalah adik tirinya, adik yang sangat ingin ia kenal lebih dekat, seseorang yang sudah berhasil mencuri hatinya dengan tampang jahil dan senyum manisnya walau hanya dari foto, ialah Cho Kyuhyun.

            Siwon mengernyit seolah ikut merasakan sakit ketika salah seorang suster mengoleskan salep ke atas perut putih Kyuhyun yang kini berwarna di sana sini. Apakah Kyuhyun korban bully-an? kenapa banyak bekas pukulan tangan di perutnya? Siwon memperhatikan suster tersebut menurunkan baju Kyuhyun lalu menyelimuti pemuda itu rapat.

            “Sudah seleai, uisa. Uisa? Siwon uisa?” Suster tersebut memanggil Siwon berkali-kali tapi dokter itu tetap bergeming. Tidak biasa sekali. “Uisa?”

            “Hah? eoh. Ne. Terima kasih suster Lee.”

            “Uisa baik-baik saja? Anda seperti mengenal pasien?”

            “Ya, dia adikku…” tanpa sadar Siwon bergumam sendiri.

            “Ne?”

            “Ah tidak, terima kasih suster Lee. Kau bisa keluar dan panggilkan anggota keluarganya. Dia sudah bisa dijenguk.” Suster Lee hanya mengangguk lalu berjalan keluar kamar. Tidak jadi menyuarakan keheranannya kenapa sang dokter tidak ikut keluar ruangan bersamanya.

            “Bagaimana? Bagaimana keadaannya Uisa?” Leeteuk langsung menghampiri Siwon begitu masuk ke dalam kamar. Sedangkan Donghae segera menghampiri Kyuhyun, memegang tangan adiknya itu erat.

            “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia hanya butuh jahitan di kepalanya juga pemulihan untuk luka-luka di tubuhnya.” Perkataan Siwon sontak membuat Leeteuk menghembuskan nafas lega. Ia sudah berpikir macam-macam tadi. Leeteuk sudah membayangkan apa yang akan terjadi bila sampai Kyuhyun tidak tertolong, melihat tadi darahnya keluar banyak sekali.

            “Terima kasih… umm… uisa…?” Siwon tersenyum hangat, Leeteuk menanyakan namanya.

            “Choi Siwon-imnida. Panggil saja Siwon, hyung. Ah bolehkah aku memanggilmu, hyung?” Leeteuk sempat terkaget mendengar permintaan dokter muda di hadapannya ini juga bagaimana Siwon tahu dirinya lebih muda dari Leeteuk? Apakah Leeteuk memang terlihat setua itu? Namun senyum berdimple itu meluluhkan hati Leeteuk, maka ia pun mengangguk. “Gomawo, hyung. Ah kalau boleh tanya, kalau tidak lancang tapi apa yang terjadi pada Kyuhyun?”

            “Dia…”

            “Ini karena perbuatan lelaki br*n*s*k yang kita panggil appa! Pria itu harus kita beri pelajaran hyung! Setelah Raekyo, kini Kyuhyun?! Aku ingin menghajarnya, hyung! Dia tidak pantas dipanggil appa! Dia monster!! Kita harus menuntutnya!” Donghae mengatakan kalimatnya dengan penuh kebencian. Matanya kembali berair.

            “Donghae-ah.” Leeteuk menggelengkan kepalanya, “Jangan sekarang. Sekarang kita pikirkan kesembuhan Kyuhyun dulu. Kita fokus pada Kyuhyun dulu. Biar appa, hyung yang akan urus.”

            “Mau sampai kapan hyung?” Nada suara yang digunakan Donghae membuat Siwon terpaku. Ada rasa kecewa, sedih juga muak di sana. “Mau sampai kapan kau membohongiku dan dirimu sendiri, hyung? Kau memang tidak akan melakukan apa-apa kan? Seperti biasanya kan? Bahkan Raekyo pun tidak. Kini, kau berharap aku kembali mempercayaimu, hyung? Aku sungguh muak dengan keluarga ini. Tidak kau, tidak appa juga eomma semua sama saja!” Dengan itu Donghae melangkah keluar ruangan, membanting pintu di belakangnya. Tidak memberikan waktu untuk Leeteuk menjawab. Sulung keluarga Cho itu dilemma, ia ingin mengejar Donghae namun tidak tega meninggalkan Kyuhyun sendirian di sini.

