[2] In a Pickle

The Dead Lake [Who Are You]

“Jadi anda berasal dari US, Dok?”

“Aku tinggal disana sejak umurku sembilan tahun, dan baru kembali dua bulan lalu.”

Sungguh? Aku dilahirkan di sana dan pergi ke sini saat aku berumur sepuluh tahun, tampaknya kau tinggal lebih lama.” Orang di hadapannya memandang Sunggyu dengan berbinar, seolah baru bertemu dengan teman dari kampung halamannya. “So, dimana anda kuliah? Harvard? Columbia?”

Columbia. Aku menyelesaikan degree Psikologiku tahun lalu.”

“Cool! Ayah mertuaku juga mempelajari psikologi! Aku sempat belajar psikologi selama satu tahun, aku harus keluar karena aku memperoleh satu nilai D” Orang itu bersungut, lalu kemudian tertawa sambil menambahkan. “Dan sisanya E.”

Sunggyu ikut tertawa, mengamati foto klien dari map yang ada di hadapannya. Seorang gadis keturunan Korea-Amerika dengan kulit putih susu. Rambut bergelombang coklat ke emasannya dibiarkan terurai dibawah dada dengan poni yang menutupi dahi sampai kebagian matanya yang melengkung saat tersenyum. Sunggyu kemudian mengamati data gadis itu; Tiffany Hwang, 24 Tahun. Oh. Mereka seumuran?

 “By the way, kenapa anda memanggilku kemari, Dok? Aku rasa jelas bukan karena ingin berbicara dengan teman satu daerah, kan?” Tiffany berhenti tertawa, wajahnya berubah serius.

“Tentu tidak. Kejadian tiga bulan lalu di penginapan Jinhyang. Bisa ceritakan padaku tentang itu?”

“Oh.” Tiffany mengangguk perlahan. “Tentu saja.”

“Aku pergi ke sana dengan suamiku. Kami baru menikah satu minggu sebelumnya tapi aku sudah mengenalnya selama hampir dua puluh tahun, orang tua kami adalah rekan kerja. You could say, we’re childhood friend turned lover?” Tiffany tersenyum,

“Berhubung aku tinggal di Korea, dan suamiku sekarang bekerja di sini, kami memutuskan untuk bulan-madu di negara ini saja, untuk menghemat waktu dan biaya. Jeju dan Busan terdengar begitu mainstream, jadi begitu suamiku mengusulkan untuk pergi ke daerah sepi di Jinju, aku langsung setuju. Kami akan mendaki gunung keesokan harinya, jadi malam itu kami menyewa sebuah kamar di penginapan dekat danau Jinhyang. Kami orang pertama yang bertamu hari itu. Hanya ada di penjaga muda di penginapan sebelum kami datang.”

“Selain kejadian memalukan kebocoran kamar –yang ternyata adalah air AC, tidak ada kejadian yang begitu berarti di malam pertama kami menginap. Ke esokan harinya aku bangun pukul tujuh pagi, aku merasa sedikit lapar dan suamiku masih tidur jadi aku memutuskan untuk turun sendirian ke kafetaria penginapan.”

“Tuan Jang?” Tiffany mengetuk pintu kamar Dongwoo di sebelah meja resepsionis yang kosong.

“Jang Dongwoo?”

“Dia pergi.” Tiffany menoleh ke asal suara, seorang pria muda bertubuh tinggi dengan segelas kopi hitam di tangannya melambai dari arah dapur.

“Pergi?”

“Ya, mungkin olahraga pagi? Aku bangun pukul enam lebih tiga puluh dan dia sudah tidak ada di sana. Mau kopi? Aku Lee Sungyeol, by the way.” Sungyeol mengangkat kopinya pada Tiffany yang berjalan ke dapur.

“Aku Tiffany Hwang dari kamar nomor dua. Kau datang tadi malam?”

“Oh anda pasti pasangan turis muda itu? Aku tiba sekitar pukul 12 tadi malam. Bersama empat orang, sebenarnya. Satu orang sedang kembali tidur setelah mandi pagi pada pukul enam pagi –oh, jangan tanya aku kenapa dia seperti itu, ada banyak alasan kenapa dia diberi gelar putri tidur. Satu lagi sedang sibuk berolahraga di beranda depan sana.” Sungyeol menunjuk ke arah jendela di mana seorang gadis berdarah campuran dengan rambut pirang panjang yang di ikat sedang melompat tali. “Dan satu lagi, sedang membuat sarapan.”

“Hai, aku Jinri!” Jinri mematikan microwave, meletakan piring berisi beberapa potong roti hangat ke atas meja. “Aku menemukan banyak makanan beku di kulkas Dongwoo, kita bisa membayarnya nanti kan?”

“Tentu saja, Myungsoo akan membayar semuanya.” Sungyeol mengambil dua potong roti dan memberikannya pada Tiffany.

“Berhenti mengandalkan Myungsoo. Aku tau kau juga punya banyak uang.”

“Tapi kan Myungsoo bosnya –ah!” Sungyeol mengeluh, melotot pada gadis berambut hitam yang baru masuk dan langsung memukul kepalanya, gadis itu meletakan dua botol minuman dingin di hadapan Sungyeol dan Tiffany.

“Untukku?”

“Minum saja, aku menemukan ini di kulkas resepsionis. Dan sarapan pagi ini, kamu yang bayar.” Si rambut hitam mengambil sepotong roti dan berjalan naik ke atas. “Aku akan bangunkan Myungsoo!”

“Lalu gadis dengan rambut pirang –yang belakangan aku tau namanya Jung Soojung itu naik ke atas meninggalkan aku dan dua remaja lain di dapur. Mungkin setengah jam kemudian dua orang pria turun, satu pria bertubuh tinggi yang jalannya sedikit terseok, kalau tidak salah bernama Seunghoon, dan satu lagi seorang yang lebih pendek dengan mantel berwarna coklat, Jinwo. Aku tidak bicara banyak pada dua orang itu karena saat mereka turun, aku kembali naik ke atas dan lanjut tidur.”

You sure love to sleep a lot, huh?”

Not really, tapi ku rasa aku terlalu kelelahan saat itu.” Tiffany menguap, “Boleh aku tidur?”

Sunggyu terdiam sebentar, kemudian tersenyum. “Tentu saja.”

 

*****

 

“Dokter Kim aku tidak berada disini karena anda mencurigai aku sudah gila atau semacamnya, kan? Aku sungguh tidak menabrak Tuan Lee, well, tidak sengaja. Dan aku sudah memiliki surat izin mengendarai kendaraan roda empat, dan tentu saja aku juga tidak gila.”

“Tunggu, apa?”

“Bukankah karena itu Dokter memintaku datang kemari? Anda seorang psikiater, bukan? Kalau bukan karena masalah tabrakan itu, maka... uh, astaga. Mayat? Mayat itu? Atau justru ada masalah lain? Apa aku benar-benar sudah gila? Atau, astaga. Yerim bilang aku bisa menjadi benar-benar gila dan apa aku memang gila?”

“Tenang dulu, Tuan Kim.” Sunggyu menggeleng, memberikan segelas air hangat dan pil penenang kepada Jinwoo yang sedang bergetar hebat.

Kekhawatiran berlebihan. Severe anxiety.

“Maafkan aku, Dok.” Jinwoo berkata setelah berhasil mengatur nafasnya, “Aku punya sedikit masalah dengan emosiku, dan kejadian buruk yang terjadi beberapa bulan lalu membuat segalanya semakin menjadi-jadi. Yerim mungkin benar tentang aku yang akhirnya akan menjadi benar-benar gila.”

“Apa anda sendiri merasa anda benar-benar gila?”

“Tidak juga. Maksudku, tabrakan itu benar-benar murni kecelakaan. Aku sedang mengemudi di daerah Jinju dan tiba-tiba saja Lee Seunghoon menyebrang dan yeah. Aku bisa jamin itu seratus persen kecelakaan. Lagipula aku tidak mungkin mencari masalah sekarang, di saat aku sudah hampir mendapatkan perusahaan Ayah dan lainnya.”

“Perusahaan?”

“Ya, Ayahku memiliki sebuah perusahaan perhotelan besar.”

“Sungguh? Ayahku juga memiliki sebuah peru–“ sahaan perhotelan. Sunggyu terdiam. Sungguh? Kenapa aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya?

“Dokter Kim?”

“Oh, maaf. Mari kita lanjutkan.” Sunggyu menggeleng, hal itu bisa dipikirkan nanti. “Aku tidak meragukan tentang kejadian tabrakan itu. Tapi apa yang anda maksud dengan mayat?”

“Itu. Uh. Pagi itu aku baru keluar dari kamar sehabis mandi pagi dan bertemu dengan Lee Seunghoon yang kebetulan juga keluar dari kamarnya. Aku membantunya turun tangga dan mengajaknya bicara, tapi dia tidak menghiraukanku sama sekali.”

“Oh, bajunya tampak pas!” Sungyeol yang ada di dapur berteriak, berjalan mendekati Jinwoo dan membantunya untuk memapah Seunghoon –terasa jauh lebih ringan.

“Ya, kau dan Myungsoo benar-benar membantu.” Jinwoo mengangguk. Kalau bukan karena Myungsoo mungkin orang yang ditabraknya ini sudah mati kehabisan darah sekarang dan dia akan masuk penjara karena tuduhan pembunuhan.

“Kalian sudah saling kenal?” Jinri yang duduk di dapur bertanya heran.

“Ya, tadi pagi sekali Myungsoo memintaku menyerahkan sebuah pakaian untuk tetangga kita ini, lalu dia mandi dan yeah, tidur lagi setelah menyerahkan pakaian kami pada mereka.” Sungyeol menjelaskan, membantu Seunghoon duduk di kursi makan lalu mengamati pria yang memakai pakaiannya itu. “Kau terlihat familiar.”

“Orang bilang aku punya wajah pasaran.” Seunghoon mengangkat bahu, tidak menghiraukan tatapan tertarik Sungyeol.

“Oh. Begitukah?”

“Ya. Dimana pengelola penginapan ini?”

“Mungkin pergi. Aku turun tidak lama setelah Myungsoo meminta pakaianku dan dia sudah tidak ada di meja resepsionis, aku mengetuk pintu kamar dan tidak ada balasan.” Sungyeol membuka lemari pendingin, memasukan dua potong roti beku ke dalam microwave. “Ada perlu apa?”

“Aku harus mengganti perban ini.” Seunghoon memperlihatkan perban di kakinya yang berwarna merah kekuningan.

“Kau bisa melakukannya? Kita harus meminta bantuan Kim lagi.”

“Myungsoo?”

“Ya, dia yang membalut luka Seunghoon tadi malam.”

“Kalau begitu biar aku yang bangunkan Myungsoo, Tuan Kim bisa mengambil kotak obatnya di kamar Tuan Jang.” Jinri berkata pada Jinwoo, bangun dan berlari ke lantai atas sebelum yang lain sempat berkata apapun.

“Kalau begitu aku akan ambil kotaknya.” Jinwoo berjalan menunju kamar Dongwoo, mengetuk dua kali sebelum akhirnya membuka kamar yang untungnya tidak di kunci tersebut. Walau dia sendiri tidak yakin apa kata ‘untung’ benar-benar bisa menggambarkan keberadaannya sekarang. “AH!”

“Mayat! Mayat Jang Dongwoo. Aku melihatnya, ada di atas tempat tidur dengan, astaga, dengan kepala terbelah dua! Anda bisa bayangkan itu? Bagaimana bagian yang terbelah itu terus meneteskan darah, lalu tulang dan tenggorokannya yang terputus begitu saja. Aku bersumpah aku tidak akan pernah bisa menghilangkan kejadian itu dari kepalaku.” Jinwoo menggeleng kencang, menggigit bibirnya untuk menahan tangis.

“Apa?”

“Jang Dongwoo sudah mati!” Jinwoo memekik, lalu terjatuh dan tidak sadarkan diri.

Sunggyu terdiam di tempat duduknya, memandang lurus ke arah Jinwoo yang tidak sadarkan diri di hadapannya. Mungkin baru lima menit kemudian, saat pintu di buka dan Detektif Jung masuk ke dalam ruangan baru Sunggyu melepaskan pandangannya dari orang itu.

“Jang Dongwoo yang pertama.

“Iya, iya. Aku –kami semua mendengarnya. Dan itu benar, sesuai dengan dugaan polisi. Ada yang membelah kepalanya.” Scott menatap nanar pada orang di hadapan Sunggyu. “Kamu bisa panggil Dongwoo?”

“Tidak, Jang Dongwoo sudah mati, Hyung.

 

*****

 

“Lee Seunghoon, huh?” Sunggyu mengamati foto Seunghoon dari data pribadi yang ada di hadapannya, entah kenapa wajah Seunghoon terlihat tidak begitu asing. “Lahir dua puluh tiga tahun lalu di Jeon– oh, anda dari Jeonju?”

Seunghoon mengangguk, dari ekspresinya terlihat sama sekali tidak berminat untuk berada di sana.

“Aku juga berasal dari Jeonju, mungkin karena itu anda terlihat familiar. Apa kita pernah bertemu?”

Seunghoon mengangkat bahu, memusatkan perhatiannya pada tempat pulpen di hadapan Sunggyu –apa dia memang setidak sopan ini?

“Oke, anda terlihat seperti orang yang tidak menyukai basa-basi. Kalau begitu langsung saja. Masih ingat kejadian tiga bulan lalu di Danau Jinhyang?”

“Siapa yang bisa melupakannya?”

“Apa yang sedang anda lakukan malam itu, saat Kim Jinwoo tidak sengaja menabrak anda?”

“Tidak ada, hanya berjalan-jalan, tidak bisa tidur. Aku orang baru di daerah itu, baru satu minggu sejak aku pergi dari Jeonju. Tidak ada teman disana yang bisa menemaniku jadi aku berjalan sendiri, dan bam! si bodoh yang tampaknya memperoleh izin mengemudi dengan uang ayahnya itu menabrakku.”

“Lalu kemudian anda pingsan, kenapa saat terbangun anda tidak mengarahkan Tuan Kim untuk pergi ke rumah sakit terdekat?”

“Aku sudah bilang, aku orang baru disana. Dan dia membawaku ke tempat yang aku tidak tau sama sekali. Aku seharusnya tetap tinggal di Jeonju, mungkin aku tidak harus mengalami kejadian itu.”

“Kematian Jang Dongwoo?”

“Ya, itu juga. Saat itu aku sedang sarapan di kafetaria bersama dengan beberapa orang lain yang, uh– entah siapa namanya. Perban dikakiku sudah menampung terlalu banyak darah, jadi si bodoh Kim menawarkan untuk mengantinya –sebenarnya Myungsoo yang akan melakukannya, dia hanya menawarkan untuk mengambil obat. Saat dia masuk ke kamar Jang untuk mengambil obat, ...saat itulah kami melihat Jang, maksudku, mayat Jang.”

“Apa yang kalian lakukan?”

“Si bodoh itu dan pria tinggi yang meminjamkanku pakaiannya langsung histeris dan memutuskan untuk melihat keadaan jalan dengan mobil, agar bisa memanggil polisi, tapi beberapa saat kemudian mereka langsung kembali. Salju masih menutupi jalanan.”

“Lalu?”

“Kami kemudian mengumpulkan semua orang di lantai bawah...”

“Ini... ini mengerikan...” Tiffany memeluk tubuh suaminya sambil menangis.

“Iya, ini mengerikan, kita harus pulang sekarang. Lalu memberitahu semuanya pada Ayah, lalu –Oh! Aku harus mendapat pengobatan psikologis, iya, aku tidak boleh menjadi gila!” Yeri memekik, duduk di sofa dengan tubuh bergetar, sementara Jinwoo yang duduk di sebelahnya hanya mendengus pelan.

“Kita tidak bisa pulang. Salju masih menutupi jalanan.”

“Sialan. Lalu polisi? Apa tidak ada dari kalian orang dewasa yang menelpon polisi?”

“Kamu pikir kami sebodoh itu? Aku sudah mencoba berkali-kali tapi tidak ada sinyal.” Sungyeol memperlihatkan telepon genggamnya dengan kesal.

“Lalu bagaimana? Pembunuh itu mungkin belum jauh, mungkin dia, mungkin dia berminat memiliki  villa ini dan akan membunuh kita semua!” Yeri merengek sambil menghentakkan kakinya.

“Tunggu, aku dan Jinwoo sudah mencoba keluar tadi.” Sungyeol berkata seperti baru menyadari sesuatu.

“Lalu?” Myungsoo yang tampaknya masih setengah mengantuk, setengah kaget, bertanya.

“Kami hanya bisa pergi sejauh dua kilometer. Tidak ada jalan masuk ke tempat ini, maupun keluar. Seluruh villa tertutup salju tebal dan danau di belakang sebagian airnya telah mengkristal, tidak dapat dilalui dengan perahu. Dan keadaan diluar begitu dingin tidak mungkin untuk bisa bertahan begitu lama.”

“Jadi maksudmu...”

“Pembunuhnya ada di tempat ini.” Soojung menjawab, menatap semua orang yang ada di ruang tengah satu persatu-satu.

“Pembunuhnya ada di tempat itu. Menurutmu siapa dia, Tuan Lee?”

“Aku tidak tau, memang benar pembunuhnya pasti ada di villa karena itu satu-satunya tempat bernaung terdekat dan dia sudah pasti mati jika berada diluar selama begitu lama. Tapi mungkin saja dia bukan salah satu dari kami, melainkan orang lain yang entah bersembunyi dibagian lain dari villa.”

“Jadi menurutmu tidak ada yang mencurigakan dari tamu villa?”

“Entahlah. Aku hanya tidak ingin menuduh siapapun. Pasangan turis itu tampak begitu kebingungan, Si bodoh Kim dan Adiknya terlalu manja dan penakut untuk membunuh seseorang, aku tidak yakin dengan kawanan mahasiswa itu, tapi apa untungnya bagi mereka untuk membunuh Jang?” Seunghoon menjelaskan. “Sudah puas, Dok? Aku boleh pergi?”

“Ya, tentu saja.” Sunggyu mengangguk, membuka profil dan riwayat sekolah Lee Seunghoon. Dia tampak pintar. Dari mana seko– Sekolah Dasar Jeonju 14. Sunggyu menatap Seunghoon heran, itu tempat dia bersekolah dulu...

“Lee Seunghoon.”

“Huh?”

“Kau benar-benar tidak mengenalku?”

Seunghoon mendecak, “Apa anda mengenalku, Dok?”

Sunggyu menatap wajah Seunghoon. Memang sedikit familiar, tapi Seunghoon memiliki tipe wajah kebanyakan pria Korea jadi...

“Tidak.”

“Nah. Itu juga jawabanku.”

 

*****

 

“Kau tau siapa Henry Lau?”

“Henry?” Detektif Jung mengangkat alisnya, terlihat berpikir sejenak sebelum menggeleng; “Tidak. Kenapa?”

