Fase 05

Katalisator

 

KATALISATOR

Fase 05/?

 

.

 

-Bo Eun’s POV-

 

“Moon-ah, kau tidak perlu sampai seperti ini!”

Aku menatap pantulan Sun di cermin sambil membenarkan rambutku dan memastikan tak ada yang cacat dari make-up yang kupakai. “Ini rencanaku, Sun. Sudah kuperhitungkan, tenanglah.”

“Bukan itu masalahnya Moon! Ini tidak baik untukmu! Kau tidak perlu –“

“Ssshhh. Kau ingin ia mendengar kita?” bisikku sambil berbalik dan menatap langsung separuh diriku yang terlihat cemas dan memelas itu. Aku menyentuh kedua bahunya dan meremasnya perlahan. Sepasang kristal yang persis sama dengan milikku kutatap lurus. “Bukankah sejak awal kita sudah buat perjanjian, Sun? ‘Kau harus mengizinkan apapun yang kulakukan untuk rencana ini’. Apa kau lupa?”

“Tapi, Moon...”

“Tenanglah, Sun-chagi. Semuanya kulakukan untukmu,” ucapku memutus protesannya dengan sebuah kecupan singkat di pipi. Selanjutnya aku mengambil tas dan bergegas keluar kamar. Menutup pintu dengan cepat sebelum namja berparas serupa denganku itu sempat memprotes lagi.

Irisku mengedar dan mendapati Park Chan Yeol belum keluar dari kamarnya. Aku menghampiri lemari dan memandang pantulan diriku di kaca lemari. Seandainya boleh jujur, aku cukup berdebar dan gugup saat ini. Dan sesungguhnya....aku agak risih. Benar, risih dengan diriku sendiri. Ini pertama kalinya aku memakai make-up dan mengenakan baju semacam ini. Baju one piece hitam yang begitu ketat dan pendek hingga sebagian besar pahaku terekspos..... juga bagian leher yang sangat rendah hingga.... hingga dadaku terlihat....

 

Sh*t.

Aku memejamkan mata untuk menghentikan gemetar tubuhku saat teringat pada fakta itu. Seandainya bukan untuk matahariku tercinta, aku takkan sudi – takkan pernah sudi! – memakai baju semacam ini. Mengeratkan rahang, aku mengingatkan diriku untuk apa semua ini kulakukan. Memastikan topi dan sepatu boot tinggiku berada pada posisi sempurna, aku beralih menatap pintu kamar Chan Yeol dan memanggilnya.

“Yeollie~ Ppali~~” ujarku dengan nada suara yang sedikit mendayu. Lagi, aku menahan diriku untuk tidak muntah mendengar suaraku sendiri yang terdengar begitu manja.

“Mian. Aku lupa di mana menaruh kacamataku,” sahutan dari suara bass itu kemudian terdengar seiring pintu kamar membuka dan sosok jangkung namja itu keluar. Sepasang kristal coklatnya menatapku dan selama beberapa saat Park Chan Yeol terdiam.

Ini dia.

Namja manapun pasti akan bereaksi melihat yeoja berpakaian seperti ini, bukan? Pasti Park Chan Yeol juga begitu. Reaksinya akan sosok Sun dalam balutan penampilan seksi ini akan menentukan banyak kesimpulan bagiku. Hrrmmm, Park Chan Yeol, reaksimu tak akan luput dari pengamatanku!

Akan tetapi, reaksi pemuda tinggi itu di luar dugaanku. Bukannya merona atau jadi gugup atau berseru kaget atau terlihat senang, ia justru malah berbalik kembali ke dalam rumah.

“Yeollie..?” panggilku. Alisku bertaut tak mengerti dengan tindakannya. Apakah Park Chan Yeol membencinya? Apakah sebegitu tak menyukainya hingga ia tak mau melihat...?

Segala dugaanku terputus saat kemudian namja bersurai berantakan itu kembali dengan selapis kain di tangannya. Sebelum aku sempat bertanya, tangan besarnya menyampirkan kain itu di sekeliling bahuku.

“Kau lupa mantelmu,” ujarnya dengan senyum lebar sebelum jemari panjangnya meraih pergelangan tanganku dan menariknya perlahan. “Kajja!”

Aku termenung dan hanya membiarkan namja itu menyeretku. Apa-apaan reaksinya itu?

Baiklah, ini baru dimulai, Park Chan Yeol!

 

.

 

.

 

.

 

Kebiasaan kecil Chan Yeol yang selalu melintangkan tangannya di sekitar Sun selama di kereta akan menguntungkan rencanaku. Dia akan berdiri tepat di hadapanku dan karena tubuhnya yang lebih tinggi, tentu pandangannya akan dengan mudah menangkap sosokku, bukan? Sepasang irisnya akan dengan leluasa melihat tubuhku – kalau kau paham maksudku.

Meski sebenarnya aku sedikit was-was namja itu tidak lagi melakukan kebiasaannya tersebut. Entahlah, sejak respon pertamanya tadi di rumah, aku memiliki firasat Park Chan Yeol tidak menyukai penampilanku saat ini. Penampilan Sun saat ini. Itu sebabnya aku memiliki prasangka namja itu akan menjauhiku dan enggan melakukan kebiasaannya lagi. Jika benar begitu, maka berarti....

Begitu memasuki kereta dan pandanganku terhalang oleh kemeja biru, aku sontak mendongak dan mendapati sosok itu adalah Chan Yeol. Rupanya ia tetap melakukan kebiasaannya.

Tersenyum sinis diam-diam, perlahan dengan sengaja aku menggeserkan mantel tipisku agar tak menutupi bagian depan tubuhku. Meski sedikit gemetar menahan muak, aku sedikit mencondongkan posisi badanku. Aku yakin namja manapun akan melotot dan ngiler bila di hadapannya ada yeoja yang bersikap begini, bukan? Lihat saja namja-namja brengsek di sana. Lewat ekor mataku, kutangkap tatapan buas terarah padaku. Bisa kurasakan beberapa dari mereka berusaha keras menahan diri karena menyadari keberadaan Chan Yeol yang terlihat melindungiku. Menghalangi mereka dari usaha menyerangku?

Dalam hati aku mencibir. Lihat, betapa semua namja sama saja! Bertekuk lutut di hadapan yeoja seksi. Tidak bisa mengendalikan diri. Dari jarak sejauh itu saja kilat napsu mereka terlihat olehku. Apalagi jika berada dalam jarak sedekat Park Chan Yeol ini, benar?

Meski sebenarnya aku sedikit gemetar. Jika Park Chan Yeol macam-macam, tenang saja, aku tak akan ragu menghantamnya dan membuatnya terkapar tak peduli betapapun Sun mencintainya. Jika Park Chan Yeol menyentuhku maka itu artinya dia sama saja dengan namja-namja brengsek dan mesum di sana. Dan aku akan meyakinkan matahariku tercinta itu untuk melihat keburukan Park Chan Yeol ini!

Menekan degup jantung yang menggila karena gugup, aku memasang senyum terbaik Sun dan mendongak menatap Chan Yeol. Berharap akan segera menangkap bukti kebusukan seorang namja mesum. Akan tetapi, sosok jangkung itu tidak menatapku. Irisnya terpaku pada pemandangan di balik jendela.

Secara sengaja, aku tak menurunkan pandanganku. Terus kutatap wajah tampannya tanpa jeda sedikitpun. Jika ditatap begitu, mau tidak mau pasti akan menoleh, bukan? Namun, Park Chan Yeol tetap tak menunduk memandangku. Ia justru hanya mengalihkan fokus lensanya ke sekitar kereta sebelum kembali menatap jendela.

Memicingkan mata, kusadari sejak tadi ia juga bahkan tidak mengajakku berbicara. Bukankah jika sedang bersama Sun ia akan tertawa lebar dan berbicara tak berhenti? Apakah maksud dari sikapnya yang seperti menghindar ini?

Aku mengerutkan alis tanpa melepas pandangan darinya. Ulasan senyum manis milik Sun sedikit cacat saat aku menyeringai sinis selama beberapa detik. Jadi begini responmu, Park Chan Yeol? Itu berarti kau –

Kesimpulan yang sedang terbentuk di otakku terputus saat tiba-tiba kurasakan jemari panjang meraih bajuku. Refleks, ototku menegang. Kukepalkan tanganku dan bersiap untuk melayangkan pukulan jika tangan besar itu benar-benar akan menyentuh sesuatu yang tidak boleh ia sentuh seenaknya.

Tanpa sadar aku mengeratkan rahangku terlalu kuat hingga gigiku bergemeletuk. Namun, keteganganku mengendur saat kusadari Park Chan Yeol bukan hendak melakukan hal mesum. Ia justru menarik mantelku dan mengancingkannya hingga tubuhku tertutup.

Aku menatapnya tanpa berkedip. Akhirnya ia mau menunduk dan memandang ke arahku. Merasakan tatapanku, sepasang kristalnya bertemu dengan milikku dan seulas senyumnya terbentuk. “Kau tidak dingin?” tanya suara rendahnya.

Mengalihkan pandangan ke arah lain, aku menjawab ketus. “Ini musim panas, pabbo!” Kudengar ia terkekeh pelan, namun lensaku terlalu sibuk menangkap reaksi kecewa namja-namja di sebelah sana. Desah kecewa karena.... mangsanya telah hilang?

 

.

 

.

 

.

 

“YA! PARK CHAN YEOL!!! KEMARIN-KEMARIN KAU BAWA YEOJACHINGU YANG MANIS SEKARANG KAU BAWA YEOJACHINGU YANG SUPER SEKSI!!!”

Teriakan super berisik itu adalah yang pertama menyambut kami saat tiba di kelas Drainase dan Sewerage. Yang berteriak? Lagi-lagi namja mungil dengan bola mata bulat. Kali ini sepasang lensanya melotot begitu lebar seolah akan terlepas dari rangkanya. Dan tentu saja, sambutan super meriah kemudian mengikuti langkah kami di dalam kelas.

Banyak namja yang meninggalkan kursi mereka dan segera saja aku sudah dikelilingi banyak pasang mata yang bersiul menatapku. Benar, meski tadi di kereta Park Chan Yeol mengancingkan mantelku, aku membukanya kembali sebelum memasuki kelas. Menampilkan style gothic berani yang sangat mencolok.

“Ternyata kau punya tubuh yang bagus, Baek Hyun-ah!” celetuk seseorang. Aku tidak tahu siapa yang mengucapkan itu, dan aku tidak peduli. Tapi ucapannya disetujui secara serempak oleh namja-namja yang terlihat keras berusaha menahan gejolak dirinya itu.

Sementara aku? Menahan diri untuk tidak memukul kepala mereka satu-satu, kutarik bibir tipisku untuk membentuk senyum nakal. “Cocok tidak?” tanyaku dengan suara manja sambil sedikit memutar tubuh dan melekukkan pinggangku.

Seruan “Cocok!!” ber-koor serempak dan aku harus memaksa diriku untuk terkikik malu.

 

“Tidak kusangka kau punya ukuran yang... wow!”

“Seharusnya dari awal saja kau jadi yeoja dan berpenampilan begini, Baek Hyun-ssi!”

“Maukah kau jadi yeojachingu-ku, Baek Hyunnie?”

“Saat istirahat nanti, maukah kau ke kantin denganku?”

“Akhir pekan ini mau pergi nonton tidak, Baek Hyun-ah?”

 

Lewat ekor mataku, kusadari Park Chan Yeol berada di luar lingkaran namja-namja heboh ini. Postur jangkungnya kutangkap menghampiri salah satu kursi dan seolah tak peduli dengan apa yang terjadi padaku.

Sedikit mengerucutkan bibirku dengan tampang sok imut, aku berpura-pura berpikir. “Hmmm... jadi yeojachingu-mu?” tanyaku memastikan. “Tidak mau. Aku maunya dengan Yeollie~” ujarku sambil menerobos kerumunan itu dan menghampiri Chan Yeol yang sudah terduduk di kursinya.

Lengan rampingku kulingkarkan di leher namja tinggi itu sambil aku membungkuk manja dan mendekatkan tubuhku pada punggungnya. “Aku kan, milik Yeollie,” ucapku lagi diiringi cengiran genit. Seruan dan desah kecewa terdengar menghiasi udara pagi itu sementara aku terkikik pelan.

Namun tawaku terputus karena namja dalam lingkaran tanganku ini menyentuh lenganku dan melepaskan kaitannya perlahan. “Jangan berkata begitu, Baek Hyun-ah. Nanti mereka salah paham,” ujarnya dengan cengiran lebarnya.

Sebelum aku sempat mengeluarkan protesan, suara rendahnya kembali terdengar. “Ah, ya. Jam isitirahat nanti aku harus mengerjakan tugas desain untuk mata kuliah Infrastruktur Sanitasi di perpustakaan, jadi tidak bisa ke kantin. Mianhe.”

Aku memajukan bibir tipisku membentuk raut merajuk yang terkadang dilakukan Sun tanpa sadar dan membuatnya jadi terlihat menggemaskan, saat mendengar kalimat Park Chan Yeol. “Kau tidak akan makan?”

“Nanti aku beli roti saja. Deadline tugasnya sebentar lagi,” sahut pemuda itu.

“Hmm... geure yo...” gumamku. Dengan sengaja menunjukkan rasa kecewaku. Dengan terang-terangan juga menampilkan raut merajuk.

“Denganku saja, Baek Hyunnie!”

“Jangan, denganku saja!”

Aku pura-pura terkekeh geli melihat tingkah namja-namja yang sepertinya sudah terhipnotis oleh kecantikan Sun ini. Meski begitu, tentu saja aku tidak buta dan tidak bebal untuk mendeteksi aura panas penuh kilat benci dari yeoja-yeoja di sebelah sana.

Tentu, semua sesuai prediksiku. Kecuali.....

Iris coklatku kembali melirik Chan Yeol yang malah asik mengobrol dengan entah-siapa-namanya padahal aku masih berdiri di dekatnya. Reaksinya aneh....

 

.

 

.

 

.

 

Sesuai dengan yang dikatakannya tadi pagi, Park Chan Yeol langsung pergi begitu saja setelah kelas Aspek Teknis Daur Ulang Limbah selesai. Ia hanya berpamitan singkat padaku dan melesat pergi. Itu sebabnya kini aku berada di kantin bersama namja mungil bermata bulat bernama Kyung Soo dan namja berkulit hitam yang terlihat urakan – namanya Jong In kalau tidak salah.

Aku ingat Sun pernah memberitahuku bahwa dua orang ini adalah teman dekatnya selain Park Chan Yeol. Karena itu aku menyetujui ajakan mereka untuk menghabiskan waktu kosong di sela jam kuliah ini bersama. Tampaknya kemarin Sun sudah memberitahu teman-temannya soal “kutukan keluarga” hasil karanganku itu. Terlihat dari sikap dua orang di hadapanku ini yang tidak memborbardirku dengan berbagai pertanyaan soal sosokku. Kami berbincang ringan soal banyak hal di tengah suapan makan siang yang sedikit terlambat ini.

Menyeruput green tea miilkshake, aku menoleh saat suara berat Jong In kembali terdengar. “Hei, boleh aku tanya sesuatu?” ujarnya dengan raut serius. Aku mengangguk dan menatapnya, memintanya untuk melanjutkan.

Namja bersurai agak gondrong dan kalau kata Sun jago dance itu terlihat sedikit ragu sebelum kembali membuka mulutnya. “Kalau... kalau kau sedang berubah jadi yeoja.... apa... apa kau... seperti yeoja pada umumnya? Maksudku.... bisa hamil dan melahirkan dan sebagainya?” tanyanya.

Aku terdiam mendengar rangkaian kalimatnya. Sejujurnya aku tidak memikirkan sampai sejauh itu. Hei, ayolah, aku tak berpikir untuk terus menjalani kebohongan ini sampai benar-benar menikah dan jadi hamil, kan? Dan aku masih 20 tahun, siapa juga yang mau menikah di usia segini? Jadi, itu masih sangat jauh dan aku belum terpikir sampai sana.

Tapi, karena sudah ditanya, tentu harus kujawab, kan?

“Hemmm.... bisa....,” sahutku sambil memiringkan sedikit kepalaku yang berhias topi merah.

Jong In dan Kyung Soo terlihat kaget mendengar jawabanku.

“L-lalu, kalau sedang hamil kau tiba-tiba berubah lagi jadi namja, bagaimana dengan bayimu?” tanya Kyung Soo dengan raut cemas.

Perlu waktu beberapa saat bagiku untuk mengerutkan alis dan berpikir sebelum bisa menjawab hal itu. “Eomma bilang... kalau hamil... atau menghamili maka proses perubahannya berhenti,” ujarku lambat-lambat, sedikit ragu apakah jawaban ini adalah yang terbaik. Fakta yang jelas-jelas bohong tentu saja. “Tapi Appa bilang kalau sedang hamil hanya tidak berubah lagi jadi namja sampai bayinya lahir. Aku tidak tahu mana yang benar,” lanjutku sambil mengedikkan bahu.

“Jadi... sampai tua pun... tetap berubah?”

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Jong In dengan acuh dan kembali menyuapkan fettucini carbonara-ku.

“Kau harus hati-hati, Baek Hyun-ah,” ujar Kyung Soo tiba-tiba sambil menyentuh tanganku yang bebas di atas meja.

Kutatap namja berwajah polos seperti anak SD itu dengan raut bingung. “Hati-hati kenapa?”

“Kau tidak sadar sejak tadi semua orang menatapmu dengan pandangan seperti singa yang melihat kijang dan siap menerkam??” Kyung Soo menjawabku dengan tatapan tak percaya.

 Aku hanya ber-“ooh” sebagai tanggapan. Itu hal yang sudah sangat kusadari sejak melangkah ke kantin tadi. Hal yang tak perlu dikhawatirkan. Akan kutebas mereka semua dengan katana (pedang samurai). Ah, sayang sekali tidak boleh bawa katana, ya? Akan kupukul ubun-ubun dan kutusuk leher mereka dengan gagang sapu kalau begitu, sejak aku juga tak membawa shinai (pedang bambu untuk beladiri kendo)-ku.

Lewat ekor mataku, kutangkap Jong In menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau itu terlalu mencolok dan ber-feromon kuat, sih. Apalagi dengan penampilanmu hari ini. Pantas saja kalau namja-namja itu jadi buas,” ucapnya sedikit menggumam.

“Kau tidak?” tanyaku dengan seulas senyum menggoda.

Kulihat pemuda berkulit gelap itu sedikit gelagapan mendengar pertanyaanku. “A-aku masih sayang nyawa! Aku tidak mau dibunuh oleh –“

“Oleh siapa?” Aku menaikkan alisku dan mendesaknya untuk melanjutkan kata-katanya yang terpotong begitu saja seolah ia baru teringat sesuatu.

“Ah – ani. Aku tidak mau dibunuh oleh namja-namja buas di sana,” sahut Jong In, terlihat mengelak. “Mereka seperti kawanan singa yang sama-sama menahan diri untuk tidak menyerang satu kijang karena tahu jika menyerang duluan maka harus siap dibantai oleh singa yang lain. Aish, siapa yang sudi jadi seperti itu!”

Hanya gumaman “Hmmm” yang keluar dari mulutku mendapat jawaban dari namja yang langsung fokus menghabiskan makanannya seolah tak ada hal lain yang lebih penting dari nasi yang hampir habis itu. Aku mencium sesuatu. Sesuatu yang disembunyikan oleh Jong In.... Mungkin aku harus mengoreknya nanti.

“Tapi, Yeollie sama sekali tidak tertarik,” ucapku sambil menampilkan pout milik Sun yang biasa ditampilkannya di saat kecewa. Kudapati kedua orang itu saling tatap mendengar ucapanku.

“Chan Yeol memang.... tidak tertarik.... pada hal semacam itu...” ujar Kyung Soo lambat-lambat. Terlihat memilih kata-kata yang dilontarkannya.

Alisku menaik mendengarnya. “Maksudmu, dia tidak tertarik pada yeoja?”

“Ani! Ani! Bukan begitu!” Baik Kyung Soo maupun Jong In sama-sama membantah hal tersebut berbarengan.

“Chan Yeol pernah punya yeojachingu kok. Hanya saja.... kau tahu? Dia tidak pernah tertarik pada..... hal-hal ‘begitu’.” Kali ini Jong In yang bersuara sambil sedikit mencondongkan tubuhnya dan memberi tanda petik dengan kedua jarinya

Perlu beberapa saat bagiku untuk menyerap apa maksud dari namja yang kudengar terkadang dipanggil Kai ini. “Maksudmu.... hal-hal y?” tanyaku sambil memiringkan sedikit kepalaku.

Jong In mengangguk-angguk dengan semangat. “Aku kenal Chan Yeol sejak SD, dan tak pernah sekalipun ia ikut kalau kami... well, kau tahu, lihat majalah berisi yeoja seksi atau... yah... film ber-rating tinggi,” ujarnya dengan wajah agak tersipu.

“Mungkin ia memang namja yang lurus dan polos saja,” ucapku.

“Mungkin sih.... tapi, itu aneh, kan? Maksudku... selurus dan sepolos apapun, yang namanya namja pasti pernah ‘penasaran’. Tapi dia sama sekali tidak!” bantah Jong In.

Aku menatapnya sangsi dan secara halus memintanya menunjukkan bukti kenapa begitu yakin dengan kata-katanya.

“Waktu SMA, aku pernah sengaja meninggalkan majalah begitu di kamarnya waktu berkunjung. Normal kan, kalau orang penasaran dan membuka majalah itu untuk sekedar melihat saja? Tapi waktu seminggu kemudian aku kembali ke rumahnya, sampul majalah itu bahkan belum dibuka dan tertumpuk begitu saja di bawah buku-buku pelajarannya!” Lagi, Jong In bercerita dengan setengah berbisik dan tubuh yang dicondongkan.

Tanpa sadar aku dan Kyung Soo jadi ikut mencondongkan tubuh juga di atas meja sambil mendengarkan penuturannya. Aku memicingkan mataku sambil berpikir. Kalau begitu memang.... aneh, bukan?

“Tapi dia pernah punya yeojachingu dan mereka sangat serasi dan saling mencintai,” ucap Kyung Soo di tengah keheningan pemikiran kami, seolah bisa membaca pikiranku yang belum terlontar.

