chapter ix

To That Sunflower Garden

KIM SUNGGYU

_EPILOGUE_

 

Di salah satu kawasan elit Yarckel, sebuah distrik yang terletak di wilayah barat Dinding Sina, terdapat sebuah rumah besar berhalaman luas yang ditumbuhi berbagai macam tanaman dan bunga-bunga cantik. Di rumah itu tinggallah keluarga Nam, keluarga terpandang yang kaya raya. Tuan Nam terkenal ramah dan sering memberikan bantuan pada orang-orang yang membutuhkan, sementara Nyonya Nam yang sangat cantik dan anggun kerap kali terlihat di kegiatan-kegiatan sosial. Boohyun, anak satu-satunya keluarga Nam, tak lagi tinggal di rumah itu, tengah meniti karir sebagai polisi militer di Central dan bertugas mengawal keluarga kerajaan. Hanya sesekali dia pulang ketika mendapatkan izin libur. Banyak orang meramalkan Boohyun juga akan sukses sebagaimana ayahnya.

 

Dahulu di rumah besar itu juga tinggal seorang anak kecil yang sekitar sembilan tahun lalu tiba-tiba di bawa pulang oleh Tuan Nam. Tuan Nam mengatakan bahwa bayi itu adalah anaknya dan berkeras untuk merawatnya. Tentu saja Nyonya Nam tidak menyukai hal itu, namun dia sangat mencintai Tuan Nam dan tidak ingin ada pertengkaran di antara mereka. Nyonya Nam yang tidak kuasa untuk menolak terpaksa mengijinkan bayi itu untuk tinggal di rumah mereka. Tapi dia memberi syarat, meminta pada Tuan Nam agar keberadaan bayi itu dirahasiakan, dan kelak ketika bayi itu sudah beranjak kanak-kanak, Nyonya Nam juga melarangnya untuk menginjakkan kaki keluar rumah. Tuan Nam terpaksa puas dengan keadaan seperti itu, selama anak yang dia beri nama Woohyun itu bisa berada di bawah asuhannya. Nyonya Nam juga tidak dapat memberikan rasa sayangnya pada bayi itu, dengan jelas dia menampakkan perlakuan yang jauh berbeda pada Boohyun dan Woohyun.

 

Tak banyak orang yang mengetahui tentang anak itu di rumah keluarga Nam, tak banyak orang yang pernah melihatnya. Sehari-hari Woohyun hanya dapat tinggal di dalam rumah, menghabiskan waktu dengan membaca dan membaca, tak pernah sekalipun melangkahkan kakinya keluar rumah. Hanya beberapa pekerja terpercaya di kediaman keluarga Nam yang tahu akan keberadaan Woohyun, sementara sisanya, sama seperti orang-orang lain, hanya mengenal Boohyun sebagai satu-satunya anak di keluarga Nam.

 

Akibatnya ketika hampir satu tahun yang lalu Woohyun pergi diam-diam di suatu malam dan tak akan pernah kembali, upacara kematian tak pernah dilangsungkan untuk dirinya. Karena sejatinya Nam Woohyun memang tidak pernah ada, tak ada yang mengetahui tentang keberadaan dirinya. Kesibukan di kediaman keluarga Nam tetap berlangsung sebagaimana biasanya, seolah-olah seorang anak di keluarga itu tidak baru saja meninggalkan dunia ini. Hanya Tuan Nam seorang yang selama tujuh hari mengenakan baju hitam sebagai tanda berkabungnya dalam diam.

 

 

 

 

Waktu terbaik untuk menyiram tanaman adalah di pagi hari, ketika matahari tidak sedang bersinar terik sehingga meminimalkan hilangnya air akibat penguapan. Tukang kebun yang bekerja di kediaman keluarga Nam sangat meyakini prinsip ini, dibantu anak semata wayangnya mereka berdua memastikan agar semua tanaman yang tumbuh di halaman yang sangat luas itu telah mendapatkan cukup air sebelum pagi berganti siang. Dengan rajin anak tukang kebun itu menyirami satu demi satu tanaman yang ada di kebun, beberapa kali dia mengisi ulang gembor besi penyiram tanaman yang cukup berat untuk lengan kecilnya. Sesekali tangannya menyeka peluh yang membasahi kening, menghela nafas lelah, tapi tak lama kemudian dia kembali mengerjakan tugasnya. Dahulu, senyum kecil selalu tampak menghiasi bibir mungilnya dan sesekali siulan riang meluncur dari mulutnya, membuat siapapun yang mendengarnya ikut tersenyum senang. Namun kini hal itu jarang sekali terjadi, sejak tragedi yang menimpa anak yang dirahasiakan oleh keluarga Nam hampir setahun yang lalu, anak tukang kebun itu tak pernah seceria dahulu.

 

Entah untuk yang keberapa kali, si anak tukang kebun tengah berjalan menuju sumur air di pojok kebun untuk kembali mengisi gembor airnya, ketika beberapa orang yang baru saja datang dan memasuki rumah keluarga Nam menarik perhatiannya. Datangnya tamu ke kediaman keluarga Nam sebenarnya bukanlah hal yang jarang terjadi, namun pakaian seragam militer yang dikenakan para tamu itulah yang membuat anak tukang kebun itu menjatuhkan gembornya begitu saja ke tanah dan berlari mendekat. Beberapa langkah dari teras rumah anak itu berhenti, dia masih sadar diri dengan statusnya yang hanyalah anak seorang pekerja di rumah itu, tidak pantas jika dia tiba-tiba menghambur masuk dan membuat kacau. Dia mengendap medekati dinding dan mencoba mengintip ke dalam melalui sebuah jendela besar. Di ruang tamu tampak Tuan Nam tengah duduk di sebuah sofa empuk, menjamu empat orang tamu yang semuanya mengenakan jaket pendek berwarna coklat muda, celana putih dan sepatu boot selutut berwarna coklat tua. Dua sayap menyilang menghiasi dada kiri, pundak dan punggung seragam mereka.

 

Anak tukang kebun itu mendesah kecewa ketika tamu yang datang bukanlah orang yang dia harapkan. Tetapi kemudian mata kecilnya mencermati tetamu, mencoba mengingat-ingat adakah diantara mereka wajah yang dikenalnya.

 

"Kim Sunggyu!"

 

Anak tukang kebun itu terkesiap, selama sedetik disangkanya yang memanggilnya adalah ayahnya, yang sudah pasti akan memarahinya karena menanggalkan pekerjaannya dan dengan tidak sopan mengintip urusan Tuan Nam. Namun ketika dia berbalik, wajahnya berubah cerah dan tanpa sadar sebuah senyum terulas di bibirnya. Bukan ayahnya. Orang yang memanggilnya berdiri di bawah sebuah pohon di dekat pagar, seragam coklatnya tampak kontras dengan hijaunya semak pagar yang membatasi wilayah kediaman keluarga Nam. Sunggyu, si anak tukang kebun, segera belari mendekat.

 

"Howon," sapa Sunggyu, melihat orang yang telah lama tak ditemuinya membuat rasa hangat menjalari hatinya. Wajah Howon masih sama seperti yang diingatnya, juga sudut-sudut bibir yang selalu ditarik ke atas membentuk seulas senyum, hanya rambut hitamnya yang sedikit lebih panjang dari saat terakhir mereka bertemu.

 

Mendadak senyum Sunggyu sirna saat matanya tertumbu pada lengan sang prajurit yang berada di balik punggung. "Howon, tangan… mu?" tanyanya, suaranya tercekat di tenggorokan.

 

Howon tersenyum simpul sebelum mengulurkan tangannya dari balik punggung dan menarik sedikit lengan bajunya ke atas. "Jeng-jeng… Lihat!" serunya.

 

Berkilau di bawah sinar mentari pagi, Howon memamerkan tangan palsunya yang terbuat dari logam. Tampak kokoh dan kuat, tangan palsu itu berwarna putih kecuali di bagian sambungan sendi-sendinya yang berwarna hitam.

 

Sunggyu menggigiti bibir bawahnya, teringat akan kejadian mengerikan yang melibatkan Woohyun, Howon, titan dan padang bunga matahari --yang berakhir dengan terenggutnya nyawa Woohyun dan Howon kehilangan tangan kanannya. Sunggyu merasa sangat bersalah, seharusnya Howon tidak perlu kehilangan tangan kanannya jika saja Sunggyu tidak berkeras untuk pergi ke padang bunga matahari dan juga memaksa untuk masuk ke padang lebih dalam. "Maaf ya… Gara-gara aku--"

 

Tapi Howon memotong permintaan maaf Sunggyu. "Ini bukan salahmu. Aku yang kurang terlatih dan kurang lihai, ini karena kecerobohanku sendiri. Tapi tak apa-apa, sekarang aku memiliki tangan yang keren, kapten memberikannya padaku beberapa minggu setelah lukaku membaik. Bisa digerakkan juga, keren kan? Lihat, lihat…." kata Howon sambil menekuk-nekukkan jari-jari logamnya.

 

Sunggyu terdiam sejenak, dirinya masih merasa bersalah, apalagi Howon tidak membiarkan dia menyelesaikan permintaan maafnya. Tapi karena terbakar rasa ingin tahu, Sunggyu pun meraih tangan Howon, membolak-balikkan tangan palsu itu dalam genggamannya, jemarinya menelusuri sambungan yang terpasang erat di pergelangan tangan Howon.

 

"Aduh," pekik Howon tiba-tiba.

 

"Oh! Maaf, sakit ya?" tanya Sunggyu panik seraya melepaskan tangan Howon dari genggamannya. Sunggyu semakin merasa bersalah karena telah menyakiti Howon. "Maaf, aku tidak sengaja. Aduh, bagaimana ini…"

 

Tapi sedetik kemudian Howon berseru. "Bercanda! Hahaha…"

 

Mata Sunggyu membelalak lebar. Dia masih ragu, mengira Howon memang merasa kesakitan dan berbohong agar Sunggyu tidak panik lagi. Tapi Howon yang terus tergelak-gelak sambil melambai-lambaikannya tangan palsunya di depan wajah Sunggyu sepertinya memang bercanda soal rasa sakit itu. Sunggyu mendengus kesal dan memukul pundak Howon. "Kau menyebalkan! Aku kira kau memang kesakitan tadi."

 

"Aduh, kalau yang ini memang benar-benar sakit…" keluh Howon sambil mengusap-usap pundaknya yang baru saja dipukul Sunggyu.

 

"Salahmu… Makanya jangan bercanda yang seperti itu," kata Sunggyu sambil bersungut-sungut, masih kesal karena dibohongi oleh Howon.

 

"Habis air mukamu tadi serius sekali. Wajah semanis ini lebih cocok jika tersenyum, bukan berkerut kening," kata Howon sambil mencolek hidung mungil Sunggyu.

 

Sunggyu membuang muka, pipinya sedikit bersemu karena digoda oleh Howon.

 

"Hei," panggil Howon sejurus kemudian, ketika Sunggyu masih juga memalingkan wajahnya. "Kita sudah lama tidak bertemu, biarkan aku melihat wajahmu."

 

Namun Sunggyu tak jua mau menoleh lagi.

 

"Masih kesal ya? Hehhe, maaf deh…" Howon membujuk Sunggyu selama beberapa saat agar mau berbicara padanya lagi sebelum akhirnya dia menyerah dan memilih untuk duduk bersandar di batang pohon. Tapi sedetik kemudian Sunggyu ikut duduk di sebelahnya, kepalanya disandarkan di pundak Howon. Hal itu membuat Howon tersenyum.

 

Selama beberapa saat mereka berdua duduk di bawah rindangnya pohon dalam diam. Sunggyu kembali meraih tangan Howon dalam genggamannya, memainkan buku-buku jari tangan buatan Howon, sebelum Howon mencoba memulai percakapan lagi. "Bagaimana kabarmu selama ini?"

 

Sunggyu mengendikkan bahunya. "Baik," jawabnya pelan.

 

Howon kembali tersenyum. "Aku juga baik," balasnya tanpa ditanya. "Sempat perlu beberapa saat agar terbiasa dengan tangan baruku, tapi sejauh ini aku baik-baik saja, bahkan sekarang aku juga mulai diijinkan untuk bergabung dalam misi lagi."

 

Sunggyu menegakkan tubuhnya, kepalanya tak lagi menyandar di pundak Howon. "Kamu akan keluar Dinding Rose lagi?"

 

Howon mengangguk.

 

"Tapi 'kan di luar sana sangat berbahaya…" ucap Sunggyu lirih, matanya lebar menatap lekat-lekat pada Howon.

 

"Aku seorang prajurit," kata Howon. "Walau sangat berbahaya, sudah kewajibanku untuk melindungi dan membantu orang-orang yang memerlukan."

 

Sunggyu terdiam beberapa saat, menggigit-gigit kecil bibirnya lagi. "Kapan... kau akan pergi?"

 

"Akhir minggu ini. Kapten Jisun sedang membicarakan tentang bahan pokok yang Tuan Nam janjikan akan disumbangkannya untuk misi kali ini," kata Howon, mengganggukkan dagunya ke arah rumah. "Ketika aku mendengar kapten akan pergi ke ruman Tuan Nam, aku meminta padanya agar diijinkan ikut kemari."

 

"Kenapa?"

 

"Tentu saja karena aku ingin bertemu denganmu," jawab Howon sambil tersenyum. Tapi kemudian dia buru-buru menambahkan, "juga karena aku ingin tahu kabar bunga matahari yang sudah susah payah kita dapatkan."

 

Setelah kejadian di padang bunga matahari, Sunggyu tak sadarkan diri selama beberapa saat. Namun ketika dia sempat siuman sejenak di gerobak yang membawanya pulang ke Yarckel, dia melihat ada sebatang bunga matahari kering di sebelahnya. Sepertinya di tengah keadaan yang kacau akibat adanya titan yang ternyata bersembunyi di antara rimbunnya bunga matahari di padang, Howon sempat mengambil sebatang bunga matahari untuk Sunggyu walau tangan kanannya terpaksa menjadi tumbal. Di padang bunga itulah Sunggyu terakhir kali melihat Howon, dengan tubuh bersimbah darah. Sejak kembali ke Yarckel baru kali ini Sunggyu bertemu dengannya kembali.

 

"Apakah Nyonya Nam senang mendapatkan bunga kesukaannya? Di mana bunga itu kau tanam?" Tanya Howon.

 

Sunggyu menggeleng pelan, wajahnya sendu. "Nyonya Nam… tidak mau menerima bunga itu. Dia juga tidak mengijinkan ayah untuk menanam bunga matahari di kebun rumahnya lagi. Walau aku sudah memohon pada Nyonya Nam, mengatakan padanya bahwa ini adalah keinginan terakhir Woohyun untuk membawakan bunga matahari untuk beliau, tapi Nyonya Nam tetap berkeras tidak mau."

 

"Oh," Howon tertegun.

 

"Tapi tenang saja," lanjut Sunggyu. "Bersama dengan ayah, bibit bunga matahari itu kami tanam di pinggir sungai di dekat rumah. Sekarang bunga-bunganya sudah  mulai bermekaran. Beberapa orang juga sudah meminta bibitnya dan ikut menanam bunga matahari juga di kebun rumah mereka. Mau lihat sekarang? Sungainya tidak terlalu jauh dari sini," tawar Sunggyu. Dia baru ingat kalau Howon pernah berkata bahwa dirinya sama seperti Woohyun, juga mencari bunga matahari.

 

Wajah Howon mendadak tampak muram. Perubahan air mukanya segera saja disadari oleh Sunggyu. "Howon, kenapa?" tanya Sunggyu.

 

"Sunggyu," ucap Howon hati-hati setelah menghela nafas panjang, "sebenarnya, yang Woohyun dan aku cari bukanlah bunga matahari…"

 

Sunggyu menatap Howon dengan heran. Bukan bunga matahari? Apa maksud Howon? Jelas-jelas waktu itu Woohyun meminta Sunggyu untuk menemaninya mencari bunga matahari…

 

"Aku tidak tahu apakah kamu bisa mengerti ini, kamu masih kecil dan terlalu polos, tapi sebenarnya yang kami cari adalah pengakuan…"

 

"Pengakuan?"

 

"Ya, pengakuan. Woohyun ingin Nyonya Nam mengakui keberadaan dirinya. Kau tahu 'kan, kalau Woohyun itu bukan anak kandung Nyonya Nam?"

 

Sunggyu mengangguk. Dia baru mengetahui hal itu sepulang dari perjalanannya keluar Dinding Rose. Awalnya dia tidak mengerti mengapa Nyonya Nam begitu dingin mendengar kabar kematian Woohyun dan menolak bunga matahari pesanan Woohyun yang telah susah payah dia bawa. Bagaimana bisa seorang ibu berlaku seperti itu pada anaknya sendiri. Barulah setelah Ibu menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Woohyun bukan anak kandung Nyonya Nam, Sunggyu dapat sedikit memahaminya.

 

"Woohyun ingin mendapatkan kasih sayang dari Nyonya Nam," lanjut Howon, "makanya dia mencari bunga matahari dengan harapan agar Nyonya Nam akan berterima kasih dan menyayanginya setelah dia pulang membawakan bunga kesayangan Nyonya Nam itu."

 

"Oh, begitu…" bisik Sunggyu. Sekarang dia benar-benar mengerti mengapa Woohyun berkeras mencari bunga matahari, bunga kesayangan Nyonya Nam. "Lalu, Howon, bagaimana dengan dirimu?"

 

Sekali lagi Howon menghela nafas. Dia tampak ragu sesaat sebelum akhirnya memulai kisah tentang dirinya yang tidak mengetahui siapa ayahnya dan sejak kecil ibunya meninggalkan dirinya untuk diasuh oleh nenek dan bibinya. Keberadaannya tidak diinginkan dan senantiasa dianggap tidak berguna, karena itulah kemudian Howon memilih jalan untuk menjadi seorang prajurit dan bergabung dengan pasukan pengintai Survey Corps. "Ah… Sesungguhnya aku benar-benar tidak ingin menceritakan hal ini padamu, Sunggyu, tapi mendengar Nyonya Nam tidak mau menerima bunga matahari yang ingin Woohyun berikan padanya sekarang aku jadi sedikit khawatir…" kata Howon.

 

"Khawatir kenapa?" tanya Sunggyu.

 

"Ketika seorang prajurit meninggal dalam misi, sebagai bentuk penghormatan dan rasa bela sungkawa lencana yang ada di sini akan di antarkan pada keluarganya," Howon menunjuk lencana sayap bersilang di dada kirinya. "Aku satu-satunya kader angkatanku yang selamat di misi itu, dan aku ikut mengantar ketika kapten mengirim lencana milik teman-teman satu angkatanku yang gugur pada keluarga mereka."

 

Walau Howon tidak menyebutkan misi yang mana, tapi Sunggyu mengerti yang dimaksud olehnya. Pasti itu adalah misi pertama Howon sekaligus misi ketika Sunggyu dan Woohyun menyelinap dalam gerobak perbekalan mereka.

 

"Walau keluarga para prajurit yang gugur itu sangat sedih, mereka menerima lencana itu dengan besar hati, karena itu berarti salah satu anggota keluarga mereka telah berjuang dengan gagah berani melawan titan demi kelangsungan hidup umat manusia." Howon menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan lagi. "Aku juga menginginkan hal yang sama, agar nenek dan bibiku bangga padaku ketika menerima lencanaku. Tapi sekarang aku agak khawatir, bagaimana jika mereka tidak mau menerima lencanaku, sama seperti Nyonya Nam yang tidak mau menerima bunga matahari dari Woohyun? Itu berarti bahkan setelah usaha perjuangan dan kematianku, keluargaku tetap tidak akan menganggap keberadaanku--"

 

Howon menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba Sunggyu memeluknya erat. "Tidak," suara Sunggyu sedikit teredam. "Itu berarti kau tidak boleh mati… Howon, kau tidak boleh mati dan harus tetap memakai lencana itu di seragammu…"

 

Howon balas memeluk Sunggyu dan mengusap-usap punggungnya, berusaha menenangkan Sunggyu yang masih terus saja berkata "kau tidak boleh mati… tidak boleh…"

 

"Aku tidak mau teman-temanku satu persatu mati. Cukup-- Cukup Woohyun saja…" isak Sunggyu. Akhirnya setelah sedikit tenang, Sunggyu melepaskan pelukannya, tangannya sibuk mengusap air mata di pipinya. Sunggyu sedikit berharap Howon kemudian akan berjanji padanya untuk tetap hidup, tapi Howon tak jua mengucapkan apapun. Sunggyu terisak lagi, menggigit bibir bawahnya. "Kalau begitu… berikan lencanamu padaku! Jika nenekmu tidak mau menerimanya, aku yang akan menyimpannya untukmu."

 

"Sunggyu…" Howon tertegun, menatap wajah Sunggyu yang penuh kesungguhan. "Terima kasih…" Ujung bibir Howon terangkat membentuk sebuah senyum. Tapi kali ini Sunggyu merasa senyum Howon tampak berbeda dari biasanya, seolah matanya juga ikut tersenyum dan lebih bersinar. Ah, mungkin pengaruh cahaya dari sinar matahari pagi…? Entahlah…

 

Sebenarnya masih banyak cerita yang ingin mereka bagi dan masih banyak hal yang ingin mereka obrolkan, tapi sayangnya tak lama kemudian Kapten Jisun beserta prajurit yang lain keluar dari rumah bersama Tuan Nam. Urusan mereka telah selesai dan Howon juga terpaksa harus kembali bersama rombongannya. Kapten Jisun rupanya masih ingat dengan Sunggyu, dia menyempatkan menyapa Sunggyu sebentar sebelum menaiki kereta kudanya dan rombongan para prajurit pasukan pengintai pun berlalu.

 

Sunggyu si anak tukang kebun kembali mengerjakan tugasnya, menyirami tanaman. Dia harus bergegas agar hari tidak semakin siang.

 

Selepas pekerjaannya di kebun kediaman keluarga Nam selesai, Sunggyu akan segera pergi ke tepi sungai tempat dia menanam bunga matahari yang telah susah payah Howon dapatkan untuknya. Dibantu dengan Dongwoo, Myungsoo dan Sungjong, mereka bersama-sama merawat padang kecil bunga matahari itu. Hari demi hari Sunggyu melakukan hal yang sama, tak pernah ada kabar ataupun kunjungan dari Howon lagi setelah kedatangannya yang tak terduga ke kediaman keluarga Nam hari itu. Juga tak pernah ada yang mengirimkan lencana sayap bersilang padanya. Sunggyu hanya dapat berharap bahwa itu berarti Howon masih tetap hidup dan berjuang di luar dinding sana, atau pada akhirnya keluarganya mau menerima lencana miliknya.

 

_END_

 

 

 

 

AUTHOR'S NOTE

Maaf ya nge-update ceritanya lamaaaa... soalnya saya kemarin2 lagi sibuk cari kerja, tes ini itu, interview di sana-sini,  bolak-balik ke Jakarta TT__TT Maaf kalau endingnya agak terlalu terburu-buru dan kurang memuaskan. Saya tau endingnya agak nanggung, tapi sengaja dibuat begini karena harapannya ada season 2-nya, hahhaha... (kalau saya uda ada waktu lagi dan kalau saya sudah menamatkan cerita2 yg lain, doakan saja XD)

Eh iya, ini ada versi bahasa Inggrisnya, kalau mau di cek, monggo di klik di sini

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
diniazakee #1
Chapter 11: Amazing, author!
Ceritanya menarik dan menyentuh. Aku harap bisa menemukan ff Infinite/Woogyu sebagus ini, atau mungkin lebih.
Terima kasih, author atas ceritanya(ff). Semoga dikemudian hari aku bisa baca cerita/ff darimu.
Love love author ♡♡♡
keyhobbs
#2
Chapter 10: ahh.....woohyun meninggal,mana gk d lakukan upacara kematian lg,kasian....btw,nyonya nam jahat bnget, bahkan sampe d akhir hayatnya woohyun dia tetep gk mau ngakuin woohyun, kayaknya ini orang gk punya hati bnget-_- eh eh , awalnya kukira hoya itu udh dewasa lho..ternyata cuma beda beberapa tahun sma sunggyu hehe...
Alvin_19 #3
Chapter 10: Akhirnya q paham dan menangis.,,, cerita yang bener² bagus. Maksih buat author,,, cerita anda sungguh mengangumkan
Alvin_19 #4
Chapter 4: Ahh,,,, belum paham maksud ceritanya. *plakk (msih blum slesai udah kburu komen)
Maaf y,, Lanjut baca terus!!! ^_^
nwh311 #5
Chapter 10: tamaat xD demi apa terkejut woohyun tewas dimakan titan -- nyonya nam jahat banget sih gamau nerima bunga matahari woohyun T.T over all ff nya bagus meskipun ada beberapa part yang tulisannya masih agak berantakan /justmyopinyokay
nwh311 #6
Chapter 10: tamaat xD demi apa terkejut woohyun tewas dimakan titan -- nyonya nam jahat banget sih gamau nerima bunga matahari woohyun T.T over all ff nya bagus meskipun ada beberapa part yang tulisannya masih agak berantakan /justmyopinyokay
garichan #7
Chapter 10: tapi jalan ceritanya beda, tadinya sempet males baca soalnya mirip anime attack on titan. Tapi karna jalan ceritanya beda, jadi mau baca sampe abis apa lg menyangkut bunga matahari. Keren banget ff'nya. Dan kapan season 2nya??? Ditunggu thor!!!
garichan #8
Chapter 4: udah saya kira ini mirip shingeki no kyojin bukan mirip lg tapi sama dari tempat, nama dinding, dan seragam situasi juga. Apa lg ada titan
inspiritly_beauty
#9
Chapter 11: Udah tamat aja >.<
Awalnya aku aneh kok ga pernah ada updat lagi, ternyata aku ga subscribe. Mian... ;_;
Sad ending... kenapa Ny. Nam gamau terima bunga dari Woohyun? Tega banget.
Senang pas tau kamu ada rencana bikin Season 2. Semoga nanti ada karakter pengganti Woohyun >.< Atau ada anak lain yang punya nama sama kaya Woohyun. Soalnya sunggyu tanpa woohyun itu kurang afdol. lol
lovedio #10
Chapter 10: gilakk.. ini pengobrak abrik hati sayaaa T.T