            “Hyung, kejarlah adikmu. Biar Kyuhyun aku yang menjaganya. Lagipula aku tidak ada jadwal sampai nanti pagi.” Suara Siwon mengagetkan Leeteuk, pemuda itu kaget tidak menyadari Siwon masih di sana sejak tadi.

            “Gomawo, Siwon-ah. Kutitip Kyuhyun padamu, ya.” Setelah itu Leeteuk pun berlari keluar, mengejar Donghae. Meninggalkan Siwon sendiri bersama Kyuhyun di sana. Siwon pun menghampiri Kyuhyun, menggenggam tangan pemuda pucat itu.

            “Sebenarnya apa yang sudah kalian alami?”

 

* * *

 

            “Donghae! Donghae-ah! Yak, Cho Donghae!!!” Leeteuk mencoba mengatur nafasnya setelah berhasil menyusul adiknya sampai ke atap rumah sakit. Donghae berdiri di sana, menghadap ke arah pemandangan kota di bawahnya, walau punggungnya tegap namun Leeteuk tahu Donghae sedang menangis. Sebab pemuda itu sesekali menghapus kasar air mata yang mengalir di pipinya. “Hae.”

            Leeteuk tersenyum sedih ketika Donghae menepis tangannya kasar dari pundaknya. Adiknya itu benar-benar marah rupanya.

            “Hae, mianhe. Hyung minta maaf.” Donghae bergeming, sama sekali tidak menjawab. Menoleh pun tidak. Leeteuk menghembuskan nafasnya, “Hyung tahu, hyung tidak termaafkan kan? Hyung sudah sering membohongimu, memberikanmu janji-janji palsu. Maafkan hyung yang pengecut ini, ya?”

            “Pergilah, hyung. Aku sedang tidak ingin melihatmu.”

            “Tidak apa-apa kau tidak usah melihat hyung. Tapi dengarkan hyung saja, ne? Hae, hyung juga merasa lelah. Lelah dengan keadaan kita. Sejak eomma pergi, tanpa appa menjelaskan apapun pada kita alasannya atau ke mana eomma, sejak appa mulai sering menghukum Raekyo menimpakan semua kesalahan apapun yang kita perbuat juga pada bungsu kita, hyung merasa hyung gagal. Tidak bisa melindungi bungsu kita. Juga takut. Bagaimana bisa melindungimu dan Kyuhyun juga. Lalu hyung mengumpulkan tekad, untuk menegur appa, tapi kembali pupus ketika kau pernah mencoba dan berakhir Raekyo dihukum appa lagi. Saat itu setiap Raekyo dihukum kau selalu meminta hyung untuk maju menghadap appa, tapi hyung tahu semua itu akan membuat Raekyo kembali tersiksa. Jadi, kebohongan lah yang terucap, untuk menenangkanmu agar tidak mendesak hyung. Tapi hyung masih berpikir itu tindakan yang benar, mencegah Raekyo dihukum lagi. Hyung tahu hyung salah. Tapi Hae, alternative apa lagi yang kita punya saat itu? Kau tahu sendiri appa seperti apa kan? Sekarang, hyung kembali gagal melindungi Kyuhyun, dan itu membuat hyung berpikir, appa memang sudah keterlaluan. Saat tadi kau bilang ingin menghadap appa, hyung tidak melarang. Tapi jangan sekarang. Hyung sadar setelah selama ini, menghadapi appa butuh taktik, tidak bisa sekedar mengandalkan emosi sesaat. Akan ada yang terluka lagi. Dan hyung ingin meminta bantuanmu kali ini, untuk memikirkan cara yang tepat menghadapi appa. Hyung tidak akan lari lagi. Hyung tahu kau tidak akan percaya sekarang, tapi hyung benar-benar serius kali ini. Apa yang terjadi dengan Kyuhyun hari ini, hyung menyesalinya. Sungguh-sungguh menyesal.”

