Fase 07

Katalisator

KATALISATOR

Fase 07/?

 

.

 

*Bo Eun’s POV*

 

Otakku tak bisa mendeskripsikan di mana lokasiku berada begitu melewati pagar putih itu. jalanan yang asing dengan bangunan yang asing. Untunglah letaknya tak jauh dari jalan besar dan banyak taksi berseliweran. Segera kuhentikan salah satunya dan sungguh bersyukur sel kelabu otakku masih bisa diajak kompromi untuk mengingat alamat rumah Sun.

 

Aku tidak sadar bahwa aku tertidur selama perjalanan hingga bahuku diguncang oleh ahjussi supir taksi itu. Dengan kepala yang terasa berton-ton lebih berat, kurogoh saku dan kuberikan sisa uang yang masih ada di sana. Tidak tahu berapa nominalnya. Tapi, sepertinya cukup, berlebih bahkan bila ditilik dari gestur ahjussi yang memilah uang kembalian. Meski begitu, aku tidak menunggunya dan langsung melesat menghampiri rumah kecil yang kutinggali sekitar seminggu kebelakang.

 

Mengikuti insting, aku memutari bagian luar rumah dan menghampiri salah satu jendela yang sangat kuhapal posisinya. Bahkan dari luar sini, dering handphone-ku terdengar dari sela jendela yang tidak terkunci. Bisa kutebak Sun yang mengganti nada dering itu agar bersuara begitu nyaring.

 

Menekan mual yang begitu merongrong, aku menghela tubuhku untuk melewati kusen kayu yang tak seberapa tinggi. Halangan yang sebetulnya akan mudah dilewati dan memang terbukti beberapa kali dengan mudah kulewati. Sialnya, alat gerakku saat ini tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya sehingga tubuhku terjatuh di lantai kamar di sisi lain jendela.

 

Tepat sebelum aku memaksa tubuhku untuk kembali bangkit dan menghampiri benda elektronik yang tergeletak di atas meja, dering itu berhenti. Aku menempelkan wajah pada lantai yang dingin sambil memejamkan mata untuk mengurangi hentakan palu di bagian dalam kepalaku. Gelombang bunyi yang tiba-tiba beresonansi di dinding kamar itu seketika membuatku bangun dan menghampiri sumber bising itu. Sebelum tombol hijau kutekan, aku berdeham beberapa kali dan menggerak-gerakkan rahang untuk membuat kurva senyum simetris.

 

“Yeoboseo?” ujarku berusaha terdengar senormal mungkin.

 

“Moon-ah!!” Seruan lega bercampur kecemasan mendalam terdengar dari ujung lain sambungan. Aku tersenyum tipis mendapati suara powerful matahariku itu telah kembali.

 

“Kau kemana saja, Moon? Kenapa tidak ada di rumah? Kenapa tidak bawa HP, dompet, atau apapun? Kau tidur di mana semalam?” Rentetan pertanyaan tanpa jeda itu adalah yang kemudian meradiasi indera pendengarku. Membawa kehangatan tersendiri pada hatiku.

 

“Semalam aku menginap di rumah teman,” sahutku setengah berbohong. “Mian, semuanya tertinggal.”

 

Desah kesal Sun terdengar atas jawabanku. “Dasar ceroboh! Kau membuatku cemas, Moon! Kalau memang akan pergi harusnya kau bilang padaku! Kau sudah makan?”

 

“Hnggg nde, mianhe. Sudah.” Lagi, aku menjawab dengan kebohongan pada belahan jiwaku itu. Bersandar pada tembok, aku menyilangkan jari, berharap refleksi sempurna diriku itu tidak menyadari bahwa aku tidak mengatakan hal dengan sejujurnya.

 

Berbagai omelan kekesalan Sun masih terdengar selama beberapa saat sebelum akhirnya ia memutus sambungan telepon. Begitu bunyi klik terdengar, aku membiarkan tubuhku merosot dan ringisan kembali memenuhi parasku.

 

Begitu sambungan terputus, aku melepaskan batuk yang kutahan sejak tadi. Dengan napas tersengal dan kerongkongan perih, aku berusaha bangit dan menghampiri lemari untuk mengambil obat. Namun, saat punggungku kehilangan topangan dari tembok, pandanganku berputar dan kegelapan kembali menguasaiku. Lantai dingin adalah hal terakhir yang terefeleksikan beningku sebelum kesadaranku menghilang.

 

.

 

.

 

.

 

Hal berikutnya yang kuingat adalah guncangan panik di bahu diiringi dengan teriakan cemas dari matahari yang kucintai. Raut takutnya ingin kubalas dengan senyum dan kata-kata menenangkan, tapi aku tak punya tenaga untuk itu.

 

“Moon-ah, apa yang terjadi?” isaknya dengan air mata mengembang.

 

Aaah... aku membuatnya begitu takut....

 

“Gwenchana,” gumamku tanpa suara.

 

Lengan ramping Sun kurasakan berusaha membantuku bangkit. Akan tetapi, sebelum aku berhasil berdiri, ketukan kasar terdengar dari pintu kamar.

 

“Baekhyun-ah, ada apa? Kenapa kau berteriak? Baekhyun-ah? Buka pintunya.”

 

Kulihat Sun tampak panik mendengar suara dalam itu. Sementara kristalku melirik sumber suara itu dengan kesal. Kenapa ia harus selalu mengganggu di saat yang tidak tepat, sih? Kenapa dia tidak membiarkan saja Kami? Haaaahhhh.....

 

Dengan geraman pelan, aku berusaha bangun dan mengarahkan tubuh menuju lemari. Untuk sekarang, aku harus bersembunyi dulu, kan?

 

Namun, sebelum aku bangkit, jemari Sun menggenggam lenganku kuat dan mencegahku pergi. Aku memandangnya heran. Sebelum pertanyaan kulontarkan, Sun melepas kaus yang sedang dipakainya dengan cepat lalu tangannya beralih pada jaket yang kukenakan. Ia membuka resletingnya lalu memakaikan kaus yang tadi dipakainya padaku. Menutupi kausku sendiri. Sementara ia dengan terburu-buru mengenakan jaketku.

 

Alisku mengernyit dalam, mencoba memahami apa maksud tindakannya. Tapi, ia hanya mengacak suraiku pelan sebelum dengan tergesa-gesa menuju lemari dan memasukkan dirinya sendiri di sana. Tempat yang tadinya akan kutuju untuk bersembunyi.

 

Perlahan aku mengerti tujuannya. Ia ingin aku yang menghadapi Chanyeol saat ini. Ia ingin bukan aku yang bersembunyi saat ini. Kenapa? Padahal aku sedang sangat tidak ingin bertemu namja jangkung itu!

 

Kristal Sun menatapku dari celah pintu lemari dan memberi gestur dengan sedikit memaksa. Menyuruhku untuk segera membuka pintu. Juga tanpa suara, aku berusaha membantahnya dan hendak memaksanya untuk keluar lagi dari sana. Hal yang cukup sulit kulakukan mengingat tubuhku rasanya seperti jeli yang terus diputar-putar pada mesin penggiling.

 

Suara dalam Park Chanyeol yang kembali memanggil nama matahariku itu membuat Sun semakin panik dan mendesakku. Aku menghela napas kesal dan memaksa tubuhku bangun. Sambil bersandar pada pegangan pintu, kubuka kunci dan kulongokkan kepalaku di sela pintu.

 

“Aku tidak apa-apa. Hanya lihat kecoa,” ujarku dengan susah payah memaksa kerongkonganku yang perih untuk bergetar.

 

Raut cemas itu tergambar jelas di paras tampan Park Chanyeol. Alisnya berkerut mendengar ucapan dan suaraku. “Kecoa? Masih di dalam?” tanyanya, berusaha membuka pintu kamar lebih lebar.

 

“Molla. Sepertinya sudah kabur,” tukasku, berusaha mencegahnya yang ingin masuk.

 

“Kau serak Baekhyun-ah. Kau juga pucat. Kau sakit?” tanyanya lagi dengan kekhawatiran yang nyata. Ucapannya membuatku terdiam. Antara kesal karena dia begitu persisten, tapi otakku juga sedang menganalisis ketulusannya. Ia sungguh peka, eh?

 

“Nan Gwencha – “ Sialnya, tubuhku mengkhianati ucapan yang hendak terlontar. Energiku sudah sangat habis dan kepalaku yang terus berdentum-dentum membuat tanganku tak lagi mampu menopang tubuhku pada kenop pintu. Dalam hitungan sepersekian detik, tubuhku ambruk di hadapan Park Chanyeol dan akan sangat mungkin membentur pinggir pintu atau pinggir kusen atau menumbuk lantai keramik.

 

Akan tetapi, yang membenturku adalah kaus yang hangat dengan topangan berupa lingkaran lengan kuat yang mencegahku terjatuh seperti gumpalan jeli.

 

Suara dalamnya yang menyebut nama Sun dengan begitu cemas membuatku kembali pada kenyataan bahawa memang hanya namja jangkung itu yang ada di hadapanku saat ini. Jadi, yang menolongku juga pasti dia.

 

“Kau harus berbaring. Kita ke dokter, ya?” ujarnya lembut. Lengan kuatnya berusaha menarik tubuhku agar dapat dipapahnya dengan mudah dan ia berusaha membuka pintu selebar mungkin sambil berusaha mengarahkan langkah pada kasur Sun di dalam.

 

Di tengah kekesalanku pada diri sendiri karena terlihat lemah di hadapan Park Chanyeol, di tengah kemualan yang menjalar di seluruh tubuhku, untunglah otakku masih bisa diajak berpikir. Untunglah kewaspadaanku tidak sepenuhnya hilang. Sebelum ia mencoba masuk lebih dalam dan membaringkanku di kasur Sun, aku menggenggam lengan kausnya dan menggeleng pelan.

 

“....kamarmu....” ujarku dengan suara tercekat.

 

“Hm?”

 

“....kamarmu.... aku ingin... di kamarmu.... di sini panas....” ujarku asal. Tak peduli betapa tidak masuk akalnya alasanku ingin berbaring di kamar Park Chanyeol. Karena, tak mungkin kan aku memberitahunya dengan jujur bahwa di dalam kamar ini ada Sun dan tak mungkin aku membiarkan Sun terus berdiam di dalam lemari. Karena entah dari mana, aku mendapat firasat, Park Chanyeol tak akan meninggalkan kamar tempat aku berbaring. Jadi, kalau aku berbaring di kamar Sun, matahariku itu akan sangat tersiksa karena tidak akan bisa keluar selama berjam-jam, kan? Untunglah, di tengah rasa sakit yang berputar, otakku masih mengingat hal itu.

 

Aku tak tahu bagaiamana ekspresi Park Chanyeol mendengar ucapanku barusan. Tapi, ia berujar dengan lembut, “Baiklah, kita ke kamarku.”

 

Begitu mendapat persetujuannya, aku berusaha meluruskan kembali tubuhku di atas kedua kakiku yang bergetar, akan tetapi sebelum hal itu terlaksana, aku mendapati tubuhku tak lagi berpijak di bumi. Park Chanyeol menggendongku! Dengan posisi yang sangat menjijikan karena aku harus mengalungkan lenganku di lehernya jika tidak ingin jatuh. Siaaall!!! Aku ingin sekali berontak dan turun dan memaksa agar aku berjalan sendiri saja, tapi bahkan tenagaku sudah sangat terkuras dan aku tak lagi bisa mengeluarkan suara.

 

Begitu tiba di kamar yang baru pertama kali itu kumasuki, Park Chanyeol menurunkanku dengan perlahan di atas kasur sebelum membenarkan posisi bantal dan menyelimutiku.

 

“Tunggu, biar kupanggilkan dokter,” ujarnya buru-buru. Namun, jemariku lebih cepat meraih lengan bajunya sebelum namja jangkung itu berpindah tempat.

 

Kristal besar yang menatapku tak mengerti, kubalas dengan sebuah gelengan. “...obatku.... sudah ada....” gumamku serak. Berharap telinga namja di hadapanku ini cukup tajam untuk mendengarnya.

 

Untunglah, mungkin aku harus menambahkan poin plus pada Park Chanyeol karena ketajaman pendengarannya – meksi sebenarnya hal itu tidak ada hubungannya dengan analisis yang ingin kulakukan padanya terkait hubungannya dengan Sun.

 

“Kalau begitu, biar kuambilkan.” Setelah berujar demikian, sosok tingginya menghilang di balik pintu. Sepertinya menuju kamar matahariku yang berada di sebelah kamarnya ini.

 

Begitu sosoknya tak tetangkap lensaku, sel kelabu dalam otakku rasanya menjeritkan sesuatu. Suatu hal penting entah apa yang kulupakan. Dengan dentuman palu di kepalaku, aku berusaha mengingat. Apa yang kulupakan terkait obat dan kamar Sun? Benakku perlahan memvisualisasikan bentuk obat yang harus rutin kuminum jika kambuh. Yang kubawa dari Indonesia, yang kuletakkan di....

 

Teringat tempat aku menyimpan ramuan kimia itu, manik kelamku melebar dan seketika aku bangkit dari kasur. Obat itu kuletakkan di dalam koper yang berada di lemari. Akan sangat mencurigakan jika Park Chanyeol menemukan peralatan yeoja di dalam koper, bukan?? Dan yang lebih parahnya, koper itu ada di dalam lemari yang sama dengan yang sedang ditempati oleh Sun saat ini!!

 

Jantungku berpacu cepat saat langkah terhuyungku menghampiri pintu. Berharap dengan putus asa, Park Chanyeol belum mencari ke dalam lemari. Akan tetapi, begitu tubuhku melewati ambang pintu, aku membentur seseorang – yang tentu saja adalah Park Chanyeol – yang langsung khawatir mendapatiku keluar kamar dengan tergesa.

 

“Kau butuh sesuatu?” tanyanya dengan perhatian penuh.

 

“...obatnya...?” pertanyaanku tak selesai dan aku hanya mendongak memandang parasnya. Apakah rahasia kami sudah ketahuan? Tapi, kenapa tidak ada keributan? Apakah ia tidak menemukan obatnya?

 

Jemari panjang Chanyeol mengangkat bungkusan obat ke hadapanku dan berkata, “Yang ini, kan? Yang ada di atas meja belajarmu?”

 

Degup jantungku yang menggila dan rasanya sempat hampir berhenti, kembali memompa darah dengan normal. Meski keningku berkerut bingung. Aku sangat ingat, aku meletakkan di koper kemarin malam. Sepertinya Sun sempat mengeluarkan obat itu dari koper....

 

Diam-diam menghela napas lega, aku meraih gundukan bungkus obat itu dan kembali menuju kamar Chanyeol setelah menggumamkan “Gomawo.” Aku mempercepat pergerakan tubuhku dengan cepat sebelum Park Chanyeol menyentuhku untuk mulai menggendong lagi atau memapah atau apapun itu, dan kembali berbaring untuk menghilangkan putaran tornado dalam benakku.

 

“Obatnya harus setelah makan.” Suara dalam itu menarik fokusku dan membuatku ingat pada fakta itu. “Tadi siang kau tidak sempat makan dengan benar dan ini sudah mulai malam. Aku buatkan bubur dulu baru kau makan dan minum obatmu, ne?” Ujar Chanyeol kemudian setelah bergumam pada dirinya sendiri.

 

Bahkan tanpa menunggu responku, sosok itu langsung melesat pergi. Menyadari individu yang terus menarik kewaspadaanku itu telah tak lagi nampak di lensaku, kegelapan kembali mengambil alih kesadaranku.

 

.

 

.

 

.

 

Chanyeol’s POV

 

“Baekhyun-ah, kau mau teh atau coklat –“

 

Pertanyaanku terhenti saat sepasang kristalku merefleksikan sosoknya yang tertidur. Meletakkan dengan hati-hati mangkuk bubur di meja di samping tempat tidur, aku membenarkan posisi selimut yang menutupi tubuh kecilnya. Selanjutnya, aku menarik kursi belajar dan duduk di samping kasur.

 

Meraih handphone, aku berusaha menghubungi Jongdae. Akan tetapi, sambungannya tidak diterima. Tiga kali menelepon, tetap tak diangkat. Sepertinya ia sedang sibuk, mungkin pasien di kliniknya sedang banyak.

 

Meletakkan kembali barang elektronik itu, aku memandang sosok Baekhyun dengan kening berkerut. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus membangunkannya dan menyuruhnya segera makan? Atau kubiarkan saja ia tidur dan beristirahat dan baru meminum obatnya saat terbangun nanti? Mana yang lebih baik untuk kesembuhan Baekhyun?

 

Mendesah pelan, irisku tak lepas dan memandangnya. Meski aku sedikit lebih percaya bahwa ia seharusnya meminum obatnya baru tidur dengan tenang, akan tetapi, raut lelah itu membuatku tak tega membangunkannya. Ia tertidur begitu lelap. Raut manisnya terlihat begitu kelelahan, bahkan lingkaran hitam di bawah matanya cukup terlihat dari jarak ini.

 

Tanpa sadar, sebelah tanganku terangkat dan mengelus perlahan surainya yang sedang memanjang. Menuruti perintah alam bawah sadarku, ujung jemariku menelusuri pipinya yang pucat. Refleks, senyum tipisku tertarik. Sejujurnya baru kali ini aku memperhatikan sosoknya saat sedang berubah dengan baik-baik. Rupanya.... memang.... cantik... Aiiisshh, apa yang kupikirkan!?!

 

Menarik sebelah tanganku yang telah lancang, aku mengacak-acak surai terangku. Teringat pada suhu tubuhnya yang cukup tinggi, aku bangkit dan menghampiri kotak obat. Meski aku tidak begitu paham tentang obat dalam, aku cukup mengerti soal obat luar.

 

Dari kotak yang kuletakkan di atas lemari buku, kukeluarkan selapis koyo penurun panas.

 

Kembali menghampiri sosoknya, aku merobek kemasan koyo dan menyingkirkan rambut kelamnya yang menutupi. saat anak rambutnya disingkirkan, selapis koyo yang sudah kehilangan fungsi pendinginnya tampak menutupi sebagian kulit pucatnya. Dengan hati-hati melepaskan koyo yang telah menempel itu, entah kenapa aku merasa.... ada...keanehan.... Aku tak tahu apa, tapi otakku memberi alarm pada suatu hal. Sesuatu fakta yang luput dari ingatanku....

 

.

 

.

 

.

 

*Kris’s POV*

 

Hal pertama yang kulihat begitu keluar dari kamar mandi dengan handuk tersampir di pundak adalah sosok Luhan yang masih berada di posisinya semula sejak aku datang. Duduk di salah satu sofa dengan TV menyala tapi perhatiannya sama sekali tak ke sana.

 

Kubawa tubuh tinggiku menghampirinya dan benar saja, perhatian namja yang berwajah seperti tokoh komik itu memang pada kamera SLR di tangannya. Masih seperti itu meski setengah jam sudah berlalu.

 

“Kau lihat apa dari tadi?” tanyaku dari balik pundaknya. Menyadari Luhan hanya meneliti baik-baik satu foto yang ia zoom itu.

 

“Ya! Kau mengagetkanku!” serunya sambil berbalik menghadapku.

 

Aku hanya mengedikkan bahu dan duduk di sandaran sofa. “Foto siapa itu?” tanyaku asal sambil mengeringkan rambutku menggunakan handuk.

 

Luhan memutar tubuhnya dan menyodorkan kamera di depan lensaku. “Coba lihat ini,” ujarnya sambil menekan tombol hingga beberapa foto berganti. Aku mengerutkan alis tak mengerti, karena yang sedang diperlihatkannya adalah foto orang yang sedang berkelahi di dekat sungai dengan cahaya redup berlatar langit malam yang pekat.

 

“Untuk apa kaku memfoto orang berkelahi?” tanyaku.

 

“Kau lihat baik-baik. Ini seorang yeoja!” sahutnya antusias. 

 

“Kau malah memfoto yeoja yang sedang berkelahi dan bukan menolongnya?” cibirku.

 

“Ya! Aku juga berniat menolongnya begitu keluar dari supermarket. Tapi, dia terlihat menguasai perkelahian dan aku tidak bisa menahan diriku untuk mengabadikan hal itu. Ah! Kau harus lihat, pria iseng itu sampai lari terbirit-birit,” ungkapnya dengan binar di kristal kembarnya.

 

Aku kembali menatap gambar digital itu. Jika dilihat baik-baik memang terlihat sebagai pembantaian dibanding perkelahian seimbang. “Memangnya dia siapa?” tanyaku.

 

Luhan mengedikkan bahunya. “Molla. Gara-gara seorang tuan muda yang tidak mau menunggu lama di luar pintu, aku jadi tidak sempat menghampirinya,” tukas namja itu yang aku sangat tahu sedang menyindirku.

 

Aku melempar bantal sofa ke arahnya yang ia tahan dengan lengan.

 

“Dasar fotografer aneh. Lihat yeoja diserang kau harusnya langsung menolongnya!” ejekku.

 

“Aisshh! Sudah kubilang dari tadi, aku sudah berniat menolongnya. Kalau yeoja-nya terlihat tak bisa melawan ya akan kubantu. Tapi dia berbeda,” bela namja cantik itu yang hanya kutanggapi dengan memutar bola mataku malas.

 

“Oh iya, ada satu foto yang belum kuperlihatkan padamu,” ujar Luhan kemudian. Aku mengangkat sebelah alisku penasaran. Entah kenapa aku menangkap kilat jahil di paras cantik itu. “Tebak siapa?” ucapnya sambil menyodorkan lagi sebuah gambar di hadapanku.

 

“Baekhyun?” ujarku refleks begitu melihat paras yang sangat familiar bagi otakku.

 

Luhan tertawa mendengar jawabanku. “Benar-benar mirip Baekhyun, ya?”

 

“Apa maksudmu?”

 

“Ini bukan Baekhyun,” tukas Luhan tergelak. “Kau tahu, aku juga menyangka dia Baekhyun, tapi ternyata bukan. Dia yeoja tulen. Namanya Moon,” jelasnya.

 

Sepasang kristalku menatap lekat sosok dalam foto yang berdiri di sebelah Luhan dengan seksama. Tak percaya bahwa orang itu bukan Byun Baekhyun. Apakah teori doppleganger itu benar adanya? “Mirip sekali,” gumamku.

 

“Benar, kan? Kalau Baekhyun ternyata yeoja, pasti akan seperti ini,” ujar Luhan. Aku tak menanggapi perkataannya. Ya, dia belum kuberitahu soal kabar terbaru namja manis itu. Soal kutukan keluarganya yang membuatnya harus menjadi yeoja...

 

Pikiranku masih terbayang pada sosok yeoja di samping Luhan tadi. Entah kenapa, aku merasa ada yang familiar. Mungkin memang karena matanya begitu mirip Baekhyun, ya. Atau bibir tipisnya. Atau garis rahangnya.... Tapi, rasanya bukan itu.... Aaah! Aku tidak mengerti!

 

 

“Ngomong-ngomong soal Baekhyun, bagaimana progresmu?” Suara lembut Luhan kemudian menyeruak lamunanku.

 

“Progres apa?” tanyaku tanpa emosi.

 

Luhan mendecak kesal karena perkataanku. “Kau itu sama sekali tidak ada niat untuk memberitahunya?”

 

Pertanyaan itu tidak kujawab dan hanya mengedikkan bahu.

 

“Cih. Pecundang!” gerutunya yang langsung mendapat kembali lemparan bantal dariku. “YA! Kau tidak sopan pada Hyung-mu!” serunya.

 

Aku tidak membalasnya dan hanya menatap kosong lantai keramik yang kupijak. “Aku tak memiliki kesempatan memilikinya, Lu...” bisikku. “Aku sudah kalah.”

 

“Tsk. Yang bilang kau kalah siapa? Kau sendiri, Kris. Kau kalah karena kau tidak mencoba! Bagaimana dia tahu kalau tidak pernah kau beritahu, pabbo!” omelnya.

 

“Mereka selalu bersama. Aku tak memiliki tempat di antara mereka....”

 

“Kalau begitu pisahkan dan buat tempat untukmu! Ck. Aku tidak percaya kemahasiswaan KAIST dipimpin orang lemah sepertimu,” gerutunya.

 

“Aku tak mungkin memisahkan mereka,” sahutku sambil menggelengkan kepala. “Aku takkan bisa memisahkannya dari namja itu – “

 

Entah dari mana, aku tak tahu. Di tengah ucapanku itu, sebuah pikiran mendadak menghantamku. Apakah ini pengaruh kegelapan malam?

 

Otakku berpikir cepat atas sekelebat inspirasi kelam itu. Bisakah kulakukan?

 

“Memangnya kau mau hanya terus menyukainya dari jauh? Kau itu memang menginginkannya atau tidak, sih, Kris? Atau perasaanmu itu palsu? Atau perasaanmu itu dangkal? Kalau kau tidak serius –“

 

Aku mengacak surai coklat terangnya dan membuatnya berhenti mengoceh. Seruan marah yang sepertinya hendak ia lontarkan terhenti karena ucapanku. “Gomawo, Lu,” ujarku pelan.

 

Sunbae yang sangat kupercaya dan telah banyak membantuku ini menghela napas panjang. “Kau itu luar biasa, Kris. Tak seharusnya kau rendah diri...”

 

Senyum tipis adalah satu-satunya respon yang kuberikan untuknya. Detik berikutnya, aku bangkit dari posisi dudukku. “Aku lapar. Kau masak apa?” tanyaku sambil berjalan menuju dapur.

 

Suara lembut Luhan mulai kembali mencerocos menyebutkan berbagai masakan yang dibuatnya untuk makan malam kami.

 

Aku tak sehebat itu, Lu....

 

.

 

.

 

.

 

Baekhyun’s POV

 

Aku kakak yang jahat!!

 

Byun Baekhyun, Moon sedang sakit. Tidak seharusnya kau berpikir macam-macam!! Adikmu satu-satunya itu sedang dalam kondisi tidak baik, Baekhyun. Jadi tidak seharusnya...... tidak seharusnya.....

 

Tanpa sadar aku mendesah panjang. Berusaha tidak membuat keributan agar dua orang yang ada di dalam kamar itu tidak menyadari keberadaanku di luar pintu.

 

Kondisi Moon tadi benar-benar membuatku cemas. Sudah lama aku tidak melihatnya tumbang. Tapi, aku sendiri tidak tahu, kenapa refleksku adalah membiarkan Moon bersama Chanyeol. Kenapa di tengah kondisinya yang seperti itu, aku malah masih mempertahankan kebohongan kami ini? Kenapa aku tidak mengakhiri saja kebohongan ini demi kesehatan dan keselamatan satu-satunya bulanku itu? Aku juga tidak mengerti....

 

Tadi, yang ada di benakku hanya kesadaran bahwa Moon pasti akan memaksa dirinya bersembunyi di lemari. Entah dari mana aku dapat keyakinan itu, dan tentu saja tak akan kubiarkan ia yang sedang sakit melakukan hal itu. Saat itu, entah kenapa yang terpikir olehku adalah... Chanyeol bisa merawat Moon....

 

Kenapa aku berpikir seperti itu? Aku tidak tahu....

 

Karena kecemasan jugalah aku menghampiri kamar Chanyeol. Ingin tahu apakah Moon masih kesulitan bernapas, apakah Chanyeol panik karena tak tahu harus melakukan apa. Akan tetapi, pemandangan di depanku malah membuatku sesak.

 

Moon sudah tenang, ia terlelap dengan nyaman. Sepertinya sinusitisnya tidak bermasalah. Aku sangat lega akan hal itu. Sementara Chanyeol.... Ia di sana. Duduk di kursi di samping tempat Moon berbaring. Bahkan dari jarak ini dapat kulihat jelas jemari panjangnya menaut erat pada jemari mungil belahan jiwaku itu. Bahkan di tengah cahaya temaram lampu tungsten, bisa kulihat jelas iris cerah Chanyeol tak lepas dari sosok Moon.

 

Tidak!

 

Tidak seharusnya aku merasa seperti ini, kan?

 

Moon sedang sakit! Akan sangat wajar bagi Chanyeol untuk mengkhawatirkannya. Tidak seharusnya aku.... tidak seharusnya aku....

 

....iri....?

 

....cemburu....?

 

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Kesesakan di dada ini mendorong kelenjar air mataku mengeksresikan cairan bening di pelupuk mata.

 

Tidak!

 

Kenapa di saat belahan jiwaku menderita, aku malah egois seperti ini? Mengapa aku malah hanya memikirkan perasaanku sendiri? Kakak macam apa aku ini!?

 

Sepasang lensaku memantulkan pergerakan Chanyeol yang perlahan mengelus surai panjang Bo Eun. Menyingkirkan helai halus itu dari wajahnya.

 

Aku tahu aku jahat.

 

Aku tahu aku menjijikkan.

 

Tapi, aku tak sanggup lagi menyaksikan itu semua.

 

Bukan, bukan fakta bahwa bukan diriku yang ada di posisi Moon yang membuat dadaku sakit.

 

Tapi.... fakta bahwa mereka terlihat begitu serasi lah yang membuatku sesak.

 

Tentu, karena Moon adalah seorang yeoja... bukan namja sepertiku....

 

.

 

.

 

.

 

Chanyeol’s POV

 

Ia terlihat gelisah.

 

Keringatnya bercucuran padahal biasanya ia tidak tahan dingin. Mungkin memang proses metabolisme tubuhnya yang sedang berusaha mengembalikan fungsi kerja tubuhnya yang terganggu sehingga ia berkeringat seperti ini.

 

Refleks, aku mengulurkan tangan dan mengusap bulir mineral terlarut itu dengan jemariku. Menyingkirkan juga helai rambutnya yang panjang agar tidak menghalangi pernapasannya.

 

Kalau tidak salah, aku ingat nenek pernah berkata kalau sedang demam, paling baik itu kalau kita berkeringat. Semoga memang benar dengan begitu demam Baekhyun besok bisa turun. Untunglah besok hari Sabtu, jadi ia tak perlu ketinggalan pelajaran. Tapi, besok aku ada jadwal presentasi untuk tugas Infrastruktur Sanitasi. Aku tidak yakin apakah aku akan bisa meninggalkannya sendirian di rumah jika panasnya masih belum turun.

 

Tanpa sadar, aku mengelus surai kelam itu.

 

Kau sungguh membuatku cemas, Baekhyun-ah. Tiba-tiba berteriak begitu dan ambruk di hadapanku dengan wajah yang sangat pucat dan panas yang begitu tinggi. Kupikir kejadian kemarin tidak memberi dampak kuat bagimu karena seharian tadi kau tampak sibuk akan sesuatu. Rupanya aku salah, eh? Rupanya tentu saja hal itu menjadi shock hingga kau demam seperti ini.... Begitukah?

 

Mian, karena aku tak bisa melindungimu....

 

 

Di tengah renunganku, entah kenapa tiba-tiba aku merasakan keberadaan seseorang di depan pintu kamar. Sontak aku mengalihkan pandanganku dari wajah Baekhyun ke arah pintu yang setengah terbuka. Yang membuatku menatap ruang tengah yang gelap. Tak ada siapapun yang kulihat ada di sana. Tentu saja, hanya ada aku dan Baekhyun di sini, kan? Sebuah pemikiran bahwa barangkali ‘penghuni’ kamar ini yang tadi berdiri di depan pintu, tanpa sadar membuat bulu kudukku meremang.

 

‘Kumohon jangan ganggu kami wahai penghuni rumah ini. Biarkan Baekhyun istirahat. Biarkan ia sembuh,’ doaku dalam hati sambil menggenggam jemari kecil itu.

 

Sebenarnya, aku merasakah aura yang entah kenapa terasa sangat familiar bagiku. Ah, bukan berarti aku bisa merasakah aura. Hanya saja... kau tahu, semacam kehangatan yang bisa kau deteksi jika kau berdekatan dengan seseorang.... Aroma yang khas....

 

Yang entah kenapa membuatku begitu penasaran inign memastika siapa sebenarnya yang tadi ada di depan pintu. Apakah tiba-tiba nanti aku bisa melihat arwah? Aku tak tahu. Dan aku tak memiliki kesempatan untuk membuktikannya karena suara Baekhyun yang lirih membuatku mengalihkan fokus. Melupakan keberadaan mencurigakan di balik pintu tadi karena rekan serumahku ini tengah mengigau dengan kalimat-kalimat yang aneh.

 

“... kajima....”

 

Eh?

 

“....Sun-ah.... kajima.... kajima....”

 

Aku mengerutkan alisku dalam. Tak tahu harus merespon seperti apa karena Baekhyun semakin gelisah dalam tidurnya. Seolah ingin menghentikan seseorang untuk pergi...? Siapa? Siapa itu Sun?

 

“....Sun-ah, jebal... kajima.... jangan tinggalkan aku sendiri.... andwae....”

 

Tanpa bisa kuhindari, aku semakin cemas. Apalagi saat kutangkap aliran bening meleleh dari sudut mata indah Baekhyun yang terpejam. Apa sebenarnya yang terlihat dalam mimpinya hingga ia begitu ketakutan seperti ini? Hingga air matanya mengalir deras dan tubuhnya mulai bergetar.

 

Aku menyentuh pipinya yang basah dan berusaha menghapus cairan yang terus mengalir itu. “Ssshhh... aku tidak akan pergi ke mana-mana,” bisikku. Tak tahu kenapa aku mengatakan itu. hanya ucapan refleks karena sepertinya Baekhyun begitu takut dia – siapapun itu yang ada dalam benaknya – akan pergi.

 

Sayangnya, suaraku sepertinya tak sampai. Karena Baekhyun malah semakin terisak. Dan terus berujar lirih dengan suara serak dan teredam tangisannya.

 

“....andwae... kajima... jebal... aku tidak mau sendiri... kajima... jebal, bawa aku denganmu... aku inign ikut... jangan tinggalkan aku –“

 

Gerakanku terhenti dan aku tertegun mendengar sebuah nama yang terlontar samar di tengah isakan itu. Apakah aku tidak salah dengar? Kenapa... kenapa ia menyebut... nama itu?

 

Aku tidak mengerti....

 

.

 

.

 

.

 

Bo Eun’s POV

 

Sepertinya aku terbangun karena rasa haus yang begitu menyiksa. Langit-langit kamar yang temaram adalah hal pertama yang terefleksikan mataku. Irisku mengedar dan mendapati Park Chanyeol tertidur di kursi di samping tempatku berbaring. Tubuh jangkungnya tertelungkup tak nyaman di dekat lenganku. Jemarinya baru kusadari bahkan tertaut dengan tanganku.

 

Refleks, kutarik alat gerakku itu darinya. Kenapa ia menggenggam tanganku, huh!

 

Sialnya tindakanku itu membuat namja jangkung ini terbangun dengan kaget. Iris besarnya menatapku setengah mengantuk.

 

“Baekhyun-ah? Kau butuh sesuatu?” tanyanya cepat dengan paras yang langsung fokus seolah kantuknya yang tadi tidak ada. Lengannya refleks membantuku untuk bangun dan bersandar pada bantal yang ditumpuknya.

 

“Air..” ujarku hampir tanpa suara. Entah kenapa tenggorokanku sakit, seolah aku baru saja menangis keras. Rasanya samar-samar aku ingat aku memimpikan kejadian itu lagi tadi... Aaah, kalau sedang demam begini, ingatan buruk memang selalu mendera, kan?

 

Tanpa perlu kuulangi, Park Chanyeol dengan sigap mengambil gelas dan menyodorkannya padaku. “Ini Saenggangcha. Habiskan ya,” ujarnya lembut.

[begini Saenggangcha http://www.dansukker.co.uk/Files/Billeder/recept/korea_saenggangcha.jpg dan referensi khasiatnya: http://m.facebook.com/note.php?note_id=497890243565192&_ft_=fbid.145791638903361]

 

Aku menyesap cairan berwarna kehijauan agak pekat itu dan rasa jahe langsung memenuhi indera perasaku. Tak kuturuti perintahnya untuk menghabiskan cairan itu. Semuanya terasa pahit dan aku hanya mampu meneguk beberapa tetes saja.

 

“Kau pasti lapar, sebentar kuhangatkan buburnya.”

 

Tak kubantah, memang perutku terasa perih karena lapar. Lagipula, aku harus minum obatku. Tidak lucu kalau kondisku semakin buruk selama di Korea ini. Bisa-bisa Sun menyerah dan melapor pada eomma dan aku bisa dibunuh keluargaku karena kabur dari Indonesia dan nekat kemari.

 

Mengedarkan pandangan, aku berusaha mencari jam. Mataku melebar saat jarum menunjukkan pukul 00.10 KST. Tidak kusangka aku baru terbangun selarut ini. Dan jangan bilang kalau Park Chanyeol terus menunggu di kursi itu hingga ketiduran? Apa yang ia pikirkan hingga melakukan itu, eh?

 

Aku mendesah pelan. Tidak, aku memang membohongi diriku sendiri. Tentu, aku tahu, apa yang dipikirkan namja itu. Ia begitu menkhawatirkan Sun.....

 

Tak lama, sosok tinggi itu kembali dengan semangkuk bubur panas. [begini kira-kira buburnya http://www.flickr.com/photos/kfoodaddict/6774123332/lightbox/]

 

Aku berusaha meraihnya, akan tetapi, Park Chanyeol menggeleng pelan dan tersenyum tipis. Tatapan bingung kuberikan padanya namun ia tak menjawab. Hanya duduk di kursinya dan mulai menyendokkan bubur yang mengepul. Membiarkannya sebentar di udara, ia lalu menyodorkannya padaku.

 

Aku menatapnya bosan. ah, tidak, aku tertegun. Tidak, aku termangu. Bukan, aku kesal dengan sikapnya yang penuh perhatian ini. Ingin sekali kurebut mangkuk itu dan membuktikan padanya bahwa aku bisa melakukannya sendiri. Aku bukan yeoja lemah! Aku benci diperlakukan lemah!

 

Sialnya, bahkan untuk bangkit saja aku tidak bisa. Menyebalkan! Aku terpaksa hanya menggeser tubuhku agar makanan lembek itu tidak akan tercecer.

 

Park Chanyeol tersenyum hangat begitu satu sendok bubur berhasil masuk ke mulutku. Aku memandangnya tanpa emosi. Dadaku terasa sakit. Kebaikan dan ketulusannya seolah meradiasiku. Seolah menuntutku untuk menyerah....

 

Tapi, aku tak mau kehilangan matahariku....

 

Kenapa kau begitu ingin merebut sumber kehidupanku, Park Chanyeol?!

 

Beberapa menit terlewati dalam kesunyian dan hanya dihiasi suara sendok yang membentur pinggir mangkuk. Menemani detik jarum jam di dinding. Park Chanyeol tidak mengajakku bicara, mungkin paham aku tidak bisa berbicara banyak atau mungkin ia hanya tidak ingin aku tersedak.

 

Aku benci bagaimana ia bisa begitu peka membaca situasi.

 

Kugelengkan kepalaku saat sudah tidak sanggup lagi memaksa kerongkonganku untuk menelan. Tak memaksa, Park Chanyeol meletakkan mangkuk dan kembali menyodorkan gelas. Kali ini hanya air putih.

 

Aku meraih gundukan obatku di dekat mangkuk dan mulai meminumnya. Lewat ekor mata, aku tahu Park Chanyeol tak melepas pandangnya. Tak perlu dilihat secara seksama pun, aku tahu ia menatap cemas betapa banyaknya jumlah obat yang ada di tanganku. Tatapan yang sama dengan yang ditunjukkan Sun jika ia harus melihatku meminum obat.

 

Yeah yeah, aliran darahku memang penuh oleh bahan kimia ini.

 

“Tidurlah lagi,” ujar namja itu setelah aku menelan obat terakhir di tanganku. Ia mengambil alih gelas dan bungkus obat dari pangkuanku.

 

Kembali membaringkan diri, aku menatapnya bimbang. “Kau... tidur di sofa saja... jangan di sini..” ujarku pelan. Entah kenapa aku mengatakan hal itu. hei, tapi, Sun juga akan mengatakan hal yang sama, kan? Ia tidak akan membiarkan Park Chanyeol kembali ketiduran di samping kasur dengan posisi tertelungkup yang jelas-jelas akan membuat sel syaraf sakit, kan?

 

Lagi, ia hanya menampilkan cengirannya. “Gampang. Tak usah kau pikirkan. Sekarang, tidurlah lagi,” ujarnya sambil membenarkan selimutku.

 

Aku memandangnya lekat. Berusaha mencari kebohongan atau keterpaksaan dari bening kembarnya. Tapi... sial sekali, tak kutemukan secercah pun di sana.

 

Aku membencimu, Park Chanyeol....

 

.

 

.

 

.

 

Radiasi matahari yang samar-samar menyelinap lewat jendela diiringi cicit burung dari luar perlahan membuatku membuka mata. Sudah pagi, dan aku tak menyangka aku tertidur dengan pulas tanpa sebuah mimpi pun. Padahal jika sedang demam, aku pasti akan selalu mimpi buruk. Mimpi aneh, setidaknya.

 

Berusaha bangun, untunglah rasa pusing itu sedikit memudar. Dan sialnya, kudapati pemandangan serupa dengan tadi malam. Park Chanyeol tak mengindahkan ucapanku dan tetap tertidur di samping kasur. Pungungnya melengkung tak simetris. Ia pasti akan terkena kram dan pegal-pegal saat bangun.

 

Bodoh bukan, ia bersikap begitu dan merugikan dirinya sendiri?

 

Aku benci bagaimana ia memperlakukanku kini.

 

Karena ini berarti, seperti ini juga lah ia akan memperlakukan Sun.

 

Aku membencimu, Park Chanyeol. Sangat membencimu.

 

.... karena kau merebut matahariku... kau merebut kehidupanku....

 

Bisa kurasakan mataku memanas dan hatiku sesak. Bukan karena penyakitku, tapi karena emosiku yang meluap tak terkendali.

 

Meski aku tak mau mengakuinya. Tak peduli betapa aku menentangnya dan berkeras ingin membuktikan sebaliknya. Aku tahu... aku tahu, kau begitu mencintai matahariku, Park Chanyeol....

 

Aku benci mengakuinya, tapi itu semua tergambar dari ketulusanmu. Bahkan Kyungsoo dan Jongin dapat melihatnya. Hanya kalian yang sama-sama bodoh tak bisa melihat satu sama lain.

 

Meski begitu, aku tahu.... aku telah kalah...

 

Aku telah lama kalah....

 

Dengan air mata yang tanpa sadar mengalir, aku menunduk ke arah Park Chanyeol yang masih terlelap. Kudekati telinganya dan berbisik pelan, “Kau menang, Park Chanyeol. Aku akan mempercayakan Baekhyun padamu. Tapi, sedikit saja kau melukainya, aku akan membunuhmu!”

 

Selesai mengatakan hal itu, aku meluruskan punggung dan hal pertama yang kulihat adalah sosok Sun yang berdiri dengan tatapan kaget di ambang pintu. Kami bertemu pandang selama beberapa detik sebelum belahan diriku itu berlari pergi dengan gumaman “maaf”.

 

Detik itu juga, aku paham aku telah membuat matahariku menarik kesimpulan yang salah.

 

Berusaha sehati-hati namun secepat mungkin agar namja jangkung itu tidak terbangun, aku mengejar Sun ke kamarnya.

 

Refleksi diriku membelakangi pintu dan seolah sedang sibuk di depan lemari, namun aku tahu ia tengah menangis. Dalam hati, setidaknya.

 

Tanpa aba-aba, aku melingkarkan lengan di sekeliling tubuhnya dan memeluknya erat. “Mianhe...” ujarku pelan.

 

“Kau minta maaf untuk apa, Moon-ah? Demammu sudah turun?” tanyanya pura-pura tak mengerti, meski suaranya yang pecah tak luput dari perhatianku.

 

“Maaf untuk kemarin... aku membuatmu dalam bahaya, Sun...” sahutku dengan suara tercekat. Kembali, bayangan mengerikan saat aku menemukan Sun kemarin sore berkelebat di benakku. Membuatku gemetar.

 

Baekhyun menyentuh lenganku dan mengusapnya pelan. “Bukan salahmu, Moon-chagi,” ujarnya. Ia melepaskan kaitan lenganku dan memutar tubuh hingga kami berhadapan. Jemari indahnya menyentuh keningku. “Kau masih hangat. Berbaring lagi saja.”

 

“Aku juga minta maaf untuk semalam,” ucapku memotong nasehatnya. Aku tahu, ia berniat membantah. Karenanya aku melanjutkan dengan cepat. “Aku tahu, kau cemburu, Sun.”

 

Bisa kulihat wajah manisnya memerah. “A-aku tidak....” Ia tertunduk dan tak melanjutkan bantahannya.

 

Aku menarik napas dalam untuk meyakinkan diri bahwa keputusan ini sudah saatnya kuberikan. Bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk matahariku. “Park Chanyeol sangat tulus...” ujarku memulai. “Ia sangat baik dan begitu peduli....”

 

“Kalian terlihat sangat serasi, Moon...”

 

Mataku terbelalak tak percaya dengan rangkaian kata yang dilontarkannya dan memotong ucapanku.”Mwo??” Yang benar saja!

 

“Kalian sangat serasi,” ulangnya. Dengan aura patah hati yang sangat kental memancar di udara.

 

Aku mendesah kesal. “Yang dia lihat adalah kau, Sun!” desisku.

 

“Tapi aku namja.... dan kau yeoja... Ia lebih serasi bersamamu....”

 

“Tapi ia hanya melihatmu, Byun Baekhyun!” seruku dengan suara yang ditekan serendah mungkin agar tak membangunkan objek individu yang sedang kami bicarakan ini. Jemariku terangkat dan menyentuh kedua sisi wajah Sun agar ia menatapku. “Aku merestui kalian,” bisikku sambil mengusap pipinya yang kering. Aku tahu, ia tengah menangis di dalam, meski ia tak menunjukkannya secara fisik.

 

“Hm?”

 

Lagi, aku mendesah dan menyandarkan keningku yang kembali terasa pusing. “Mianhe, selama ini aku belum merestuimu dengan Park Chanyeol itu. Aku ingin menilainya. Aku tidak ingin matahariku direbut oleh kegelapan yang akan merusak keindahannya. Aku tidak ingin matahariku terjatuh dalam black hole yang akan mematikan cahayanya. Makanya, aku ingin mengujinya. Mianhe, alasan utamaku kemari sebenarnya untuk itu. Aku tidak ingin melepaskan matahariku begitu saja,” ungkapku perlahan.

 

“Moon-ah...” Bisa kurasakan Baekhyun menepuk punggungku lembut.

 

“Tapi aku salah, Sun-chagi. Ia bukan kegelapan. Ia bukan black hole. Ia api, yang aku tahu akan bisa membuat matahariku ini semakin bersinar dengan indah,” lanjutku. “Karena itu, beritahu dia, Baekhyun-chagi.” Aku menjauhkan wajah dan menatap lurus bening yang serupa dengan milikku.

 

“Tapi...”

 

“Aku akan membantumu,” ujarku tegas. Kutampilkan seulas senyum untuk matahariku tercinta.

 

Ya, aku menyerah, Sun.

 

Meski aku tak ingin melepasmu....

 

Tapi, matahari lebih membutuhkan apinya daripada bulannya....

 

.

 

.

 

.

 

Aku berhasil memaksa Sun untuk muncul di hadapan Chanyeol kali ini. Meski ia terlihat begitu tak suka membiarkanku bersembunyi di dalam lemari, tapi waktu kubilang ini demi Chanyeol agar namja jangkung itu tidak bolos di jadwal presentasi tugasnya, Sun akhirnya setuju. Ia menuruti saranku untuk berkeliaran di dapur untuk menunjukkan bahwa demamnya sudah turun sehingga Chanyeol bisa pergi dengan tenang.

 

Pukul 10, namja jangkung itu akhirnya meninggalkan rumah setelah mengatakan akan memberitahu Kyungsoo agar datang menemani.

 

.

 

.

 

.

 

“Mwo? Senin??”

 

Aku mengangguk dengan raut tanpa emosiku menanggapi ekspresi kaget Sun. “Lebih cepat lebih baik,kan?” tukasku.

 

“Ta-tapi... senin... kalo senin.. t-terlalu... tiba-tiba...,” ujar Sun dengan wajah memerah dan terlihat salah tingkah.

 

“Apanya yang tiba-tiba. Kau kan, sudah menyukainya sejak lama, Sun-chagi. Kau sudah menunggu terlalu lama. Kalau terus mengulur waktu, sampai umur matahari habis pun kau tidak akan mendapatkannya,” omelku sambil memutar posisi berbaringku agar dapat menatap langsung kembaranku yang terduduk di lantai tak jauh dariku.

 

“Hmm... iya sih.. tapi..... a-aku... belum siap...” Kulihat Sun menelungkupkan wajahnya di antara lipatan lututnya.

 

Tanpa bisa kucegah, tanganku mengacak surai coklatnya. Dia terlihat sangat menggemaskan, sungguh. Siapa yang tidak akan mencintai matahari yang begitu manis seperti ini?

 

“Makanya aku membantumu menyusunnya. Ini, kau lakukan seperti ini,” ujarku kemudian sambil menyodorkan i-pad berisi alur rencana yang kubuat untuk acara pengungkapan cinta belahan jiwaku ini.

 

Sun mengangkat wajah dan meraih benda elektronik itu. irisnya mempelajari baik-baik diagram alir yang kubuat. Dan lama-lama wajahnya semakin merah sebelum ia berseru panik. “Kenapa harus seperti ini, Moon-ah?? Ini memalukan! Aish!”

 

Aku merebut i-pad-ku sebelum benda itu menjadi korban lemparan Sun. “Waeyo? Ini rencana yang sempurna. Suaramu sangat indah, Sun-chagi. Like an angel. Pasti Chanyeol tidak akan bisa menolak. Apalagi kalau kau bawakan lagu ini!” aku mengetuk judul lagu yang kutulis dengan bold besar-besar. “Setting matahari terbenam itu juga romantis. Kau yang berdiri di arah matahari terbenam pasti akan sangat mempesona. Park Chanyeol pasti tidak akan bisa menolak sihirmu, Chagi~”

 

“Sihir apa?” gerutunya.

 

Tapi aku tidak menggubrisnya dan melanjutkan cerita mengenai rencanaku. “Lagipula senin kan kalian ada kelas sampai menjelang senja. Waktu yang pas kan, setelah kelas kau bisa langsung membawanya ke atap gedung fakultas astronomi itu – eh, tunggu. Sepertinya lebih bagus kalau kau pergi duluan, Chagi. Kau beritahu dia saja untuk menyusul ke sana karena ada hal yang ingin kau perlihatkan di sana. Lalu begitu dia datang, kau menyanyi dan suruh dia pilih antara foto dengan balon atau melemparkan foto berbingkai ke tanah. Berarti kau harus simpan dulu barang-barangnya di dekat gedung itu. Hemm sebenarnya hanya butuh tambahan balon saja, pagi-pagi kau kaitkan saja balonnya di dekat sana.”

 

“Kenapa harus ada balon dan melempar foto segala, sih, Moon?” keluhnya.

 

“Loh, itu kan, sebagai bukti kesungguhannya. Masih untung tidak kuberi pilihan menyeberangi gedung pakai tali untuk membuktikan kesungguhannya,” tukasku sedikit sinis.

 

“Moon-ah...!”

 

Aku menjulurkan lidah. “Aku bercanda. Ah iya, saat itu kau harus mengatakan ini, Sun: ‘kalau kau menerima perasaanku, kau boleh mengambil foto yang ini dan lepaskanlah, biarkan balon udara ini membawa bukti kebersamaan kita ke langit hingga sampai di surga. Kalau kau tidak menerima perasaanku, silakan ambil foto yang ini dan buanglah ke bumi hingga bingkainya retak, agar seluruh partikel tanah dapat memberitahu alam semesta bahwa kita tak lagi bersama.’” Aku menatap separuh diriku itu dengan manik berbinar. Membayangkan nuansa romantis dan menegangkan itu tak bisa kupungkiri, membuatku berdebar.

 

“Kenapa bahasamu begitu, sih, Moon-ah. Memalukan sekali mengucapkan kalimat begitu. Haish. Aku bukan puitis sepertimu,” gerutu Sun lagi sambil mengacak-acak rambutnya.

 

“Kau pasti bisa, Sun-chagi....” ujarku. “Aku baru bisa pulang ke Indonesia setelah masalah ini selesai.”

 

“Kau akan pulang setelah ini?”

 

Aku mengangguk. “Sudah terlalu lama aku meninggalkan timku. Aku bosan mendengar keluhan dan curhatan mereka tentang kondisi di lapangan. Aku harus lihat sendiri apa yang terjadi,” sahutku.

 

Sun meraih jemariku dan mengenggamnya erat. “Mianhe, gara-gara perasaan egoisku, kau sampai harus seperti ini. Gomawo kau selalu ada saat aku membutuhkanmu, Moon,” ujarnya dengan seulas senyum yang begitu indah.

 

“Aku pun mengedepankan ego-ku yang tak ingin melepasmu, Chagi. Jadi, kita impas, kekeke” tukasku.

 

Namun, Sun tidak tertawa mendengar ucapanku. Ia menatapku dengan raut sedih. “Kau harus menemukan cahayamu sendiri, Moon-ah...” ujarnya.

 

Aku menatapnya bingung. “Kau adalah cahayaku, Sun. Dari dulu sampai kapanpun, kau satu-satunya cahayaku,” sahutku.

 

“Maksudku cahaya yang lain, chagi...”

 

Aku terdiam. kristal kelam kami bertemu. “Tak ada cahaya lain bagiku, Baekhyun-ah....”

 

.

 

.

 

.

 

Hari Senin....

 

Kris’s POV

 

Sudah lama aku tidak mengecek kondisi atap tempat observasi fakultas astronomi. Aku sudah membuat janji untuk bertemu dengan ketua himpunan jurusan astronomi sebelum jam makan siang tiba. Tapi, sepertinya ia masih di kelas. Sebaiknya aku tunggu saja dia di atap.

 

Langkah lebarku menaiki tangga menuju hamparan luas gedung 7 lantai ini. Lantainya yang dikeramik dihiasi pagar setinggi dada untuk mencegah terjadinya kecelakaan ataupun percobaan bunuh diri. Mahasiswa jurusan astronomi sering mengadakan kegiatan kemahasiswaan di sini, setahuku. Terutama malam hari sambil meneropong bulan atau bintang. Sepertinya mereka cukup merawat tempat ini dengan baik. Meski begitu, aku tetap harus mengumpulkan aspirasi dan mendata kebutuhan mereka. Sudah lama juga aku tidak mengobrol dengan Im Siwan – ketua himpunan jurusan astronomi yang sedang menjabat saat ini.

 

Saat sedang memperhatikan iseng beberapa teropong potable yang ditinggalkan begitu saja di dekat sana, aku mendengar sebuah suara. Suara nyanyian yang begitu indah....

 

“eonjenga hanbeonjjeumeum dolabwajugetjyo

haneobshi dwieseo gidarimyeon

oneuldo chama mothan gaseumsok hanmadi

geudae saranghamnida”

 

[Please turn back just once sometime

If I wait endlessly like this today

Again its the one word in my heart that I cant keep inside

I love you.]

(Saranghamnida by Tim Hwang)

[Ini suara asli nyanyian Baekhyun-nya <3 http://www.youtube.com/watch?v=i750YZhU9_c ]

 

Tubuhku terpaku saat tiba di sumber suara. Sesosok namja bertubuh mungil tengah membelakangiku dan menatap langit di kejauhan. Membiarkan udara membawa pergi suara indahnya. Menyentuh gendang telinga dan membuatku merasakan kupu-kupu beterbangan di perutku.

 

Sungguh, aku baru tahu bahwa malaikatku memiliki suara yang begitu indah.

 

Kubuat friksi antara dua telapak tanganku hingga menimbulkan bunyi tepukan yang cukup keras dan membuat Baekhyun menoleh dengan cepat setelah lagunya berakhir.

 

“Kris-hyung!” serunya. Terlihat sekali ia tak menyangka aku akan ada di sana.

 

“Lagu yang indah dibawakan dengan suara yang begitu mempesona,” pujiku tulus.

 

“Ah, Hyung. Kupikir tidak ada orang di sini,” sahutnya sambil menunduk malu. “Hyung sedang apa di sini?”

 

“Ada janji bertemu dengan Siwan-ssi,” sahutku. ia mengangguk sebagai respon. “Kau sendiri? Apa yang kau lakukan di kawasan departemen sains ini, eh?” tanyaku setengah menggodanya.

 

Tepat sesuai dugaanku, wajahnya terlihat merona. Aah, betapa manisnya. Ingin sekali kucubit daging kenyal itu. Membuatnya berekspresi seperti itu membuat hatiku terasa hangat.

 

“A-ah ani.. hanya.. latihan saja...” ungkapnya pelan.

 

“Kau ikut klub paduan suara? Atau klub musik? Atau kau tergabung dalam sebuah band?” tanyaku berturut-turut. Karena aku tak pernah mendengar soal bergabungnya malaikatku ini di berbagai klub yang tadi kusebutkan.

 

Kulihat ia menggeleng pelan. “Bukan, Hyung... Hanya... err... iseng saja...”

 

Alisku terangkat mendengar jawabannya. Rasanya seperti ia sedikit menyembunyikan sesuatu... “Apa kau sedang latihan untuk menyatakan perasaanmu pada seseorang lewat nyanyianmu?” tanyaku setengah menggodanya. Entah dari mana pertanyaan itu meluncur lancar dari mulutku.

 

Dan sungguh, aku tak percaya saat Baekhyun menatapku dengan panik dan berujar, “A-apakah, terlihat begitu jelas, Hyung?”

 

Pertanyaannya hanya membuatku terdiam. sementara jantungku berdetak tak karuan. Entah kenapa instingku mencium awan gelap. “Kau serius akan menyatakan perasaan pada seseorang?” tanyaku lambat-lambat. Benar-benar tak menyangka tebakan ngacoku ternyata kebenaran.

 

“Aku malu, Hyung. Apakah... cara seperti itu... terlalu norak?” Ia menatapku dengan cemas.

 

Tanpa sadar aku menggeleng cepat. “Indah, kok,” tukasku datar. Seperti robot. Meski yang kukatakan itu jujur. Hanya saja... aku tak bisa merasakan apa-apa saat ini. Karena sebuah kemungkinan yang begitu kutakuti sejak dulu seolah membentang di depan mata. “Apakah.... Chanyeol....?” tanyaku, berusaha keras menjaga suaraku tetap konstan.

 

Dan, Demi Tuhan, aku seperti melihat bumi terbelah saat Baekhyun mengangguk perlahan. Sebelum paras manis itu menunduk dalam-dalam dengan wajah bersemu merah.

 

Aku menelan ludahku dengan susah payah. Apakah ini kenyataan?

 

“Hwaiting,” ujarku pelan. Di luar dugaan, aku masih bisa bersuara cukup keras hingga Baekhyun membalas ucapanku dengan senyum lebarnya.

 

“Gomawo, Hyung,” ujarnya dengan riang.

 

Kubalas senyum itu dengan guratan tipis. Bisa kudengar di kejauhan, hatiku terjatuh dan pecah berkeping-keping.

 

Ternyata memang.... tak ada tempat bagiku di antara kalian, eh?

 

 

Haruskah...

 

Haruskah kulakukan itu....?

 

.

 

.

 

.

 

Aku tak tahu apa yang harus kurasakan saat tak sengaja mendengar ucapannya.

 

Benarkah? Benarkah ia akan melakukan itu?

 

Tuhan, haruskah aku bahagia? Ataukah aku harus menangis menyesali semuanya?

 

Aku harus bagaimana? Jika benar ia akan melakukan itu, apa yang harus kulakukan? Aku tak bisa... Meski aku menginginkannya... aku tak ingin menyakitinya....

 

Tidak bisa....

 

.

 

.

 

.

 

Baekhyun’s POV

 

Teknologi Bersih baru saja berakhir dan Woo-songsaengnim belum lama meninggalkan kelas. Jantungku rasanya hampir meledak karena gugup. Ujung jariku dingin dan sedikit gemetar, hingga seharian ini aku hampir tak berani menatap langsung wajah Chanyeol. Aku gugup, Tuhan...!

 

“Ngh, Yeollie... Aku ada urusan dulu... Nanti... ke atap gedung astronomi dulu, ya? Ada yang ingin kuperlihatkan di sana,” ujarku, mati-matian berusaha menjaga agar suaraku tak bergetar.

 

Manik besar Chanyeol menatapku bingung. “Ada apa? Kenapa harus sejauh itu?” tanyanya.

 

“Pokoknya datang saja, ya,” tukasku sambil berdiri dan membawa pergi tasku menjauhinya.

 

“Ya! Baekhyun-ah! Kenapa tidak bersama-sama saja?” serunya, yang tidak kuindahkan dan aku terus berjalan melewati pintu dan berlari di lorong.

 

Langkahku mendadak terhenti karena menabrak seseorang. Refleks aku langsung membungkuk dengan panik. “Jeosonghamnida. Aku tidak sengaja,” seruku.

 

“Gwenchana, Baekhyun-ah.” Suara dalam sedikit serak itu membuatku mendongak dan mendapati Kris-hyung menatapku dengan senyumnya.

 

“Ah, Hyung. Mianhe. Aku buru-buru, Hyung. Sampai nanti,” ujarku.

 

Sebelum berbalik, masih bisa kudengar nasehatnya. “Jangan berlari, Baekhyun-ah. Berjalan saja.” Aku hanya menanggapinya dengan cengiran dan lambaian tangan. Meski aku ingin tenang, tapi jantungku memompa darah begitu cepat dan adrenalinku berpacu. Aku tak bisa mengendalikan dua hal itu.

 

 

Entah sudah berapa langkah terbentuk sejak titik pertemuanku dengan Kris-hyung saat aku mendengar seruan dan teriakan panik orang-orang.

 

“Kau serius??”

“Yang benar saja!”

“Aku tidak percaya!”

“Kyaaaa! Sudah kuduga ada sesuatu di antara mereka!”

“Tidak bisa dipercaya! Kupikir bukan diantara mereka! Bukankah mereka mengincar Baekhyun?!”

 

 

Eh?

 

Kenapa mereka menyebut namaku?

 

“Yang benar saja, masa Kris-hyung seperti itu!”

“Tidak cocok! Tidak cocok dengan Chanyeol-ssi!”

“Itu bohong, kan?”

“Katanya mereka ada di depan kelas Chanyeol!”

“Andwae!! Kenapa malah jadi seperti ini?”

“Tidak mungkin Kris!”

“Oh, Tuhan. Mereka akan jadi pasangan yang unik!”

 

Tanpa sadar, aku sudah menghentikan langkah dan memperhatikan dengan bingung yeoja maupun namja yang berceloteh ribut dan berlarian menuju satu titik.

 

Kenapa mereka menyebut nama Kris-hyun dan Chanyeol?

 

Ada apa sebenarnya ini?

 

Mengikuti perintah alam bawah sadarku, aku membawa langkahku berbalik. Kembali ke arah ruang kelas yang baru saja kutinggalkan. Di sana, di depan pintu, seperti yang dikatakan orang-orang yang melewatiku tadi, ada Kris-hyung dan Yeollie berdiri berhadapan. Berada di tengah-tengah kerumunan orang yang mengelilingi mereka seperti sedang menonton pertunjukkan drama atau theatre dadakan.

 

“Saranghae, Park Chanyeol. Jadilah namjachinguku.”

 

Meski jarakku tak begitu dekat dengan mereka, aku yakin telingaku menangkap tiap kata itu dengan jelas. Sebelum teriakan ribut seluruh mahasiswa yang ada di sekitar sana menghantam indera pendengarku. Membawa getaran yang beresonansi pada hatiku. Seperti getaran guntur yang dapat menghancurkan bumi.

 

Ini bohong, kan?

 

.

 

.

 

.

 

Bo Eun’s POV

 

“Besok siang Saya akan kembali ke Bandung. Ya. Lusa Anda bisa menemui Saya langsung. Atau mungkin kita langsung ke lokasi? Baiklah. Selamat malam.”

 

Aku menutup sambungan telepon dari salah satu klienku dan merebahkan diri di kasur. Koperku sudah siap. Semua barangku tak ada lagi yang tercecer.

 

Besok aku akan kembali...

 

Meninggalkan Sun bersama apinya....

 

Aaahh, sial. Bahkan setelah memberikan izin pun, rasa sakit ini masih belum hilang.

 

Mendesah panjang, kulirik jam dinding. Sun pasti akan pulang larut bersama namja itu. sepertinya aku harus keluar untuk mencari makan malam –

 

Cklek.

 

Bunyi pintu yang terbuka memutus lamunanku. Dengan sigap, aku bangkit dan menuju pintu depan. Sosok Sun adalah yang tertangkap pupilku. Apa mereka tidak jalan-jalan dulu sebagai perayaan hari jadi?

 

“Kau sudah pulang, Chagi? Kupikir kalian akan membiarkanku kelaparan di rumah dan asyik makan malam di luar dan baru pulang larut,” ujarku, berniat menggoda belahan jiwaku itu.

 

Akan tetapi, Sun tidak merespon. Baru kusadari wajahnya muram. Kepalanya tertunduk dan ia terlihat lesu. Suatu ekspresi yang sangat tidak wajar ditunjukkan seseorang yang baru saja menyatakan perasaannya, bukan? Kecuali....

 

 “Tadi... lancar, kan?”

 

Gelengan kepala Sun membuat alisku bertaut. Kenapa? Bukankah rencanaku sempurna? Aku yakin kalkulasiku tidak salah, Park Chanyeol pasti akan menyukainya dan tidak akan bisa menolak!

 

“Mana Park Chanyeol?” tanyaku tajam.

 

“..... bersama Kris-hyung...”

 

“Kris? Kenapa dengan orang itu?” tanyaku. Sama sekali tak mengerti kenapa ada nama Kris ikut disebut.

 

“...mereka sedang kencan....” lirih sekali jawaban Sun, meski terdengar jelas di tengah ruangan yang hening.

 

“Kencan? Kenapa ia kencan dengan Kris? Kenapa bukan denganmu, namjachingunya?” Aku kembali meruntut pertanyaan tak sabar. Aku benar-benar tak mengerti dengan semua ini.

 

“Aku bukan namjachingunya, Moon-ah.... Tapi, Kris-hyung.....”

 

“MWO??”

 

.

 

.

 

.

 

TBC

 

.

 

.

 

.

 

A/N:  Halo readers-nim yang kece-kece semua yang penyabar banget nungguin ff ngaco ini hahaha Gomawo udah bersedia nunggu dan baca ff super duper ga karuan ini. Maafkeun kalo alurnya malah jadi super ngaco gini. Mian banget author aneh ini ilang feel baekyeol gara-gara kepincut myungyeol dan woogyu (ada yang suka pair itu? aku bikin ff mereka #malahpromosi #ditimpuk)

 

Terus, mian nih, buat yang mungkin risih kenapa banyak dari sudut pandang Bo Eun dan Baekyeol-nya sedikit. Saya ga tau kalo penulisan cast itu berarti urutan siapa tokoh utama dll. Makanya saya taro urutan cast-nya random, dengan OC di belakang karena yang dikenal kan ya pasti aja Baek dan Yeol-nya. Tapi berhubung ternyata tokoh utama harus disebut di awal, saya harus menyatakan mungkin ya, sejak awal tokoh utama ff ini memang Bo Eun. Konsep awalnya emang mau melihat baekyeol dari sudut pandang kembaran yeoja-nya Baek. Jadi, mian buat yang ga suka dengan konsep itu.

Apalagi di part ini banyak bagian Bo Eun-nya huahahahahaa... Jangan jadi benci Bo Eun ya readers-nim u.u Dia hanya seorang yeoja yang begitu posesif dan ga mau melepaskan kembarannya u.u

 

Hmm apalagi yaa.... *plak* (udah kepanjangan cuap-cuapnya woy!)

 

Sekali lagi mohon maaf karena membuat kalian menunggu lama. Berikutnya, silakan menunggu lama lagi #eh #salah *kabur sebelum dibantai readers* Kalo masih pada penasaran sama kelanjutannya, saya lanjutin, tapi kalo pada udah ga minat ya udah, berakhir di sini #eh #seenaknya

 

Oke deh, ditunggu masukannya yaa... Mian kalo bahasa di fase ini belibet dan ga nge-feel hiks... di otakku penuh WooGyu soalnya #eh #ups

 

Gomawo udah mau baca readers-nim~

 

Regards,

Allotropy

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
zahranyzahra #1
Authoorrr-nim
daebak banget...
Tapi kenapa udah hampir 2 tahun ga update2..
sayang lho.. ff daebak kaya gini kalo discontinued :(
Masih banyak pertanyaan di otak aku bakal kaya apa chanbaek di ff ini...
Terus berkarya thor! Karena aku baca beberapa ff author yang lain dan emang author emang bakat banget jadi penulis!
suka sama gaya bahasa author sama teka teki di setiap ff karya author yang bikin cerita itu susah buat ketebak gimana endingnya..
Saking demennya ama ff ini aku sampe begadang sampe jam 3 pagi buat nyelesein ff ini karena aku orangnya kalo nemu ff bagus, pasti bikin nagih terus bakal sampe gatau waktu bacanya kalo belum selesai..
Eheheh
keep writing thor!
aikokataika #2
Chapter 2: Bo Eun? Nama yang cocok kalo Baek Hyun bener-bener jadi perempuan ><

Aduh, Park Chanyeol itu sebenernya mahluk apaan, sih?! Kok polos amat. Jadi pengen makan orangnya /apalah/ /digebukin/
aikokataika #3
Chapter 1: Ah, keren!
Sebelumnya aku udah bosen gara-gara daritadi cuma tulisan surat-suratnya 'si saudara kembar' :D
Tapi pas lanjut baca, langsung yakin fic ini bakal keren banget!!! ><
baekhyunlove599 #4
Chapter 8: Y ampun thor,frustasi aku jdinya. Emosiku bnr2 d uji,mulanya ku sebal sw si boo eun tp ke blkg ny ku mlh sebel sm kris,dan chanyeol jg. Aku cm berharap boo eun bs membantu baekhyun mengatasi masalahnya stdkny jd lah ibu peri untuk baek. Daebak thor bkn emosiku naik turun bc ny
AikoByun #5
Author, ini fanfic nya masi lanjut kan? Semoga iya. Updatenya cepetan ya thor. Uda penasaran banget ni.
Nisa_Park
#6
Chapter 8: apa ff ini masih lanjut author? Padahal ini ceritanya seru loh,, :( aku readers baru soalnya..
ChanBaekpants
#7
Chapter 8: Wahhh udah 2 bulan thor gak update O.O
Lanjut dong thor, aku penasaran tingkat dewa nih, demi cinta chanbaek padaku lanjutin ya thor T.T
Anddddd aku penasaran gimana ChanBaek ntar....
Trus kayaknya Kris suka deh sama Luhan wkwkwkwk
Lanjut ya thor :)
kkamJUN #8
Chapter 8: hueeeeee..lanjut thor lanjut !!
Penasaran !
TT
kkamJUN #9
Chapter 7: /pingsan kejang/
aaaaaaakk..author-nim !? Jinjjaaa !!
Asdfghjklzmxnvnblpoq !!
Sumpah yaah shock setangah mampus..gilak bener..kris !!
Argghh..
kkamJUN #10
Chapter 6: /pingsan/
aaaaaa..demi apa ini part yg menegangkan !!
><
aduuh yixing km tu ala2 pujangga cinta gitu yak.. XD
/bletak/
keren thor..lanjut !!
:D