Satu

The Dark Whisper

Sepasang tangan kecil berusaha menggapai gagang pintu berlapis emas yang agak jauh dari jangkauannya. Kaki kecilnya berjinjit ria mendorong agar tangannya sampai dan usahanya berhasil, pintu berat itu terbuka sedikit. Menghela nafas, gadis kecil itu masuk ke dalam ruangan, mata bulatnya mencari-cari ke sepenjuru ruangan hingga ia menemukan sosok yang ia cari. Raekyo menutup pintu lalu berjalan pelan menuju sofa yang ada di dalam kamar. Sofa berwarna babyblue itu agak tinggi, butuh perjuangan hingga ia bisa naik dan duduk di sana. Matanya tidak lepas memandang laki-laki pucat yang bersandar santai di ranjangnya, senyum kakaknya menghilang begitu melihat adiknya tidak menghampiri ranjangnya dan malah menjaga jarak dengannya dengan memilih duduk di sofa.

            “Shin ahjumma bilang Oppa mencariku. Ada apa?”

            “Tidak mau ke sini? Ayo main, Rae. Oppa bosan sekali.” Kyuhyun tersenyum lebar, berharap adik satu-satunya akan menyambut baik niatnya dengan antusias. Sejenak mata Raekyo berkilau, namun kemudian pandangan mata itu meredup, gadis itu tertunduk lesu.

            “Tidak mau. Rae akan dimarahi lagi. Oppa sakit sekarang juga karena bermain dengan Rae.” Kyuhyun manyun, memang sih tubuhnya sekarang sedang agak hangat akibat bermain hujan-hujanan kemarin dengan adiknya, tapi Kyuhyun tidak setuju dengan pendapat Raekyo bahwa ia sakit karena adiknya, kan Kyuhyun yang mengajak duluan.

            “Kita tidak usah keluar rumah. Bermain di sini saja. Kamar kan tempat aman. Kita bermain lompat-lompat saja di ranjang. Ya?”

            “Umm…” Pendirian Raekyo mulai goyah. Sesungguhnya dia juga bosan sekali sedari tadi. Ingin bermain. Tapi dua kakaknya yang lain tidak ada di rumah.

            “Ayolah, Rae. Apa bahayanya bermain di ranjang?” Kyuhyun jadi tidak sabar. Ia turun dari ranjangnya untuk menghampiri Raekyo, bocah itu menggandeng tangan adiknya lalu membantu Raekyo naik ke ranjangnya. Ketika mereka sudah berdiri di atas ranjang, Kyuhyun memulai melompat-lompat. Ranjangnya yang luas itu memudahkan dirinya melompat ke sana kemari. Raekyo awalnya ragu-ragu, namun gadis itu perlahan mengikuti contoh kakaknya. Keduanya cekikikan kesenangan. Dasar anak kecil, bermain begini pun sudah senang sekali.

            “Oppa lihat! Rae bisa melompat sangat tinggi!” Raekyo berteriak kesenangan. Kyuhyun yang tidak mau kalah segera mempertinggi lompatannya. Kyuhyun tertawa puas melihat adik yang berbeda usia 2 tahun darinya itu merengut karena kalah darinya. Tentu saja lompatan Kyuhyun lebih tinggi, dari tinggi badan saja Raekyo sudah kalah jauh.

            “ARGH!” Rengutan Raekyo seketika berubah menjadi tatapan horror. Kyuhyun melompat terlalu ke pinggir, pijakannya meleset, pemuda itu sukses jatuh menghantam lantai dengan posisi telungkup. Raekyo segera turun dari ranjang, menghampiri kakaknya.

            “Oppa!! Kyu Oppa kau baik-baik saja?” Raekyo membantu Kyuhyun yang berusaha mengangkat tubuhnya berdiri. Mata Raekyo membulat sempurna, dari lubang hidung kakaknya mengalir darah, Kyuhyun pucat sekali. Raekyo perlahan membantu Kyuhyun bersandar, tangan kecilnya gemetaran. Jujur ia takut, takut kakaknya kenapa-kenapa. “Oppa…”

            BRAK! Pintu kamar Kyuhyun terbuka lebar, Hyorin masuk tergesa-gesa. Raut wajahnya khawatir. Sedikit kasar, wanita yang masih cantik di usia 30an itu mendorong Raekyo agar dirinya bisa bertatapan dengan Kyuhyun.

            “Kyunie, lihat aku, Kyunie, kau okay?” Hyorin menopang kepala Kyuhyun agar menengadah ke atas, sementara itu Kyuhyun hanya terpejam, menahan rasa sakit. “Apa yang kau lihat Cho Raekyo?! Cepat ambilkan tissue!!”

            “N-ne.” Raekyo segera bangkit berdiri, mengambil kotak tissue di atas meja belajar kakaknya. Ia menyerahkan pada Hyorin yang langsung menggulung beberapa helai gumpalan tissue dan menaruhnya di lubang hidung Kyuhyun.

            Waktu terasa berjalan amat lambat hingga seorang pemuda berjas putih berlari terpogoh-pogoh masuk ke kamar diikuti beberapa pelayan. Hyorin menyingkir membiarkan dokter keluarga Cho itu memeriksa Kyuhyun. Setelah dirasa tidak ada yang terlalu serius, dokter berwajah ramah itu mengangkat tubuh Kyuhyun dan membaringkannya perlahan di ranjang.

            “Bagaimana, Han?” Hyorin segera memberondong Hangeng dengan wajah penuh rasa khawatir.

            “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mimisan itu hanya akibat terbentur saja. Tidak ada luka serius. Namun nampaknya memang demamnya belum turun. Aku tidak akan meresepkan obat apa-apa sebab mimisannya sudah akan berhenti. Berikan saja obat penurun demam seperti yang sudah kuresepkan sebelumnya.”

            “Baiklah, Han. Terima kasih.” Hyorin menghela nafas lega.

            “Sama-sama, Hyorin-ssi.” Hangeng kemudian pamit untuk kembali ke rumah sakit tempatnya bekerja. Meninggalkan Raekyo, Hyorin dan Kyuhyun di kamar itu.

            “Rae.” Kyuhyun yang sudah lumayan baikan, setelah hidungnya tidak berdenyut sakit seperti tadi, mengulurkan tangan pada adiknya. Raekyo tertunduk lesu di sofa, adiknya itu hanya diam, sesekali tangannya bergetar.

            “Sudah, Kyunnie. Istirahat saja. Tidur, jangan banyak bicara dulu, ne?” Hyorin sengaja menghalangi pandangan Kyuhyun pada adiknya. Bocah itu sudah akan protes ketika lagi-lagi pintu kamarnya terbanting membuka. Melihat siapa yang datang, Hyorin tersenyum manis, namun tidak dengan Raekyo, gadis itu semakin ketakutan.

            “Apa yang terjadi??!!” Suara Kangin menggelegar seantero ruangan. Raut wajahnya nampak cemas namun juga kesal.

            “Yoebo, Kyuhyun sudah tidak apa-apa. Hangeng sudah memeriksakan dia tadi. Untunglah tidak ada luka serius, hanya mimisan sedikit karena hidungnya terbentur lantai.” Hyorin menghampiri Kangin, “Kyuhyun dan Raekyo bermain lompat-lompatan di ranjang. Raekyo yang memaksa Kyuhyun untuk bermain, padahal dia tahu Kyuhyun sedang sakit.”

            “Ani, Appa, Kyu….”

            “Lalu?” Kangin memotong apapun yang ingin Kyuhyun ucapkan. Sementara otak kecil Raekyo sudah menduga ke mana arah pembicaraan ini akan menuju. Pasti sama seperti sebelum-sebelumnya. Refleks, gadis itu meraba bêtis kakinya yang masih kasar.

            “Raekyo mendorong Kyuhyun hingga jatuh dari ranjang. Gadis itu liar sekali. Tidak mencerminkan gadis-gadis keturunan keluarga Cho. Sungguh memalukan.” Hyorin geleng-geleng kepala sambil melihat Raekyo dengan pandangan mencela.

            “Ani, Appa, Rae…”

            “Sudah jangan terus membelanya Kyu! Aku lihat sendiri dari CCTV.” Hyorin kembali memotong ucapan Kyuhyun. “Yeobo…”

            Wajah Kangin memerah karena menahan marah. Pria itu menghampiri Raekyo yang memucat karena ketakutan, dengan sekali sentak Kangin menyeret Raekyo untuk ikut bersamanya. Tidak menghiraukan Kyuhyun yang berusaha untuk turun dari ranjang untuk menghalanginya. Hyorin dengan sigap menahan Kyuhyun agar tetap di ranjangnya. Raekyo hanya sempat melihat kakaknya sekilas, berusaha meminta tolong dengan pandangan matanya yang ditangkap Kyuhyun dengan sangat jelas, membuat bocah itu kembali meronta melawan Hyorin yang masih keras kepala menahan tubuhnya di ranjang. Kyuhyun tidak berdaya, kekuatannya kalah dari wanita dewasa itu, Kyuhyun hanya sanggup terisak di tempatnya. Merasa gagal tidak mampu membela adiknya. Itulah pemandangan terakhir yang Raekyo saksikan sebelum air mata mengaburkan pandangannya dan ia membiarkan tubuhnya diseret ayahnya ke tempat yang menurutnya sangat menakutkan. Ruang kerja ayahnya.

 

-----------------

 

            Tak! …. Tak! …. Tak!

            Donghae mengeratkan kepalan tangannya setiap bunyi itu terdengar jelas. Tatapannya keras, menatap tanpa kedip pada pintu kayu di hadapannya. Donghae berharap setengah mati tatapan matanya bisa menghancurkan semua yang ada di hadapannya dan membawa kabur sosok yang sudah di dalam sana sejak setengah jam lalu. Sebuah tepukan di bahunya pun tidak membuat Donghae menoleh.

            “Sudah yang ke 127, Hyung.” Suara Donghae amat dingin, membuat pemuda di sampingnya menghela nafas. Donghae dan Leeteuk sudah berdiri di sana sejak awal. Mereka yang baru pulang sekolah terkejut mendengar kabar apa yang barusan terjadi dari Shin ahjumma, pelayan rumah mereka. Setelah memastikan Kyuhyun baik-baik saja dan sudah tertidur, di sinilah mereka sekarang mendengarkan bungsu mereka dihukum. Lagi.

            “Appa akan berhenti di hitungan 150. Nanti jangan bilang apa-apa, kau langsung urus saja seperti biasanya, bisa kan? Biar pada Appa, Hyung yang akan bicara.” Leeteuk dan Donghae sama-sama diam setelahnya. Merasa muak dengan diri masing-masing. Leeteuk tahu ujungnya dia tidak akan berani bicara apa-apa pada sang appa untuk membela magnaenya. Juga Donghae yang tahu jelas kakak sulungnya tidak akan pernah bicara pada appanya, namun tetap mempercayai kebohongan itu ribuan kali. Keduanya terus terdiam hingga pintu kayu itu terbuka. Raekyo berjalan tertatih, rambutnya sudah lepek karena berkeringat banyak, sudut bibirnya terluka karena digigit terlalu keras untuk meredam jeritan setiap kali rotan panjang itu mengenai betis kakinya.

            Donghae bereaksi langsung. Ia menghampiri Raekyo tanpa kata, mengangkat tubuh mungil itu dalam gendongannya, mencoba menghindari mengenai kaki magnaenya yang sobek dan berdarah lalu segera pergi dari sana, meninggalkan Leeteuk dengan pandangan khawatirnya. Leeteuk ingin sekali mendobrak masuk ruang kerja ayahnya, menegur ayahnya akan kelakuan pria itu beberapa tahun terakhir. Tapi ia belum bisa. Salah, ia tidak bisa. Tidak ada yang bisa melawan kepala keluarga Cho yang terhormat tanpa berakhir buruk. Tidak terkecuali anak-anak kandungnya sendiri. Sudah cukup pengalaman Leeteuk untuk mencoba merubah ayahnya kembali menjadi appa yang penuh kasih dan penyayang, seperti dulu. Tapi usaha itu lagi-lagi kandas dan malah meninggalkan luka baru di kaki bungsunya. Pelajaran appanya sangat jelas tertangkap, ada konsekuensi dari setiap tindakan. Dan lagi-lagi selalu, Raekyo yang menanggung konsekuensi itu. Maka, dengan sangat berat hati, merasa kakak paling pengecut sedunia, Leeteuk membalikkan badannya, berjalan menjauhi ruang kerja ayahnya. Lagi-lagi merasa kalah sebelum berperang.

 

-------------------------

 

            “Tahan sedikit ya, Rae.” Donghae mencoba sepelan mungkin mengoleskan obat pada luka di kaki adiknya. Raekyo tidak berjengit sama sekali. Gadis itu diam saja. Sesekali tangannya menghapus kasar air mata yang lolos menetes ke pipinya. “Kau boleh menangis bila ini terasa sangat sakit. Jangan terus menahan air matamu Rae.”

            “Appa bilang Rae tidak boleh menangis. Nanti dihukum lagi.” Donghae menghela nafas mendengar jawaban Raekyo yang terdengar amat lirih.

            “Nah, sudah.” Donghae membalikkan badan Raekyo hingga kini mereka berhadapan. Donghae berlutut agar tinggi mereka seimbang. Pemuda itu memaksakan seulas senyum. “Mau bercerita apa yang sebenarnya terjadi? Versi Raekyo?” Lagi-lagi Donghae menghela nafas saat Raekyo menggeleng, menghindari tatapan matanya.

            Donghae tahu Raekyo trauma. Walau masih kecil, Raekyo itu pintar. Dan gadis kecil itu sudah belajar banyak dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dulu, Raekyo pernah mengadu pada Donghae juga, dan Donghae yang memang dasarnya berani, menegur sang appa. Tidak keras, hanya berupa sindiran tapi setelah itu, Raekyo yang menanggung semuanya. Ayahnya itu orang terhormat, ditakuti semua orang, tidak akan terima ditegur bahkan oleh anaknya. Akibatnya Raekyo harus kembali menahan sensasi rotan panjang ayahnya di tubuhnya. Dari situ Raekyo belajar, bila ia mengadu,  ia lagi yang akan terluka. Jadi kini Raekyo memilih diam.

            “Rae, dengar Oppa. Kyuhyun itu berbeda dari kita. Imun tubuhnya tidak sekuat kita. Wajar jika Hyorin ahjumma sangat melindunginya.”

            “Apa Appa sayang sama Rae?”

            “Tentu saja, Rae kan putri satu-satunya Appa, masa Appa bisa tidak sayang.” Raekyo kembali diam. Menatap Donghae dengan tatapan memohon. Memohon Donghae meralat ucapannya barusan. Dengan begitu segalanya menjadi masuk akal. Kalau memang Appa membencinya maka wajar Appanya memperlakukannya seperti itu. Tapi Donghae tidak melakukannya.

            “Apa disayang memang rasanya sesakit ini, Hae oppa?” Pertanyaan polos itu menohok hati Donghae. Pemuda itu menahan perasaannya kuat-kuat. “Appa tidak pernah merotan Teuki Oppa dan Hae Oppa. Apa karena Rae masih kecil? Rae ingin cepat-cepat sekolah seperti Hae Oppa biar tidak dirotan Appa lagi.”

            “Ne, Rae harus cepat besar ya.” Donghae sudah tidak tahu harus berkata apa. “Nah, sekarang tidurlah. Kau pasti lelah kan.”

            Raekyo menurut, berbaring menyamping agar luka di betisnya tidak bersentuhan dengan ranjangnya. Rasanya amat sakit.

            “Rae, berdoa dulu sebelum tidur.”

            Lagi-lagi Raekyo menurut, melipat tangannya dan menutup mata, “Tuhan yang baik, Rae mau tidur sekarang. Tolong sembuhkan Kyu Oppa ya, tadi Oppa mimisan karena jatuh. Tolong sembuhin kaki Rae juga, biar ga sakit lagi.” Raekyo terdiam cukup lama, hingga Donghae mengira adiknya itu ketiduran, ketika dirinya akan beranjak, doa Raekyo berlanjut, “Tuhan, Rae tidak mau dirotan Appa lagi. Kalau Rae tidak bisa langsung besar seperti Teuki Oppa dan Hae Oppa, Bolehkah Rae sering sakit seperti Kyu Oppa agar Appa melindungi dan menyayangi Rae juga?”

 

----------------------

 

            Kangin menatap kosong pada pemandangan halaman luas di luar jendela ruang kerjanya. Ruangan berukuran luas dan didekor dengan mewah itu rupanya masih belum bisa menghilangkan sorot kesepian dari matanya. Rotan panjang di tangan kanannya mengetuk-ketuk permukaan meja dengan ritme yang berulang, seolah dilakukan tanpa sadar. Kangin tidak bodoh, dia tahu apa yang baru saja dia lakukan. Perbuatannya sungguh tidak termaafkan bukan? Merotan bungsunya sendiri, bungsu yang harusnya menjadi kesayangannya karena dari keempat anaknya, hanya si bungsu yang berjenis kelamin perempuan. Dan anak itu sangat cantik, lucu juga pintar. Impian seluruh pria di dunia bukan memiliki anak perempuan cantik seperti Raekyo?

            Rasa bersalah itu mulai menggerogoti dirinya perlahan. Kangin mendengus, benci akan sensasi yang muncul setelah dia menghukum si bungsu. Dia sesungguhnya tidak tega, namun rasa egois dalam dirinya lebih menang. Kenapa hanya Raekyo yang dihukum? Sebenarnya jawabannya hanya satu, karena Raekyo merupakan kesayangan orang itu juga. Dan Kangin berharap dengan menghukum si bungsu, maka Kangin juga menghukum orang itu. Orang yang sudah begitu mengecewakannya.

            “Yeobo.” Hyorin masuk ke dalam ruang kerja Kangin tanpa permisi. Wanita itu langsung menghampiri Kangin, merangkulkan lengannya pada pria di hadapannya. “Kita jadi menengok anak kita kan?”

            “Batalkan saja. Bilang pada Yerin aku sedang lelah. Kirimkan saja berkas itu padaku, akan kutanda tangani nanti.”

            “Yeobo,” Hyorin merengut, “Anak kita akan sedih. Lagipula dia butuh berkas itu untuk dikumpulkan di sekolahnya lusa nanti. Masa kau tega pada anak kita?”

            “Anakmu. Sejak kapan aku punya anak denganmu?” Kangin menatap Hyorin tajam. Hyorin terdiam seketika. Wanita itu rupanya cukup pintar untuk tutup mulut. Mood Kangin sepertinya benar-benar rusak. Biasanya Kangin selalu membiarkan Hyorin menyebut anaknya dengan sebutan ‘anak kita’, tapi kali ini Kangin sedang tidak mood mendengarkan celotehan Hyorin.

            Kangin sangat tahu, Hyorin punya tujuan tertentu yang ingin ia capai dengan dirinya. Hyorin, wanita muda yang sangat ambisius. Seorang sekertaris yang awalnya tidak pernah Kangin lihat lebih dari 15 detik. Namun rasa kesepian Kangin juga kehilangannya dimanfaatkan dengan cermat oleh Hyorin. Kangin tahu, Hyorin ingin sampai ke atas, mencicipi kehidupan social yang tinggi jauh melebihi kehidupannya sebelumnya. Hyorin si janda beranak satu, kini dengan bangga menyandang status simpanan Kangin. Wanita itu tidak malu, semua orang tahu dia hanya simpanan. Untuk apa malu, kalau pada akhirnya semua akan terbayarkan. Saat Hyorin menjadi istri sah Kangin, siapa lagi yang berani meledeknya? Tidak akan ada yang berani macam-macam dengan keluarga Cho.

            “Yeobo, bagaimana kalau Yerin saja yang ke sini? Dia bisa menginap seminggu, ani, dua atau tiga hari juga cukup. Jadi kita tidak perlu cape-cape ke sana kan.” Hyorin mencoba lagi peruntungannya.

            “Akan kuutus orang untuk mengambilnya.” Keputusan Kangin sudah final, membuat Hyorin kembali menutup mulutnya. Ini satu lagi hal yang selalu dihindari oleh Kangin. Hyorin selalu mencoba memasukkan anaknya ke rumahnya, ke istananya. Motif Hyorin terlihat jelas, wanita itu tidak puas anaknya hanya disekolahkan dan dibiayai oleh Kangin, Hyorin ingin anaknya juga menikmati kemewahan tempat tinggal beserta segala fasilitasnya di sini. Hyorin ingin anaknya setara dengan Leeteuk dan adik-adiknya. Hyorin ingin Yerin diaku sebagai pewaris keluarga Cho juga. Hal yang sangat dihindari oleh Kangin. Kangin tidak ingin anaknya bergaul dengan anak Hyorin, anak yang bahkan ayahnya saja tidak tahu siapa. Kangin juga tidak rela membagi seluruh hak dan fasilitas untuk anak-anaknya pada Yerin. Hal ini lah yang membuat Hyorin benci setengah mati pada Raekyo. Dua-duanya sama-sama perempuan, Yerin juga tidak kalah cantik, namun mengapa hanya Raekyo yang beruntung memiliki segalanya?

            “Keluarlah, aku sedang tidak ingin melihatmu. Lakukan apa saja, tapi sudah cukup jangan ganggu anak-anakku lagi hari ini.” Kangin mengalihkan pandangannya pada layar televisi di ujung ruangan kerjanya. Tangannya memencet remote hingga memindahkan saluran berita menjadi pemandangan 4 kamar yang begitu tidak asing. Hyorin memucat melihatnya. Hyorin kira hanya dia yang memiliki akses CCTV ke kamar Leeteuk dan adik-adiknya, Hyorin kira Kangin akan mempercayakan seluruhnya urusan anak-anaknya padanya, seperti yang dulu Kangin perintahkan padanya. Pemasangan CCTV ini adalah permintaan Hyorin, namun dia tidak pernah menyangka Kangin memasang akses untuk dirinya sendiri.

            “Yeobo…” Hyorin takut sekarang. Berarti kebohongannya selama ini juga kebohongannya tadi saat dengan entengnya dia bilang Raekyo yang mendorong Kyuhyun telah Kangin ketahui. Tapi mengapa Kangin diam saja? Dan malah tetap memukuli Raekyo? Dari takut, perasaan itu berubah menjadi penasaran. Apakah ada sesuatu yang Kangin sembunyikan? Apa yang pria itu rencakan? “Yeobo, kau…”

            “Kau tuli? Kusuruh keluar kenapa masih di sini? Atau harus kulakukan apa yang tadi kuperbuat pada Raekyo padamu agar kau menjadi penurut?” Hyorin segera membungkukkan badan lalu keluar ruangan. Kangin menutup matanya sambil menghela nafas. Pria itu berdiri menghadap ke arah televisi, matanya tertumbuk pada satu ruangan paling feminim. Sudut bibir Kangin sedikit terangkat melihat Donghae mengecup kening Raekyo lalu keluar dari kamar gadis itu. Kangin tahu anak-anaknya saling menyayangi. Namun sedetik kemudian senyum itu sirna, saat Raekyo yang berpura-pura tidur itu kembali bangun, setelah memastikan Donghae sudah keluar dari kamarnya. Kangin memperhatikan lebih jelas, sebab penerangan kamar Raekyo yang dimatikan membuat pemandangannya agak terhalang. Raekyo berjalan tertatih ke pojok kamarnya, gadis itu duduk merosot di lantai sambil bersandar ke dinding. Walau kepalanya disembunyikan pada tangannya yang tertungkup, namun Kangin dapat melihat gerakan samar pada bahu Raekyo. Gadis itu menangis. Tidak berani di depan orang bahkan di depan Donghae, Raekyo memilih menangis sendirian di kamarnya yang gelap.

            Pegangan Kangin pada rotan panjang di tangannya terlepas, rotan itu berkelontangan menghantam lantai. Teringat pandangan mata si bungsu padanya saat dihukum tadi. Kangin meneteskan air mata, tersadar untuk kesekian kalinya, setiap luka yang ia torehkan di kaki si bungsu, suka atau tidak suka, Kangin sedang menorehkan luka yang lebih dalam dan lebih sakit di hatinya sendiri.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet