Fase 06

Katalisator

 

KATALISATOR

Fase 06/?

 

.

 

“Baek Hyun-ah, nanti sore aku harus survey lagi untuk tugas infrastruktur sanitasi. Ada yang harus kupastikan untuk desain yang akan kuajukan,” ujar Park Chan Yeol di sela jam kuliah mereka pagi itu.

 

Namja mungil dengan eye smile yang duduk di sebelah sosok tinggi itu mengangguk. “Nde. Tidak apa-apa. Hari ini juga aku kebagian piket klub,” sahutnya dengan seulas senyum.

 

.

 

.

 

.

 

“Baek Hyun-ssi, mianhe aku harus segera pergi. Temanku sudah menunggu,” ujar seorang gadis dengan surai pirang dicat sebahu sambil menangkupkan tangannya di hadapan Baek Hyun. “Kau tidak apa-apa sendiri?”

 

“Nde. Gwenchana. Sudah selesai kok, tinggal merapikan berkas saja. Aku sendiri juga tidak apa-apa,” sahut namja berwajah manis itu dengan senyum maklum. “Kau pergi saja, Hyun Ae-ya. Jangan buat namjachingumu menunggu terlalu lama.”

 

Hyun Ae hanya menampilkan cengiran malu menanggapi candaan Baek Hyun itu. “Aku duluan ya,” sahut Hyun Ae sambil menyampirkan tas dan berjalan meninggalkan sekretariat klub jurnalistik. “Jangan pulang terlalu larut, Baek Hyun-ssi. Hati-hati!”

 

“Kau juga hati-hati,” tukas Baek Hyun sambil membalas lambaian tangan gadis itu. Kristal kelamnya memperhatikan sejenak hingga sosok tinggi itu berbelok di balik gedung sebelum ia membawa tubuhnya kembali masuk ke dalam ruang sekretariat. Jemari indahnya memilih dan memilah berkas-berkas yang tercecer di berbagai lemari, menyatukannya dalam folder-folder khusus sebelum meletakkannya di atas rak.

 

 

 

Langit sudah gelap saat tubuh mungil Baek Hyun akhirnya berdiri di depan pintu dan memasang gembok. Melangkahkan kakinya perlahan, namja berparas manis ini sedang berpikir apa yang akan dibuatnya untuk makan malam? Apakah ia perlu mampir dulu ke minimart dan membeli sesuatu? Ia juga sedang menduga-duga apa Bo Eun membawa vitaminnya? Apa perlu ia belikan susu untuk belahan dirinya itu?

 

Karena pikiran yang melayang ke sana kemari, Baek Hyun sedikit tak memperhatikan sekitar. Instingnya jadi sedikit tumpul sehingga tidak menyadari kehadiran orang-orang yang sedari tadi memperhatikannya bagai serigala yang mengincar seekor kelinci yang lengah. Karenanya, Baek Hyun tak kuasa menghindar saat tiba-tiba ada yang mencekal pergelangan tangannya dan menyeret tubuh mungilnya ke ujung lorong yang tersembunyi.

 

Mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan yang ada di sekelilingnya, pemuda ini hanya bisa mengerutkan alis heran saat mendapati dua orang memegang lengannya. Masing-masing menahannya agar tak bergerak dan menempel pada tembok. Sementara dua orang lain berdiri begitu dekat di hadapannya. Dengan salah satu dari mereka menjulurkan wajahnya sambil menatapnya dengan.... tatapan aneh.

 

“Kalian siapa? Mau apa?” tanyanya bingung. Sebuah dugaan bahwa dirinya akan di-bully membuat Baek Hyun mengingat-ingat ada berapa isi uang di dompetnya.

 

Akan tetapi, bukannya menagih uang atau menghajarnya, namja di hadapannya itu malah menyeringai dan... menyentuh dadanya! Refleks, Baek Hyun berjengit merasakan sentuhan yang.... entah kenapa membuat merinding itu. Karena jemari pria itu mengusap bagian depan tubuhnya dengan gerakan yang... tidak wajar!

 

“Apa yang kau lakukan!? Lepaskan!! Aku ini namja tahu!!!” bentaknya sambil mengangkat kaki kanannya dan menendang perut pria itu. Faktor posisi yang memang tidak menguntungkan membuat tendangan itu tak memberi efek yang signifikan pada pemuda di hadapannya. Orang itu malah menyeringai semakin lebar.

 

“Kalau begitu, ayo perlihatkan tubuhmu yang seksi seperti kemarin itu. Aku sudah menahan diri sejak kemarin,” ujarnya sambil menjilat bibir dan membungkuk untuk meraih sebelah kaki Baek Hyun. Sementara satu kakinya yang lain diangkat oleh pria satunya.

 

Kini tubuh mungil itu terangkat di udara, tak ada sedikitpun yang menjejak tanah. “Apa yang kalian lakukan!? Lepaskan aku!!” serunya sambil berusaha menarik tangan dan kakinya dari genggaman jemari-jemari kuat itu.

 

“Tidak perlu malu, Baek Hyun-ah. Sudah tidak ada orang di kampus. Tidak akan ada yang mengganggu kita.” Dengan rangkaian kata itu, Baek Hyun mendapati tubuhnya kini sepenuhnya berada di atas tanah. Dengan kedua tangan masih senantiasa dikunci oleh dua orang di kedua sisi, kaki yang digenggam oleh satu orang di belakang dan satu orang lagi berjongkok di atas pinggangnya.

 

Entah kenapa sel-sel kelabu otaknya menjeritkan alarm bahaya. Alarm yang berbunyi begitu nyaring seiring sepasang maniknya menangkap kilat memuakkan di sorot pria di hadapannya.

 

“Di mana kau sembunyikan bentuk tubuhmu yang mempesona seperti kemarin itu, hm, Baek Hyun-ah?” Perkataan orang itu membuat pikiran Baek Hyun melayang pada saudara kembarnya. Dan seketika itu Baek Hyun bersyukur bukan Bo Eun yang ada di posisinya. Coba bayangkan apa yang akan terjadi jika saudarinya itu yang pergi ke kampus hari ini dan mendapat perlakuan seperti ini!

 

“Kau bisa lihat, aku ini namja! Lepaskan aku!” teriak Baek Hyun sambil tetap meronta.

 

Namun, bukannya menjauh, orang itu justru malah tergelak. “Kalau begitu, akan kubangunkan dirimu yang satunya. Barangkali jika kulakukan pemanasan, kau akan kembali menjadi yeoja seksi seperti kemarin, hm? Bagaimana menurutmu?” Sambil berkata begitu, jemari kuat itu merobek kaus Baek Hyun, membelahnya menjadi dua hingga kulit putih itu terpapar oleh angin malam.

 

Siulan senang terdengar bersahutan dari para namja di samping Baek Hyun. “Meskipun rata, kau tidak buruk juga, Baek Hyun-ah. Bahkan kau mempesona dengan postur datar itu,” celetuk salah satu dari mereka.

 

“Aku juga ingin menyentuhnya nanti. Jangan lupa giliran,” seru namja yang ada di belakang dan mengunci kedua kaki Baek Hyun.

 

Tanpa sadar, komentar-komentar itu membuat tubuh mungil ini bergetar. Kepalanya berteriak-teriak panik. Ia kan, namja! Tidak mungkin mereka melakukan hal yang tidak-tidak padanya, kan?! Tidak mungkin melakukannya sesama namja, kan?!

 

Baek Hyun hanya bisa menggigit bibir menahan mual saat jemari pria itu kembali melakukan kontak kulit dengan tubuhnya. Segala berontak yang berusaha dilakukannya hanya membuat pergelangan tangan dan kakinya sakit karena dicekal begitu kuat.

 

“Tak perlu takut, Baek Hyun-ah. Aku akan lembut dan kupastikan kau akan menikmatinya,” bisik orang itu sambil menunduk dan berucap begitu dekat dengan mulutnya.

 

Tubuh kecil itu terkesiap saat jemari yang ia rasakan tadi berada di perutnya, kini terus bergerak turun. “Hentikan!!! YA!!! Apa yang kau sentuh??! Lepaskan!!!” teriaknya sambil mengejang. Berusaha sekuat mungkin menghindarkan aktivitas tangan orang itu di bawah sana.

 

Namun, tentu saja permohonannya tak dikabulkan. Pria itu justru malah terkekeh senang. Baek Hyun hanya bisa memejamkan mata saat merasakan angin malam menyapa tubuhnya yang semula tertutupi jeans. Rasa takut yang teramat sangat mencengkeram hatinya. Meski ia tak mengerti apa sebenarnya yang ingin dilakukan pria-pria itu pada dirinya yang juga seorang namja, Baek Hyun menggigil ketakutan.

 

Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria-pria itu padanya. Dan ia sungguh bersyukur ia tak perlu tahu karena tepat sebelum jemari itu kembali membuat kontak dengan kulitnya yang lain, sebuah teriakan menggelegar terdengar bergaung di lorong buntu itu.

 

“MENJAUH DARINYA BRENGSEK!!!” teriak suara berat itu, diikuti dengan bunyi benturan antar tulang. Bersamaan dengan itu, beban di pinggangnya menghilang.

 

Begitu pria yang berjongkok di atasnya terguling, kristal gelap Baek Hyun membuka dan menangkap sosok jangkung yang begitu dikenalnya tengah berusaha melepaskan diri dari cekalan pria yang tadi mengunci kakinya.

 

“Chan Yeol-ah....” bisik namja manis ini sedikit tak percaya dengan apa yang ditampilkan lensanya. Mungkinkah ia hanya bermimpi namja jangkung itu menolongnya? Namun, Baek Hyun yakin apa yang ada di hadapannya bukan mimpi saat dua orang yang sedari tadi mengunci lengannya juga ikut bergabung untuk mengeroyok Chan Yeol.

 

“Jangan mengganggu kami, sialan!”

“Sok jadi pahlawan, eh? Rasakan ini pecundang!”

 

Menyadari bahwa roommate-nya itu kewalahan menghadapi empat orang sekaligus, Baek Hyun memaksa tubuhnya bangkit. Dengan tangan yang masih gemetar, ia menarik risletingnya dan menghampiri pergumulan yang berat sebelah itu. Lengan kecilnya yang masih terasa lemas menarik pundak salah satu dari mereka agar menjauh dari tubuh jangkung Chan Yeol yang mulai terduduk. Akan tetapi, apa daya. Syok yang diterima ditambah perbedaan tenaga membuat usahanya menjauhkan orang-orang itu tak berhasil. Salah satu dari mereka, yang terbakar emosi, dengan kasar mendorong Baek Hyun agar berhenti mengganggu pergerakan tangannya yang sedang penuh napsu menghajar Chan Yeol.

 

Meski begitu, Baek Hyun tidak menyerah. Ia melingkarkan lengan kecilnya di pinggang salah satu dari 4 orang namja yang berada paling dekat dengannya. Dengan tenaga yang dimilikinya di tengah gemetar tubuh itu, laki-laki mungil ini menarik tubuh dalam rangkulannya. Berharap bisa menjauhkan tangan kasar itu dari usahanya melukai Chan Yeol lebih parah.

 

Sayangnya, tindakan itu justru salah diartikan oleh pria yang ia tarik. Merasakan lengan Baek Hyun di pinggangnya malah membuat orang itu kembali teringat pada niatan awalnya. Usaha Baek Hyun untuk menjauhkannya dari Chan Yeol memang berhasil. Namun, sebagai gantinya ia harus menerima dirinya didorong dengan keras hingga kembali tersudut di ujung lorong yang buntu.

 

Sebelum sempat memberontak, pria itu menjulurkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya. Refleks, Baek Hyun menggeser kepalanya ke samping sehingga bibir yang mendesah itu gagal menyentuhnya. Laki-laki mungil ini merinding saat didengarnya geraman marah terdengar dari pria di hadapannya.

 

“Berhentilah berontak. Aku akan membuatmu menikmatinya, Baek Hyun-ah,” ujarnya serak dan terdengar berat. Sebelah tangannya terangkat untuk mengunci dagu tirus Baek Hyun. Sementara ia kembali mendekatkan wajahnya. Dengan kalang kabut, Baek Hyun memukul-mukulkan tangannya ke punggung pria itu dengan sekuat tenaga. Tentu. Siapa yang sudi first kiss-nya dicuri oleh orang yang tak dikenalnya!?

 

Akan tetapi, seolah syaraf sakitnya sudah tak berfungsi, atau mungkin karena pukulannya terlalu tak bertenaga, pria itu tetap tak bergeming. Panik, Baek Hyun menendang tulang kering pria itu kuat-kuat. Kali ini usahanya berhasil karena orang itu berteriak kesakitan dan refleks menjauhkan tubuhnya. Kedua tangannya mengangkat sebelah kakinya yang dapat dipastikan memar akibat benturan di tulangnya.

 

Sepasang kristal yang berkilat penuh napsu itu kini memancarkan kemarahan yang membutakan. Jemari kuat itu mencengkeram bahu Baek Hyun dan entah apa yang dipikirkannya, pria itu membanting Baek Hyun hingga tubuh namja kecil itu membentur tembok dengan suara yang cukup keras. Kepalanya yang terantuk bata berlapis kuat membuat sel syarafnya menampilkan kegelapan dan menyeret kesadarannya. Tubuh kecil itu merosot di lantai yang dingin. Dan pria yang mendorongnya menyeringai senang.

 

Bukannya panik karena Baek Hyun tak sadarkan diri, orang itu justru bersiul dan memposisikan tubuh Baek Hyun agar mudah diaksesnya.

 

Chan Yeol yang menangkap kejadian itu di sela tubuh-tubuh yang berusaha menghabisinya hanya bisa berteriak dengan suara parau. “BAEK HYUN-AH!!!”

 

.

 

.

 

.

 

Bo Eun tidak peduli.

 

Bo Eun tidak peduli meski supir taksi yang ditumpanginya mendendam padanya karena sepanjang perjalanan ia terus membentaknya untuk melaju lebih kencang. Bo Eun tak peduli meski ia terlihat seperti orang gila sekarang ini. Menghentakkan kaki yang tak mengenakan alas apapun dengan begitu tak sabar. Menggigiti kuku dari balik masker yang dikenakannya. Bahkan sepanjang perjalanan ia tidak duduk di kursinya. Ia tidak peduli dengan itu semua. Jutaan sel kelabu dalam otaknya saat ini dipenuhi oleh Baek Hyun. Seluruh pikirannya saat ini tertuju pada Baek Hyun. Dengan sangat putus asa, ia berharap pada seluruh alam semesta untuk ikut menemaninya berdoa agar belahan jiwanya itu baik-baik saja.

 

Rasa cemas dan takut yang teramat sangat membelenggu hati gadis ini. Membuatnya tak bisa memikirkan hal lain. Begitu terlarut pada firasat buruk yang menggerogotinya.

 

Begitu plang KAIST tampak dari kaca mobil, gadis ini melesat keluar bahkan meski taksi belum sepenuhnya berhenti sekalipun. Uang yang disambarnya secara acak, diserahkannya dengan tak sabar. Tak didengarkannya seruan supir yang memanggilnya untuk mengambil kembalian. Tungkai kecil itu melangkah lebar-lebar dalam derap lari yang tergesa.

 

Di tengah kekalutannya, ia ingat mataharinya itu memiliki jadwal piket klub sore ini. Secara refleks otaknya juga memutar percakapan yang tertangkap kameranya.

 

Rasanya Bo Eun ingin berteriak frustasi saat dilihatnya sekretariat klub jurnalistik sepi dan tak ada siapapun di sekitar sana. Dengan amat panik, Bo Eun sungguh berharap telepati yang disebut-sebut orang terjalin di antara anak kembar itu benar ada.

 

Saat manik kelamnya menatap liar ke sana kemari, sebuah teriakan membuat gadis ini terpaku. Itu dia. Itu suara Chan Yeol!

 

Dengan derap terburu-buru, Bo Eun menghampiri sumber suara. Langkahnya membawa tubuh mungilnya pada ujung lorong buntu tak terlalu jauh dari ruang klub jurnalistik. Pada pojokan lorong yang terabaikan di dekat gudang.

 

Pemandangan pertama yang tertangkap lensanya adalah 3 orang pria yang berkerumun, bergumul sambil menendang-nendang penuh napsu pada satu sosok di tengah. Sosok yang tak bisa dilihat pupilnya dengan jelas karena faktor ketiadaan cahaya di sana. Meski lampu dari sisi lorong yang lain memberi suasana temaram, gadis ini masih bisa menjalankan otaknya. Ia bersyukur ia sedang flu dan mengenakan masker serta jaket. Mencari keberadaan suatu benda panjang yang cukup keras, jemari indahnya menarik hoodie yang dikenakannya.

 

Meraih sapu yang tergolek di dekat pintu gudang, Bo Eun berlari menghampiri gerombolan yang masih tak menyadari kehadirannya itu.

 

“YAAAA!!!! MEN! MEN! MEN!!!!” jeritan perang yang membuat merinding itu bergaung di tembok lorong, menandakan kedatangan Bo Eun yang melangkah dengan cepat sebelum tangan kecilnya mengayun dan menghantamkan ujung gagang sapu itu ke tiga kepala di hadapannya. (“Men” adalah teriakan saat menebas ubun-ubun lawan dalam ilmu kendo)

 

Orang-orang itu mendengar jeritannya, namun mereka tak cukup cepat untuk menghindari serangan pukulan telak di ubun-ubun dari teknik kendo itu.

 

Saat mereka masih terhuyung dan mengusap-usap bagian kepala yang dipastikan setidaknya benjol, Bo Eun menendang mereka dan menyingkirkan tubuh-tubuh itu dari sosok yang terengah-engah dengan banyak lebam di tengah. Menyadari bahwa itu Chan Yeol, bukan matahari yang dicarinya, gadis ini kembali mengedarkan kristal kelamnya.

 

Setelah memporakporandakan gerombolan keroyokan itu, akhirnya pupilnya menangkap sesosok pria yang sibuk membungkuk di pojok lorong sana. Ujung sepatu belahan dirinya yang sangat dihapalnya itu membuat sebuah pemahaman terbentuk di benak Bo Eun. Dan efek dari pemahaman itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Karena detik berikutnya, dua buah ayunan sapu membentur punggung pria itu dengan keras.

 

“STAY AWAY, YOU !!” bentaknya.

 

Tersungkur, tubuh pria itu sedikit menimpa sosok Baek Hyun yang tak bergerak sebelum kilat marah ditolehkannya pada orang yang mengganggu keasyikannya.

 

“Apa maumu, heh!? Kau tidak lihat aku sedang sibuk, HAH!?” sentaknya dongkol.

 

Sial baginya, tindakan tak sengaja efek gravitasi bumi itu justru membuat kobaran api semakin terpancar kuat di hati Bo Eun. Saat pria yang dibalut pakaian yang mulai berantakan itu berdiri, Bo Eun menariknya kasar hingga ia menjauh dari tubuh Baek Hyun di pojokan. Sebelum sosok itu sempat memberontak melepaskan diri, jemari indah gadis itu melepasnya dan mendorongnya menjauh.

 

Tidak, tidak. Byun Bo Eun bukannya melepaskan mangsanya. Ia hanya mengambil ancang-ancang. Membuat sosok menjijikkan itu memiliki jarak dengannya hingga ia bisa melakukan okuri-ashi (teknik melangkah dalam melakukan penyerangan dalam kendo). Menyeret langkahnya dengan gerakan terlatih, sosok manis yang memancarkan kilat murka itu mengangkat sapunya dan menghunusnya tepat ke leher.

 

“TSUKI!!!” raungnya dengan teriakan perang yang menggetarkan. (“tsuki” adalah teriakan saat menusuk leher)

 

Pria itu sontak tersedak dan terbatuk-batuk hebat sementara tubuhnya terhuyung. Sebelum ia sempat memulihkan rasa tercekat yang membuatnya kehabisan napas sesaat, sebuah tendangan membentur pelipisnya. Ia cukup beruntung Bo Eun tak mengenakan alas kaki, tanpa sepatu kets apalagi sepatu boot. Karena jika ia menggunakan sepatu, keselamatan tulang kepalanya tak bisa dijamin.

 

Mengerang kesakitan, pria itu ambruk di lantai. Namun Bo Eun masih belum teredam. Ia menginjak perut pria itu kuat-kuat sebelum ujung sapunya ia arahkan ke leher pemuda yang telentang tak berdaya di bawahnya.

 

Sepasang manik kelamnya berkilat. Suaranya yang teredam masker terdengar jelas di tengah lorong yang hening. “Sedikit saja kau menyentuh Baek Hyun lagi, kutebas lehermu dengan pedang asli!!” desisnya.

 

Mungkin efek hantaman di pelipisnya atau akibat tusukan di lehernya atau karena mentalnya yang terlanjur jatuh, pria itu pingsan setelah sepasang bola matanya berkontak dengan kristal gelap Bo Eun selama beberapa detik.

 

Gadis bersurai panjang yang kini tersembunyi di balik hoodie itu membalikkan tubuhnya dan menatap 3 orang lain yang sudah bisa menguasai diri dari rasa sakit di ubun-ubunnya. “Who’s next?” tanyanya datar sementara tangan kanannya menyabetkan sapu ke samping, memberi gestur seolah membuang darah yang biasa tertempel pada katana (pedang samurai).

 

Melihat teman mereka terkapar tak sadarkan diri di sana, tiga orang itu gemetar seketika. Tak satupun ragu bahwa alat yang dipakai gadis itu hanya sebatang sapu kayu yang tak terlalu berbahaya. Namun, entah kenapa mereka merasa nyawa mereka terancam. Karenanya, mereka berlutut dan menangkupkan kedua tangannya di atas kepala. “Ma-maafkan kami.... tak akan lagi.... kami bersumpah... takkan menyentuh Baek Hyun lagi.... tolong ampuni kami.....” lirihnya.

 

 

Seandainya boleh jujur, Bo Eun masih belum puas melampiaskan kemurkaannya. Kemarahan telah menguasainya dan tangannya masih gatal ingin menebas namja-namja brengsek itu sampai tak sanggup bergerak lagi. Mungkin ia akan dipulangkan ke Indonesia atau berakhir di kantor polisi, seandainya saja suara Chan Yeol tak mencapai indera pendengarnya.

 

“Baek Hyun-ah! Baek Hyun-ah! Neo gwenchana? Baek Hyun-ah, ireona!”

 

Begitu mendengar nama dari matahari yang amat dicintainya itu, tatapan di sepasang kristal Bo Eun kembali melembut. Bahkan kembali diliputi kecemasan saat ia berbalik dan ikut berlutut di samping tubuh Baek Hyun yang tengah diguncang perlahan oleh Chan Yeol.

 

Merasa nyawa mereka selamat malam itu, tiga orang pemuda yang berlutut di lantai itu bergegas pergi sambil menyeret temannya yang tergeletak pingsan.

 

Bo Eun tak lagi mempedulikan mereka. Fokusnya telah kembali pada Baek Hyun. Gadis ini tak ingin mempercayai apa yang dilihatnya. Ia merasa hatinya diremas begitu kuat hingga mengkerut tak berbentuk mendapati tubuh Sang Belahan Jiwa terekspos dengan baju yang terkoyak. Beberapa guratan merah dan lebam tampak di kulit mulusnya. Sebelum ujung jemarinya menyentuh salah satu lebam itu, sebuah kemeja menghalangi kontak kulit yang akan terjadi. Mendongak, Bo Eun menyadari Park Chan Yeol melepas kemejanya untuk menutupi tubuh Sang Matahari.

 

Sementara ia masih termangu atas sikap pemuda itu, Chan Yeol merengkuh tubuh Baek Hyun dan mengangkatnya menyamping di kedua lengannya yang juga lebam. Tanpa suara, Bo Eun mengumpulkan barang-barang Sang Saudara yang tercecer dan mengikuti langkah perlahan Chan Yeol yang menggendong belahan jiwanya itu. Mereka berjalan dalam diam. Dan sungguh bersyukur tak ada orang lain yang mereka temui. Untungnya saat lewat di depan pos penjaga pun, pria itu tak terlalu memperhatikan kepergian mereka.

 

Saat tiba di depan pintu gerbang kampus, gadis berparas manis itu menghentikan sebuah taksi dan membantu Chan Yeol membaringkan Baek Hyun di jok belakang. Sebelum ia ikut masuk, Chan Yeol menatap ragu individu yang tak ia ketahui sosoknya itu. Manik kembarnya menatap entitas yang dibalut masker dan tertutup hoodie itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa sangat berhutang budi pada orang di hadapannya ini. Entah apa yang terjadi jika ia tidak datang.

 

“Chogiyo..... Apa kau mengenal Baek Hyun?” tanya pemuda ini pada sosok yang tengah memasukkan tas Baek Hyun ke mobil.

 

Gadis itu menatapnya bingung.

 

“Apa... aku mengenalmu?” tanya Chan Yeol lagi. Dan pertanyaannya kali ini membuat kristal kelam itu melebar. Namun, bukannya memberi jawaban, Bo Eun hanya menggeleng kuat-kuat sebelum langkah kecilnya membawa tubuhnya berlari pergi.

 

“Ah. Tunggu!” Sebenarnya Chan Yeol ingin mengejarnya. Ia belum sempat mengucapkan terima kasih, bukan? Namun, tentu saja ia tidak mungkin meninggalkan Baek Hyun. Karenanya, pemuda jangkung ini hanya bisa mendesah perlahan menatap sosok itu menghilang di tikungan.

 

‘Siapa kau sebenarnya?’

 

.

 

.

 

.

 

Tubuh jangkung itu menurunkan sosok mungil di lengannya dengan sangat hati-hati ke atas kasur empuk begitu tiba di kediaman kecil mereka. Memastikan posisi Baek Hyun telah nyaman, Chan Yeol terlihat sedikit bimbang. Ia mengacak surai coklat terangnya dengan bingung dan menatap sosok roommate-nya ragu. Memejamkan mata sejenak, pemuda ini lalu menghampiri lemari baju Baek Hyun dan menarik sepasang piyama dari sana. Sambil mengatupkan rahang sebagai usaha diri untuk menekan emosi yang menderu di dadanya, Chan Yeol dengan lembut mengganti baju sobek namja mungil itu dengan piyama kering.

 

Butuh waktu sekian menit hingga Baek Hyun yang masih belum sadarkan diri telah terbalut baju hangat yang bersih. Jemari panjang Chan Yeol menarik selimut dan merapikannya di atas tubuh sosok yang terbaring itu. sebelah tangannya terangkat dan mengelus perlahan surai halus yang menutupi paras manis yang terlelap.

 

Teringat apa yang menyebabkan Baek Hyun hingga tak sadarkan diri seperti sekarang ini, Chan Yeol dengan tergesa mengeluarkan handphone dan menghubungi dokter yang dikenalnya.

 

 

 

Tak butuh waktu lama hingga Dokter Jong Dae, yang tak lain adalah sepupunya, datang lengkap dengan peralatannya. Chan Yeol berdiri tak jauh dari dokter muda yang hampir seumur dengannya itu selama ia memeriksa Baek Hyun. Tak dapat dipungkiri, rasa cemas dan takut itu masih menggelayut di hatinya.

 

“Dia tidak apa-apa. Benturan di kepalanya tidak parah. Hanya syok,” ujar Jong Dae beberapa saat kemudian sambil menatap Chan Yeol. Sepasang iris di balik kacamata kini memandang pasien sekaligus saudaranya itu dengan tajam. “Menurutku justru kau yang harus kuobati, Chan Yeol-ah!” lanjutnya dengan nada kesal yang cukup kentara.

 

Tapi, Chan yeol hanya menggeleng. “Aku tidak apa-apa. Hanya memar sedikit,” sahut pemuda jangkung ini tak peduli. “Apa yang harus kulakukan saat ia sadar?”

 

“Pastikan ia tenang dan biarkan ia istirahat,” tukas Jong Dae sebelum tangannya meraih pergelangan Chan Yeol dan menyeretnya ke luar kamar. “Sekarang kau harus menurut untuk kuobati. Kalau tidak, kuadukan kau pada nenek!”

 

Mendapat ancaman seperti itu, namja jangkung ini hanya bisa mendesah dan mengikuti langkah pemuda di hadapannya yang menggiringnya ke ruang tengah. Ia juga hanya menurut menjatuhkan postur tingginya di atas sofa sementara temannya yang memang jenius sehingga telah menjadi dokter muda ini mulai membubuhkan macam-macam cairan di lukanya.

 

“Sebenarnya apa yang terjadi, sih?” tanya namja itu sedikit kesal. “Kau itu sudah tau tidak bisa bela diri, kenapa malah terlibat perkelahian?”

 

Chan Yeol  hanya mengangkat bahu tak peduli. “Anggap saja nasib sial?” sahutnya. “Tapi, Baek Hyun benar-benar tidak apa-apa, kan?”

 

Melihat raut yang begitu serius di paras tampan sepupunya, Jong Dae hanya bisa menghela napas perlahan. “Dia tidak apa-apa. Kau tidak mempercayai diagnosaku sebagai seorang dokter, eh?” ujarnya. Sedikit kesal karena dari tadi pemuda di hadapannya ini hanya mempedulikan namja mungil di dalam kamar itu. Padahal kondisinya sendiri lebih mengkhawatirkan. Sudut bibir yang pecah di kedua sisinya, lebam di pelipis, di tulang pipi, lengan, bahkan memar di bagian perut segala. Seharusnya Chan Yeol lebih memperhatikan lukanya sendiri, kan?

 

“Kalau kau memang sekhawatir itu, kenapa tidak kau bawa ke rumah sakit?” celetuk Jong Dae. Namun, ucapan itu tidak ditanggapi oleh Chan Yeol. Sebenarnya bukannya pemuda ini tidak ingin membawa Baek Hyun ke tempat yang lebih relevan. Hanya saja tidak mungkin bukan, ia membawanya ke rumah sakit dengan kondisi seperti tadi? Itu sebabnya yang ada di pikiran Chan Yeol pertama kali harus dilakukan adalah mengganti baju Baek Hyun. Dan ia percaya dengan kemampuan sepupunya yang memang jenius itu. Makanya alih-alih berangkat ke rumah sakit 24 jam, ia memilih untuk memanggil Jong Dae. Meski mungkin jika setelah beberapa jam Baek Hyun masih belum sadarkan diri juga ia akan membawa namja mungil itu ke rumah sakit.

 

 

 

“Jong Dae-ah.. Jangan beritahu nenek, ya,” ucap laki-laki bermata bulat ini setelah beberapa saat yang terdengar hanya detik jarum jam di dinding.

 

Lagi, dengan desahan pelan, Jong Dae menyahut acuh. “Ya, ya. Asal kau merawat lukamu dengan benar!”

 

.

 

.

 

.

 

Setelah sepupu yang hanya berbeda beberapa bulan darinya itu pergi, Chan Yeol kembali ke kamar Baek Hyun. Ia mendudukkan tubuh jangkungnya di lantai di samping tempat tidur rekan serumahnya itu. Menyandarkan dagu di pinggir kasur, jemari panjangnya meraih lengan Baek Hyun dan menggenggamnya lembut. Sepasang kristal coklatnya menatap paras manis yang terpejam itu dengan beragam perasaan berkecamuk di hatinya.

 

Di tengah lamunannya, pemuda tinggi ini tersentak kaget saat dirasakan jemari lentik dalam genggamannya bergerak. Apalagi diikuti dengan membukanya sepasang kelopak di hadapannya. Yang dengan segera menampilkan manik kelam kembar yang memancarkan sorot panik.

 

“Chan Yeol-ah!!” seruan cemas itu adalah yang pertama terlontar dari kerongkongan Baek Hyun. Entah apa yang ada di pikiran Baek Hyun. Entah apa yang ditampilkan syaraf penglihatnya. Karena detik berikutnya, tubuh kecil itu langsung bangun dari posisinya berbaring. Seolah ia hendak mengejar sesuatu.

 

Sebelum namja manis itu meninggalkan kasurnya, lengan panjang Chan Yeol terulur dan merengkuhnya. Menghentikan pergerakan tak terkontrolnya dengan dekapan hangat.

 

“Aku di sini, Baek Hyun-ah,” sahutnya, sedikit bingung dengan reaksi temannya ini.

 

Mendengar suara berat yang amat dikenalnya itu, Baek Hyun terdiam dan napasnya perlahan kembali teratur. “Chan Yeol-ah, neo gwenchana?” tanyanya dengan suara yang sedikit gemetar.

 

Mendapat pertanyaan seperti itu, namja jangkung ini hanya bisa mempererat pelukannya. Kepalanya tertunduk dan bersandar pada bahu kecil Baek Hyun. Sama sekali tak menyangka bahwa kalimat itulah yang diucapkan Baek Hyun pertama kali saat sadar. Bukankah namja mungil itu baru saja mengalami hal yang mengerikan? Tidakkah seharusnya ia lebih... entahlah... takut dan mencemaskan kondisinya sendiri? Kenapa ia justru malah....??

 

“Yeollie.... kau terluka? Sebelah mana? Parahkah? Sudah diobati? Apa mereka masih di sini?”

 

Gerakan Baek Hyun yang hendak melepaskan diri dari dekapan erat Chan Yeol dan ingin melihat sosok pemuda itu agar bisa melihat luka-lukanya tak berhasil dilakukan karena lengan kuat itu tak mau melonggar. Alih-alih membiarkan Baek Hyun terbebas dari belitan lengannya, Chan Yeol justru memindahkan rangkulannya hingga sepasang tangan panjangnya melingkar nyaman di pinggang Baek Hyun.

 

“Aku tidak apa-apa, Baek Hyun-ah. Mereka sudah tidak ada. Sudah tidak apa-apa,” sahutnya sambil sebelah tangan mengusap punggung kecil itu.

 

Manik kembar Baek Hyun perlahan melembut dan meredup demi mendengar suara yang menenangkan itu. Apalagi dengan dekapan Chan Yeol yang begitu protektif dan hangat. Namja mungil ini tanpa sadar menjadi sangat rileks. Ia merasa aman. Ia merasa dilindungi dan diyakinkan bahwa semua hal akan baik-baik saja dan tak ada yang dapat menciptakan kekacauan di dunia.

 

Seiring otaknya memproses bahwa objek yang begitu dikhawatirkannya ternyata baik-baik saja, fokus sel kelabu otaknya kembali menurun. Sambil menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada Chan Yeol, tanpa sadar Baek Hyun kembali menutup kelopak matanya. “Syukurlah...” bisiknya samar.

 

Menyadari bahwa laki-laki dalam dekapannya telah kembali tertidur, Chan Yeol perlahan melonggarkan belitan tangannya dan sosok kecil itu kembali dibaringkan di atas kasur. Mengusap keningnya dengan lembut, Chan Yeol menatap lekat paras manis itu dengan sendu. Ia tak bisa menggambarkan perasaannya. Hanya rasa bersalah yang pertama dapat diidentifikasi olehnya.

 

“Baek Hyun-ah, mianhe...” gumamnya tanpa suara.

 

.

 

.

 

.

 

Tanpa sepengetahuan dua orang yang ada di dalam kamar itu, sebenarnya ada satu orang lagi yang begitu tertekan dan merasa bersalah atas kejadian malam ini. Sosoknya yang tertutup hoodie memaku pandangan ke dalam ruangan. Irisnya tak lepas merekam apa saja yang terjadi di dalam sana. Ototnya menegang tiap kali melihat belahan dirinya bergerak di dalam kamar yang samar terlihat dari balik jendela.

 

Ia tidak bisa masuk. Tidak dengan Chan Yeol yang masih terus berdiam di kamar Sang Saudara. Tidak dengan pintu dan jendela yang terkunci rapat. Tidak setelah apa yang diakibatkannya pada matahari yang amat dicintainya itu.

 

Tanpa bisa dikendalikannya, Bo Eun merasa matanya panas. Dadanya begitu sesak dan teriris tipis begitu perih. Sadar bahwa Baek Hyun telah aman bersama Chan Yeol, gadis bertubuh mungil itu membawa pergi langkahnya menjauhi rumah. Membelah malam pekat tanpa arah pasti.

 

.

 

.

 

.

 

Bo Eun tak tahu ke mana ia membawa tubuhnya berlari. Tak mempedulikan dingin, tak mempedulikan kegelapan. Ia hanya terus melangkah. Berharap angin dapat membawa pergi rasa sesak di hatinya. Berharap kegelapan dapat menghapuskan rasa bersalah yang mencengkeram seluruh tubuhnya.

 

Gadis bersurai panjang ini baru berhenti saat napasnya tersengal di samping sungai besar yang dibatasi pagar tinggi.

 

Memancang tatapan lensanya pada lapisan air yang pekat di bawah sana, Bo Eun membiarkan kristal bening mengalir deras dari matanya. Membasahi pipinya yang dingin. Menghambat pernapasannya yang tersumbat.

 

“Mianhe.... Sun-ah.... mianhe....” lirihnya dengan suara tercekat dan napas yang terputus-putus terhalang masker. Ucapan maaf yang terlontar berulang tanpa henti, seiring tubuh kecil itu merosot ke tanah tanpa tenaga.

 

.

 

.

 

.

 

Entah sudah berapa lama waktu terlewati, Bo Eun tak tahu. Entah sudah berapa banyak aliran air mata membasahi wajahnya lalu mengering akibat udara dingin, ia tak peduli. Tubuhnya kini berbaring di atas kursi kayu yang tersedia di samping pagar. Dari sela besi yang sedikit berkarat itu, beningnya masih bisa melihat riak pelan air akibat angin yang berhembus.

 

Sudah tak ada cairan yang mengalir dari sepasang lensanya, meski jejaknya masih tampak jelas di parasnya. Bibir tipis yang pucat itu tak berhenti membentuk kata “maaf” tanpa suara. Hidungnya memerah dan napasnya semakin terhalang. Bahkan meski maskernya telah dilepas pun, tarikan napasnya masih sulit dan membuat tubuhnya bergetar. Meski begitu, Bo Eun tampak tak peduli. Tak ada bagian dari sel kelabu otaknya yang mempermasalahkan kondisinya sekarang. Segala fokusnya masih tertuju pada Sang Saudara. Bayangan kondisi Baek Hyun yang begitu mengiris hati beberapa saat lalu masih tergambar begitu jelas di benaknya.

 

 

“Kau sedang apa sendirian di situ, gadis manis? Mau kutemani?”

 

Suara berat yang terdengar sengau itu menyeruak kesadaran Bo Eun dan seketika membuat gadis ini mengembalikan fokusnya. Ia menyadari kedatangan seseorang dari arah belakangnya, namun ia tak bergerak dari posisinya. Membiarkan sosok itu mendekat, hingga tangannya terulur untuk menyentuhnya. Akan tetapi, sebelum pria entah siapa itu berhasil membuat kontak kulit, Bo Eun lebih dulu memberinya kontak tubuh. Sebuah benturan dengan momentum cukup besar dari kepalan tangannya ke arah wajah yang mulai mendekat itu.

 

Saat erangan sakit terdengar, gadis ini bangkit dan tanpa menunggu pria itu menyelesaikan tarikan napasnya, Bo Eun kembali memberinya benturan keras. Kali ini dari tendangan telak di perut yang membuat sosok itu terhuyung dan hampir kehilangan keseimbangannya.

 

“Dasar sampah! Gara-gara orang-orang seperti kalian lah dunia jadi terpuruk seperti ini! Pemabuk! Brengsek! Tidak punya harga diri! Dasar tidak berguna!!” Segala sentakan berisi sumpah serapah dan caci maki yang melantur ke sana kemari terlontar lancar dari kerongkongan gadis manis ini. Bersamaan dengan segala pukulan yang terus dilancarkan secara acak pada bagian mana saja dari tubuh pria itu yang dapat diraihnya.

 

Kemarahan atas kejadian tadi di kampus masih belum hilang sepenuhnya dari hati Bo Eun. Emosi itu masih tersisa. Rasa muak itu masih membekas. Kemurkaan itu masih menuntut penyaluran. Seiring rasa sesak di hatinya masih jua tak kunjung pergi. Bahkan meski pria mabuk yang tak tahu apa-apa itu telah merintih dan meminta berhenti pun tak dihiraukan oleh Bo Eun.

 

Pergerakan membabi-butanya baru terputus saat orang itu berhasil melepaskan diri dan berlari menjauh.

 

‘Lihat, kan? Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya. Seandainya itu aku, aku bisa mengatasinya. Tapi, Sun...?? Sun.....’

 

Setelah orang itu pergi, Bo Eun kembali membaringkan tubuhnya di atas kursi. Meski matanya telah begitu perih dan sakit karena menangis terlalu lama, air mata kembali meleleh di wajahnya.

 

Sungguh, penyesalan yang menggerogotinya saat ini tak dapat ia lukiskan. Ia begitu terguncang karena apa yang menimpa mataharinya itu luput dari analisis kondisinya. Ia telah memperkirakan kemungkinan dirinya akan diserang oleh namja-namja brengsek akibat rencananya ini. Ia sudah mengkalkulasikan dan ia yakin dirinya tidak akan apa-apa. Namun, ia tak menyangka bahwa tindakannya ini justru akan menyeret saudara yang amat dicintainya itu dalam bahaya. Ia tak menyangka bahwa yang akan diserang justru malah Baek Hyun.....

 

“Gara-gara aku...” bisiknya parau.

 

Apakah keberadaannya di sini memang justru hanya merusak kehidupan dan kebahagiaan mataharinya itu? Apakah ia justru hanya mengganggu? Hanya menjadi benalu? Apakah seharusnya ia berhenti dan.... pergi?

 

“Sunnie-ah.... jeongmal mianhe....”

 

.

 

.

 

.

 

Malam begitu larut. Langit pekat dihiasi bintang di kejauhan. Jalanan lengang dan hanya lampu jalan yang menemani langkahnya. Menyusuri aspal yang gelap, pikirannya mengurai berbagai bentuk baru yang akan dituangkannya dalam kain yang ditentengnya. Tipe seperti apa yang akan ia gunakan kali ini? Motif apa yang sebaiknya ia pakai?

 

Aaahh... ia benar-benar butuh model untuk menginspirasinya.

 

Mendesah pelan, laki-laki dengan surai ikal itu menghentikan langkah saat lensa kembarnya mendapati satu sosok teronggok di samping sungai di depan sana. Apakah orang itu mati?

 

Entah apa yang membawa langkahnya hingga malah mendekat dan mengamati sosok yang ternyata masih bernapas itu. Bahu kecilnya naik turun tak teratur, kadang cepat, kadang lambat, kadang ditemani getaran pelan. Berjongkok, pemuda ini terkejut saat mendapati paras manis itu terekam dalam sel otaknya. Paras yang dikenalinya dan dikaguminya. Ah – tidak. Paras yang dpujanya.

 

Lagi-lagi tanpa sadar, jemari panjangnya terulur dan mengusap perlahan jejak air mata di pipi yang dingin itu. Menghapusnya lembut dengan kerutan samar terbentuk di kening.

 

Sentuhan yang tiba-tiba itu mengembalikan kesadaran Bo Eun yang sempat tertidur. Kristal kelamnya membulat kaget. Refleks, ia bangun dan tangannya terangkat hendak melancarkan pukulan. Akan tetapi, ayunan itu ditahan dengan genggaman kuat namun lembut dari pemuda di hadapannya.

 

Akibat tindakan yang terlalu tiba-tiba, ditambah efek angin yang sudah terlalu lama memapar kulitnya, gadis bersurai panjang itu mendadak oleng dan kembali terseret ke dalam kegelapan. Membuat tubuh mungilnya kehilangan topangan dan akan terjatuh membentur aspal jika saja pemuda dengan surai ikal itu tak menahannya.

 

Saat kontak kulit terjadi, panas yang menusuk terasa memancar dari tubuh gadis itu. Mengubah raut penasaran di paras tampan itu menjadi ekspresi cemas.

 

“Apa yang terjadi padamu, bidadari kecil?”

 

.

 

.

 

.

 

Langit-langit putih benderang adalah objek pertama yang tertangkap lensa kelam Bo Eun. Dugaan yang pertama terbentuk di otaknya adalah rumah sakit. Namun, dinding bersih itu justru dipenuhi lukisan indah dengan gaun-gaun cantik.  Ini jelas bukan kamarnya. Bukan kamar Baek Hyun, juga bukan kamar Chan Yeol. Lalu siapa? Kenapa ia ada di sana? Jam berapa sekarang? Bo Eun tak bisa ingat dan kepalanya sakit dipaksa berpikir.

 

Sebelum ia berpikir lebih jauh, suara pintu membuka sontak membuat gadis ini bangkit dari tempatnya berbaring. Ototnya refleks menegang sementara irisnya menyapu ruangan, mencari benda apa saja yang cukup panjang untuk digunakannya sebagai pengganti shinai (pedang bambu dalam kendo). Sayangnya tak ada apa-apa di ruangan yang cukup lengang itu. Memasang kuda-kuda penuh waspada, Bo Eun memaksa otaknya mencari celah untuk kabur dari ruangan itu.

 

Kepalan tangannya mengerat hingga kukunya memutih saat sebuah sosok terlihat dari celah pintu.

 

“Kenapa tidak berbaring?” ujar entitas yang baru masuk itu.

 

Saat kristal kembarnya merefleksikan sosok pemuda dengan surai ikal, wajah tirus dan sorot mata setengah melamun, tanpa sadar Bo Eun merileks. Meski keningnya berkerut berusaha mengingat sebuah nama. “...Lay-ssi...?” tanyanya perlahan.

 

Dalam hitungan sepersekian detik, sorot melamun dan tak fokus pemuda itu berubah menjadi binar riang. Seiring paras tirusnya membentuk seulas senyum manis dengan lesung pipi yang mempesona. “Kau masih mengingatku?” ujarnya, lebih berupa pernyataan dibanding pertanyaan.

 

Bo Eun tak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia tak tahu kenapa tiba-tiba pemuda yang ditemuinya di butik beberapa hari lalu justru ada di hadapannya kini. Ia juga masih tidak tahu di mana ia berada. Namun entah kenapa, begitu sosok itu terekam dalam otaknya, gadis ini merasakan ketenangan yang tak bisa dijelaskannya. Tanpa sadar, ia berhenti memaksa seluruh organnya untuk tetap terjaga dan membiarkan rasa sakit kembali menguasainya. Membiarkan tubuh kecilnya kembali kalah oleh kegelapan. Seolah ia mempercayakan diri pada pemuda di hadapannya. Dan untung saja meski sorot matanya terlihat tak fokus, Lay bergerak cukup cepat untuk mencegah Bo Eun mengalami tumbukan dengan lantai yang dingin.

 

.

 

.

 

.

 

“Kau mencari apa, Baek Hyun-ah?” Chan Yeol tak bisa lagi menahan diri untuk tidak bertanya. Pasalnya sejak pertama bangun tadi, rekan serumahnya itu langsung sibuk mencari-cari sesuatu di seluruh tempat tinggal mereka. Meneliti tiap lemari juga kolong meja dan apa saja celah yang cukup lebar. Padahal namja jangkung ini menduga Baek Hyun akan masih terbayang dengan kejadian semalam. Ia sempat was was barangkali saja namja mungil itu akan masih syok dan jadi menutup diri atau semacamnya. Tapi, hal itu sama sekali tidak terjadi.

 

Mendengar suara berat Chan Yeol, Baek Hyun mengangkat wajah dari lemari dapur yang sedang dibukanya. “A-ah... ani... bukan apa-apa,” sahutnya sedikit terbata dengan seulas cengiran kosong.

 

Chan Yeol mengerutkan alis. Sadar betul bahwa sosok di hadapannya ini sedang menyembunyikan sesuatu. Lihat saja paras manis yang langsung berkerut cemas setelah memalingkan wajah darinya itu. Sebenarnya ia sangat penasaran. Namun, pemuda bersurai coklat ini diam saja. Hanya mengamati sambil bertanya-tanya saat dilihatnya Baek Hyun mendesah putus asa saat menemukan sebuah handphone di antara tumpukan buku di mejanya.

 

Ada apa sebenarnya?

 

.

 

.

 

.

 

Kali ini Bo Eun tidak terlalu bingung saat matanya kembali membuka dan ruangan yang didominasi warna putih bersih itu kembali tertangkap lensanya.

 

“Selamat pagi.”

 

Sapaan lembut itu sontak membuat gadis ini menoleh dan baru sadar bahwa ternyata dari tadi ada orang lain di sampingnya. Lebih tepatnya duduk di samping tempat tidurnya. Rupanya apa yang tersimpan di benaknya beberapa saat lalu bukan mimpi, karena yang ada di hadapannya memang pria itu. Pemuda bersurai ikal coklat dengan sorot mata menerawang dan seulas senyum manis di wajah tirusnya.

 

“Jam berapa...?” Alih-alih menjawab sapaan Lay, Bo Eun justru mengajukan pertanyaan itu. Begitu entitas di hadapannya menyebutkan “Jam 10”, gadis ini langsung bangkit dalam satu sentakan tiba-tiba.

 

Lay menurunkan buku sketsa yang sedari tadi dipegangnya untuk membantu gadis itu bangun. Namun, Bo Eun menolak bantuan itu halus. “Aku harus pulang,” ujarnya lirih sambil menurunkan kaki.

 

“Makan dulu, lalu minum obat, baru kuantar kau pulang. Ya?” sahut Lay mencoba membujuk.

 

Bo Eun menggeleng keras. “Harus pulang sekarang. Sun.... harus bertemu Sun...” tukasnya.

 

Pemuda dengan sorot berkabut itu memiringkan kepalanya sedikit bingung. “Kau mau melihat matahari? Boleh saja, makan sambil berjemur di halaman, ya? Biar kuambilkan bubur dan kursinya,” ujar Lay, membuat keputusan sendiri sambil berjalan meninggalkan ruangan dan melaksanakan apa yang diucapkannya.

 

Gadis bersurai panjang itu tidak berusaha mencegah atau membenarkan pemahaman yang tidak tepat dari pemuda di hadapannya. Di sela rasa mual dan pusing yang menderanya, Bo Eun berusaha berpikir jernih.

 

.

 

Lay hanya tersenyum tipis saat sepasang kristalnya mendapati kamar yang belum lama ditinggalkannya telah kosong. Tidak benar-benar kosong secara harfiah. Tempat tidur, lemari, lukisan, dan segala perabotannya masih di sana. Namun, sosok mungil bersurai panjang bergelombang itu sudah tak ada.

 

Saat indera pendengarnya yang tajam menangkap deru mobil di luar sana, pemuda ini makin yakin dengan kesimpulannya. Meski begitu, ia tidak berusaha mengejar. Tidak juga memastikan apakah mesin taksi yang baru terdengar itu memang berisi gadis yang dibawanya semalam atau bukan. Tidak perlu. Karena, tulisan berantakan yang tertera di buku sketsanya seolah membenarkan hipotesanya.

 

“Terima kasih sudah membawaku semalam. Maaf, aku harus pergi sekarang. Matahariku akan cemas jika aku tidak segera pulang.”

 

Ia membaca rangkaian kalimat itu berulang-ulang. Menatap lekat tulisan berantakan yang tergores tipis di atas kertas. Sebelum lensanya menangkap secarik kain di lantai di dekat kursi. Lay membungkuk dan meraih kain itu. Kain yang tidak terlalu tebal dan berbentuk bujur sangkar dengan sepasang tali di sampingnya. Sebuah masker.

 

Seulas senyum manis yang menyebabkan terbentuknya lesung pipi kembali terbentuk di paras tirus itu. “Semoga ini bukan kali terakhir kau turun dari langit dan menemuiku, bidadari kecil,” gumamnya perlahan.

 

.

 

.

 

.

 

Sepanjang hari itu, Baek Hyun hampir sama sekali tidak fokus pada apapun yang terjadi di sekitarnya. Satu-satunya yang ia pikirkan hanyalah belahan dirinya yang entah ada di mana sekarang ini. Pemuda ini sungguh takut saat terbangun tadi pagi dan baru sadar bahwa ia tak melihat Sang Saudari di kamarnya. Bahkan di seluruh penjuru rumah pun tidak ada. Yang ia temukan justru hanya handphone dan i-pad-nya di atas meja di dekat tumpukan buku yang berserakan. Dan justru gara-gara itulah Baek Hyun semakin cemas. Karena tidak ada apapun yang bisa menghubungkannya dengan Bo Eun untuk memastikan apakah gadis itu baik-baik saja.

 

Penuturan Chan Yeol yang menyatakan bahwa pintu dan jendela ia tutup rapat sejak mereka tiba di rumah, membuat laki-laki ini berspekulasi Bo Eun terjebak tak bisa masuk semalam. Tapi, apa yang dilakukan gadis itu hingga tidak ada di rumah meski malam sudah turun?

 

Ia tak bisa menyalahkan Chan Yeol, tentu saja. Rekan sejurusannya itu tak tahu apa-apa soal keberadaan Bo Eun. Dan tentu wajar baginya untuk menutup pintu dan jendela segera setelah mereka tiba di rumah. Karenanya, Baek Hyun hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Kenapa ia langsung tertidur semalam? Kenapa ia tidak mengecek keberadaan Bo Eun? Di mana gadis itu semalaman? Tidak membawa apapun bersamanya. Tidak dompet, tidak handphone, tidak tas, bahkan semua bajunya lengkap masih ada di kamar. Menghubungi apartemennya di Indonesia pun, tak ada yang mengangkat. Pasya masih ada dalam tas, jadi tak mungkin ia kembali ke sana.

 

Lalu ke mana?

 

Sungguh, Baek Hyun merasa sangat frustasi. Ia begitu cemas dan takut. Apalagi mengingat apa yang terjadi padanya semalam. Bagaimana jika sesuatu yang buruk juga menimpa kembarannya itu? Aaaarrrrhhhh!!!! Rasanya Baek Hyun ingin berteriak keras-keras, saking tegangnya.

 

 

Baek Hyun meninggalkan handphone milik bulan yang amat dicintainya itu di kamar. Entah sudah berapa puluh kali ia menghubungi nomor yang sama sejak berangkat ke kampus. Berharap saudara kembarnya itu akan mengangkat telepon, yang berarti gadis itu telah tiba di rumah mereka. Sayangnya, meski sudah berjam-jam berlalu, sambungannya tak pernah berhasil. Ia selalu dibenturkan pada mesin penjawab telepon.

 

Ke mana sebenarnya gadis itu??

 

Laki-laki berparas manis ini belum menghubungi keluarga mereka di Bucheon. Bisa terjadi kekacauan besar jika ia memberitahu mereka sekarang. Akan tetapi, jika sampai istirahat makan siang nanti Bo Eun masih juga belum mengangkat teleponnya, Baek Hyun memutuskan akan segera menghubungi keluarga mereka dan juga polisi. Ia tak peduli lagi dengan rencana mereka. Ia tak peduli meski harus dihukum habis-habisan karena mengijinkan adik kembarnya itu tinggal di Korea secara diam-diam. Ia tak peduli meski cerita bohong mereka terungkap oleh Chan Yeol dan seisi kampus. Ia tak peduli meski mungkin Chan Yeol akan jadi membencinya karena telah berbohong. Tentu, keselamatan Bo Eun adalah yang utama. Satu-satunya saudara yang dimilikinya...

 

 

 

Desahan putus asa kembali terlontar dari mulut Baek Hyun saat lagi-lagi sambungan teleponnya tak berhasil. Paras imut itu berkerut sedih dengan kecemasan yang tergambar nyata. Bahkan meski Chan Yeol memperhatikannya lekat, namja itu seolah tak sadar. Pemuda jangkung ini bahkan ragu apa Baek Hyun sadar mereka kini sudah ada di kantin karena kelas sudah selesai.

 

Masih tak mau menyerah, Baek Hyun kembali menekan angka yang sama dan mendekatkan alat komunikasi itu ke telinganya. Tanpa sadar, bibir bawahnya ia gigit berkali-kali.

 

“Sebenarnya dari tadi kau itu menghubungi siapa sih, Baek Hyun-ah?” Setelah sekian lama menahan diri untuk tidak bertanya, akhirnya Chan Yeol bersuara juga.

 

Sepasang kristal kecil itu menatap lawan bicaranya dan sedikit gugup. Bingung akan menjawab apa. Namun, sebelum ia berpikir jauh akan memberikan jawaban seperti apa, sebuah bunyi klik yang amat dinantikannya akhirnya terdengar di seberang sambungan.

 

“Moon-ah!” seru namja mungil ini refleks saking senangnya. Bibir tipisnya secara otomatis tertarik membentuk senyum saat indera pendengarnya menangkap suara khas milik Sang Belahan Jiwa. “Kau ke mana saja, Moon?” Baek Hyun tak bisa menahan gejolak emosi kecemasan yang sejak tadi merongrongnya. Tubuh mungilnya bangkit dengan handphone masih tertempel di telinga. Dengan satu anggukan kecil, ia meninggalkan meja mereka dan berjalan menjauh dari keramaian kantin. Meninggalkan Chan Yeol yang hanya bisa mengerutkan alis dalam.

 

Moon?

 

Siapa Moon?

 

Chan Yeol tak mengerti kenapa, tapi ia merasakan gelombang tidak suka menyelimuti hatinya mendengar Baek Hyun mengucapkan nama itu dengan binar riang yang begitu tulus.

 

.

 

.

 

.

 

Sebenarnya ia masih kesal. Tentu saja. Siapa tidak kesal dibuat cemas setengah mati seharian karena kabar yang tidak jelas? Pokoknya sampai rumah nanti, Baek Hyun akan menghukum adik kembarnya yang satu itu. Akan ia interogasi gadis itu hingga mengaku ke mana ia semalaman kemarin. Awas saja kalau berani-berani berbohong!

 

Meski begitu, Baek Hyun tak bisa memungkiri rasa lega yang teramat sangat di hatinya. Rasanya seolah beban berat diangkat dan membuatnya lebih ringan. Mengetahui bahwa separuh dirinya itu baik-baik saja, namja manis ini tanpa sadar jadi terlihat lebih cerah. Meski entah kenapa ia masih merasa ada sesuatu yang salah. Masih ada bagian dalam hatinya yang belum sepenuhnya tenang.

 

Itu sebabnya begitu kelas Unit Proses sore itu selesai, Baek Hyun menyeret Chan Yeol untuk segera pulang dan tidak mampir ke manapun. Pintu rumah kecil mereka bahkan dibukanya dengan sedikit tergesa. Terlihat sekali ia tidak sabar untuk bertemu dengan Sang Saudari dan memastikan bahwa gadis itu memang benar-benar baik-baik saja.

 

Akan tetapi, saat tubuh mungilnya memasuki ruang kamar yang segera ditutupnya, sepasang lensanya melebar. Ototnya menegang cemas mendapati gadis bersurai panjang itu tergeletak lemah di atas lantai. Posisinya tak wajar, seolah ia terjatuh karena tak sanggup menopang tubuhnya sendiri.

 

“MOON-AH!!” Refleks, Baek Hyun berteriak memanggil Sang Saudari.

 

.

 

.

 

.

 

A/N: akhirnyaaaaaa bisa apdet fase ini jugaaaa.... haaaaahhhhh..... berat banget melewati fase ini. Layaknya suatu reaksi kimia, semakin lama fasenya semakin tinggi dan semakin berat sehingga butuh energi aktivasi semakin besar #apadah *author eror mulai ngaco*

 

part ini panjang nian ya? :"|

Yak. Semoga fase ini tidak mengecewakan readers yaa u,u

Author terserang webe selama menulis part ini. Jadi mian kalo bahasanya jadi agak-agak aneh yaa ;;___;;

 

Nah, adakah yang mau rikues sesuatu selama di katalisator ini? Author udah kebayang bagian-bagian yang global dan utama sih, tapi siapa tau ada usulan suatu scene menarik? Hehehehe...

Terus, mungkin author harus buka polling ya, di akhir nanti pair mana yang jadi? Terutama untuk Bo Eun. Author sendiri bingung dia sama siapa. Sama Baek aja deh biar ga pusing #heh

 

Oh iya, ngomong-ngomong, BaekYeol moment yang di kamar itu padahal author merencanakan tidak seperti itu loh. Padahal di rencana author maunya begini begitu tapi waktu ngetik, tiba-tiba berubah. Seolah tangan author gerak sendiri (digerakin BaekYeol) xDD

Oke deh. Gomawo udah baca readers-nim. Masih ditunggu komen yang membangun ^^ 

 

eh iya, pic yang dipakai di sini kuambil dari film rooftop prince :")

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
zahranyzahra #1
Authoorrr-nim
daebak banget...
Tapi kenapa udah hampir 2 tahun ga update2..
sayang lho.. ff daebak kaya gini kalo discontinued :(
Masih banyak pertanyaan di otak aku bakal kaya apa chanbaek di ff ini...
Terus berkarya thor! Karena aku baca beberapa ff author yang lain dan emang author emang bakat banget jadi penulis!
suka sama gaya bahasa author sama teka teki di setiap ff karya author yang bikin cerita itu susah buat ketebak gimana endingnya..
Saking demennya ama ff ini aku sampe begadang sampe jam 3 pagi buat nyelesein ff ini karena aku orangnya kalo nemu ff bagus, pasti bikin nagih terus bakal sampe gatau waktu bacanya kalo belum selesai..
Eheheh
keep writing thor!
aikokataika #2
Chapter 2: Bo Eun? Nama yang cocok kalo Baek Hyun bener-bener jadi perempuan ><

Aduh, Park Chanyeol itu sebenernya mahluk apaan, sih?! Kok polos amat. Jadi pengen makan orangnya /apalah/ /digebukin/
aikokataika #3
Chapter 1: Ah, keren!
Sebelumnya aku udah bosen gara-gara daritadi cuma tulisan surat-suratnya 'si saudara kembar' :D
Tapi pas lanjut baca, langsung yakin fic ini bakal keren banget!!! ><
baekhyunlove599 #4
Chapter 8: Y ampun thor,frustasi aku jdinya. Emosiku bnr2 d uji,mulanya ku sebal sw si boo eun tp ke blkg ny ku mlh sebel sm kris,dan chanyeol jg. Aku cm berharap boo eun bs membantu baekhyun mengatasi masalahnya stdkny jd lah ibu peri untuk baek. Daebak thor bkn emosiku naik turun bc ny
AikoByun #5
Author, ini fanfic nya masi lanjut kan? Semoga iya. Updatenya cepetan ya thor. Uda penasaran banget ni.
Nisa_Park
#6
Chapter 8: apa ff ini masih lanjut author? Padahal ini ceritanya seru loh,, :( aku readers baru soalnya..
ChanBaekpants
#7
Chapter 8: Wahhh udah 2 bulan thor gak update O.O
Lanjut dong thor, aku penasaran tingkat dewa nih, demi cinta chanbaek padaku lanjutin ya thor T.T
Anddddd aku penasaran gimana ChanBaek ntar....
Trus kayaknya Kris suka deh sama Luhan wkwkwkwk
Lanjut ya thor :)
kkamJUN #8
Chapter 8: hueeeeee..lanjut thor lanjut !!
Penasaran !
TT
kkamJUN #9
Chapter 7: /pingsan kejang/
aaaaaaakk..author-nim !? Jinjjaaa !!
Asdfghjklzmxnvnblpoq !!
Sumpah yaah shock setangah mampus..gilak bener..kris !!
Argghh..
kkamJUN #10
Chapter 6: /pingsan/
aaaaaa..demi apa ini part yg menegangkan !!
><
aduuh yixing km tu ala2 pujangga cinta gitu yak.. XD
/bletak/
keren thor..lanjut !!
:D