            “Hyung.” Donghae memeluk pinggang Leeteuk erat ketika merasakan Leeteuk sudah berbalik hendak pergi, “Mianhe, hyung. Aku tahu bukan hyung yang salah. Aku juga salah selama ini mengandalkan orang lain untuk membela adik kita dan bukannya aku sendiri yang berusaha. Maafkan aku menimpakan semua tanggung jawab dan kesalahan hanya padamu seorang, hyung. Padahal aku yang diam saja tanpa berbuat apa-apa juga sama salahnya.”

            “Kita akan berusaha bersama kali ini, ne? Hyung tidak sanggup bila harus sendiri, Hae.”

            “Ne. Ada aku, Kyuhyun dan Raekyo, hyung. Kita akan berusaha bersama.”

            “Raekyo, apakah gadis itu akan memaafkan kita? Dia jadi begitu jauh dengan kita. Mungkin termasuk salah hyung juga yang tidak pernah berbuat apa-apa untuk menghindarinya dari hukuman appa. Apakah kita sudah terlambat, Hae?”

            “Ani. Tidak ada kata terlambat, hyung. Aku yakin Raekyo akan mengerti, ia akan kembali pada kita. Selama ini walau dia menjauhkan diri dari kita, tapi kita selalu menarik dia mendekat dan mencurahkan kasih sayang begitu banyak. Dia akan mengerti. Kita hanya harus menjelaskan padanya.” Leeteuk tersenyum kemudian mengangguk. Memeluk Donghae lebih erat, berharap semua perkataan Donghae semudah pengucapannya. Kalaupun tidak, mereka akan berusaha lebih keras untuk membuat Raekyo mengerti. Karena Raekyo gadis baik, dia tentu akan memaafkan kan?

            “Ayo kita temani Kyuhyun. Jangan sampai dia sadar dan kita tidak ada di sampingnya.” Leeteuk menggandeng Donghae.

            “Ah, hyung, aku pulang saja. Aku mau melihat keadaan di rumah. Tadi Raekyo kusuruh mengunci pintu kamar sampai salah satu dari kita menyuruhnya keluar. Aku takut dia jadi sasaran appa berikutnya.”

            “Eoh, pulanglah. Dan hati-hati. Kabari hyung bila terjadi sesuatu. Kau bisa kan?” Donghae mengangguk kemudian berlari pergi meninggalkan kakak sulungnya memandang kepergiannya sambil berdoa segalanya di rumah baik-baik saja.

 

* * *

 

 

                Raekyo termenung sendirian di dalam kamarnya, seluruh perasaan dan hatinya seakan berteriak kesakitan. Memang bodoh kan mempercayai perkataan seseorang yang berada di bawah pengaruh alkohol? Namun Raekyo masih terbayang-bayang pancaran mata dan ekpresi ayahnya saat mengatakan hal yang menyakitkan itu, seolah memang sang ayah sedang mengeluarkan isi hatinya. Dan lagi-lagi Raekyo membenci dirinya sendiri karena masih merasa tersakiti. Sekian tahun ia selalu dipukul ayahnya, diabaikan dan tidak mendapat kasih sayang seimbang setara dengan kakak-kakaknya, Raekyo kira ia tidak akan pernah merasakan sakit yang lebih lagi, namun ia salah. Kata-kata sang ayah tidak mau lepas dari ingatannya, sekuat apapun Raekyo berusaha mengalihkan perhatian.

                Raekyo menghapus air mata yang lagi-lagi lolos dari matanya. Ia sudah bertekad tidak akan menangis namun kenapa air matanya tidak mau menurut? Merasa semakin sesak dan tidak tahan lagi, Raekyo berdiri, memandang keluar jendela kamarnya yang sudah mulai terang. Matahari sudah muncul, dan Raekyo teringat sesuatu. Teringat akan Donghae yang panik menyuruhnya diam di kamarnya dan mengunci pintu sampai ia diperintahkan keluar. Raekyo baru mengingat kembali kejadian yang baru terjadi, ada yang aneh di sana. Ia ingat melihat ketiga kakaknya disana, ada Leeteuk juga Donghae dan Kyuhyun. Raekyo juga ingat melihat Kyuhyun terjatuh di lantai, di dorong ayahnya mungkin? Tapi harusnya Donghae tidak sepanik itu kan? Apa yang sebenarnya terjadi?

                ‘Kau juga... mati sajalah.’ Kata-kata itukembali ke dalam pikiran Raekyo, namun sesuatu nampak ganjil. Kau juga.... Juga.... berarti tidak hanya dirinya, ada orang lain yang sang ayah harapkan mati? Siapa? Raekyo kembali melihat Kyuhyun terbaring di lantai, jangan-jangan...

                Secepat kilat, tidak menghiraukan peringatan Donghae di kepalanya, Raekyo membuka kunci pintu kamarnya dan segera berlari ke ruang kerja ayahnya. Dia harus memastikan sesuatu. Tidak peduli apakah ayahnya masih ada di sana atau tidak, tapi Raekyo harus memastikan sesuatu. Raekyo berlari menuruni tangga secepat kilat, apapun yang terjadi kemarin seharusnya ada petunjuk kan di ruang kerja ayahnya? Tidak memperdulikan sopan santun, Raekyo membuka pintu ruang kerja ayahnya lebar-lebar dan berdiri tertegun.

                Tidak ada apapun dan siapapun di sana. Ruangan itu persis seperti yang selalu Raekyo lihat setiap ia dihukum. Bekas-bekas kekacauan kemarin malam juga sudah hilang tidak berbekas. Dan ruangan itu kosong, tidak ada siapapun di sana. Tidak ayahnya tidak juga Hyorin ahjumma. Raekyo masuk lebih jauh ke dalam, perlahan menutup pintu di belakangnya, mata gadis itu melihat ke sana kemari, mencoba mencari sebuah petunjuk apa yang terjadi kemarin. Melangkah lebih jauh, Raekyo sampai di depan meja kerja ayahnya, ia melihat sesuatu di atas meja. Ponsel sang ayah. Raekyo tidak ambil pusing, mungkin saja ayahnya tidak sengaja meninggalkan ponselnya di meja kan? Maka gadis itu kembali melihat-lihat seisi ruangan, berharap menemukan setitik petunjuk apa yang terjadi tadi malam dan ke mana perginya ketiga kakaknya.

                Walau sudah berusaha dan dengan teliti memeriksa, Raekyo tidak menemukan petunjuk apapun. Dirinya pun menyerah, lebih baik menelepon kakaknya dan menanyakan keberadaan mereka kan? Saat dirinya hendak keluar ruangan, sebuah pemikiran melintas di kepalanya. Ponsel appa ada di meja, bukan tidak mungkin kan sang ayah tidak mempunyai kontak eomma? Apakah mereka masih berhubungan? Atau mungkin ada petunjuk yang menjelaskan hubungan ayah dan ibunya? Dan kenapa sampai sang eomma tega meninggalkan mereka semua? Haruskan Raekyo mengecek?

                Dirinya bimbang. Di satu sisi dia bukanlah orang yang lancang mengoprek barang pribadi milik orang lain. Tapi di satu sisi lagi rasa penasarannya begitu tinggi. Atau bisakah Raekyo melihat nomor sang eomma lalu mencoba menghubunginya sendiri dengan ponselnya? Ah, ya, itu ide yang lebih baik dan begitu menggiurkan kan? Raekyo butuh penjelasan dari sang eomma kenapa ia dan ketiga kakaknya ditinggalkan dan mengapa ayahnya menjadi sering menyiksanya?

                Raekyo terdiam sebentar, berusaha menajamkan telinganya, nampaknya keadaan diluar ruangan kerja ayahnya ini masih nampak sepi, maka gadis itu perlahan beringsut ke meja kerja sang ayah. Menghalau perasaan bersalah karena melanggar privasi orang lain, Raekyo meraih ponsel itu dan menyalakannya. Syukurlah tidak dikunci. Begitu menyala, layar ponsel sang ayah menyajikan ruang chat yang tidak tertutup. Jantung Raekyo berhenti berdetak, benar, sang ayah masih menjalin kontak dengan sang eomma. Nama pengirim pesan itu, Hana, nama eommanya kan? Raekyo mengklik foto sang eomma, di sana eommanya berdiri dengan pose menawan, senyum hangat tersungging dari bibirnya. Eommanya yang cantik. Walau terlihat lebih tua daripada ingatannya akan sang eomma, namun wanita itu memang tidak bisa menyembunyikan aura cantiknya. Dalam foto itu, Hana merangkul seorang pria muda memakai toga, nampak seperti foto kelulusan. Raekyo mengernyit, siapa pemuda itu? Raekyo bisa menebak usianya tidak berbeda jauh dengan kakaknya, Donghae. Tapi ia sendiri tidak bisa memastikan. Yah, lebih baik ia menghafal nomor ponsel eommanya dan menanyakan hal itu nanti kan? Raekyo menngklik tombol kembali dan sebuah percakapan menyita perhatiannya. Raekyo membaca kalimat per kalimat pembicaraan ayah dan ibunya, dan semakin mendekati akhir, tubuh Raekyo bergetar hebat. Lagi, sakit itu ia rasakan lagi.

                Dengan tangan gemetar, raekyo menaruh kembali ponsel sang ayah di atas meja. Sepenuhnya melupakan tujuan awal ia membuka ponsel sang ayah. Keinginan untuk menghubungi sang ibu pun sudah sirna entah ke mana. Raekyo berdiri terpaku sendirian. Memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya seolah ia begitu kedingingan. Kenapa? Kenapa akhir-akhir ini semua orang yang ia sayang menuntutnya melakukan hal yang sangat di luar akal sehatnya? Apa yang salah dengan dirinya? kalau terlahir begitu sempurna adalah kesalahan, bukankah ia sudah berusaha memperbaikinya dengan melukai tubuhnya sendiri? Berhasil kan buktinya ayahnya jadi lunak padanya? Tapi kenapa kakak-kakaknya tampak tidak menyukainya? Lalu harus bagaimana? Apa yang salah? Raekyo harus memilih yang mana?

                Fantasi Raekyo mengenai ibunya pun buyar sudah. Gadis itu selalu berusaha menguatkan dirinya, bertahan dari rasa sakit dan tertekannya dengan bayangan suatu saat ibunya akan kembali pada keluarganya. Membuat sang ayah kembali menjadi ayah yang penyayang. Raekyo selalu beranggapan ia akan memaafkan sang eomma, apapun alasan yang eommanya berikan padanya perihal mengapa wanita itu pergi sekian tahun lamanya, Raekyo akan menerimanya dengan sepenuh hati. Tidak akan pernah mengungkit lagi tahun-tahun penuh kesakitan yang ia alami. Mereka akan menjadi keluarga lagi yang sempurna. Namun bayangan itu harus pupus hari ini. Semua harapan yang Raekyo punya hancur berkeping-keping. Sudah tidak ada alasan dan landasan untuk ia bertahan, lalu Raekyo harus berpegang ke mana? Raekyo harus menaruh harapannya pada siapa?

                Raekyo berjongkok, masih sambil memeluk tubuhnya yang tiba-tiba menggigil. Dadanya terasa sakit, ribuan jarum seakan kembali menghujam jantungnya, seperti malam-malam yang sudah-sudah. Tidak ada lagi air mata untuk dikeluarkan, seolah tubuhnya sendiri menolak untuk menangisinya. Raekyo mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha bertahan, namun sia-sia, Raekyo sadar dirinya kembali hancur.

            Berbuatlah semaumu. Jujur aku heran kau belum membunuhnya sekalian. Jangan ganggu aku lagi.

‘...tapi kuharap gadis itu mati saja, jadi aku tidak perlu diganggu dengan urusan remeh macam ini.

                ‘Lagi-lagi, mati ya.’

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet