Tiga

The Dark Whisper

Suasana makan malam di keluarga Cho nampak hening. Masing-masing orang sibuk dengan pikiran dan makanan masing-masing. Hanya bunyi dentingan garpu dan sendok yang sesekali terdengar, tidak ada pembicaraan di sana. Nampaknya hanya dua orang yang benar-benar menikmati rasa makanan di lidah mereka, sebab satu lagi malah merasa tidak nyaman dengan suasana di hadapannya. Raekyo menghela nafas, tahu ketiga kakaknya belum pulang dirinya akan pergi dan mencari alasan ke mana saja, asal tidak terjebak di rumah dan harus makan malam bersama ayah dan sekretarisnya itu. Raekyo berniat cepat-cepat menghabiskan makananya dan kembali ke kamar tanpa harus berinteraksi dengan kedua orang di sana, yah sebenarnya satu orang sebab ia dari tadi curi-curi pandang pada ayahnya. Berharap ketika sang ayah sadar sedang ditatap, ayahnya akan menanyakan kenapa terdapat memar di wajahnya. Namun sejauh ini nihil, walau sang ayah menoleh padanya, pria itu tidak berkata apa-apa. Lagi-lagi Raekyo menghela nafas.

            “Kenapa lagi-lagi menghela nafas, Rae? Rasa makanannya tidak enak? Mau minta diganti saja?” Suara Hyorin mengagetkan Raekyo. Wanita itu berbicara seolah benar-benar perhatian padanya, hal yang selalu ia lakukan di hadapan ayahnya. Dan sukses selalu membuat Raekyo muak, sebab Raekyo sudah menghadapi wajah asli dari sekretaris ayahnya itu. “Ada jenis makanan yang kau tidak suka dari antara ini?”

            Mungkin kali ini Raekyo harus berterima kasih pada Hyorin, sebab sang ayah kini mulai menatap padanya. Ingin sekali Raekyo menjawab Ya dan mengeluhkan lauk pauk yang ada di meja, sekedar alasan saja sebenarnya sebab ia menyukai semua jenis makanan. Namun Raekyo hanya ingin mendengar pendapat ayahnya, ingin melihat ayahnya memperhatikannya juga.

            “Makan saja yang ada. Jangan terlalu baik padanya, dia jadi tidak bisa menghargai hasil usaha orang lain dan pilih-pilih makanan.” Belum sempat menjawab suara ayahnya terdengar. Membuat Raekyo menunduk dalam dan kembali memakan makanannya. Menelan kembali kecewanya.

            “Maaf Appa, aku terlambat. Ada urusan yang tidak bisa kutinggal tadi di perusahaan.” Sosok Leeteuk tiba-tiba muncul masih dengan seragam kantornya. Pemuda itu mengecup puncak kepala Raekyo sekilas lalu duduk di sebelah gadis itu.

            “Teuki-ah, duduklah, aku akan mengambilkan piring untuk….”

            “Shin Ahjumma, tolong ambilkan piring untukku.” Leeteuk memotong ucapan Hyorin begitu saja dan malah menyuruh maid. Bahkan terkesan tidak mengindahkan kehadiran wanita itu. Hyorin kembali duduk diam, sudah biasa dirinya diperlakukan begitu oleh keempat bersaudara Cho. Dan mau tidak mau ia harus membiasakan diri sebab Kangin tidak pernah menegur anaknya sekalipun atas perlakuan yang ia terima.

            “Bagaimana harimu, Teuki-ah? Kau terlihat sangat sibuk.” Kangin membuka percakapan, memperhatikan anak sulungnya yang mulai menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piringnya.

            “Baik appa. Ya, itu karena kita sedang berusaha membuka cabang baru jadi sibuk dengan segala persiapannya.” Leeteuk menjawab sambil menyendokkan sepotong daging ke piring Raekyo. Leeteuk mengernyit melihat porsi makan bungsunya yang makin hari makin tidak ada isinya. “Rae, apa-apan itu? Kau diet? Makan yang banyak, kau bisa sakit makan hanya sebatas itu.”

            “Lalu di mana Donghae dan Kyuhyun?” Lagi-lagi Kangin memotong apapun jawaban yang akan Raekyo berikan, membuat gadis itu kembali diam.

            “Donghae sedang ada kuliah tambahan dan Kyuhyun, dia menginap di rumah Changmin katanyaa, appa.” Leeteuk menjawab Kangin lalu kembali menghadapkan wajah pada Raekyo, “Ayo jawab Rae, kenapa makanmu sedikit sekali akhir-akhir ini? Kau sakit? Dan juga apa-apan lebam di wajahmu itu? Tadi pagi belum ada kan?”

            “Kyuhyun menginap? Memang ada apa?” Raekyo terdiam lagi. Hatinya berdenyut sakit. Dari tadi ayahnya menanyakan kabar ketiga kakaknya, bahkan secara mendetail untuk Kyuhyun. Tapi menanyakan kabarnya yang dari tadi diam di meja makan saja tidak, jangankan begitu, mengijinkan dirinya menjawab kakak sulungnya saja tidak bisa.

            “Wah, jangan bilang kau bertengkar dengan Kyuhyun sampai Kyuhyun pergi dari rumah ke rumah Changmin, Rae? Kulihat wajahmu babak belur? Atau, omo, yeobo, jangan-jangan Raekyo bertengkar di sekolah lagi lalu Kyuhyun membelanya dan ikut babak belur makanya dia tidak berani pulang ke rumah?” Leeteuk mengepalkan tangannya mendengar penjelasan Hyorin yang sangat tidak masuk akal dan malah menyudutkan Raekyo.

            “Benarkah itu, Rae?!” Suara Kangin meninggi. Raekyo meremat tangannya di bawah meja.

            “Ti-tidak appa. Ini, Rae terjatuh.” Jawaban Raekyo nampak tidak memuaskan Kangin.

            “Hyorin, cek ke rumah Changmin pastikan Kyuhyun baik-baik saja. Dan berikan laporannya padaku. Dan kau, Rae, bila sampai benar terjadi sesuatu pada Kyuhyun, malam ini datang ke ruang kerjaku. Mengerti?” Dengan itu kangin beranjak dari kursinya dan pergi dari ruang makan yang diikuti buru-buru oleh Hyorin. Di sana tinggallah Leeteuk yang terdiam, memandangi Raekyo yang lagi-lagi menunduk.

            “Rae…”

            “Tidak benar, oppa. Perkataan wanita itu tidak ada yang benar. Kyuhyun oppa baik-baik saja. Oppa tenang saja.”

            “Oppa tentu saja percaya padamu. Kau pikir oppa…” Leeteuk tidak bisa meneruskan kalimatnya, Raekyo sudah terlanjur beranjak dan segera menuju ke kamarnya. Membuat Leeteuk memandangi kepergian adiknya dengan sendu. Makanan di hadapannya sudah tidak menggugah seleranya lagi.

            ‘Rae, sejak kapan kau membuat jurang pemisah yang begitu jauh antara kau dan kami? Kenapa aku dengan bodoh tidak pernah menyadarinya di saat kamu memulai menjauhi kami. Maafkan oppa yang begitu lemah, tidak bisa sedikit pun membelamu. Tapi Rae, ketika dulu oppa membelamu dan berakhir kau kembali dirotan appa, karena appa tidak terima dilawan oleh kami oppamu, menciptakan trauma tersendiri bagi kami. Jadi ketika kini kami diam saja tidak membelamu, bukankah tindakan kami sudah benar?’

 

* * *

 

            Donghae baru saja memarkirkan mobilnya di pelataran rumahnya ketika matanya menatap dua bayangan mencurigakan di pinggir ujung pagar. Matanya menyipit mencoba mengenali kedua sosok tersebut namun sulit, penerangan di depan halaman rumahnya tidak terlalu baik, jadi hanya menampilkan siluet hitam kedua orang tersebut. Penasaran, dirinya mencoba memutar jalan, hingga bisa memergoki kedua sosok tersebut dari belakang. Tak lupa ia jalan berjinjit, mencoba meminimalisir suara gesekan sepatu dan aspal hingga memberitahukan kegiatannya. Ketika semakin dekat, Donghae menghembuskan nafas lega. Sosok mencurigakan tersebut adalah dua orang yang sangat ia kenal.

            PLAK!! PLAK!!

            “AW!!”

            “WAAA!!”

            “Apa yang sedang kalian lakukan eoh?” Donghae berkacak pinggang setelah sukses menggeplak kepala kedua orang di hadapannya hingga mereka berdua terkaget.

            “Hyung! Kau mengagetkanku!” Kyuhyun yang berteriak AW memberikan deathglarenya pada kakak keduanya tersebut.

            “Omo, Jantungku! Kyu, jantungku turun ke lambung!” Sedangkan Changmin yang tentu saja berteriak WAAA sibuk memegangi perutnya, panik. Membuat Donghae geleng-geleng kepala melihatnya.

            “Jadi, apa yang kalian sedang lakukan eoh?” Donghae bertanya lagi. “Kalian tidak sedang bermain petak umpet atau detektif-detektifan kan? Umur kalian berapa sih masih bermain seperti itu? Dasar kekanakkan.”

            “Berhenti mengatai kami kekanakkan, hyung! Mana sudi kami bermain permainan anak kecil macam begitu.” Kyuhyun mempoutkan mulutnya, sebenarnya malah menegaskan kata-kata bahwa ia kekanakkan.

            “Jadi?”

            “Kyuhyun itu hyung, dia mau menginap di rumahku tapi tidak tenang kalau belum mengecek keadaan rumahnya. Jadi yah begitulah.” Changmin mencoba memberi penjelasan.

            “Hm? Memang ada apa di rumah? Sesuatu terjadi?”

            “Ani, hyung. Hanya saja tadi Raekyo berkelahi lagi di sekolah, wajahnya lebam. Aku hanya takut appa marah padanya.” Kyuhyun menghentikan aksi kekanakannya dan kini kembali memandang ke arah rumahnya. Berharap penglihatannya bisa menembus hingga ke dalam rumahnya.

            “Mwo?! Lagi? Aish… anak itu. Mau sampai kapan…” Donghae tidak melanjutkan ucapannya dan kembali menghela nafas. “Kalian mau tetap di sini atau mau ikut masuk ke dalam?”

            “Aku akan menginap di rumah Changmin, hyung. Ini sudah malam. Ayo Chwang lebih baik kita berangkat sekarang, keburu terlalu malam.”

            “Hae hyung, anu, bisakah hyung mengantar kami?” Changmin berkata ragu-ragu pada Donghae.

            “Yak! Shim Changmin! Berhenti merepotkan hyungku! Kita naik bus saja.”

            “Hae hyung, Kyuhyun masih demam akibat flu. Bisakah hyung mengantar kami saja?” Changmin tetap dengan pendiriannya minta diantar, sebab lebih cepat dan praktis menurutnya. Ini sudah malam dan Kyuhyun belum makan juga belum minum obatnya.

            “Mwo? Kau demam, Kyu?” Donghae mencoba menempelkan tangannya di dahi Kyuhyun. Namun keburu ditepis oleh sang empunya.

            “Hyung jangan dengarkan tiang listrik itu. Dia hanya berlebihan. Ayo, Chwang!”

            “Diam di tempatmu, Kyu. Dan diam saja, biar hyung cek.”

            “Tapi…”

            “Diam!” Changmin bergidik, Donghae bila sudah marah amat menyeramkan menurutnya. Syukurlah Kyuhyun diam dan menurut. Ketika Donghae menempelkan tangannya, pemuda itu menatap Kyuhyun tajam. Omelan demi omelan sudah siap ia keluarkan apalagi melihat Kyuhyun keluar malam-malam hanya menggunakan kaos tipis. Oke, Donghae mencoba berpikir dengan logika, Changmin tidak mungkin tidak menyadari Kyuhyun yang demam akan keluar rumah malam-malam tanpa menggunakan jaket. Pastilah Changmin kalah berdebat dan bahkan diancam macam-macam oleh Kyuhyun hingga pemuda itu menyerah. Ketika Donghae milirik Changmin, pemuda yang kini menunduk menghindari tatapan Donghae itu juga menggukanan kaos yang sama tipisnya. Jadi Changmin yang kalah berdebat mau melancarkan aksi sehidup semati rupanya. Pemuda kelebihan tinggi itu pasti memilih mengikuti Kyuhyun menggunakan kaos tipis dan berharap kalau Kyuhyun semakin sakit, dirinya ikut sakit juga. Betapa manisnya persahabatan mereka kan?

