Ken
re·mem·brance#If I could change your mind
I would hit the ground running
It took time to realize
And I never saw it coming
Forgive my lying eyes
Gonna give you all or nothing
If I could change your mind
I could make you mine, make you mine#
Haim- If I Could Change Your Mind
“Wait wait!”, ujar Xiumin saat mencegah pintu lift yang hampir tertutup. Hani memutar kedua bola matanya, padahal dia udah buru-buru neken tombol “close” supaya pintu liftnya tertutup dan dia nggak perlu berada dalam satu lift dengan Xiumin. Dia masih gondok berat sama kejadian tempo hari.
“Good morning, Hani”, sapa Xiumin. Hani mengerutkan dahinya. Seperti biasa, apapun yang dibikin ama Xiumin bikin dia kesel.
“Oh iya, kemarin ada yang ketinggalan”, kata Xiumin sambil merogoh tasnya. Dia ngeluarin anting yang familiar.
“Punya lo kan?”, Xiumin menyodorkannya ke Hani. Hani langsung megang ke telinganya. ! Emang antingnya ilang sebelah, dengan gesit dia merebut antingnya dari tangan Xiumin dan memakainya.
“Kalo lo ngerasa ada yang ketinggalan, ke kamar gue aja langsung”, kata Xiumin.
“Oh My God, kenapa sih semua yang berhubungan sama lo selalu creepy? Nggak cukup kemaren lo nginepin gue di tempat lo pas gue mabok? Sekarang make ngajak-ngajak gue ke kamar lo? Ini bagian dari niatan buruk lo ya?!”, tuduh Hani nggak sabaran.
“Niat buruk apaan sih Han? Kan gue bilang, lo sendiri malah yang masuk ke kamar gue”, dan yang bikin Hani makin kesel adalah sikap Xiumin yang tetap santai walau dia udah meledak-ledak. Dia juga nggak bisa ngelawan karena ternyata apa yang Xiumin bilang itu bener, Hani sendiri yang masuk ke dalam kamar Xiumin.
“Ugh!”, Hani geregetan sendiri nggak bisa bales omongan Xiumin. Bersamaan dengan itu, lift nyampe di lobi. Hani jalan duluan, tepat di mail box ada petugas pos yang membawa bingkisan besar berdiri tepat di depan mail box Hani. Hani nyamperin.
“Kiriman ya Pak?”, tanya Hani.
“Iya, untuk saudara Xiumin dari Jakarta”, jawabnya.
“Oh iya, saya Pak”, Xiumin mengambil bingkisannya dan menanda tangani serah terima.
“Bentar Pak, kenapa kirimannya mau ditaro di tempat saya ya?”, tanya Hani lagi.
“Ini alamatnya untuk 707B”, kata Pak Pos menunjukan alamat Xiumin.
“Aaah ini salah Pak, dia udah pindah ke 707A mail boxnya yang sebelah sana. Saya terus dapet kiriman dia karena saya yang sekarang nempatin unit dia, lain kali jangan salah ya Pak”, kata Hani. Pak Pos mengangguk mengerti. Hani melempar tatapan membunuh ke arah Xiumin.
“Gue lupa ngasih tau soalnya gue pikir gue nggak dapet kiriman dari Jakarta untuk sementara waktu”, alasannya. Dia menaruh kardus di bawah dan memeriksa apa isi kardusnya. Hani nggak sengaja ngintip dan dia melihat satu kaset bertuliskan “80’s mixtape”.
“Eh, bentar. Ini yakin punya lo?”, Hani mencegah Xiumin cabut.
“Hah? bener kok, nih ada nama gue”, kata Xiumin. Hani nggak percaya, dia yakin kaset bertuliskan “80’s mixtape” itu mirip sama kayak kaset yang dia punya di rumahnya yang di Jakarta tapi dia lupa itu kaset dari siapa.
“Tapi kasetnya mirip kayak punya gue…”
“Kaset apaan? Orang ini isinya makanan kering semua kok”, kata Xiumin. Makanan kering? Kok ngaco sih? jelas-jelas tadi Hani ngeliat ada kaset di dalamnya.
“Duluan ya Han, gue mau naro kiriman ke kamar dulu”, kata Xiumin sambil ngeloyor. Saat pintu lift tertutup, Xiumin menghembuskan nafas panjang. Dia membuka kardus itu dan melihat isinya. Kaset, foto-foto, poster, bahkan buku harian lengkap di dalamnya. Untung Hani nggak ngeliat, tapi sejenak senyuman mengembang di wajah Xiumin. Suatu kemajuan Hani ingat tentang kaset mixtape yang dia buat untuknya. Semoga usaha Xiumin nggak sia-sia.
***
“Eh, ada klien nih minta ketemu”, kata Dea saat ngelewatin kantor Hani.
“Duuh De, jangan gue deh. Lo tau kan kemaren performance gue jelek banget”, tolak Hani mentah-mentah. Dia takut malu-maluin lagi kayak waktu itu.
“Tapi katanya kliennya minta ketemu lo dan kalau nggak dia nggak mau make jasa kita and fyi, klien satu ini dari perusahan farmasi terbesar di Eropa”, dan kata-kata Dea makin ngebikin Hani under pressure. Hani menghembuskan nafas panjang, mau nggak mau dia harus ketemu klien ini. Dia membawa map berisi referensi-referensi iklan-iklan yang udah dia buat sebelumnya.
“Selamat siang”, sapanya. Matanya terbelalak kaget saat tau siapa yang barusan dimaksud Dea.
“Halo, kabar baik?”, tanyanya.
“Ya ampun Ken, baik-baik. Lo apa kabar? Udah lama banget kita nggak ketemuuu
Comments