Fase 04

Katalisator

 

Katalisator

Fase 04/?

 

Chan Yeol mendekatkan wajah ke arah pintu kamar mandi. Berusaha memastikan bahwa pintu itu memang terkunci dan memang ada orang di dalam. Sambil sebelah tangannya yang lain terus mengetuk permukaannya.

“Baek Hyun ah! Kau benar di dalam? Sedang apa? Aku sudah tidak tahan, keluarlah,” serunya dengan alis bertaut. Entah kenapa otak kusutnya yang baru kembali dari alam mimpi merasa ada yang janggal dengan kondisi ini. Akan tetapi, dorongan hasil proses metabolismenya sedikit membuat fokus sel-sel kelabu otaknya macet dan tak bisa berpikir jernih. Yang menjadi perhatian utamanya kini hanya bagaimana agar siapapun yang ada di dalam kamar mandi itu segera keluar dan membiarkannya melepaskan tumpukan cairan mineral yang telah memenuhi batas maksimum itu.

Akan tetapi, Bo Eun yang ada di dalam kamar mandi hanya bisa membeku. Jemari kecilnya hanya memutar kran shower lebih besar agar percikan air yang jatuh bisa menyamarkan suara napasnya.

‘APA YANG HARUS IA LAKUKAAAN???!’

Rasanya Bo Eun ingin berteriak seperti itu. Tapi, tentu saja tidak bisa. Kalau ia berteriak, Park Chan Yeol akan tahu ia ada di dalam! Jadi, bagaimana? Haruskah ia keluar dengan wajar? Tapi Baek Hyun masih di kamar dan kalau ia keluar sekarang, Chan Yeol akan tahu bahwa mereka adalah dua orang yang berbeda!! Lalu, haruskah ia tetap diam tak merespon? Tapi bagaimana kalau Park Chan Yeol ternyata nekat dan malah mendobrak pintu kamar mandinya?

‘AAAAAARRRRHHH!!! IA HARUS BAGAIMANAA???!’

Bo Eun menggigit keras bibir bawahnya dengan panik. Giginya mulai bergemeletuk karena tegang dan kedinginan. Gadis ini benar-benar tak tahu tindakan apa yang harus diambilnya. Karena apapun yang dilakukannya kini hanya akan membuat Chan Yeol sadar ada dua orang di rumah itu. Dan itu akan menggagalkan semua rencananya dan...dan.... Ugh, ia merasa begitu menyesali kecerobohannya ini!!!

 

BRUKK! PRRAAANGG!!!!

“APPO!!!”

Berbagai keributan dari benda yang jatuh dan diikuti dengan teriakan yang tak wajar itu memutus perhatian dua orang yang terpisahkan selapis pintu di bagian belakang rumah. Mengenali suara itu, Chan Yeol bergegas menghampiri sumber keributan.

“Baek Hyun-ah, ada apa?” serunya. Begitu sampai di ruang tengah dan melihat pemuda bertubuh lebih pendek darinya itu sedang meringis kesakitan dengan telapak tangan yang mengucurkan darah, Chan Yeol berseru panik. “Gwenchana?” tanyanya sambil menghampiri pemuda yang lebih tua beberapa bulan darinya itu. Sepasang kristal gelapnya membulat dan menyiratkan kekhawatiran yang begitu kental.

“Tunggu, biar kuambilkan obat.” Sambil berkata begitu, tubuh jangkungnya memasuki kamar dan mencari kotak P3K yang memang selalu tersiapkan.

Setelah kembali sambil membawa peralatan pertolongan pertama yang cukup lengkap, Chan Yeol mendorong pelan bahu Baek Hyun agar duduk di sofa terdekat. Sementara dirinya berlutut di hadapan teman serumahnya itu sambil membubuhkan alkohol pada luka yang menganga.

“Apa yang terjadi sampai kau berdarah begini?” tanyanya dengan suara dalamnya yang khas. Terdengar sedikit kemarahan yang dibalut kekhawatiran di sana.

Baek Hyun yang hanya bisa menurut, nyengir pelan. “Tadi... ada tikus. Mau aku pukul, tapi dia kabur. Jadinya, aku menjatuhkan gucimu, Yeollie. Mianhe...,” jelas pemuda berwajah manis ini. Sesekali wajahnya meringis perih dan bercampur dengan raut bersalah. Cerita soal tikus itu adalah bohong tentu saja. Ia sengaja membuat keributan dengan menjatuhkan vas bunga yang ada di atas meja di ruang tengah itu untuk menarik pehatian Chan Yeol yang ia tahu sedang ada di depan kamar mandi. Berharap tindakannya akan memberi waktu pada Sang Kembaran untuk keluar dan menyembunyikan diri. Semoga saja hubungan telepati yang orang-orang sebut dimiliki saudara kembar itu benar adanya. Akan tetapi, memang dasar ia ceroboh, ia tersandung kakinya sendiri dan malah menyebabkan guci kesayangan rekannya ini ikut jatuh dan pecah. Padahal itu benar-benar di luar rencana.

“Guci? Guci apa?” Chan Yeol bertanya dengan alis bertaut tanpa memandang lawan bicaranya. Fokus pemuda ini masih tercurahkan pada kassa steril yang sedang berusaha keras dirapikannya. Well, Chan Yeol memang sedikit tahu tentang pertolongan pertama, tapi ia tidak jago dalam membalut luka.

“Itu.. gucimu yang itu...” Baek Hyun berujar sambil memberi gestur pada pecahan tanah liat berpelitur indah yang kini hanya tinggal menjadi sampah.

Pemuda tinggi ini menoleh mengikuti arah yang ditunjukkan Baek Hyun. “Ooh. Guci itu. Tidak usah dipikirkan, memang akan kubuang, kok,” ujarnya sambil lalu. Kalimat yang tentu saja mengundang kerutan kaget dan bingung terbentuk di paras Baek Hyun.

“Tapi...bukankah itu guci kesayanganmu?” tanya pemuda manis itu. Ia tahu guci itu pemberian seseorang. Karena ada pesan singkat yang penuh cinta dengan nama Park Chan Yeol di bagian bawahnya. Waktu awal bertemu juga sekali-sekali Baek Hyun terkadang mendapati pemuda jangkung itu mengelus guci tersebut dengan lembut. Sering dibersihkan dari debu bahkan sampai peliturnya terlihat tetap berkilat. Pasti Chan Yeol sangat menyayangi guci itu, bukan? Itulah pemahaman yang dimiliki namja cute ini. Makanya ia begitu takut tadi saat benda keramik itu lolos dari tangannya. Rasa bersalah yang amat besar juga menghantamnya saat jemari kecilnya tak sanggup menahan besarnya gaya tumbukan antara guci itu dengan lantai. Hingga pinggiran guci yang tajam mengiris kulitnya pun tak ia sadari perihnya.

Akan tetapi, raut sedih Baek Hyun hanya bertemu dengan sinar kaget pemuda tinggi itu. “Kenapa kau menyangka itu guci kesayanganku?” tanyanya perlahan. “Itu..hanya pemberian. Memang akan kubuang...” ujar Chan Yeol lagi. Kali ini lebih perlahan, seolah untuk meyakinkan dirinya sendiri. Baek Hyun menatapnya lekat. Entah kenapa ia merasa sahabatnya ini seperti bingung sendiri dan...tak sadar bahwa sikapnya menunjukkan bahwa ia begitu menyayangi guci itu?

Hmm... Baek Hyun jadi penasaran dari siapa guci itu. Selama ini ia pikir itu pemberian orang tua Chan Yeol. Sekedar hiasan untuk rumah kecil mereka. Tapi, kalau dipikir-pikir....hmm... Sayang sekali benda itu sudah tinggal serpihan....

“Mianhe....” ujar namja imut ini sekali lagi. Memecah keheningan yang tanpa sadar sempat tercipta di antara mereka.

Chan Yeol seperti tersadar dari lamunannya dan memberikan senyum lebarnya. “Sudah kubilang tidak apa-apa, kan? Hei, jangan bilang lukamu ini karena kau berusaha menangkap guci itu?” Pemuda bersuara berat ini memukul pelan kening Baek Hyun saat didapatnya sebuah cengiran sebagai jawaban.

“Kau ini aneh. Kenapa lebih memilih menahan guci itu dan membiarkan tanganmu sendiri terluka?” tanyanya lagi dengan alis bertaut. Tak bisa memahami pola pikir temannya yang satu ini.

“Ng.. habisnya...” ‘Itu kan guci kesayanganmu.’ Baek Hyun hanya bisa melanjutkan jawabannya dalam hati sementara tertunduk malu. Ia tahu, ia kini terlihat begitu bodoh dan begitu ceroboh. Meski ia tak begitu keberatan karena ia tahu, dengan begini, ia telah memberi waktu untuk Bo Eun. Akan tetapi, masih ada hal yang harus diluruskannya. “Ngomong-ngomong kenapa tadi kau berteriak-teriak memanggilku, Chan Yeol-ah?” tanyanya dengan tampang polosnya.

Pemuda bersurai cerah itu terlihat berpikir sejenak sebelum sadar apa yang dimaksud oleh Baek Hyun. “Ah! Soal itu. Tadi kupikir kau ada di kamar mandi. Soalnya pintunya tertutup dan showernya menya...la – Tunggu! Kalau kau di sini, berarti siapa yang ada di dalam sana?”

Baek Hyun memasang raut terkejut. “Mungkinkah penyusup..? Pencuri?”

Secepat kilat, Chan Yeol membawa kaki panjangnya ke bagian belakang rumah. Diikuti Baek Hyun yang berlari di belakangnya. Tubuh tinggi Chan Yeol termangu di hadapan kamar mandi yang kini kosong dengan pintu terbuka. Memang ada aliran air dan cipratan pada tembok yang masih baru, tapi tak ada siapapun di sana. Karena berada di pojok rumah, satu-satunya jalur yang harus diambil dari kamar mandi hanyalah lewat ruang makan yang terhubung dengan ruang tengah. Hanya dari sana pintu keluar rumah dapat diakses. Tak ada pintu samping. Dan di sekitar kamar mandi yang bersebelahan dengan kloset dan dapur kecil itu jendelanya masih tertutup rapat. Dengan kata lain, siapapun itu tak bisa – atau setidaknya belum – meninggalkan rumah ini.

Sebelum Chan Yeol mulai berpikir untuk menggeledah isi rumah mereka, Baek Hyun bersuara perlahan. “Mungkin....mereka,” ujarnya setengah berbisik. Sangat disengaja tubuh kecilnya merapat perlahan pada tubuh jangkung Chan Yeol saat mengatakan hal itu. Memberi gestur rasa takut akan makna kata yang dimaksudnya.

Chan Yeol menoleh padanya dengan cepat. “Waktu awal kemari, kau bilang di sini tidak ada!!” desis pemuda ini dengan tatapan horor.

“Ma-mana kutahu! Aku kan tidak bisa melihatnya. Jadi ya kuanggap tidak ada!” Baek Hyun balas berseru dengan suara tertahan. Seolah takut pembicaraan mereka didengar oleh sosok-sosok yang menghuni tempat itu selain mereka.

Membalikkan tubuhnya dengan kaku, sepasang bola mata Chan Yeol menatap sekeliling. Sebelum irisnya fokus pada kamar mandi yang kosong dan tetesan air dari shower yang tidak tertutup rapat. Kedua tangan pemuda ini tertangkup seiring pemiliknya memejamkan mata dan memasang raut super serius. “Wahai penghuni rumah ini, kami tak bermaksud mengganggu ketenangan kalian. Kalian bebas melakukan apa saja, tapi tolong jangan ganggu dan sakiti kami. Kami mohon kepada kalian, para penghuni yang mulia!” serunya sambil sedikit memutar tubuh. Berharap siapa saja penghuni yang ada di situ bisa mendengarnya.

Selanjutnya, karena sudah tidak bisa menahan diri lagi, Chan Yeol bergegas masuk ke dalam kamar mandi. “Baek Hyun-ah, aku mandi duluan. Tolong kau bereskan kotak P3K-nya ya.” Sempat menyerukan hal itu terlebih dahulu sebelum pintu akhirnya tertutup. Meninggalkan Baek Hyun yang terkekeh pelan.

“Arasso,” ujarnya dengan geli. Setelah terdengar bunyi air dari dalam kamar mandi, Baek Hyun menghampiri lemari kayu tempat segala peralatan seperti sabun dan sikat berada. Membukanya perlahan, pemuda ini mengulas senyum lembut saat irisnya bertemu dengan sepasang kembar yang terlihat panik di dalam sana.

Mianhe.’ Bo Eun mengatakan hal itu tanpa suara dengan gigi yang masih bergemeletuk karena tegang.

‘Gwencahana,’ sahut Baek Hyun. Balas mengucapkan kata tanpa suara juga. Sebelum jemari indahnya terulur ke arah Sang Saudara dan menuntunnya keluar dari sana.

 

Bo Eun membiarkan tangan halus Sang Kakak mengusapkan handuk kering pada rambutnya yang basah begitu mereka berada di dalam kamar.

“Kenapa kau basah kuyup dengan pakaian lengkap begini, Moon-ah?” tanya namja imut itu. Terdengar jelas ia begitu khawatir. “Kupikir kau sedang mandi.”

“Ng....tadinya memang ingin mandi. Tapi Park Chan Yeol itu keburu datang. Aku jadi panik dan showernya tanpa sadar kubesarkan,” sahut Bo Eun. Berusaha tak menatap kembarannya ini. Sedikit bayangan yang menyebabkannya melamun di kamar mandi tadi masih belum hilang dari pelupuk matanya.

“Aigoo... tadi itu nyaris sekali. Untung aku bangun di saat yang tepat.”

“Mianhe, Sunnie,” lirih Bo Eun lagi. Ia begitu merasa bersalah karena telah ceroboh. Betapa tidak penuh perhitungan sekali tindakannya pagi ini, kan? Ia hampir saja merusak seluruh rencana yang disusunnya baik-baik dan bahkan menyebabkan kembarannya tercinta jadi terluka.

Baek Hyun tersenyum lembut dan mencubit ujung hidung adik yang hanya berbeda beberapa menit itu. “Tidak apa-apa. Aku juga salah karena bangun terlambat. Padahal biasanya aku bangun lebih dulu dari Yeollie,” ujarnya sedikit bergumam pada diri sendiri. “Untunglah Yeol mau percaya,” lanjutnya sambil nyengir lebar.

“Dia bodoh. Mudah sekali percaya begitu kau bilang itu hantu. Padahal jelas-jelas.... hahhhh....” Bo Eun hanya menggelengkan kepalanya tak mau peduli lagi. Ia hanya harus bersyukur ia tidak jadi ketahuan, bukan? Meski tetap saja, ia sedikit kecewa....

Kekehan pelan terdengar dari kerongkongan Baek Hyun. “Tapi itulah Chan Yeol yang kusuka,” ujar pemuda ini perlahan dengan seulas senyum lembut. Membuat Bo Eun hanya terdiam dan memandangi tetesan air dari rambutnya untuk mengalihkan rasa sakit di dadanya.

 

“Ngomong-ngomong, hari ini kau akan ke KAIST?” tanya Baek Hyun kemudian. Pertanyaan yang dijawab dengan gelengan dari Sang Saudara.

“Hari ini tidak. Polanya harus random, Sun. Lagipula tidak baik jika setiap hari kau jadi tidak masuk kuliah,” sahut gadis berparas serupa dengannya itu. Membuat Baek Hyun mengangguk-angguk. Tadinya ia pikir Bo Eun mandi lebih dulu karena ingin menggantikannya lagi untuk datang ke KAIST hari ini.

“Lagipula hari ini kan, kau ada kuis. Mana bisa aku menggantikanmu mengerjakan kuismu,” ujar Bo Eun kemudian. Menarik perhatian Baek Hyun yang sedikit melamun.

Pemuda berwajah manis itu terkekeh. “Wah, benar juga. Kalau begitu, kau saja yang pergi hari ini Moon-ah. Kau kerjakan kuisku, supaya dapat 100,” ucapnya sambil tertawa pelan. Bo Eun hanya menjulurkan lidahnya.

“Tidak sudi,” sahutnya sebelum ikut terkekeh. “Aku mau jalan-jalan di Seoul hari ini.”

Baek Hyun membulatkan matanya mendengar penuturan Sang Adik. “Dengan siapa?”

“Sendiri saja,” Bo Eun menyahut bingung. Jawaban cuek yang mengundang raut cemas di kening namja imut ini.

“Kau yakin mau jalan-jalan sendiri, Moon-ah? Bagaimana kalau kau tersesat?” Baek Hyun menatap saudaranya dengan raut cemas yang sama sekali tak ditutupi. Meski begitu, orang yang dikhawatirkannya malah tergelak.

“Aku tidak akan tersesat, kok. Aku kan, tidak buta arah sepertimu!” ujar Bo Eun dengan tawa yang membuat Baek Hyun menggembungkan pipinya karena kesal.

“Pokoknya kau harus pulang sebelum malam – ah, ani. Kau harus pulang sebelum aku pulang. Kalau aku sampai rumah dan kau belum pulang, aku akan mencarimu tak peduli itu akan membuatmu ketahuan atau tidak. Arrasso?” ujar Baek Hyun menatap lurus adik satu-satunya itu. Tampangnya serius, berusaha menunjukkan bahwa ia tidak main-main dengan ancamannya.

“Arra arra,” sahut Bo Eun sebelum kedua tangannya menyambar pipi chubby Sang Kakak dan menariknya. “Oppa cerewet,” ledeknya sambil menjulurkan lidah.

“Aish! Aku kan mengkhawatirkanmu, dasar adik durhaka!” balas Baek Hyun sambil mencubit juga pipi gadis di hadapannya. Keduanya tertawa lepas melihat tampang aneh saudara kembarnya. Semakin geli karena mereka sama-sama tahu wajah mereka sendiripun pasti terlihat persis seperti itu.

 

“Baek Hyun-ah, kamar mandinya sudah kosong. Cepat mandi, nanti terlambat.”

Sebuah seruan dari luar kamar itu seketika menghentikan tawa dari kamar depan. Raut tegang sedikit mewarnai paras manis Bo Eun.

“N-ne,” seru Baek Hyun sedikit gugup. Was-was apa tadi tawa mereka terdengar oleh Chan Yeol atau tidak.

Melirik Bo Eun yang sudah kembali memasang tampang dinginnya, Baek Hyun tersenyum lembut dan mengusap pipi sang adik yang memerah gara-gara perbuatannya sebelum meninggalkan ruangan. Meninggalkan gadis bersurai panjang yang kini tertunduk dengan rasa sakit kembali menghampiri dadanya.

Entah kenapa... ia merasa lagi-lagi orang bernama Park Chan Yeol itu merebut matahari yang dicintainya... Mataharinya....

 

Sementara itu di kamarnya, Chan Yeol mengerutkan alisnya dalam-dalam. Meski samar, ia yakin tadi mendengar tawa bernada tinggi dari kamar Baek Hyun. Tawa yang ia tahu bukan milik Baek Hyun.

Milik siapa?

Seketika pria tinggi ini merasa bulu kuduknya berdiri dan segera menangkupkan tangan lagi untuk memanjatkan doa-doa pada para arwah yang dia sangka tengah berkeliaran di flat kecil mereka.

 

.

 

.

 

.

 

Ternyata benar....

Bo Eun menatap layar i-pad-nya dengan tatapan sendu. Benda elektronik itu tengah menampilkan sosok seorang Park Chan Yeol yang melintangkan tangannya di samping tubuh Baek Hyun, persis dengan yang dilakukan pria itu pada gadis ini kemarin pagi di kereta. Rupanya memang begitu kebiasaan namja jangkung itu, eh? Melindungi sosok mungil mataharinya itu dari himpitan dan desakan yang penuh sesak di kereta. Perbedaan yang tampak dengan apa yang dilihat Bo Eun kemarin adalah... dalam layar i-pad-nya ini pemuda bersurai coklat terang itu tertawa begitu lebar. Sinar jenaka dan riang terlukis begitu indah di sepasang kristalnya.

Entah kenapa melihat tampilan di layar itu membuat Bo Eun sesak dan tak bernapsu menghabiskan sereal di hadapannya. Jemari mungil gadis bersurai panjang ini mengaduk-aduk cairan susu dengan malas sambil matanya menerawang.

Memang benar, dari email belahan jiwanya selama ini pun Bo Eun sudah menduga bahwa... bahwa orang bernama Park Chan Yeol ini memang... menyayangi kakak satu-satunya itu. Firasat ini jugalah yang ingin Bo Eun buktikan pada Baek Hyun dengan nekat datang kemari. Akan tetapi, tetap saja.... ia tak menyangka bahwa....

 Gadis berparas lembut ini mendesah panjang. Tentu, kebahagiaan Baek Hyun adalah prioritas utamanya. Kebahagiaan Baek Hyun adalah alasannya untuk hidup.... Untuk itulah ia datang kemari. Untuk menilai Park Chan Yeol, untuk mendukung sumber cahayanya itu, dan... dan....

Bo Eun menggeleng perlahan. Hatinya terasa berat. Ia bahkan tak sanggup untuk mengatakannya. Meski ia tahu, suatu hari nanti hal itu harus dijalaninya....

Tapi untuk sekarang masih ada hal yang harus dilakukannya. Masih ada hal yang ingin diujikannya pada Chan Yeol. Untuk itulah ia akan ke Seoul hari ini. Gadis bermata sipit itu mengangguk mantap untuk mengembalikan semangatnya sebelum membereskan sarapannya yang tak habis dan bergegas pergi.

 

.

 

.

 

.

 

Myeongdong street.

Sudah lama sekali Bo Eun tidak datang ke kawasan Korea yang sangat terkenal sebagai pusat perbelanjaan di Seoul itu. Kapan ya terakhir ia datang kemari? Gadis ini bahkan sudah tidak ingat lagi. Karena memang kedatangannya ke Korea sangat jarang, dan keluarganya amat susah mengizinkannya berjalan-jalan ke tempat ramai semacam Myeongdong. Memang lebih sering Baek Hyun yang mengunjunginya di Indonesia, dan kalaupun ia yang ke Korea, gadis ini tak diizinkan pergi jauh-jauh dari rumah. Karena itulah gadis bersurai coklat panjang ini terlihat senang saat turun dari kereta dan disambut oleh kebisingan khas daerah perbelanjaan.

Bo Eun memutar kepalanya ke sana kemari dengan senyum kecil terukir di bibir tipisnya. Meski ia bukan tipe yang hobi shopping, tapi tetap saja, mau bagaimana juga dia seorang gadis yang senang berada di tempat perbelanjaan dan melihat barang-barang yang lucu.

Langkah kakinya terhenti saat sebuah lagu mencapai indera pendengarnya.

 

Dan han beon man han beon man nal cha ja bwa je bal

Heu neu ggi myeon deo uk heu neu ggil su rok tu myeong hae jyeo man ga neun de

Ju geul man keum gan jeol han nae gi do ye ggeu te

nae pu me ga jil su it ge o jik neo ma ni cha ja jun da myeon

 

(Just once, once, please find me

Harder and harder as I keep sobbing, I only grow more transparent

But if you and just you find me, so that at the end of my desperate prayer, I can have you in my embrace)

 

Entah kenapa, lagu bernada sedih itu menarik perhatian Bo Eun. Bukan, itu bukan suara kaset. Suara seorang namja yang begitu indah lah yang beresonansi di udara.  Jujur saja, rasanya memang aneh mendapatkan lagu bernada sedih seperti itu di jalanan Myeongdong yang ramai dan hingar bingar. Tanpa sadar, Bo Eun membawa langkahnya mendekati sumber suara.

Benar dugaannya. Lagu itu berasal dari band jalanan yang membawakan lagu live di depan salah satu toko musik. Orang-orang berkumpul di sekeliling mereka. Berbaris rapat dan mendengarkan lirik sedih itu dengan khidmat.

 

Geu mi ga be i go nae shim jang i da ggae ji go geo chil ge na ri seon ggeu te

Jo gak jo gak bu seo jin geu ddaen nal bo ge dwael ten de

(Maybe at the end of mine when I’m cracked and cut,

with my heart all shattering and my edges turning sharp

When I’m broken into pieces, you might finally see me)

-“Blind” by TRAX-

http://www.youtube.com/watch?v=VBpbZPn3oVE

 

Lagu indah dengan hentakan drum dan tarikan gitar yang mempesona itu membuat gadis bersurai panjang ini terpaku. Meski begitu, seorang pemuda yang melantunkan lirik sendu itu lah yang mengunci tatapannya. Suaranya yang lembut mengalun merdu. Garis wajahnya yang sempurna dibingkai begitu pas oleh surai pirang yang halus.

 

“Beautiful...” gumam gadis ini perlahan.

Like an angel....

 

Bahkan sampai lagu berakhir pun Bo Eun masih menatap sosok itu lekat. Bahkan sampai ekspresi yang semula berkerut sedih karena mendalami lagu telah berubah menjadi senyum lebar pun, Bo Eun masih termangu. Lagu itu seolah menyihirnya....

 

“Rasanya memang kurang pas jika menyanyikan lagu sedih di pagi hari yang indah ini, ya? Bagaimana jika kami bawakan lagu yang bersemangat?” seru penyanyi dengan dandanan yang cukup nge-rock itu pada pengunjung yang menyambut tawarannya dengan seruan excited.

 

Ye ladies and gentlemen Love is

Sarangul nunul bogo malhanun geot

Maumeuro jeonhanun geot

Urideul sarangdo gatgil baraeyo

(Yeah ladies and gentlemen Love is

Love is something that you say while looking in someone's eyes

Something you send to someone's heart

I hope we become like love too)

 

Band berisi 4 orang namja itu pun mulai menyanyikan lagu lain dengan musik menghentak yang enak didengar. Sambil bernyanyi, namja bersurai pirang dengan wajah cantik itu bergerak dari spot asalnya dan menghampiri para pengunjung yang sebagian besar adalah yeoja-yeoja yang langsung menjerit tertahan saat didekati olehnya.

You are beautiful to me, You are so beautiful to me

Gasumi dduinun geon bunmyun sarangin geot gata

(You are beautiful to me, You are so beautiful to me

The way my heart is racing, I'm sure it's love)

 

Bo Eun pun mengikuti pergerakan pemuda itu dengan iris coklatnya. Gadis ini merasa gugup saat disadarinya namja berwajah mempesona itu semakin dekat ke arahnya. Meski begitu, raut wajah manis gadis ini tetap datar tanpa emosi, seolah ia tak merasakan apapun meski sebenarnya hatinya begitu berdebar. Bo Eun tanpa sadar menahan napas saat sepasang kristal indah itu sudah ada di hadapannya dan menatap lurus maniknya. Sepasang kristal yang begitu bening yang tampak merefleksikan raut kaget sebelum seulas senyum lebar terbentuk sempurna di bibirnya.

You are beautiful to me, You are so beautiful to me

Hanuleseo naeryeoun cheonsain geot gatayo

(You are beautiful to me, You are so beautiful to me

An angel who has come down from the sky, is what I think you are)

 

Gadis ini setengah tak sadar saat jemari halus namja itu meraih pergelangan tangannya dan menariknya dari lingkaran. Membawanya ke tengah perhatian para pengunjung lain sementara namja pirang itu melanjutkan menyanyi. Sesekali lengan kurusnya mampir di pundak Bo Eun dan membawa tubuh mungilnya bergerak mengikuti hentakan musik. Atau sesekali paras tampan yang indah itu menoleh padanya dengan binar riang.

Sarangun nunul bogo malhaenun geot

Maumeuro jeonhanun geot uhrideul

Sarangdo gatgil baraeyo

Sarangun donghwa cheorum yuchihaedo

Satangcheorum dalkyomhan geot

Urideul sarani yeongwon urideul

Sarani yeongwonhagirul

(Love is something that you say while looking in someone's eyes

Something you send to someone's heart

I hope we become like love too

 

Love is childish like a fairy tale,

But is still sweet like candy

Our love, forever

 

I hope our love will last forever)

-“Love Is” by FT Island-

http://www.youtube.com/watch?v=cnGcXHvdj0I

 

Tepuk tangan yang begitu meriah terdengar memenuhi jalanan ramai Myeongdong setelah namja bak malaikat ini menghentikan lantunan suara merdunya.

“Itu adalah lagu terakhir dari kami untuk hari ini. Terima kasih banyak sudah bersedia datang dan mendengarkan!” seru namja pirang itu sambil membungkukkan badan diikuti 3 member band-nya yang lain.

Terdengar beberapa keluhan kecewa, meski begitu beberapa teriakan yeoja-yeoja pun samar terdengar di tengah kebisingan jalanan yang kembali normal.  Membiarkan anggota band-nya mengumpulkan uang yang dilemparkan pengunjung, namja cantik itu menoleh pada Bo Eun dengan wajah sumringah.

“Kenapa kau tidak memberitahuku kalau akan datang melihat?” tanyanya dengan seulas senyum lebar.

Eh?

Tentu saja kalimat itu membuat gadis bersurai coklat berombak ini mengerutkan alisnya. “Apa... aku mengenalmu?” tanyanya bingung.

“Aigoo... Jahat sekali kau Baek Hyun-ah. Baru satu bulan tidak bertemu kau sudah melupakanku.” Sahutan namja di hadapannya ini membuat Bo Eun menggumam paham dalam hati. Rupanya teman dari mataharinya, eh?

Sebaiknya apa yang harus ia lakukan? Perlukah ia berpura-pura sebagai Baek Hyun? Atau...

“Baek Hyun? Aku bukan Baek Hyun,” ujar gadis ini. Jawaban yang sontak membuat namja itu melebarkan matanya sebelum berseru kaget.

“Omona!!! Benar juga. Astaga! Maafkan aku, kupikir kau Baek Hyun!” ucapnya sambil sedikit membungkukkan badan. “Kenapa aku tidak ingat kalau Baek Hyun itu namja, aish!” lanjutnya dalam gumaman terhadap diri sendiri.

Pemuda berparas indah layaknya tokoh komik itu memasang senyum menawannya. “Mianhe. Sungguh maaf, kupikir kau orang yang kukenal, jadi aku menarikmu. Boleh aku tau namamu? Aku Luhan, ngomong-ngomong,” ujarnya kemudian sambil membungkukkan badan.

“Moon imnida,” sahut Bo Eun sambil ikut membungkuk.

Pemuda bernama Luhan itu memiringkan kepalanya sambil menunjuk langit. “Moon? Bulan?” tanyanya memastikan. Ia mendapat anggukan kecil sebagai jawaban. Luhan terkekeh pelan. “Namamu unik,” ujarnya.

Bo Eun tak menanggapi hal itu. Ia hanya tersenyum tipis, raut manisnya kembali memasang ekspresi dingin, sementara otak cerdasnya sedang memproses sesuatu. Rasa penasaran menggelitiknya.

“Baek Hyun itu.... temanmu...?” tanyanya hati-hati.

Luhan mengangguk dengan seulas senyum. “Ne. Ah, sebenarnya teman dari temanku – ah, ani. Lebih tepatnya junior yang disukai temanku,” sahutnya sambil tergelak. Informasi yang membuat gadis bertubuh mungil ini menaikkan alisnya karena penasaran.

Orang yang menyukai Sun? Siapa?

..... Park Chan Yeol?

 

Menggigit bagian dalam bibir bawahnya, Bo Eun berusaha keras menahan lontaran pertanyaan di ujung lidahnya. Sungguh ia ingin sekali bertanya lebih jauh pada Luhan ini. Akan tetapi, jika ia menanyakannya, pasti akan terkesan mencurigakan....

 

“Senang bertemu denganmu lagi, Baek Hyun-ssi.”

Sebuah sapaan dengan suara lembut itu memutus pemikiran Bo Eun. Sepasang manik coklat merefleksikan sesosok namja dengan wajah yang begitu teduh dan dipenuhi senyum menenangkan layaknya budha.

“Itu bukan Baek Hyun, Suho-ya!” ucap Luhan dengan kekeh geli. “Namanya Moon.” Sambil berkata begitu, lengan Luhan menyampir nyaman di bahu Bo Eun. Gadis ini mengerutkan alisnya bingung. Bukan, ia bukan bingung dengan tindakan Luhan. Ia bingung dengan dirinya sendiri yang membiarkan Luhan menyentuhnya dengan begitu kasual. Padahal selama di kampus dulu ia terkenal sebagai Ice Princess yang tak tersentuh. Bahkan ada yang meledeknya sebagai bunga beracun karena tak ada yang berani menyentuhnya. Lalu kenapa....?

“Jjinjja? Astaga, mirip sekali dengan Baek Hyun-ssi,” tukas orang bernama Suho sambil merapikan tas berisi uang dari para pengunjung. “Salam kenal, Moon-ssi. Suho imnida.”

Bo Eun membalas sapaannya dan membungkuk sopan. Tiba-tiba Luhan mendekati barang-barangnya dengan semangat. Tak lama, namja cantik itu membawa kamera SLR berkualitas tinggi dan menyodorkannya pada Suho.

“Tolong fotokan kami, Suho-ya,” ujarnya dengan cengiran yang entah kenapa terlihat jahil. Pemuda berutubuh ramping itu lalu kembali ke samping Bo Eun dan memposisikan diri untuk difoto. “Boleh, kan?” tanyanya meminta persetujuan gadis itu untuk berfoto bersama. Dan lagi-lagi Bo Eun merasa aneh saat mendapati dirinya hanya mengangguk perlahan. Padahal mataharinya saja perlu menyeretnya mati-matian demi selembar foto....

“Mau kau apakan fotonya, Hyung?” tanya Suho setelah selesai mengambil gambar sambil menyodorkan kamera mahal itu pada pemiliknya.

Luhan menyeringai jahil dan menatap bandmate-nya dengan sinar jenaka. “Akan kutunjukkan pada Kris supaya dia cemburu,” sahutnya diiringi derai tawa. Suho hanya menggelengkan kepalanya.

“Kau senang sekali mengerjainya, Luhannie,” ujar seorang namja lain dengan pipi chubby seperti bakpao. Ia membereskan bass kesayangannya tak jauh dari mereka.

“Soalnya dia pabo! Tidak pernah mau mengaku,” ujar Luhan sambil mengecek hasil jepretan Suho di kamera kesayangannya. "Bikin orang gemas saja!"

“Kris...?” Bo Eun yang sedari tadi diam mendengarkan obrolan namja-namja itu, bersuara perlahan. Diakah namja yang disebut Luhan menyukai Baek Hyun?

Ingin sekali ia bertanya dan memastikan hal itu. Akan tetapi, Luhan tengah serius dengan kameranya dan menunjukkannya pada pemain bass di sebelah sana. Orang bernama Suho dengan senyum lembut itu juga sedang membereskan tripod. Bo Eun mengalihkan irisnya dan hanya menangkap satu lagi namja yang tengah duduk di balik drum set-nya. Jujur saja, namja dengan surai gelap dan lingkaran hitam di bawah matanya itu sempat membuat gadis ini takut. Apalagi saat menoleh tadi ternyata pemuda itu tengah memperhatikannya dengan intens. Meski begitu, dengan paras dinginnya, Bo Eun bertanya pada entitas tersebut.

“Siapa Kris?” tanyanya perlahan. Gadis kelahiran Bucheon ini sempat menyangka namja itu tak akan menyahut dan akan mengacuhkan pertanyaannya. Akan tetapi, rupanya ia salah. Suara ringan yang sedikit tak sesuai dengan paras mengerikannya terdengar dari kerongkongan pemuda bernuansa gothic kental itu.

“Duizzhang kami. Dia pendiri band ini,” sahutnya. “Tapi karena sekarang dia jadi presiden kemahasiswaan, ia jadi jarang tampil.”

Bo Eun ber-“ooh” perlahan sambil menatap lekat sosok dengan dominansi hitam itu. Entah kenapa ada aliran kesedihan yang menggantung di udara terasa lewat ujung jarinya.

“Apakah dia... yang Luhan-ssi sebut menyukai Baek Hyun?” tanya gadis ini hati-hati. Entah kenapa ia membiarkan dirinya menyuarakan pertanyaan itu pada sosok yang belum ia ketahui namanya itu.

Alih-alih menatap tajam Bo Eun karena pertanyaannya yang (gadis ini rasa) mencurigakan, namja bersurai gelap itu justru mengalihkan pandangannya. Jemarinya memainkan drum stick dengan resah. “Tidak tahu... Duizzhang hanya bercerita pada Luhan-ge,” ucapnya pelan. Dan Bo Eun hanya bisa terdiam menyerap awan kesedihan yang mewarnai udara di sekitar mereka.

Kris....

Siapa sebenarnya orang bernama Kris ini?

Pendiri band?

Presiden Kemahasiswaan?

Senior Sun...?

....rival... Park Chan Yeol....?

 

.

 

.

 

.

 

Menyingkirkan informasi mengenai Kris (yang sebenarnya sangat mengganggu perhatiannya), Bo Eun melanjutkan langkah menyusuri jajaran pertokoan di Myeongdong street. Kawasan ini terkenal dengan butik-butiknya. Itu jugalah alasan gadis bersurai coklat ini sengaja jauh-jauh ke Seoul. Benar, butik adalah tujuan utamanya. Setelah melihat ke sana kemari, gadis bertubuh mungil ini memasuki salah satu butik dengan penataan yang cantik.

 

Tempat itu cukup ramai. Tidak berdesak-desakan karena memang hari ini adalah hari kerja. Namun beberapa terlihat asyik melihat-lihat koleksi yang dipajang di butik dengan nama “Unicorn” itu. Iris gelap Bo Eun mengedar. Sejujurnya ini pertama kalinya ia datang langsung ke butik. Oke, sebutlah ia kuno atau kampung atau apa, terserah. Di balik paras manis dan gesturnya yang halus, Byun Bo Eun sebenarnya tipe yeoja yang cuek masalah penampilan. Selama ini pakaian yang dimilikinya berasal dari toko sederhana atau bahkan pasar minggu yang biasa digelar di dekat kampusnya. Baju-baju indah yang dimilikinya dapat dipastikan merupakan kiriman ibundanya tercinta yang gemas dengan keacuhan anak gadisnya ini. Seandainya bukan untuk matahari yang sangat dicintainya itu, gadis ini tak akan mau repot-repot datang ke Seoul demi memasuki butik.

Saat hendak menghampiri satu rak berisi berbagai blouse, Bo Eun menyadari ada yang sedang memperhatikannya. Gadis ini mengerutkan alisnya cukup dalam saat lensanya menampilkan sosok seorang namja dengan ekspresi setengah menerawang tengah menatapnya lekat. Pemuda itu bukan sedang melihatnya dari jauh. Sebaliknya, jaraknya tak lebih dari 1 meter dan orang itu menatapnya intens.

“Ada perlu denganku?” tanya gadis ini dengan alis bertaut. Terlihat jelas berusaha keras menjaga kesopanan dan menekan kecurigaannya.

Bukannya menjawab, orang itu malah menghampiri Bo Eun dan meraih kedua tangannya. Sepasang kristalnya menampilkan sorot penuh kekaguman. “Cantik sekali.... Mon ami. Kau.... sempurna....,” desahnya.

Tak lagi menutupi raut tak suka di parasnya, Bo Eum menarik kasar jemarinya dari genggaman namja itu. “Ng... gomawo?” sahutnya dengan alis berkerut bingung. Tubuh mungil gadis bermarga Byun ini hendak beranjak dari sana namun sebelum satu langkah pun terbentuk, pergelangan tangannya telah digenggam dan detik berikutnya yang disadari Bo Eun adalah ia ditarik dengan penuh semangat melintasi ruangan.

"YA! Apa yang kau lakukan!? Lepaskan!!!" Panik, Bo Eun berusaha berteriak pada orang-orang yang ada di sana. “Penculikaaan!! Tolong aku!!!” serunya sambil menggapai-gapai. Berusaha mengaitkan jemarinya pada perabotan yang terlewati. Akan tetapi, baik pengunjung maupun penjaga toko di sana sama sekali tak bergeming. Bahkan tak ada raut cemas di wajah mereka. Mereka justru malah tersenyum dan kembali pada aktivitasnya semula. Bo Eun tak mempercayai apa yang baru saja dilihatnya.

Apa-apaan ini? Apa butik ini adalah suatu sindikat penculikan yang terorganisir rapi? Apakah orang-orang itu sebenarnya adalah komplotan dan hanya berpura-pura sebagai pengunjung dan penjaga toko? Oh, Tuhan, yang benar saja!??

 

Berusaha melepaskan diri dari seretan namja di depannya, Bo Eun merogoh tas dan mencari-cari barang apa yang bisa digunakannya sebagai Shinai (pedang bambu). Akan tetapi tak ada apa-apa di sana. Satu-satunya barang yang menyerupai batang hanyalah pulpennya. Tak ada gunanya. Mana bisa ia memukul ubun-ubun lawan dengan hanya sebatang pulpen yang bahkan tak mencapai 30 sentimeter??

Mencondongkan tubuh, Bo Eun berencana menggunakan jurus andalan para wanita: gigitan! Akan tetapi, sebelum taring gadis ini membuat kontak dengan kulit putih namja aneh itu, genggamannya dilepaskan. Menyangka diri berada di ruang bawah tanah yang pengap gelap kotor jorok atau di dalam gudang atau dalam bagasi truk pengangkut, Bo Eun sedikit tertegun saat yang ada di sekitarnya adalah berbagai koleksi baju yang indah. Blouse dan dress elegan yang lebih cantik daripada yang ada di ruangan depan, tertata indah membentuk jalur yang meliuk dari ujung ke ujung ruangan. Dan ruangan tempat mereka berada sama sekali jauh dari kata gelap dan kotor. Ruangan itu bercat putih dengan cahaya keemasan yang menenangkan. Sofa putih bahkan tersedia di depan cermin seukuran seluruh tubuh yang menempel pada salah satu dinding.

Sementara dirinya terbengong-bengong dengan apa yang dilihat dan berusaha mencocokkannya dengan apa yang ada di pikirannya, namja aneh dengan raut setengah melamun itu telah melintasi ruangan dan menarik beberapa dress serta blouse di tangannya. Menyodorkan tumpukan baju itu ke arah Bo Eun, gadis ini hanya bisa menerimanya agar kain-kain indah itu tidak terjatuh ke lantai. Selanjutnya namja itu menepukkan tangannya sebanyak 3 kali dan 3 orang penjaga toko masuk ke ruangan tersebut lalu membungkuk hormat padanya.

“Coba satu-satu dan perlihatkan padaku,” ujarnya sebelum menoleh pada Bo Eun dan rautnya kembali dipenuhi sorot memuja. “Pasti akan sangat cocok. Tuhanku, akhirnya aku menemukan model yang pas,” gumamnya.

Bo Eun tak sempat bertanya macam-macam karena kini tubuhnya kembali diseret oleh 3 penjaga wanita itu ke ruang ganti. Di dalam, gadis ini tak bisa melawan dan hanya bisa pasrah mereka memasangkan beragam baju padanya. Setelah satu baju selesai dipasangkan, ia akan digiring keluar ruang ganti dan diputar perlahan di hadapan si namja aneh yang berdiri dengan raut super serius. Sesekali, pemuda itu akan berseru kegirangan. Mengucapkan berbagai pujian dalam berbagai bahasa dan menepukkan tangannya dengan gembira.

 

Setelah baju ke dua belas dipakaikan, Bo Eun melepaskan diri dari pegangan para penjaga toko itu dan menghampiri namja berwajah tampan namun sedikit datar itu. “Aku tidak ingin baju seperti ini. Aku sedang mencari baju yang ‘seksi’ dan ‘berani’,” ujarnya sambil menatap lurus kristal yang sedikit menerawang di hadapannya.

“Model ‘berani’? Tapi baju seperti itu tak akan cocok untukmu,” sahut namja itu sambil berpikir dalam.

“Pokoknya aku ingin model baju yang seksi, yang seductive,” tukas Bo Eun keras kepala. Ia sendiri tak mengerti kenapa ia jadi bersikap begini pada orang asing aneh yang baru ditemuinya ini. Sungguh, sama sekali bukan dirinya bersikap manja dan merajuk serta merengek begini pada orang tak dikenal..... Akan tetapi, sepertinya namja ini mengerti fashion, meski tatapannya aneh – seperti selalu melamun dan jiwanya tak di sana.

Mengangkat bahu, namja itu menghampiri salah satu rak di dekat cermin dan menarik sebuah buku katalog. “Ini koleksi yang kumiliki saat ini,” ujarnya sambil menyodorkan buku itu pada Bo Eun. 

Membuka lembaran demi lembarannya, sebuah seringai senang terpahat di bibir tipis ini.

“Aku ingin beli baju yang ini dan ini dan yang sebelah sini juga,” ujar gadis ini kemudian pada salah satu penjaga toko yang berdiri paling dekat dengannya. Penjaga itu mengangguk patuh dan pergi menuju ruangan lain untuk membawakan koleksi baju yang dimintanya.

Sementara Bo Eun tersenyum puas dengan hati berdebar karena apa yang diinginkannya ternyata bisa ia temukan di butik ini, namja berparas tanpa emosi ini terlihat sedikit muram. “Baju-baju itu tak cocok untukmu,” ulangnya. “Style casual, elegant, dan manis lebih cocok untukmu.” Akan tetapi, gadis bersurai coklat itu tak mempedulikan perkataannya dan mengikuti penjaga toko menuju ruangan lain.

Saat sedang membayar dan menerima barangnya, Bo Eun merasa bawaannya terasa berat dan banyak sekali. Padahal rasa-rasanya ia tidak membeli terlalu banyak. hanya 4 pasang kok. tidak akan seberat itu, kan?

Tak ambil pusing soal itu, langkah kecil tungkainya pun membawanya menuju pintu keluar. Saat hendak meninggalkan butik itu, Bo Eun sempat menoleh untuk mencari sosok namja aneh tadi. Biar bagaimanapun, ia telah membantu gadis ini menemukan baju yang diinginkannya. Meski tingkahnya sangat aneh.

 

“Aku akan senang jika kau bersedia datang lagi kemari. Boleh aku tau siapa namamu, bidadari kecil?” tanya sebuah suara yang mendadak saja terdengar di samping telinganya. Membuat Bo Eun hampir melonjak karena kaget, tak menyadari bahwa pemuda yang sedang dicarinya telah berdiri di sampingnya.

“Bo... Eun...,” sahut gadis ini perlahan. Tanpa sadar menyatakan nama aslinya. Ia baru sadar dengan kesalahan yang dilakukannya saat nama itu diulang oleh pemuda di hadapannya.

“Bo Eun? Nama yang cantik. Cocok sekali untukmu,” ujarnya sambil meraih tangan Bo Eun dan mengecupnya lembut layaknya bangsawan di zaman Eropa pertengahan. Tindakan yang membuat gadis mungil ini hanya bisa membatu karena tak tahu harus berbuat apa.

“Aku Lay. Kau telah menginspirasi duniaku, Bo Eun-ssi.” Sambil berkata begitu, seulas senyum terpahat indah di wajah tirus itu. Menampilkan lekukan manis di pipinya dan sekejap raut melamun yang mengabuti irisnya terlihat bersinar. Senyum sederhana yang membuat Bo Eun terus membayangkan bahkan setelah ia menaiki kereta menuju Daejeon sekalipun.

.

 

.

 

.

 

.

 

A/N: Maafkan baru sempat update.... Kemarin UAS dan baru kelar.... Fhiuh. Ini chapter kepanjangan kah? =w=

Yosh di sini mulai muncul member2 EXO yang lain daaaan...... bakal banyak konflik yang melibatkan mereka~~~ kekekeke

Maafkan jika ceritanya ngebosenin yaa.. Kedepannya mau saya tambahin drama #eh #kok #salah

Terimakasih banyak buat yang bersedia bacaa....

Komen dan saran akan selalu dinanti~~~

Regards,

Allotropy

 

PS: gambar yang kucantumin di sini masih ga masuk kategori kan? Perlu aku cantumin rate-M kah? Soalnya.... hmmm....... ==a

eh iya, foto2 yang kupakai di sini bukan milikku. semuanya kudapatkan dari mbah gugle yang mendapatkannya dari para pemiliknya :]

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
zahranyzahra #1
Authoorrr-nim
daebak banget...
Tapi kenapa udah hampir 2 tahun ga update2..
sayang lho.. ff daebak kaya gini kalo discontinued :(
Masih banyak pertanyaan di otak aku bakal kaya apa chanbaek di ff ini...
Terus berkarya thor! Karena aku baca beberapa ff author yang lain dan emang author emang bakat banget jadi penulis!
suka sama gaya bahasa author sama teka teki di setiap ff karya author yang bikin cerita itu susah buat ketebak gimana endingnya..
Saking demennya ama ff ini aku sampe begadang sampe jam 3 pagi buat nyelesein ff ini karena aku orangnya kalo nemu ff bagus, pasti bikin nagih terus bakal sampe gatau waktu bacanya kalo belum selesai..
Eheheh
keep writing thor!
aikokataika #2
Chapter 2: Bo Eun? Nama yang cocok kalo Baek Hyun bener-bener jadi perempuan ><

Aduh, Park Chanyeol itu sebenernya mahluk apaan, sih?! Kok polos amat. Jadi pengen makan orangnya /apalah/ /digebukin/
aikokataika #3
Chapter 1: Ah, keren!
Sebelumnya aku udah bosen gara-gara daritadi cuma tulisan surat-suratnya 'si saudara kembar' :D
Tapi pas lanjut baca, langsung yakin fic ini bakal keren banget!!! ><
baekhyunlove599 #4
Chapter 8: Y ampun thor,frustasi aku jdinya. Emosiku bnr2 d uji,mulanya ku sebal sw si boo eun tp ke blkg ny ku mlh sebel sm kris,dan chanyeol jg. Aku cm berharap boo eun bs membantu baekhyun mengatasi masalahnya stdkny jd lah ibu peri untuk baek. Daebak thor bkn emosiku naik turun bc ny
AikoByun #5
Author, ini fanfic nya masi lanjut kan? Semoga iya. Updatenya cepetan ya thor. Uda penasaran banget ni.
Nisa_Park
#6
Chapter 8: apa ff ini masih lanjut author? Padahal ini ceritanya seru loh,, :( aku readers baru soalnya..
ChanBaekpants
#7
Chapter 8: Wahhh udah 2 bulan thor gak update O.O
Lanjut dong thor, aku penasaran tingkat dewa nih, demi cinta chanbaek padaku lanjutin ya thor T.T
Anddddd aku penasaran gimana ChanBaek ntar....
Trus kayaknya Kris suka deh sama Luhan wkwkwkwk
Lanjut ya thor :)
kkamJUN #8
Chapter 8: hueeeeee..lanjut thor lanjut !!
Penasaran !
TT
kkamJUN #9
Chapter 7: /pingsan kejang/
aaaaaaakk..author-nim !? Jinjjaaa !!
Asdfghjklzmxnvnblpoq !!
Sumpah yaah shock setangah mampus..gilak bener..kris !!
Argghh..
kkamJUN #10
Chapter 6: /pingsan/
aaaaaa..demi apa ini part yg menegangkan !!
><
aduuh yixing km tu ala2 pujangga cinta gitu yak.. XD
/bletak/
keren thor..lanjut !!
:D