            Donghae memilih mengalah, tidak ada gunanya juga memarahi mereka berdua saat ini, toh nasi sudah menjadi bubur. Donghae menggosok-gosokkan tangannya lalu menangkup kedua pipi Kyuhyun yang chubby, membuat bibir sang empunya terdorong moncong ke depan. Kyuhyun diam saja, dia sadar Donghae pasti merasakan pipinya yang kedinginan. Changmin juga diam saja dan menikmati bahkan ketika Donghae melakukan hal yang sama padanya. Inilah yang Changmin suka dari kakak-kakak Kyuhyun, mereka memperlakukannya seimbang dan sama adilnya seperti memperlakukan Kyuhyun. Hingga Changmin yakin Kyuhyun tidak akan pernah sirik padanya. Berbeda dengan Yunho, kakaknya itu malah lebih memanjakan Kyuhyun tidak seimbang dengan dirinya. Apakah artinya Changmin sirik pada perlakuan Yunho pada Kyuhyun? Tidak juga sih. Kenapa? Yah, Changmin saja merasa dia menjadi kakak bila bersama dengan Kyuhyun, bagaimana bisa sempat merasa sirik bila ia selalu sibuk memperhatikan dan merawat Kyuhyun? Changmin jadi teringat Brownies, peliharannya dulu yang sudah ia sumbangkan pada kenalan appa-nya karena Changmin kini terlalu sibuk mempersiapkan kuliahnya hingga tidak sempat merawat Brownies. Lalu kalau nanti kuliah Changmin terlalu sibuk bagaimana dengan merawat dan memperhatikan Kyuhyun? Changmin kan tidak mungkin menyumbangkan Kyuhyun. Changmin menggeleng-gelengkan kepalanya, imajinasinya mulai ngawur.

            “Ayo dua bocah nakal, kuantar kalian.” Donghae menggandeng tangan Kyuhyun dan Changmin lalu menyeret keduanya menuju ke mobilnya. Mengacuhkan Kyuhyun yang cemberut karena dipanggil bocah oleh kakaknya.

            Di mobil, Changmin diam saja, menikmati pemandangan yang silih berganti dari kaca mobil Donghae. Donghae sendiri sibuk fokus menyetir dan sesekali ikut bersenandung mengikuti lagu yang diputar di radio. Sementara Kyuhyun? Ia bosan dengan kesunyian di sekelilingnya, ia tidak pernah betah berdiam diri, pembawaannya yang berisik seolah menantangnya untuk memecah kesunyian di sekitarnya. Pemuda pucat itu menolah pada Donghae yang duduk di sampingnya, kemudian melonggarkan sedikit seatbeltnya lalu merebahkan kepalanya di pundak sang kakak. Donghae tentu saja membiarkan Kyuhyun berlaku sesukanya, ia hanya melirik sekilas memastikan adiknya tidak melepaskan sabuk pengamannya. Sementara Changmin jadi senyum-senyum sendiri di belakang, jarang-jarang ia melihat sahabatnya yang sok dewasa itu bermanja pada kakaknya. Biasanya Kyuhyun bermanja hanya bila menginginkan sesuatu. Atau jangan-jangan memang begitu?

            “Kau mau apa Kyuhyunie?” Tuh kan, karena sudah terbiasa melihat manja Kyuhyun saat sedang ingin sesuatu, maka Donghae pun jadi bertanya. Penasaran apa yang kira-kira akan diminta sang adik darinya.

            “Hyung, aku seorang kakak kan?”

            “Kurasa iya. Raekyo umurnya lebih kecil darimu kan? tentu saja itu menjadikanmu kakaknya.” Donghae mengerutkan keningnya, pertanyaan macam apa itu. Masa setelah 16 tahun Raekyo hadir di hidup mereka, Kyuhyun baru sadar ia kakaknya Raekyo?

            “Kau kakaku kan, Hyung?”

            “Kalau aku adikmu, untuk apa kau memanggilku hyung, Kyuhyunie.” Donghae mencoba bersabar akan pertanyaan Kyuhyun yang absurd menurutnya sebab Donghae sadar mood Kyuhyun sedang tidak dalam mode bercanda. Adiknya itu sedang  mellow sepertinya.

            “Hyung, apa kau lelah padaku? Menjagaku?”

            “Apa yang sebenarnya mau kau katakan, Kyu? Hyung mulai bingung.”

            “Hyung, aku tahu kau kadang kesal menjagaku. Aku yang tidak pernah mau menurut untuk menjaga tubuhku yang mudah sakit lebih ekstra. Leeteuk hyung juga begitu. Tapi aku tidak pernah mendengar kau dan Teuki hyung mengeluh lelah dan ingin menyerah menjagaku. Tapi hari ini, aku mengeluh, hyung. Tidak secara langsung namun dalam hati aku mengeluh. Aku merasa lelah menjaga Raekyo dan ingin menyerah terhadapnya. Apakah itu artinya aku bukan kakak yang baik? Aku tidak memenuhi kualifikasi menjadi seorang kakak? Apa harusnya aku memang ditakdirkan menjadi maknae?”

            “Lalu kalau kau memang ditakdirkan jadi maknae, bagaimana dengan Raekyo? Kita berikan saja pada keluarga Shim? Kurasa Changmin akan dengan senang hati menerima Raekyo. Ya kan, Min?” Changmin hanya mengangguk saja tanpa menjawab. Ia takut Kyuhyun akan marah padanya bila ia menjawab, cukup dengan anggukan saja yang dapat dilihat jelas oleh Donghae dari kaca spion namun tidak terlihat oleh Kyuhyun.

            “Hyung! Aku serius!” Kyuhyun menegakkan tubuhnya sambil protes, keluh kesahnya tidak dianggap serius oleh Donghae.

            “Kyu,” Donghae menghela nafasnya, satu tangannya menggenggam tangan Kyuhyun di pangkuan, “Kau sudah jadi kakak yang hebat untuk Raekyo. Kau sudah berusaha keras melindunginya. Tidak salah kau merasa lelah, kau hanya manusia biasa. Lagipula siapa bilang aku dan Teuki hyung tidak pernah lelah padamu? Hari ini saja kau sudah membuat hyung lelah karena melihatmu flu tapi memakai kaos tipis malam-malam begini. Siapa coba yang tidak lelah dan ingin menyerah memperingatimu yang keras kepala ini eoh?”

            “Mianhe, hyungie.” Kyuhyun menundukkan kepalanya. Walau ucapan Donghae dituturkan dengan lembut namun inti perkataanya membuat Kyuhyun merasa bersalah.

            “Bukan itu intinya, Kyu. Bukan pilihan antara lelah dan tidak pernah lelah maka kau bisa dibilang jadi kakak yang hebat. Namun dari kau yang selalu kembali lagi untuk menjaga Raekyo, yang walau hari ini kau merasa lelah dan ingin menyerah namun besok kau kembali lagi melindungi Raekyo tanpa ingat perasaanmu sebelumnya. Dan hyung rasa kau sudah jadi kakak yang hebat. Dan hyung bangga padamu. Berhenti merasa gagal, seorang kakak yang baik itu pantang menyerah menghadapi adiknya mau sekeras kepala apapun adiknya itu.” Kyuhyun tertegun mendengar penuturan Donghae. Hyungnya yang memiliki wajah childish itu ternyata bisa sangat bijak. Kyuhyun tersenyum dan kembali mendusal pada Donghae.

            “Hyung, aku kangen eomma. Kapan eomma kembali? Kita hanya tinggal menunggu eomma kembali maka keadaan akan kembali seperti semula kan, hyung? Appa akan menjadi sosok yang lembut seperti dulu, kita juga akan lebih bahagia kan? Aku tinggal menunggu sebentar lagi kan hyung? Raekyo hanya harus bersabar sedikit lagi kan hyung?”

            “Umm.” Donghae menjawab sekenanya, membuat Kyuhyun mendesah lega mendengarnya. Tidak terlalu menyadari pegangan Donghae yang mengerat pada setir mobilnya atau raut wajah Donghae yang berubah mengeras.

            “Tapi yang tidak kumengerti sampai sekarang, kenapa hanya Raekyo seorang yang appa jadikan sasaran, hyung? Apa yang sebenarnya terjadi?” Suara Kyuhyun hanya tinggal gumaman samar, Donghae merasakan pundaknya memberat, tanda Kyuhyun tertidur. Tidak lama kemudian suara dengkuran samar terdengar dari bibir Kyuhyun. Donghae mengelus kepala adiknya dengan lembut, bersyukur tidak harus menjawab pertanyaan Kyuhyun yang terakhir.

            ‘Mianhe, Kyu. Hyung belum bisa menjelaskan semua alasan ini. Bila kelak kau sudah tahu segalanya, akankah kau mengatakan kau masih merindukan wanita yang kau sebut eomma itu? Atau berharap sosok yang kau sebut appa itu kembali seperti dulu? Atau bahkan masih menganggap Teuki hyung kakakmu? Masih bisakah kau bermanja padaku dan memanggilku hyung? Masihkah kau menginginkan menjadi sosok kakak yang hebat untuk Raekyo? Hyung sungguh tidak tahu siapa yang akan paling terluka dan hancur di antara kita berempat, namun kalau boleh memilih, biarlah hyung yang menanggung semuanya. Biarlah hyung yang hancur agar kalian bertahan. Tapi, jujur hyung juga takut, Kyu.’

 

* * *

 

            Kangin terdiam memandangi layar televisi di ruang kerjanya. Melihat masing-masing kegiatan anak-anaknya di kamar mereka masing-masing. Yah sebenarnya hanya ada 2 ruangan yang terisi dari keempat ruangan di layar sebab Donghae belum pulang dan Kyuhyun menginap di rumah Changmin. Si sulung nampak merebahkan diri di kasurnya, menatap langit-langit kamarnya, entah apa yang sedang ia pikirkan. Sementara si bungsu sudah tertidur lelap dalam selimutnya. Memandang itu ekspresi Kangin berubah khawatir, ia tahu dan jelas sadar dari awal pertama bahwa wajah si bungsu kembali berwarna. Warna yang ia benci ada di wajah cantik bungsunya. Dan Kangin juga sadar selama makan tadi Raekyo mencuri pandang terus ke arahnya, minta diperhatikan atau sekedar diajak berbicara. Juga raut kecewa Raekyo ketika berulang kali Kangin memotong apapun yang akan gadis itu katakan. Sakit, pasti sakit hati bungsunya itu dan Kangin bohong bila dirinya sendiri juga tidak merasakan sakit itu.

            Kangin mengusap wajahnya lelah, mengalihkan pandang pada satu-satunya foto yang terpajang di ruangan. Foto mereka berenam, foto keluarganya. Lengkap bersama keempat anak dan istrinya. Ah mungkin kini Kangin bisa menyebut wanita itu mantan istrinya. Atau masih bolehkah ia memanggil wanita itu istrinya? Miliknya? Sebab ketokan palu belum terdengar mensahkan hubungan keduanya yang telah sekian lama berpisah. Wanita di foto itu tersenyum amat cantik, dan Kangin sadar kecantikan istrinya menurun langsung pada si bungsu. Hanya Raekyo yang mirip dengan istrinya itu, sedangkan ketiga anak lelakinya jelas mewarisi wajah tampannya. Walau sudah berpisah lama namun Kangin enggan mencopot foto tersebut, entah karena alasan apa. Menunggu sang istri kembali mungkin? Ah, hanya harapan kosong. Sebab Kangin tahu kalaupun istrinya kembali, kalaupun istrinya memohon bahkan menyembah untuk kembali, harga dirinya tidak akan pernah mengijinkan. Kekecewaannya sudah begitu besar dan rasa itu sudah lama sirna. Benarkah? Lalu mengapa selama ini Kangin berbuat begitu kejam pada si bungsu? Atas dasar apa kalau begitu semua perlakuannya selama ini?

            Kangin mengambil ponselnya dari atas meja, mendecih tidak sadar ketika melihat wallpaper ponselnya pun masih fotonya berdua dengan sang istri. Sebegitu kuatnyakah pengaruh istrinya pada setiap aspek kehidupannya? Bahkan sampai hal terkecil? Membuang perasaan sedih yang tiba-tiba melingkupinya, Kangin membuka ruang chat yang sudah sangat dikenalnya. Jarinya dengan cermat mengetik kalimat demi kalimat di sana, kalimat yang mungkin persis sama setiap harinya.

 

21.03

Ternyata kebiasaan buruk itu menular ya. Kau dan anak bungsumu sama-sama menyakiti. Bedanya kau menyakiti orang lain sedangkan gadis itu menyakiti dirinya sendiri. Lucu saat bekas pukulan di kakinya bahkan belum kering, kini di wajah.

21.04

Lalu? Apa hubungannya denganku?

21.05

Sebabak belur itu dan kau tidak penasaran? Ibu macam apa

21.06

Sudah kubilang berapa kali, aku sudah tidak peduli. Berbuatlah semaumu. Jujur aku heran kau belum membunuhnya sekalian. Jangan ganggu aku lagi.

21.07

KAU!! Dasar wanita br*n*s*k!!

21.08

Kutuk sesukamu, ejek semaumu, sudah kubilang aku tidak peduli lagi. Ah, aku benci mengatakan ini tapi kuharap gadis itu mati saja, jadi aku tidak perlu diganggu dengan urusan remeh macam ini.

21.09

Jangan menantangku, kau tidak tahu apa yang sanggup ku lakukan. Terutama pada anakmu yang lain. Benar, kenapa harus selalu gadis itu, akan kulakukan pada Leeteuk juga.

21.10

Silahkan.

21.11

Ah, atau Donghae?

21.12

Ya, ya, ya. Lakukan saja. Aku tidak peduli.

21.13

Hm, mungkin akan lebih menarik Kyuhyun. Anak itu mudah sakit, jadi kenapa tidak sekalian kusingkirkan saja?

21.16

Kubilang lakukan sesukamu, dasar g*la!! Jangan ganggu aku lagi, aku sudah membuangmu dan keempat anakmu dari hidupku, kalau kau mau menyingkirkan anakmu, kuharap dia membawamu juga ke neraka. Br*n*s*k!!

 

            Untuk pertama kali dalam beberapa tahun, Kangin akhirnya tetawa begitu lepas. Suara tawanya menggema di ruangan kerjanya yang gelap itu. Kangin tidak peduli orang lain atau orang rumahnya mendengar dia dan menganggapnya gila, tapi satu hal jelas, Kangin merasakan sesuatu begitu lucu. Sekian tahun dia berharap pada hal yang sia-sia padahal segalanya mudah saja baginya untuk melakukan apa yang ada di pikirannya. Selama ini dia salah, salah sasaran, kenapa dari awal dia tidak menyadarinya? Si bungsu tidak pernah jadi kesayangan orang itu, tapi anaknya yang lain, yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

            “Hyorin!!”

            “Yeobo? Kau memanggilku?” Hyorin berjalan tergesa mendekati Kangin. Dia yang memang selalu tidak pernah jauh-jauh dari pintu ruang kerja Kangin segera tanggap mendengar Kangin memanggilnya. Ingin ia bertanya lebih jauh tentang suara tawa Kangin yang ia dengar barusan tapi sesuatu di wajah pria itu membuatnya cukup tahu diri untuk menghentikan lidahnya. Hyorin harus pintar kalau tidak mau semua pencapaian atau bahkan kepalanya tetap di tempatnya.

            “Suruh siapapun jemput Kyuhyun dari rumah Changmin segera! Sekarang juga. Dan jangan banyak tanya kenapa. Sebab aku dan Kyuhyun akan memainkan permainan yang bagus.” Tanpa banyak tanya Hyorin segera melesat ke luar ruangan, tidak sekalipun menoleh walau suara tawa Kangin kembali terdengar.

            ‘Ah kenapa aku tidak pernah menyadarinya? 3 menit. Jeda waktu yang kau butuh untuk menunjukkan titik lemahmu, untuk menunjukkan bahwa kau masih peduli pada sosok itu. Bayangkan hanya 3 menit, yeobo. Memang selama ini aku sangat bodoh. Bukan Raekyo, bukan Leeteuk juga bukan Donghae. Selalu Kyuhyun, benar kan? Selama ini pun ternyata selalu Kyuhyun.’

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet