chapter i

To That Sunflower Garden

KIM SUNGGYU

Rasanya ini pertama kalinya Sunggyu melihat Nam Woohyun berada di ruang terbuka. Selama ini, yang Sunggyu tahu Nam Woohyun selalu berada di dalam rumah, duduk di ruang belajar dengan seorang guru pribadi di sisinya, menekuri salah satu buku tebal yang menjadi koleksi rak-rak yang menjulang memenuhi dinding-dinding atau di ruang tidurnya, lagi-lagi dengan sebuah buku di tangan. Sunggyu sering melihat Nam Woohyun dari balik jendela, memperhatikannya membaca buku-buku dengan sampul yang berbeda-beda setiap minggunya. Wajahnya tampak begitu penuh konsentrasi, sesekali keningnya berkerut dan mulutnya bergerak menggumamkan kalimat yang dibacanya. Tapi tak jarang juga Nam Woohyun tersenyum dan matanya berbinar-binar ketika membaca buku yang lain. Tidak, Sunggyu bukannya seorang pengintip, bukan salahnya kan kalau jendela ruang belajar tidak memiliki tirai, dan Woohyun selalu membiarkan jendela kamarnya terbuka.

 

Sunggyu tidak pernah melihat Nam Woohyun menginjakkan kaki ke luar rumah, dan entah mengapa itu membuatnya sedikit grogi. Apalagi tampak jelas bahwa Nam Woohyun melakukan hal itu dengan sembunyi-sembunyi, wajahnya menoleh kesana-kemari, matanya awas memperhatikan berbagai sudut, dengan langkah hati-hati. Mata mereka beradu, dan tiba-tiba Nam Woohyun mempercepat kakinya, dia sudah separuh berlari sebelum akhirnya berhenti di depan Sunggyu. Sunggyu buru-buru meletakkan gembornya ke tanah dan membungkuk sekilas.

 

"Tuan Muda Nam."

 

Alih-alih membalas sapaanya, Nam Woohyun meraih tangan Sunggyu. "Ikut aku," katanya sebelum menyeret Sunggyu. Tergopoh-gopoh Sunggyu mengikuti, membiarkan Nam Woohyun membawanya ke halaman belakang.

 

"Apa kau tahu tempat yang sepi?" tanya Nam Woohyun. Tidak seperti kebun samping di mana Sunggyu sebelumnya tengah menyiram tanaman, halaman belakang lebih sepi dan sangat jarang dilalui orang. Tapi Nam Woohyun masih tampak cemas, jelas terlihat bahwa dia bingung ke mana sebaiknya mereka menuju.

 

Sunggyu semakin gelisah, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi pada akhirnya dia menunjuk sebuah gudang tua di pojok. "Gudang itu sekarang sudah tidak terpakai lagi, tidak pernah ada lagi yang ke sana," katanya.

 

Nam Woohyun mengangguk, dan ke gudang tua itulah mereka menuju. Sunggyu membantu Nam Woohyun mendorong pintu kayu yang engselnya sudah berkarat, berdecit ketika terbuka. Udara di dalam sedikit lembab dan berbau apek, dan ketika Nam Woohyun menutup pintu, hanya sedikit saja cahaya yang ada, menerobos dari sela-sela celah dinding kayu dan kaca jendela yang berlapis debu.

 

"Kau… Sunggyu 'kan?" tanya Nam Woohyun.

 

Sunggyu terkejut. Ada banyak pekerja di kediaman keluarga Nam, dan Sunggyu hanya sesekali membantu ayahnya yang bekerja sebagai tukang kebun di sana. Dia tidak menduga Nam Woohyun tahu namanya. Tapi dia cepat-cepat mengangguk mengiyakan.

 

"Aku dengar beberapa hari lalu kebun bunga matahari terserang hama dan tidak ada satupun tanaman yang tersisa. Aku juga mendengar saat ini bunga matahari sudah sangat langka dan ayahmu tidak bisa menemukan bibit baru untuk menggantikan kebun yang lama?" tanya Nam Woohyun menyelidik.

 

Sekali lagi Sunggyu mengangguk.

 

Beberapa minggu lalu hampir semua tanaman di seluruh Distrik Yarckel terkena serangan hama. Mereka mematikan pucuk tanaman, membuat dedaunan kering dan bunga-bunga gagal berkembang. Menurut ayah Sunggyu, serangan hama seperti ini sudah menjadi agenda lima-tahunan. Setiap lima tahun sekali entah darimana asalnya hama-hama ini akan datang menyerang dan setelah beberapa minggu mereka akan tiba-tiba menghilang dengan sendirinya. Salah satu yang tidak beruntung adalah petak bunga matahari milik Nyonya Nam, serta beberapa petak bunga lain. Tapi bibit bunga-bunga lain mudah didapat penggantinya, sementara bunga matahari saat ini sudah jarang ada, dan hampir bisa dibilang Nyonya Nam adalah satu-satunya yang memiliki kebun bunga matahari di distrik itu. Sunggyu ingat semalam ketika makan malam berlangsung Ayah mengeluhkan hal ini kepada Ibu, mengatakan bahkan bibit-bibit yang disimpannya di gudang juga ikut terserang hama sehingga sepertinya petak bunga matahari Nyonya Nam tidak akan bisa ditanami lagi.

 

"Apa benar-benar tidak ada penggantinya?" tanya Nam Woohyun.

 

Sunggyu menggeleng. "Biasanya bibit-bibit bunga dikirim dari distrik-distrik di Dinding Rose, tapi sudah sejak lama tidak pernah ada kiriman bunga matahari lagi."

 

"Kenapa?" desak Nam Woohyun.

 

"Aku juga tidak tahu, padahal setahuku ada sebuah kebun bunga matahari liar yang sangat besar di antara Dinding Rose dan Dinding Maria."

 

"Benarkah? Kau tahu tempatnya?"

 

Lagi-lagi Sunggyu menggeleng. "Tidak, hanya dari cerita ayahku saja. Dulu sewaktu kecil beliau masih tinggal dengan orang tuanya di Distrik Trost dan sering bermain keluar Dinding Rose. Katanya jika terus berjalan ke selatan sampai bertemu sebuah sungai kecil, lalu mengikuti arah aliran sungai itu ke timur, maka akan ada sebuah kebun bunga matahari yang sangat besar. Tapi mungkin bunga-bunga di sana juga sudah diserang hama dan tak ada yang tersisa lagi."

 

"Kamu tahu tempatnya…," desah Nam Woohyun pelan.

 

Selama beberapa saat hanya ada keheningan di antara mereka. Sunggyu menggigit-gigit kecil bibir bawahnya, memperhatikan Nam Woohyun yang tampak sibuk berpikir, memperhatikan seberkas sinar matahari yang jatuh tepat di atas kepalanya Nam Woohyun dan menyinari rambut hitamnya.

 

"Antarkan aku ke sana," tiba-tiba Nam Woohyun membuka mulut lagi.

 

Sunggyu terperanjat. "Tapi aku tidak tahu tempatnya, tidak pernah ke sana," sergahnya panik.

 

"Tidak, kamu tahu. Kamu tahu dari cerita ayahmu, dan aku rasa itu sudah cukup. Kamu harus mengantar aku ke sana," perintah Nam Woohyun. Suaranya tegas dan rahangnya mengeras, tak dapat dibantah.

 

Sunggyu menatap ngeri pada tuan muda dihadapannya. Bagaimana mungkin dia dapat mengantar Nam Woohyun hingga ke luar Dinding Rose? Jaraknya sangat jauh, akan sangat berat bagi dua orang anak yang baru berusia sebelas dan sepuluh tahun.

 


 


Sunggyu mencoba mengangkat topik mengenai bunga matahari pada saat keluarga mereka makan malam. Ayah biasa menceritakan mengenai pekerjaannya dan bunga-bunga yang ada di kediamaan keluarga Nam, jadi itu merupakan hal yang biasa. "Apa benar-benar tidak ada bibit penggantinya? Ayah kan tukang kebun yang hebat, Ayah pasti tahu apa yang harus dilakukan," kata Sunggyu.

 

Ayah menghela nafas. "Sayang sekali tidak ada. Ayah sudah mendatangi semua toko bunga di distrik ini, tapi tak ada yang memiliki bibit bunga matahari. Ayah juga sudah mencoba merawat bunga-bunga yang rusak, tapi serangan hama terlalu parah, bunga-bunga itu tidak akan bertahan lama."

 

"Sayang sekali ya, padahal bunga matahari adalah bunga kesukaan Nyonya Nam," sela Ibu. "Pasti Nyonya Nam sangat sedih dan kecewa."

 

Ayah membenarkan kata-kata Ibu. "Setiap pagi dan sore Nyonya Nam selalu mengunjungi kebun bunga mataharinya. Bahkan ketika beliau sangat sibuk dan tidak sempat melihat bunga-bunga lain, tapi beliau pasti akan tetap berusaha menyempatkan diri melihat bunga mataharinya."

 

Sunggyu mulai memahami mengapa Nam Woohyun begitu ingin menemukan bunga matahari, bunga itu merupakan kesayangan ibunya. Wajar saja jika Nam Woohyun ingin mengembalikan kebun kesayangan ibunya itu seperti sedia kala. Sunggyu jadi bertekad untuk membantunya.

 

"Ayah, bagaimana dengan kebun bunga matahari liar yang sering ayah ceritakan? Yang ada di antara Dinding Rose dan Dinding Maria itu? Apa mereka juga habis diserang hama?" tanya Sunggyu.

 

"Hmm… Ayah rasa tidak. Hama-hama ini terbawa angin kering dari barat, sementara kebun itu berada jauh di tenggara, jadi Ayah rasa kebun itu masih ada," jawab Ayah disela-sela kunyahannya.

 

"Lalu, kenapa tidak ada yang mengambil bunga matahari dari sana? Selama ini bunga-bunga matahari selalu berasal dari sana, kan?" desak Sunggyu.

 

Ayah menghentikan suapannya, melirik Ibu sekilas. "Karena tidak ada lagi orang yang keluar dari Dinding Rose," kata Ayah beberapa saat kemudian.

 

"Kenapa?" tanya Sunggyu heran.

 

"Karena sekarang ada larangan untuk keluar dari Dinding Rose," jawab Ayah.

 

Ini pertama kalinya Sunggyu mendengar hal tersebut. Selama ini yang dia tahu semua orang bebas keluar-masuk dinding-dinding perbatasan, kecuali tentu saja Dinding Maria. Tapi, siapa juga yang mau keluar dari Dinding Maria.

 

"Kenapa? Kenapa dilarang? Dulu 'kan tidak?" desak Sunggyu keras kepala. Bunga matahari ada di luar Dinding Rose dan Nam Woohyun ingin kesana, mengapa ada larangan keluar?

 

"Sekarang iya," kata Ayah pendek.

 

"Sunggyu," tegur Ibu dengan nada lembut, "sebaiknya kamu cepat selesaikan makanmu. Lihat, belum ada separuh yang kamu makan. Cepat habiskan lalu cepat pergi istirahat. Kamu sudah janji besok pagi akan membantu ayah di kebun Nyonya Nam lagi, 'kan?"

 

Sunggyu sangat ingin pertanyaannya dijawab, tapi mata Ayah kini terpaku pada piring dihadapannya, tak memperdulikan Sunggyu lagi. Sambil cemberut Sunggyu tidak punya pilihan lain selain melanjutkan makannya, kini dalam diam.

 

 

 


Keesokan harinya, sebagaimana janjinya pada Nam Woohyun di hari sebelumnya, setelah selesai membantu Ayah di kebun, Sunggyu menyelinap ke gudang tua di pojok halaman belakang. Di sana Nam Woohyun sudah menantinya. Bajunya yang rapi dan disetrika kaku tampak kontras dengan furniture dalam gudang tua yang berdebu itu.

 

"Kamu lama sekali," hardik Nam Woohyun. "Aku tidak bisa lama-lama di sini, bagaimana jika ada yang mencari ke kamar lalu melihat aku tidak ada di sana."

 

Sunggyu cemberut. "Bukan salahku, kebun di rumah ini terlalu luas. Lihat tanganku sampai pegal-pegal karena terlalu sering mengangkat gembor penyiram tanaman yang berat itu," keluhnya sambil mengulurkan kedua tangannya. Telapak tangannya masih agak memerah bekas mencengkeram erat alat penyiram tanaman.

 

Tapi Nam Woohyun tidak mempedulikannya. "Jadi bagaimana? Apa kebun bunga matahari liar itu masih ada?" desaknya.

 

"Mungkin. Kata ayah kebun itu mungkin saja masih ada," kata Sunggyu sambil memijat-mijat lengannya. "Tapi sekarang Dinding Rose sudah tidak boleh dilewati lagi, jadi aku khawatir kita tidak akan bisa pergi ke kebun itu."

 

Nam Woohyun mengernyitkan alisnya. "Kenapa?"

 

"Tidak tahu. Ayah tidak memberitahu alasannya," Sunggyu mengendikkan bahunya. "Lagipula, kita masih belum punya kendaraan untuk ke sana, 'kan?"

 

Nam Woohyun memandangnya dengan raut muka kecewa. "Kalau begitu pikirkan bagaimana caranya kita bisa sampai ke Dinding Rose, juga cara keluar dari sana," kata Nam Woohyun ketus.

 

Sunggyu merengut. Tuan mudanya ini sungguh benar-benar menyebalkan. Dia ingin pergi tapi tidak ikut membantu dalam perencanaan sama sekali, semua diserahkan pada Sunggyu.

 

"Aku tidak tahu," kata Sunggyu pelan, menahan diri untuk tidak balas berkata ketus. "Besok sajalah kita bicarakan lagi."

 

"Baiklah. Tapi sebaiknya besok kau sudah memiliki ide," kata Nam Woohyun. "Sekarang, cepat periksa keadaan di luar, aku mau pulang."

 

Sunggyu pun menurut. Seperti hari sebelumnya, dia memeriksa apakah aman bagi Tuan Muda Nam Woohyun untuk kembali ke rumah tanpa ada orang yang melihat. Diberinya kode berupa siulan kecil agar Nam Woohyun bisa bergegas melewati halaman belakang dan masuk dari pintu samping.

 

"Besok jangan terlambat, bisa-bisa aku sakit karena menunggumu terlalu lama di tempat berdebu seperti itu," pesan Nam Woohyun sebelum menghilang ke dalam rumah.

 

"Besok jangan terlambat. Besok kau sudah harus memiliki ide," Sunggyu mengulang kata-kata Nam Woohyun dengan nada mengejek. Tentu saja dia berani melakukan itu karena Nam Woohyun sudah menghilang dari pandangannya. "Huh, pantas saja Tuan Muda Nam selalu diam di dalam rumah saja, pasti karena dia tak punya teman. Sifatnya buruk begitu, siapa yang mau berteman dengannya, tidak akan ada yang tahan berteman dengannya. Makanya dia selalu sendirian."

 

Sepanjang jalan pulang ke rumah, Sunggyu terus bersungut-sungut, merutuki Tuan Muda Nam yang menyebalkan. Jarak antar rumahnya dengan kediaman keluarga Nam yang cukup jauh terasa semakin jauh karena hatinya tengah kesal. Dan matahari sore yang cukup panas juga tidak membantu menyejukkan hatinya. Tapi kekesalannya dengan segera berubah ketika dari kejauhan dilihatnya sosok seseorang yang sangat dikenalnya.

 

"Jang Dongwoo! Yah, Jang Dongwoo," panggil Sunggyu.

 

Yang dipanggil Jang Dongwoo menghentikan langkahnya dan balas berseru, melambai-lambai. Sunggyu mempercepat langkah dan dalam sekejap sudah sampai di depan Dongwoo, temannya sedari kecil.

 

"Mau ke mana?" tanya Sunggyu.

 

"Ke sungai, Myungsoo bilang dia punya barang bagus dan berjanji akan memperlihatkannya di sana," kata Dongwo sambil tersenyum lebar.

 

Sunggyu ikut tersenyum. Sungai yang disebut Dongwoo mengalir di dekat gerbang belakang yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka tinggal. Airnya jernih dan banyak ikannya. Tepat di sebelah sungai ada hamparan rumput hijau yang enak buat dijadikan tempat duduk-duduk. Sunggyu sering bermain di sana dengan teman-temannya jika tidak sedang membantu Ayah. "Aku ikut," kata Sunggyu bersemangat, sudah lama juga dia tidak ke sungai.

 

"Ayo saja," kata Dongwoo, tertawa. "Tapi mampir ke rumah Sungjong dulu, ya. Siapa tahu dia juga mau ikut."

 

Sunggyu menggangguk gembira. Diijinkannya Dongwo meraih tangannya, dan mengayunkannya kuat-kuat seirama langkah kaki. Berdua mereka berbelok ke jalan kecil menuju rumah teman sepermainan mereka.

 

Sayangnya, Sungjong menolak untuk ikut pergi ke sungai. "Nanti malam ayahku dan kakakku akan pergi menjenguk nenek yang sakit di Distrik Trost. Jadi sekarang aku harus membantu mengepak barang-barang yang akan mereka bawa, segera setelah makan malam selesai mereka akan berangkat."

 

"Oh, baiklah kalau begitu. Semoga nenekmu cepat sembuh," kata Dongwoo bersimpati. Sunggyu menggumamkan hal yang sama. Sungjong tersenyum dan berterima kasih pada mereka sebelum berbalik untuk kembali membantu kakaknya berkemas memasukkan barang-barang ke dalam gerobak. Dua ekor kuda sudah terpasang, siap untuk menarik gerobak yang cukup besar dan bertutup terpal itu.

 

Selama perjalanan ke sungai, pikiran Sunggyu tidak bisa lepas dari gerobak yang dilihatnya di rumah Sungjong. Dia tidak menanggapi celotehan Dongwoo, dan selangkah sebelum belokan terakhir yang akan membawa mereka menuju sungai, Sunggyu akhirnya mematangkan rencananya. Dia berhenti, membuat Dongwoo juga terpaksa menghentikan langkahnya.

 

"Dongwoo," kata Sunggyu, "aku tidak jadi ikut ke sungai."

 

Dongwoo melebarkan matanya, senyumnya pudar. "Tapi, kita 'kan sudah sangat dekat, dan Myungsoo sudah menunggu."

 

"Iya, aku tahu. Tapi ada hal yang sangat penting yang harus aku lakukan sekarang. Sampaikan salamku pada Myungsoo." Sunggyu pun berbalik dan berlari ke arah yang sebelumnya dia tempuh. Tapi sebelum jauh, dia berbalik sekali lagi dan berteriak pada Dongwoo yang masih memasang tampang kebingungan. "Besok jika orang tuaku mencari aku, tolong katakan sesuatu pada mereka, ya. Katakan apa saja, tapi jangan bilang aku sedang pergi."

 

"Pergi? Kamu mau pergi ke mana, Sunggyu?" balas Dongwoo, dia benar-benar tidak mengerti.

 

Tapi Sunggyu sudah berlari terlalu jauh. Dia percaya Dongwoo akan membantu berbohong mengenai keberadaannya, Dongwoo temannya yang dapat dipercaya.

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
diniazakee #1
Chapter 11: Amazing, author!
Ceritanya menarik dan menyentuh. Aku harap bisa menemukan ff Infinite/Woogyu sebagus ini, atau mungkin lebih.
Terima kasih, author atas ceritanya(ff). Semoga dikemudian hari aku bisa baca cerita/ff darimu.
Love love author ♡♡♡
keyhobbs
#2
Chapter 10: ahh.....woohyun meninggal,mana gk d lakukan upacara kematian lg,kasian....btw,nyonya nam jahat bnget, bahkan sampe d akhir hayatnya woohyun dia tetep gk mau ngakuin woohyun, kayaknya ini orang gk punya hati bnget-_- eh eh , awalnya kukira hoya itu udh dewasa lho..ternyata cuma beda beberapa tahun sma sunggyu hehe...
Alvin_19 #3
Chapter 10: Akhirnya q paham dan menangis.,,, cerita yang bener² bagus. Maksih buat author,,, cerita anda sungguh mengangumkan
Alvin_19 #4
Chapter 4: Ahh,,,, belum paham maksud ceritanya. *plakk (msih blum slesai udah kburu komen)
Maaf y,, Lanjut baca terus!!! ^_^
nwh311 #5
Chapter 10: tamaat xD demi apa terkejut woohyun tewas dimakan titan -- nyonya nam jahat banget sih gamau nerima bunga matahari woohyun T.T over all ff nya bagus meskipun ada beberapa part yang tulisannya masih agak berantakan /justmyopinyokay
nwh311 #6
Chapter 10: tamaat xD demi apa terkejut woohyun tewas dimakan titan -- nyonya nam jahat banget sih gamau nerima bunga matahari woohyun T.T over all ff nya bagus meskipun ada beberapa part yang tulisannya masih agak berantakan /justmyopinyokay
garichan #7
Chapter 10: tapi jalan ceritanya beda, tadinya sempet males baca soalnya mirip anime attack on titan. Tapi karna jalan ceritanya beda, jadi mau baca sampe abis apa lg menyangkut bunga matahari. Keren banget ff'nya. Dan kapan season 2nya??? Ditunggu thor!!!
garichan #8
Chapter 4: udah saya kira ini mirip shingeki no kyojin bukan mirip lg tapi sama dari tempat, nama dinding, dan seragam situasi juga. Apa lg ada titan
inspiritly_beauty
#9
Chapter 11: Udah tamat aja >.<
Awalnya aku aneh kok ga pernah ada updat lagi, ternyata aku ga subscribe. Mian... ;_;
Sad ending... kenapa Ny. Nam gamau terima bunga dari Woohyun? Tega banget.
Senang pas tau kamu ada rencana bikin Season 2. Semoga nanti ada karakter pengganti Woohyun >.< Atau ada anak lain yang punya nama sama kaya Woohyun. Soalnya sunggyu tanpa woohyun itu kurang afdol. lol
lovedio #10
Chapter 10: gilakk.. ini pengobrak abrik hati sayaaa T.T