Hayi cukup bersyukur. Setelah sumbatan di hidungnya dilepas, darah udah nggak ngucur lagi. Jadi, Hayi tetap bisa masuk kelas spesial tambahan, kelas desain (DSN). Hayi, walau dilarang teman-temannya masuk kelas tetap maksain hadir, karena hari ini adalah hari pertamanya masuk kelas DSN.

“Nih” Jennie memberikan tas yang dibawakannya dari kelas pada Hayi. Hayi masih duduk di pinggir ranjang klinik. Ketika Hayi mau ngambil tasnya dari Jennie, keduluan Hanbin.

“Eh ?”

“Hayi kan masih sakit, harusnya dia nggak masuk kelas. Biar gue aja yang bawain” kata Hanbin.

Hayi nggak nolak atau setuju sepenuhnya.

“Okay, lo jaga baik-baik My Hi Baby. Dia harus sampe kelas tanpa luka tambahan apapun. Sampe Hayi kenapa-kenapa. GROOOOOOK ” Jennie membuat gerakan menggorok lehernya dengan ibu jari.

Hanbin bergidik ngeri.

“Lo hati-hati ya, Hay” Jennie memeluk Hayi sebelum keluar kelas. Hayi mengangguk dalam pelukan Jennie.

“Jenn, ayo buruan masuk kelas !” panggil Bobby dari luar klinik.

“Iya, Bab ! Nggak sabaran ih !” gerutu Jennie menyudahi pelukannya pada Hayi.

“Gue nggak mau jadi famous karena sering telat lagi di kelas composing. Bah ! Kim Couple ! What the duck !” Bobby jadi kesel sendiri inget sindiran Mino. Kim Couple XD.

“Heh ! Gue juga amit-amit kali ! dicouple-in sama elu. Yang kayak nggak ada lagi cowok di dunia ini” sungut Jennie menyusul Bobby keluar klinik.

Bobby menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatel “Yodaaaah deh capek gue berantem. Buruan ke kelas” katanya, berjalan duluan meninggalkan Jennie di belakang.

Jennie yang nggak pernah mau kalah dari Bobby, nggak semudah itu menyudahi pedebatan mereka. Sepanjang perjalanan ke kelas composing, mereka cuma berdebat nggak ada akhir.

“Kapan mereka berhenti debat?” tanya Hanbin pada Hayi, mendengar perdebatan Jennie dan Bobby bahkan ketika mereka sudah menjauh dari klinik.

Hayi mengangkat bahu “Nggak akan pernah berhenti debatnya. Ada aja yang didebatin. Tapi, kalo mereka berhenti debat, itu malah yang harus kita khawatirin” jawab Hayi. Hanbin ngangguk-angguk ngerti.

“Lo yakin tetap mau masuk ?” tanya Hanbin lagi. Entah pertanyaan yang keberapa kali ditanyain.

“Nggak. Gue mau pulang aja” jawab Hayi akhirnya.

“Lah, tadi katanya mau masuk aja. Serius mau pulang?” Hanbin malah heran karena Hayi dengan cepat ngerubah jawabannya.

“Ya, nggaklah. Kan gue udah bilang hari ini tuh, hari pertama gue masuk kelas desain. Gue nggak suka kalo ketinggalan info penting di kelas. Mana gue belom ada kenal anak kelas desain. Yuk buruan !” jelas Hayi. Hayi mencoba turun dari ranjang klinik, mau pake sepatu. Kakinya menjapai-japai sepatu di lantai. Nggak sampai.

Tanpa diminta Hanbin berjongkok dan memungut sepasang sepatu di lantai yang dijapai-japai Hayi.

Hayi nggak bergeming, menebak dalam hati apa yang selanjutnya dilakukan Hanbin.

“Lo mau pake sepatu nggak ? Katanya lo mau buruan masuk kelas?” tanya Hanbin megangin sebelah sepatu Hayi di tangan, mencoba memasangkannya.

Sadar. Hayi mengangguk kaku. Hanbin masangin sepasang sepatu ke kaki Hayi dalam diam.

Hanbin berdiri dan Hayi turun dari ranjang klinik.

“Yuk” ajak Hanbin menyampirkan tas Hayi di bahunya. Hayi ngikutin Hanbin keluar klinik, mereka berdua jalan beriringan.

Hayi diantar Hanbin menuju kelas desain, karena Hanbin nggak ada jadwal setelah ini. Hanbin murid baru, belum boleh ambil kelas spesial tambahan. Para murid baru biasanya harus beradaptasi dulu dengan satu kelas spesial, paling nggak untuk satu semester.

Canggung. Nggak ada yang ngeluarin suara sampai mereka sampai di depan kelas desain.

Hayi berhenti, “kayanya lo cukup nganterin sampe sini” kata Hayi.

Hanbin terpaut beberapa langkah dari Hayi, kaki kanannya udah masuk ke kelas desain “Nanggung. Hay ~” katanya menoleh ke Hayi sambil tersenyum ala Kim Hanbin. Hayi kembali ngerasain sensasi aneh dalam perutnya.

Mereka berdua masuk kelas desain. Kelas belom dimulai tapi udah dipenuhin siswa-siswa, hampir nggak ada bangku kosong. Waktu Hanbin dan Hayi nyari bangku kosong mereka jadi pusat perhatian, beberapa siswa pada bisik-bisik tetangga.

“Hay ~ ada satu bangku kosong nih. Tapi di depan, nggak papa ?” tanya Hanbin yang nyari di area depan.

“Nggakpapa. Di sana aja” kata Hayi berjalan menuju bangku yang dimaksud Hanbin.

Hanbin naroh tas Hayi di bangku yang kosong. Bangku di sebelah Hayi juga kosong, tapi udah ada tas tergeletak di sana.

“Ya udah kalo gitu gue balik ya” Hanbin pamitan.

Hayi mengangguk.

“Dah, Hay ~ semoga hari pertama lo seru. Fighting !” Hanbin melambaikan tangan keluar kelas.

...

...

...

“Hanbin~ah ...”

Hanbin kembali menoleh ke arah suara. Hayi.

“makasih banyak~” kata Hayi, tersenyum tulus.

Sedikit kaget, Hanbin mengangguk-ngangguk kaku, “sama-sama” jawabnya, balas tersenyum, ada semburat merah di pipinya. Hanbin memegang dadanya, jantungnya berdetak lebih cepat, pertama kali Hayi tersenyum padanya.

***

“Waaaaaaaah~ daebak ! udah setaun ini gue nggak punya temen sebangku. Akhirnya datang juga waktu yang gue nantiin” sapa sebuah suara dalam laki-laki yang nggak asing.

Hayi menoleh ke asal suara. Seorang laki-laki duduk di sampingnya.

“Annyeong !” sapanya. Mata mereka bertemu.

“Eh ?” Hayi dan laki-laki di depannya sama-sama kaget.

“Ha ? Annyeonghaseyo oppa” Hayi refleks membungkuk. Ia sekelas dan sebangku dengan Song Mino.

“Lee Hayi ? Lo ngambil kelas desain ?” tanya Mino takjub

“Iya, aku ambil kelas tambahan, oppa” kata Hayi.

“Sip ... sip pilihan yang tepat banget, Hay ~” kata Mino.

“Makasih, oppa. Mohon bimbingannya” balas Hayi

Mino memandangi Hayi.

“Btw, sorry ya tadi nggak bisa nengokin lo di klinik pas istirahat. Uda diajakin anak-anak sih, tapi mesti ngerjain tugas desain yang seabreg nih” jelasnya sambil menunjukkan setumpuk buku gambar.

“Lo udah nggak papa ?” t