chapter ii

To That Sunflower Garden

NAM WOOHYUN

Ketika Woohyun memutuskan untuk meminta bantuan Sunggyu mencari bunga matahari, itu karena dia merasa Sunggyu adalah orang yang cakap. Dari balik jendela, dia sering melihat Sunggyu membantu ayahnya di kebun, melakukan berbagai pekerjaan, menyiram tanaman, menyiangi rumput-rumput liar di petak bunga, hingga memanjat pohon untuk memetik buah-buah apel. Sunggyu dapat melakukan apa saja. Dan dugaan Woohyun tidak salah, lihat, baru tadi siang Sunggyu mengatakan dia tidak tahu bagaimana caranya agar mereka bisa pergi ke Dinding Rose, tapi tiba-tiba saja sore itu Sunggyu memanjat masuk ke kamarnya melalui jendela yang terbuka, membawa kabar bahwa mereka akan pergi malam itu juga.

 

"Tepat setelah makan malam kita akan berangkat," kata Sunggyu, nafasnya menderu. Pipinya bersemu merah dan wajahnya basah akan keringat, tampak jelas bahwa dia berlari sepanjang jalan menuju rumah keluarga Nam. "Jangan terlambat, aku akan menunggu di pojok jalan menuju rumahku."

 

"Aku tidak tahu rumahmu," dengus Woohyun.

 

"Ah, benar juga," Sunggyu mengerang. "Kalau begitu, bagaimana kalau di dekat jam besar saja?"

 

Woohyun menggeleng, dia juga tidak tahu di mana letak jam besar yang dimaksud Sunggyu.

 

"Tuan Muda Nam tidak tahu?" seru Sunggyu pelan. "Tuan Muda tidak tahu jam terbesar yang ada di distrik ini? Menaranya menjulang tinggi, Tuan Muda dapat melihatnya bahkan dari jauh."

 

Ketika Woohyun hanya menatapnya dan tidak membalas kata-katanya, Sunggyu mendesah. "Baiklah, dengar baik-baik. Begitu Tuan Muda keluar dari rumah, ikuti saja jalan besar yang ada, jangan berbelok sama sekali. Setelah melihat gereja besar, baru belok ke kiri sampai ada menara jam yang sangat besar. Tunggu saja di sekitar situ, nanti aku akan datang menemui Tuan Muda."

 

Woohyun mengangguk.

 

"Bagus. Sekarang aku pulang dulu, sampai bertemu nanti malam." Sunggyu kemudian menjengukkan kepalanya keluar jendela, dan setelah yakin tidak ada orang, dia memanjat keluar. Hanya saja, tanpa disengaja salah satu kakinya tersandung ambang jendela, membuatnya terjungkir keluar dengan kepala terlebih dulu. Terdengar pekikannya tertahan.

 

Woohyun terkesiap, dia berlari ke tepi jendela. "Yah, tidak apa-apa?" tanyanya sambil menjulurkan kepalanya keluar.

 

"Hehehe, tidak apa-apa. Untung saja bunga-bunga di bawah jendela ini belum di tanam lagi, jadi aku tidak jatuh menindihi mereka," kata Sunggyu sambil terkekeh.

 

Sunggyu sudah berada dalam posisi duduk, wajahnya berlumur tanah di sana-sini. Tapi tidak tampak sedikitpun ekspresi kesakitan di wajahnya, yang ada dia malah tersenyum lebar, dan itu membuat Woohyun tertegun.

 

Sunggyu selalu tersenyum. Atau setidaknya Sunggyu yang dilihat Woohyun dari balik jendela selalu tersenyum. Bahkan ketika hari sedang terik, Sunggyu tetap berwajah cerah dan dengan telaten tak melewatkan satu tanamanpun tidak ikut tersiram. Sunggyu juga selalu tersenyum pada pekerja lain yang kebetulan lewat. Suara siulan riangnya juga sesekali terbawa angin hingga ke ruang baca. Tapi Sunggyu  yang ada di hadapan Woohyun selalu berwajah khawatir, dengan alis yang selalu bertaut. Sore itu pertama kalinya Sunggyu tersenyum secara langsung pada Woohyun, dan Woohyun merasa ada kehangatan yang menjalar di hatinya. Senang rasanya ketika ada yang tersenyum padanya. Senang rasanya ketika Sunggyu tersenyum padanya.

 

Sudut-sudut bibir Woohyun perlahan terangkat, membentuk seulas senyum kecil. Sayang, Sunggyu sudah lama berlalu, hanya tinggal tanah dingin bekas tempatnya terjatuh.

 

Woohyun menutup jendela kamarnya dan berpaling.

 


 


Makan malam adalah waktu dimana semua anggota keluarga Nam berkumpul, minus Boohyun, tentu saja, yang sejak lulus dari pelatihan militernya tinggal di Capital sebagai polisi militer yang bertugas melindungi keluarga raja. Hanya sesekali saja Boohyun pulang ketika mendapat ijin libur, dan hari-hari dimana Boohyun ada di rumah adalah hari-hari yang paling menyenangkan bagi Woohyun. Boohyun akan menemaninya seharian, mereka akan bermain-main bersama dan Woohyun tidak akan merasa kesepian. Dan setiap kali Boohyun kembali pergi bertugas, Woohyun tidak dapat menahan diri untuk tidak menangis, merengek agar Boohyun tidak pergi meninggalkannya. Boohyun akan memeluknya erat dan berjanji akan segera pulang lagi.

 

Jika Boohyun tidak ada, Woohyun akan kembali sendirian, menghabiskan waktunya di dalam rumah dengan membaca buku-buku yang ada di ruang baca. Tuan Nam terlalu sibuk dengan pekerjaannya, setiap hari dia pergi pagi-pagi dan baru pulang ketika matahari hampir terbenam. Sementara Nyonya Nam, ah sudahlah, berada satu ruangan dengan Woohyun saja seperti Nyonya Nam tidak tahan. Duduk bersama-sama di meja makan juga terpaksa karena Tuan Nam ada di rumah.

 

"Tadi pagi ada surat dari Boohyun tiba," kata Nyonya Nam tiba-tiba.

 

"Oh ya? Bagaimana kabar anak itu?" tanya Tuan Nam.

 

Woohyun mengangkat wajahnya dari mangkuk sup yang sedang dinikmatinya, telinganya dipasang baik-baik untuk mendengarkan kabar Boohyun.

 

Nyonya Nam mengelap bibirnya dengan serbet sebelum melanjutkan, suaranya penuh dengan rasa bangga. "Boohyun dipromosikan untuk naik jabatan bulan depan. Hebat sekali ya anak kita itu, di usianya yang masih muda sudah memiliki jabatan yang cukup tinggi."

 

"Bagus," puji Tuan Nam singkat.

 

Nyonya Nam melirik suaminya. "Kenapa kau ini, suaramu terdengar tidak senang."

 

Tuan Nam menghela nafas, meletakkan sendoknya di samping mangkuknya. "Tidak, aku senang kok dia mendapat kenaikan jabatan. Hanya saja… Aku takut teman-temannya menjadi iri akan karirnya yang melesat sangat cepat."

 

"Boohyun akan baik-baik saja," sergah Nyonya Nam. "Boohyun anak yang supel, lagipula teman-temannya akan akan mengerti karena Boohyun memang sangat pandai dan cerdas, dia juga bekerja sangat keras, jadi dia layak mendapatkan jabatan yang tinggi. Kalau kau ingin khawatir, khawatirkan saja anakmu yang itu," Nyonya Nam menganggukkan dagunya pada Woohyun.

 

Woohyun cepat-cepat menundukkan pandangannya. Padahal sedari tadi dia diam saja, tapi selalu saja Nyonya Nam dapat menyebutkan kesalahan-kesalahan yang tidak disadarinya. Tidak adil rasanya, Nyonya Nam sangat menyayangi Boohyun tapi bersikap dingin pada Woohyun.

 

"Sekarang apa lagi?" Tuan Nam mengerutkan alisnya.

 

"Lagi-lagi dia membantah ucapan gurunya. Kalau guru yang sekarang minta berhenti lagi, aku tidak mau mencarikan guru pengganti yang baru baginya. Disangkanya dirinya pintar, sampai-sampai membantah ucapan gurunya," gerutu Nyonya Nam.

 

Woohyun cemberut. Setiap hari setelah sesi belajarnya di pagi hari selesai, gurunya akan melaporkan perkembangan dirinya pada Nyonya Nam. Jika hasilnya bagus Nyonya Nam biasanya akan diam saja, tapi jika sedikit saja ada laporan buruk mengenai dirinya, Nyonya Nam pasti akan memarahinya.

 

"Woohyun," kata Tuan Nam sambil menghela nafas, "patuhlah pada gurumu. Coba hitung sudah berapa kali kau berganti guru, apa kau tidak bosan selalu membangkang pada gurumu?"

 

"Aku tidak membangkang," Woohyun mencoba membela diri. "Aku cuma bertanya bagaimana cara orang-orang di jaman dulu membangun Dinding Rose, Dinding Maria dan Dinding Sina. Bagaimana cara mereka membuat dinding setebal, setinggi dan sekuat itu. Tapi Pak Guru malah menyuruhku membaca buku sejarah yang sangat tebal."

 

"Kalau begitu bacalah buku itu," kata Tuan Nam tetap dengan nada sabar.

 

"Sudah aku baca," jawab Woohyun. "Tapi tidak disebutkan bagaimana caranya, jadi aku bertanya lagi pada Pak Guru. Tapi beliau malah marah dan menuduhku tidak membaca buku seperti yang dia suruh. Ayah, apa ayah tahu bagaimana caranya?"

 

Tuan Nam tampak berpikir untuk sesaat. "Tidak tahu, kejadian seratus tahun lalu itu rasanya hampir tidak ada orang yang tahu persisnya bagaimana. Tapi yang jelas dinding-dinding itu tidak dibuat dalam semalam, dan orang-orang bekerja keras dalam membuatnya. Bagaimana kalau kita sama-sama berjanji, jika kelak Ayah tahu Ayah akan memberi tahumu, tapi jika kamu yang tahu duluan, kamu wajib memberi tahu Ayah. Bagaimana?"

 

Woohyun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia memang tidak mendapatkan jawaban dari Tuan Nam, tapi setidaknya Tuan Nam jelas-jelas mengakui bahwa dirinya tidak tahu, tidak seperti gurunya yang angkuh.

 

"Karena kau sudah berjanji, maka kau harus rajin belajar, dengarkan kata-kata gurumu," nasihat Tuan Nam.

 

Nyonya Nam mendengus kesal. Dia melipat serbetnya dan bangkit dari duduknya. "Pokoknya aku tidak mau mencarikan guru baru ya."

 

Woohyun ingin sekali mengatakan bahwa dirinya tidak membutuhkan guru yang seperti saat ini mengajarinya, yang selalu membual mengatakan dirinya berpengetahuan tinggi tapi tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Woohyun. Dia nyaris mengatakan bahwa mungkin sebaiknya dirinya bersekolah di tempat Sunggyu belajar saja. Tapi Woohyun cepat-cepat menutup mulutnya kembali, karena dia tidak yakin apakah Sunggyu pergi sekolah atau tidak. Selain itu Tuan dan Nyonya Nam juga tidak boleh tahu tentang Sunggyu, karena pertemuan mereka seharusnya adalah rahasia.

 


 


Setelah makan malam usai, Woohyun bergegas kembali ke kamarnya. Dia mengambil tas yang disembunyikannya di bawah tempat tidur. Tas itu sudah diisinya dengan berbagai perbekalan tadi sore, seperti selimut dan obat-obatan. Woohyun juga diam-diam mengambil beberapa makanan dan botol air minum dari dapur. Woohyun menyandangkan tas itu di bahunya, dan setelah mengikat ulang tali sepatunya, dia siap berangkat. Sebenarnya Woohyun bisa dengan mudah menyelinap keluar lewat pintu samping seperti yang dia lakukan ketika menemui Sunggyu di gudang tua. Tuan dan Nyonya Nam selalu bersantai di ruang baca setelah makan malam, dan para pelayan akan ada di dapur untuk makan, tak akan ada yang melihatnya keluar. Tapi jiwa petualangan Woohyun sedang tinggi, dia merasa harus berangkat dengan cara yang lebih menantang, jadi dia meniru cara yang dilakukan Sunggyu sebelumnya, lewat jendela.

 

Perlahan Woohyun mengangkat tubuh kecilnya ke ambang jendela, dan mendorong dirinya keluar. Dia melakukan itu dengan sangat hati-hati, tidak ingin mengulangi kebodohan yang dilakukan Sunggyu. Woohyun bersorak pelan ketika kakinya mendarat di tanah. Berhasil.

 

Tapi Woohyun tidak bisa berlama-lama merayakan keberhasilannya, dia harus segera pergi. Dengan membungkuk-bungkuk, Woohyun menyusuri sisi rumahnya. Tapi ketika melewati jendela ruang baca, Woohyun berhenti sejenak. Dia memutuskan untuk mengintip ke dalam, dan memang benar saja seperti biasa Tuan dan Nyonya Nam berada di sana. Tuan Nam duduk di kursi malas dengan sebuah buku di pangkuannya, dan Nyonya Nam duduk di seberangnya, menyulam. Sesekali mereka mengangkat wajah dan saling melempar senyum. Woohyun menatap mereka dengan pandangan penuh rindu, dia juga ingin berada di sana, ingin duduk di pangkuan Tuan Nam, ingin Nyonya Nam tersenyum padanya juga, dan mereka akan mendengarkan dia bercerita tentang hari-harinya. Sepertinya hangat berada di sana, bersama-sama.

 

Suara burung hantu menyadarkan Woohyun. Dia harus bergegas. Woohyun melempar pandangan terakhir dan merapatkan jaketnya sebelum berlari keluar gerbang.

 

Sebentar lagi, pikirnya, setelah dia membawa pulang bunga matahari itu, dia akan bisa mendapatkan itu semua. Dia akan membawa pulang bunga kesayangan Nyonya Nam, lalu Nyonya Nam akan tersenyum padanya dan menyayanginya juga seperti Nyonya Nam menyayangi Boohyun.

 


 


Jam besar yang disebut Sunggyu memang sangat besar, Woohyun dapat segera melihat menaranya yang tinggi bahkan sebelum dia berbelok di sudut jalan gereja besar. Dia berlari kencang hingga tiba di depan jam besar itu. Dengan panik Woohyun menoleh kesana-kemari, mencari-cari Sunggyu. Tapi anak tukang kebun itu tidak tampak batang hidungnya. Dia tidak terlambat, 'kan? Sunggyu tidak akan pergi meninggalkannya, 'kan? Woohyun berharap dia tidak salah tempat. Dia tidak pernah berkeliling distrik, dia tidak tahu tempat-tempat yang ada di sana. Tapi dia sudah mengikuti petunjuk arah dari Sunggyu dengan benar, jadi dia pasti tidak salah tempat.

 

Suara gemersak dari semak di samping jalan membuat Woohyun terkejut. Woohyun melompat mundur sambil menatap ngeri. Apakah itu kucing? Bagaimana jika itu anjing liar yang galak? Woohyun mengambil ancang-ancang, siap berlari jika yang muncul adalah makhluk yang mengerikan. Semak itu bergoyang lagi, dan kemudian sepasang kaki muncul, diikuti wajah Sunggyu.

 

"Tuan Muda Nam," seru Sunggyu. Matanya yang kecil melebar melihat pose Woohyun. "Ap--" Sunggyu berhenti di tengah kalimat, dan kemudian ekspresinya berubah, dia tertawa. "Tuan Muda, jangan bilang Tuan Muda takut? Hahaha, ini hanya aku."

 

Woohyun cemberut, dia berdehem-dehem dan menegakkan tubuhnya. "Y-yah, jangan pernah muncul seperti itu lagi. Aku tidak takut, hanya terkejut, dan aku tidak suka kejutan," bentaknya.

 

Tapi Sunggyu terus saja tertawa, dan itu membuat Woohyun kesal, karena Sunggyu menertawakannya. "Diam," bentak Woohyun. "Cepat diam dan segera tunjukkan kemana kita harus pergi."

 

"Tidak apa-apa, tenang saja, keluarga Sungjong selalu makam malam cukup larut, kita masih punya cukup waktu," kata Sunggyu disela-sela tawanya yang mulai mereda.

 

"Sungjong? Siapa?" Tadi sore Sunggyu tidak memberi tahu detail bagaimana mereka akan berangkat karena waktu yang terbatas, jadi Woohyun benar-benar tidak tahu apa-apa.

 

"Ah, hanya seorang teman. Kita akan menumpang gerobak milik ayahnya. Ayo, tidak terlalu jauh dari sini." Dengan senyum di wajah, Sunggyu meraih tangan Woohyun dan menuntunnya.

 

Woohyun terbelalak melihat tangannya dalam genggaman Sunggyu. Itu bukan pertama kalinya mereka bergandengan, Woohyun juga menggenggam tangan Sunggyu ketika pertama kali mereka ke gudang tua di halaman belakang. Tapi saat itu Woohyun melakukannya dengan paksa, menyeret Sunggyu mengikutinya. Yang ini rasanya berbeda, Sunggyu menuntunnya dengan lembut. Tangan Sunggyu terasa hangat.

 

Sunggyu menoleh, dan dia melihat Woohyun yang masih menatap tangan mereka yang saling menggenggam. "Oh," Sunggyu melepas genggamannya dengan segera. "Maaf, Dongwoo biasa menggenggam tanganku ketika kami berjalan bersama-sama, jadi tanpa sadar aku juga melakukannya pada Tuan Muda juga. Maaf."

 

Woohyun membuka mulut, ingin mengatakan bahwa dia tidak keberatan. Tapi Sunggyu sudah berbalik lagi.

 

"Lihat, itu kendaraan kita," katanya. Sunggyu berlari ke arah sebuah gerobak yang terpasang di belakang dua ekor kuda. Woohyun mengikutinya, tangannya mengenggam erat tali tasnya.

 

Sunggyu memanjat bagian belakang gerobak dan menyuruh Woohyun melakukan hal yang sama. Gerobak itu tidak terlalu besar, dan dipenuhi barang-barang, tapi masih ada ruang yang cukup untuk dirinya dan Sunggyu. Sunggyu meringkuk di celah antara dua barang dan memanggil Woohyun untuk duduk di sebelahnya.

 

"Tuan Muda bawa selimut seperti yang aku minta?"

 

Woohyun segera mengeluarkan barang yang diminta, dan Sunggyu menyelimuti mereka berdua, menariknya hingga menutupi kepala mereka.

 

"Sekarang, diam dan jangan berisik. Mari berdoa semoga kita tidak ketahuan di tengah jalan," kata Sunggyu dengan suara pelan.

 

Woohyun membelalakkan matanya. "Ketika kau bilang kita menumpang gerobak ayahnya temanmu, aku kira kita menumpang dengan ijin."

 

Sunggyu melambaikan tangannya. "Tuan Muda kira akan ada yang mau memberi tumpangan pada dua anak kecil yang pergi tanpa ijin orang tua mereka? Lagipula, Tuan Muda sendiri yang berpesan agar aku merahasiakan perjalanan kita ini."

 

Suara-suara teredam terdengar dari luar gerobak. Sunggyu menaruh telunjuknya di bibir Woohyun, menyuruhnya diam. Woohyun merasa jantungnya berdebar kencang, takut ketahuan dan perjalanan mereka batal. Tapi sepertinya kekhawatirannya tak terjadi, perlahan tapi pasti gerobak itu pun bergerak, dan dimulailah perjalanan mereka mencari bunga matahari.

 

Disampingnya, Sunggyu tersenyum pada Woohyun. Walau di balik selimut yang gelap, Woohyun dapat melihat mata Sunggyu berbinar. Dan kali ini Woohyun berhasil membalas senyumnya.

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
diniazakee #1
Chapter 11: Amazing, author!
Ceritanya menarik dan menyentuh. Aku harap bisa menemukan ff Infinite/Woogyu sebagus ini, atau mungkin lebih.
Terima kasih, author atas ceritanya(ff). Semoga dikemudian hari aku bisa baca cerita/ff darimu.
Love love author ♡♡♡
keyhobbs
#2
Chapter 10: ahh.....woohyun meninggal,mana gk d lakukan upacara kematian lg,kasian....btw,nyonya nam jahat bnget, bahkan sampe d akhir hayatnya woohyun dia tetep gk mau ngakuin woohyun, kayaknya ini orang gk punya hati bnget-_- eh eh , awalnya kukira hoya itu udh dewasa lho..ternyata cuma beda beberapa tahun sma sunggyu hehe...
Alvin_19 #3
Chapter 10: Akhirnya q paham dan menangis.,,, cerita yang bener² bagus. Maksih buat author,,, cerita anda sungguh mengangumkan
Alvin_19 #4
Chapter 4: Ahh,,,, belum paham maksud ceritanya. *plakk (msih blum slesai udah kburu komen)
Maaf y,, Lanjut baca terus!!! ^_^
nwh311 #5
Chapter 10: tamaat xD demi apa terkejut woohyun tewas dimakan titan -- nyonya nam jahat banget sih gamau nerima bunga matahari woohyun T.T over all ff nya bagus meskipun ada beberapa part yang tulisannya masih agak berantakan /justmyopinyokay
nwh311 #6
Chapter 10: tamaat xD demi apa terkejut woohyun tewas dimakan titan -- nyonya nam jahat banget sih gamau nerima bunga matahari woohyun T.T over all ff nya bagus meskipun ada beberapa part yang tulisannya masih agak berantakan /justmyopinyokay
garichan #7
Chapter 10: tapi jalan ceritanya beda, tadinya sempet males baca soalnya mirip anime attack on titan. Tapi karna jalan ceritanya beda, jadi mau baca sampe abis apa lg menyangkut bunga matahari. Keren banget ff'nya. Dan kapan season 2nya??? Ditunggu thor!!!
garichan #8
Chapter 4: udah saya kira ini mirip shingeki no kyojin bukan mirip lg tapi sama dari tempat, nama dinding, dan seragam situasi juga. Apa lg ada titan
inspiritly_beauty
#9
Chapter 11: Udah tamat aja >.<
Awalnya aku aneh kok ga pernah ada updat lagi, ternyata aku ga subscribe. Mian... ;_;
Sad ending... kenapa Ny. Nam gamau terima bunga dari Woohyun? Tega banget.
Senang pas tau kamu ada rencana bikin Season 2. Semoga nanti ada karakter pengganti Woohyun >.< Atau ada anak lain yang punya nama sama kaya Woohyun. Soalnya sunggyu tanpa woohyun itu kurang afdol. lol
lovedio #10
Chapter 10: gilakk.. ini pengobrak abrik hati sayaaa T.T