“Iya sih. Cintanya pada Ye Jin itu bukan main-main,” ungkap Jong In setuju sambil meluruskan kembali punggungnya.

“Ye Jin?” Aku mengangkat sebelah alisku.

“Yeojachingunya – ah ani. Mantan yeojachingu-nya Chan Yeol. Dia tak pernah memberitahumu?” Kyung Soo yang menjawab dan aku hanya menggeleng lambat-lambat. Sedikit ragu, apa benar Sun belum diberitahu soal yeoja bernama Ye Jin ini dari Park Chan Yeol.

“Tentu saja dia tidak akan memberitahu Baek Hyun, kau itu bagaimana sih?!” Irisku menatap bingung ucapan Jong In.

“Kenapa dia tidak akan memberitahuku?” tanyaku sedikit memancing.

Lagi, Kim Jong In terlihat salah tingkah seolah baru tersadar atas kesalahan yang dilakukannya karena keceplosan bicara. “Eh... yaah... karena.. mereka sudah putus dan.... Chan Yeol sangat trauma.... yah, begitulah.” Dan aku hanya kembali ber-“Hmmm” sebagai respon sambil menatap intens namja yang memasang cengiran canggungnya itu.

“Tapi mereka sudah putus, ya?” Aku memastikan sambil menatap Kyung Soo yang mengangguk.

“Waktu kelas 2 SMA, tahu-tahu saja Ye Jin pindah keluar negeri. Padahal belum setahun mereka bersama,” ujarnya dengan raut simpati.

Kalau dia pernah punya yeojachingu, berarti Park Chan Yeol itu bukannya tidak menyukai yeoja. Tapi.... bisa saja, kan...?

“Apa dia pernah punya yeojachingu lagi selain itu?”

Kyung Soo menggeleng sebagai jawaban.

“Apa dia pernah punya namjachingu?”

“Tidak pernah,” sahut Kyung Soo. “Dia hanya pernah sekali pacaran.”

“Cuma Ye Jin,” Jong In melanjutkan sambil menyeruput cappucino-nya.  “Setelah berpisah dengan Ye Jin, Chan Yeol tak pernah dekat dengan siapapun....”

Lagi-lagi aku mendapati dua namja itu saling tatap penuh arti sebelum kembali menatapku. “....selain denganmu, Baek Hyunnie,” ujar Kyung Soo perlahan.

Aku mengangkat alisku. “Maksudmu?”

“Sejak Ye Jin pergi, Chan Yeol jadi... sedikit antisosial,” sahut Kyung Soo dengan pandangan agak menerawang. Seolah teringat lagi pada masa lalu.

“Dia masih sering menampilkan cengiran bodohnya itu, tapi tak pernah dekat dengan siapapun. Bahkan denganku yang sudah mengenalnya sejak SD pun dia menjaga jarak,” Jong In menambahkan dengan nada menggerutu.

“Makanya kami senang sekali waktu dia dekat denganmu, Baek Hyun-ah,” ujar Kyung Soo dengan seulas senyum tulus.

Kalimatnya itu hanya membuatku termenung. Informasi-informasi ini.... begitu pekat. Berseliweran dengan cepat dan memenuhi ruang di sel-sel kelabu otakku. Apa Sun tahu soal ini? Apa Sun tahu soal... Ye Jin dan.... fakta mengenai Park Chan Yeol ini...?

Hermmmm.......

Tanpa sadar, aku mengerutkan alisku dalam.

 

.

 

.

 

.

 

Karena Sun mengambil kelas Manajemen Teknik Lingkungan sementara Chan Yeol tidak, aku jadi tak bertemu namja jangkung itu di jam-jam terakhir kuliah. Tapi, perjalanan pulang dengan kereta nanti akan jadi media yang bagus untuk kembali melancarkan serangan rencanaku ini. Sekaligus aku masih penasaran dengan informasi yang disampaikan Jong In dan Kyung Soo di kantin tadi. Aku tidak tahu namja itu masih di perpustakaan mengerjakan tugas Infrastruktur Sanitasinya atau sudah pulang duluan. Karenanya aku merogoh tas untuk mencari handphone dan berniat menghubunginya sambil berjalan keluar kelas. Handphone Sun, lebih tepatnya. Sejak aku menggantikan posisinya, tentu saja kami harus bertukar handphone, bukan? Untuk meminimalisir kecurigaan.

Sebelum jemariku mencari nomornya pada kontak, kusadari ada banyak pesan yang masuk. Mungkin belasan pesan dengan alamat tak dikenal, dan saat kubuka, isinya semacam surat kaleng. Kata-kata pedas berisi ancaman yang membuat pikiranku langsung terhubung pada tatapan yeoja-yeoja yang melirikku sinis seharian ini.

Karena fokusku terserap penuh pada baris huruf yang tampil di layar, aku sedikit tak memperhatikan langkahku. Tapi, aku yakin masih ada sekitar satu langkah lagi sebelum pinggiran tangga. Aku sudah memprediksikan jarak langkahku dan aku yakin aku bisa menuruni tangga dengan hati-hati dengan menggunakan instingku. Akan tetapi, sebelum ujung sepatuku menyentuh mulut tangga, kakiku tersandung sesuatu sehingga membuat keseimbanganku hilang dan langkahku yang berikutnya menapak udara.

Kehilangan pegangan pada handphone di jemariku, sepasang kristalku memantulkan undakan tangga yang berjumlah belasan menyambutku. Refleks menyambut rasa sakit yang akan segera datang, aku memejamkan mataku dan mengeratkan gigi.

Tuhan, lindungilah Sun....

 

Brakk!! Sruuukkk.....

Ototku menegang menunggu tumbukan yang pasti sangat menyakitkan dan diperkirakan akan membuat tulangku patah mendengar keributan yang ditimbulkan barang-barangku di bawah tangga sana. Akan tetapi, yang dirasakan syaraf sensorikku bukanlah hantaman menyakitkan, melainkan benturan yang tak terlalu keras. Samar-samar kulitku mendeteksi rasa hangat dan bukannya dingin yang seharusnya mencapaiku karena keberadaan ubin. Perlahan aku membuka kelopak mataku dan seraut sosok menatapku khawatir.

Menatap sepasang kristal indahnya yang dihiasi alis lebat dan tajam membuat benakku teringat pembicaraan dengan Sun kemarin malam.

 

.

 

“Kris itu siapa?”

“Kau bertemu Kris-Hyung?”

“Aku bertemu Luhan-ssi. Katanya, Kris, temannya itu... seniormu.”

“Iya, Kris-Hyung itu Presiden Kemahasiswaan di KAIST. Dulu di klub musik juga seperti Chan Yeol. Luhan-Hyung itu teman satu band-nya, dia fotografer profesional tapi sering tampil di Myeongdeong. Wah, sudah lama aku ingin lihat Luhan-Hyung tampil.”

“Kris itu... seperti apa?”

“Hemmm.... Rambutnya pirang agak gondrong, matanya tajam, alisnya lebat. Sangat tampan. Pernah jadi mahasiswa berprestasi, jago main basket, dan dari keluarga elit. Kau pasti akan langsung mengenalinya kalau bertemu. Auranya khas.”

 

.

 

“Gwenchana?” Suara rendah itu menerobos pikiranku yang melayang dan mengembalikan fokus lensaku untuk kembali memantulkan paras di hadapanku. Rahang yang kuat, tulang pipi tinggi, hidung lurus, mata tajam dan alis lebat dengan surai pirang yang jatuh dengan halus. Bahkan lewat kontak kulit yang terjadi, bisa kurasakan otot yang terbentuk baik lah yang ada di lengan dan dada namja yang menopang tubuhku ini.

“.....Kris...hyung?” tanyaku memastikan.

 “Tuhan, untung saja aku sempat menangkapmu. Mengerikan sekali melihatmu tiba-tiba melayang dari atas tadi, Baek Hyun-ah,” sahutnya dengan kerutan cemas. Bisa kurasakan jemari kuatnya mendekap tubuh kecilku kokoh. Samar aku merasakan detakan kencang lewat ujung jariku, juga...sedikit getaran?

Sepasang kristalku menatap lekat wajah yang terpahat sempurna itu. Sepertinya... yang dikatakan Luhan-ssi benar...

“A-ah, nde. Gomawo, Hyung,” ucapku perlahan.

Seulas senyum lembut terukir indah di rahang tajam itu. “Rupanya kabar itu benar, ya? Kalau seperti ini, bukankah kau seharusnya memanggilku “Oppa”, Baek Hyun-ah?” sahutnya dengan sinar jahil di bening kembarnya.

Aku melarikan lensaku ke arah lain dan bersikap malu – dengan sengaja tentu saja. “Ah, soal ini? Ne.. Kris...Oppa.... Untung saja Oppa menolongku....,” ujarku dengan suara lembut perlahan. Jemari kecilku mencengkeram perlahan kemeja Kris seolah aku takut ia melepasku, padahal aku sedang menyalurkan rasa muak yang lagi-lagi menghantam diriku atas tingkahku sendiri.

Lewat ekor mataku, kulirik paras namja tinggi di hadapanku ini. Lengan kuatnya masih melingkari pinggangku dan sedikit mengangkat tubuhku dari pijakan tanah. Aku menangkap Kris terlihat canggung dan.... benar kan, itu semburat merah di pipi tirusnya?

Dalam hati aku menyeringai. Benar, seperti ini kan, seharusnya respon yang wajar? Pasti akan tersipu jika kau melihat orang yang kau sukai dalam balutan pakaian seperti ini, tapi namja yang baik akan berusaha mengendalikan diri. Tapi, tatapan penasaran dan gugup itu sewajarnya ada, bukan? Tidak seperti tatapan Park Chan Yeol yang tenang tanpa kesan sedikitpun –

Aish! Kenapa aku jadi terpikir namja itu?? Ah! Tapi fokus pengamatanku kan memang Park Chan Yeol, jadi wajar kalau aku –

“Baekkie-ah!”

Segala pemikiranku terputus begitu saja saat suara dalam yang belakangan ini jadi begitu familiar di telingaku terdengar dari arah lorong bawah. Aku dan Kris menoleh ke sumber suara dan mendapati sosok jangkung Park Chan Yeol menatap kami dengan alis bertaut.

“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya – yang entah kenapa terdengar menusuk.

Sebelum salah satu dari kami sempat merespon, jemarinya sudah melingkari pergelangan tanganku dan menarikku dari dekapan Kris. “Ayo pulang! Nanti ketinggalan kereta,” ujarnya.

“Ah! Barang-barangku,” seruku sebelum Park Chan Yeol menarikku semakin jauh dari sana. Dengan cepat, namja tinggi itu mengambil barangku yang tercecer dan membungkuk ke arah Kris.

“Kami duluan, Hyung,” ucapnya lalu kembali menyeretku dengan langkah lebar. Aku sempat melirik ke arah Presiden Kemahasiswaan itu dan mendapati paras tampannya menatap kepergian kami dengan sorot tajam. Sebelum irisnya melihatku dan senyum lembutnya kembali mampir. Aku menundukkan kepalaku sedikit sebagai sopan santun dan mengikuti langkah cepat Park Chan Yeol yang sulit kuikuti.

“Yeollie, appo,” ujarku perlahan karena merasakan genggaman tangannya yang begitu kuat membelit lenganku.

“Ah, mian.” Dengan segera lingkaran jemari itu terlepas dan namja bersurai berantakan ini melihat handphone-ku yang rusak dengan raut heran. “Kenapa bisa sampai seperti ini? Kau jatuh?” tanyanya.

“Nde. Kalau tidak ada Kris-Oppa pasti nama Byun Baek Hyun akan terdaftar di rumah sakit saat ini,” sahutku dengan memberi penakanan pada kata “Oppa”.

“Kau itu ceroboh sekali sih?! Kemarin berdarah gara-gara guci, sekarang jatuh dari tangga,” gerutunya sambil menyentil pelan keningku. Aku mengusap-usap bekas sentuhannya yang sebenarnya tidak sakit dan menampilkan pout khas milik Sun.

“Memangnya keinginanku untuk jatuh? Fhuh...” gerutuku sambil mengambil alih tasku dari pegangan Chan Yeol. Meski begitu, pikiranku kembali melayang pada kejadian barusan. Tadi itu, aku sungguh yakin aku tidak akan jatuh karena belum mencapai bibir tangga. Tapi ada sesuatu yang membelitku.... membelit... Ya, aku tersandung sesuatu yang menyerupai belitan, yang membuatku terjungkir......

Masalah ini sepertinya akan jadi lebih berat dari perkiraanku.

 

.

 

.

 

.

 

“Hatsyii!!!”

Sun kembali melotot ke arahku dari buku di hadapannya. “Lihat, kan! Sudah kubilang ini tidak baik untukmu, Moon-ah! Kau jadi sakit begini! Kenapa harus pakai baju tipis dan terbuka begitu sih?” omelnya sambil menyodori tisu.

Aku mengibaskan tanganku. “Cuma pilek saja. Kau terlalu membesar-besarkan Sun-chagi,” tukasku sambil kembali menahan gelombang geli yang menuntutku untuk bersin lagi.

 “Pokoknya besok kau harus istirahat di rumah. Minum obat, makan yang banyak. Jangan ke mana-mana, arra?”

“Nde, Oppa...” sahutku dengan nada sedikit mengoloknya.

Belahan diriku itu sempat menampilkan kilatan kesalnya sebelum kembali mempelajari catatan kuliah yang kubuat untuknya hari itu. Sementara aku menyandarkan kepalaku di pinggir kasur Sun. Tidak bisa bohong, memang kepalaku sedikit pusing. Karena berniat kembali melancarakan serangan pada Park Chan Yeol, aku sengaja tidak memakai mantelku saat pulang dan malah kutaruh di tas. Dan akibatnya, ya sekarang ini. Udara malam langsung memberi efek pada tubuhku.

“Ngomong-ngomong tadi aku bertemu Kris-Oppa,” ujarku di tengah keheningan ruangan yang selama beberapa menit hanya berisi bunyi gesekan pulpen Sun.

Namja berparas serupa denganku itu mengangkat wajahnya dan mengulas senyum. “Dia tampan, kan?” tanyanya dengan kilat aneh di sepasang irisnya.

“Hmmm... tipe prince charming ya... Sempurna sekali. Seperti tokoh yang ada di dalam dogeng,” sahutku sambil kembali teringat perlakuannya. Bahkan kejadian pertemuan kami tadi saja seperti dalam cerita saja. Haish! Tidak kusangka aku akan mengalami hal bodoh seperti yang sering terjadi dalam drama-drama itu. “Kau tidak tertarik pada orang bernama Kris ini?”

Sun mengangkat alisnya dengan tatapan heran sebelum terkekeh. “Kau ini bicara apa? Di hatiku kan cuma ada Chan Yeol....”

“Makanya kau itu aneh. Malah memilih Park Chan Yeol padahal ada Kris....” ‘Yang juga menyukaimu’. Aku hanya melanjutkan kalimat itu dalam hati.

Namun Sun menatapku dengan sebuah cengiran mencurigakan. “Apa?” sentakku. Sedikit terganggu dengan ekspresi yang dipasang di raut manisnya.

“Ah, ani~” Ia hanya menyahut demikian sebelum terkekeh perlahan ke arah catatan Unit Operasi-nya.

Karena sakit kepala yang mulai menyerang, aku pun tak mempedulikannya dan hanya membiarkan pikiranku beristirahat. Hari ini.... melelahkan sekali. Terutama untuk mentalku. Aku sedikit merinding jika mengingat bagaimana sikapku seharian ini. Mengerikan!

 

.

 

.

 

.

 

Esoknya, sesuai perintah Sun, aku diam di rumah dan hanya berbaring di tempat tidur. Flu-ku semakin parah sehingga aku tidak bisa ke mana-mana bahkan harus mengenakan jaket di dalam rumah. Juga menggunakan masker agar Sun tidak tertular.

Tidak punya tenaga untuk mengambil nasi di dapur, aku hanya sanggup menyeret kakiku mengambil stok roti dari tas. Sepanjang hari aku hanya mengamati Sun dari i-pad-ku. Dan sesuai dugaan, sikap Park Chan Yeol kembali seperti biasa. Oh, bukannya kemarin dia tidak biasa – hemmm... sedikit aneh sih – tapi namja jangkung itu kembali tertawa lebar bersama Sun. Fakta ini entah kenapa membuat mood-ku jelek. Rupanya, memang hanya Sun yang bisa....membuat Chan Yeol tertawa?

“Kami senang sekali waktu dia dekat denganmu, Baek Hyun-ah”

Aku mendesah teringat perkataan Jong In dan Kyung Soo kemarin. Entah karena efek obat atau efek flu atau mungkin keduanya, aku tak bisa menahan kepalaku yang berat dan menggusur kesadaranku ke alam mimpi dengan i-pad yang masih menyala.

 

.

 

.

 

.

 

Aku tersentak dari tidurku saat mendengar suara Sun. Kupikir ia sudah pulang, namun kamar Sun masih kosong dan gelap seiring kusadari matahari sudah terbenam di luar jendela sana. Mengerutkan alis, aku yakin mendengar suara separuh diriku itu berteriak panik. Merasakan firasat buruk, gelombang takut sontak menyerangku, membuat jantungku berdegup begitu cepat. Menyalakan i-pad, pemandangan yang tertangkap oleh lensa kamera di kalung Sun adalah sosok-sosok gelap yang berusaha mendekat padanya.

“Apa yang kau lakukan!? Lepaskan!! Aku ini namja tahu!!!”

Seruan Sun yang sedikit gemetar membuat irisku melebar dan kukuku memutih karena mencengkeram benda elektronik itu terlalu kuat. Sebuah pikiran negatif menghantam otakku. Apalagi saat indera pendengarku menangkap tawa rendah penuh ejekan.

“Kalau begitu, ayo perlihatkan tubuhmu yang seksi seperti kemarin itu. Aku sudah menahan diri sejak kemarin.”

“Tidak perlu malu, Baek Hyun-ah. Sudah tidak ada orang di kampus. Tidak akan ada yang mengganggu kita”

“Hentikan!!! Ya!! Apa yang kau sentuh??! Lepaskan!!!”

Tawa menjijikkan namja-namja brengsek entah siapa itu adalah hal terakhir yang terdengar olehku sebelum aku berlari keluar rumah. Melesat begitu saja setelah menyambar uang secukupnya. Jantungku berdebar begitu kencang dan tubuhku gemetar. Ujung jemariku dingin. Resah dan cemas mencakar hatiku sepanjang perjalanan.

Tuhan, lindungilah Sun.....

 

.

 

.

 

Aku takkan memaafkan diriku sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi padanya....

 

.

 

.

 

.

 

A/N: Akhirnyaaaaaa fase ini kelar jugaaaa fhuaaaahhh susah banget bikin fase ini entah kenapa =__=”

Dan akhirnya jadi kepanjangan banget yak xp Trus chapter ini abal banget *sigh* ga tau ah *mojok sama chanyeol*

Yah sudahlah.....

Kuharap readers-nim tidak jadi membenci Bo Eun yaa... :”|

komen masih dinanti supaya author aneh ini semangat bikin fase selanjutnya xp

 

Regards,

Allotropy

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
zahranyzahra #1
Authoorrr-nim
daebak banget...
Tapi kenapa udah hampir 2 tahun ga update2..
sayang lho.. ff daebak kaya gini kalo discontinued :(
Masih banyak pertanyaan di otak aku bakal kaya apa chanbaek di ff ini...
Terus berkarya thor! Karena aku baca beberapa ff author yang lain dan emang author emang bakat banget jadi penulis!
suka sama gaya bahasa author sama teka teki di setiap ff karya author yang bikin cerita itu susah buat ketebak gimana endingnya..
Saking demennya ama ff ini aku sampe begadang sampe jam 3 pagi buat nyelesein ff ini karena aku orangnya kalo nemu ff bagus, pasti bikin nagih terus bakal sampe gatau waktu bacanya kalo belum selesai..
Eheheh
keep writing thor!
aikokataika #2
Chapter 2: Bo Eun? Nama yang cocok kalo Baek Hyun bener-bener jadi perempuan ><

Aduh, Park Chanyeol itu sebenernya mahluk apaan, sih?! Kok polos amat. Jadi pengen makan orangnya /apalah/ /digebukin/
aikokataika #3
Chapter 1: Ah, keren!
Sebelumnya aku udah bosen gara-gara daritadi cuma tulisan surat-suratnya 'si saudara kembar' :D
Tapi pas lanjut baca, langsung yakin fic ini bakal keren banget!!! ><
baekhyunlove599 #4
Chapter 8: Y ampun thor,frustasi aku jdinya. Emosiku bnr2 d uji,mulanya ku sebal sw si boo eun tp ke blkg ny ku mlh sebel sm kris,dan chanyeol jg. Aku cm berharap boo eun bs membantu baekhyun mengatasi masalahnya stdkny jd lah ibu peri untuk baek. Daebak thor bkn emosiku naik turun bc ny
AikoByun #5
Author, ini fanfic nya masi lanjut kan? Semoga iya. Updatenya cepetan ya thor. Uda penasaran banget ni.
Nisa_Park
#6
Chapter 8: apa ff ini masih lanjut author? Padahal ini ceritanya seru loh,, :( aku readers baru soalnya..
ChanBaekpants
#7
Chapter 8: Wahhh udah 2 bulan thor gak update O.O
Lanjut dong thor, aku penasaran tingkat dewa nih, demi cinta chanbaek padaku lanjutin ya thor T.T
Anddddd aku penasaran gimana ChanBaek ntar....
Trus kayaknya Kris suka deh sama Luhan wkwkwkwk
Lanjut ya thor :)
kkamJUN #8
Chapter 8: hueeeeee..lanjut thor lanjut !!
Penasaran !
TT
kkamJUN #9
Chapter 7: /pingsan kejang/
aaaaaaakk..author-nim !? Jinjjaaa !!
Asdfghjklzmxnvnblpoq !!
Sumpah yaah shock setangah mampus..gilak bener..kris !!
Argghh..
kkamJUN #10
Chapter 6: /pingsan/
aaaaaa..demi apa ini part yg menegangkan !!
><
aduuh yixing km tu ala2 pujangga cinta gitu yak.. XD
/bletak/
keren thor..lanjut !!
:D