“Jang Dongwoo memberikanku kertas ini sebelum dia pergi.” Sunggyu memberikan selembar kertas kecil pada Detektif Jung. “Dia bilang aku mirip dengan pria ini.”

“Dia juga bilang adikmu mirip seorang aktor. Walau aku setuju dengannya.” Detektif Jung mengeluarkan telepon genggamnya, mengetik sederetan nama yang tertulis di kertas lalu tertawa terbahak-bahak setelah melihat gambar yang keluar. “Coba lihat matanya!”

“Kenapa?” Sunggyu mengambil telepon genggamnya, dan ikut tertawa sesaat. “Aku terlihat seperti ini?”

“Aku tidak yakin. Tapi mata kalian terlihat mirip.” Detektif membaca informasi tentang pria di telepon genggamnya. “Hey rupanya dia merupakan idola yang cukup terkenal di kalangan remaja. Super Junior? Nah aku lebih suka SES.

“Apa? Kau mengidolakan girl group?”

Oh jangan bilang kau tidak memiliki idola masa kecil. Penyanyi, aktor, atau bahkan tokoh manhwa?”

“Aku suka Death Note. Aku selalu membacanya bersama Myungsoo saat kami masih kecil.”

Detektif Jung memandangi Sunggyu dengan tatapan aneh.

“Apa?”

“Tidak. Tidak apa-apa.” Jung Yunho menggeleng, tapi Sunggyu bersumpah dia bisa mendengar teman sekolahnya ini bergumam mengenai ‘psikopat kecil’.

Sunggyu menunggu Detektif Jung lanjut berbicara, tapi Yunho tampaknya tidak berniat untuk memulai pembicaraan lain. Jadi Sunggyu memanggilnya.

Hyung?

“Huh?” Detektif Jung menoleh, menyadari perubahan nada suara Sunggyu yang terdengar serius.

“Apa aku pernah bercerita tentang keluargaku?” Sunggyu bertanya, matanya memandang lurus ke depan.

“Ya, tentu saja. Kau menyebut nama Myungsoo paling tidak tiga kali sehari. Aku mendengar namanya lebih sering daripada nama adikku sendiri.”

“Bukan, bukan Myungsoo. Tapi orang tuaku, apa pekerjaannya, seperti apa mereka...”

“Tidak, aku hanya pernah mendengar tentang Myungsoo.” Detektif Jung menatap Sunggyu aneh, “Ada apa denganmu?”

“Ayahku, Kim Sungsoo, memiliki perusahaan perhotelan besar.” Sunggyu menjawab, masih memandangi dinding putih kantornya.

“Lalu?”

“Ayahku... memiliki perusahaan perhotelan besar.”

“Sunggyu, kau tidak apa?”

“Ayahku...” Sunggyu berbalik menatap Detektif Jung, lalu menggeleng. “Lupakan saja.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
bibimbab
Setelah hampir 2 tahun menghilang akhirnya saya posting lanjutan cerita ini. Saya tau cerita ini sangat not worth the wait, dan saya bakal sangat ngerti kalo pembaca unsubscribe.
Anw. Kalau memang masih ada yang berniat membaca saya saya cuma bisa bilang maaf banget, dan terimakasih!

Comments

You must be logged in to comment
Blue_light #1
Good story
Itadekimass #2
Chapter 8: Oke aku udah penasaran pake banget!!
Kak bi harus tanggung jawab! Plisss lanjutin kaaakkk :'(((
Itadekimass #3
Chapter 1: Hah! Kak bibimbab emang warbiasahhh :*
Wahyuni1998 #4
Chapter 8: Next please ??
babbychoi
#5
Chapter 8: Kak, btw aku masih nunggu cerita ini update loh :)
babbychoi
#6
Chapter 7: Ya Ampun kak Bi, aku nggak ngerti lagi mau nulis apa. Bahkan aku terlalu spechless waktu buka story kakak dan udah ada part baru dari cerita ini. Meskipun aku baca sambil "nyureng_nyureng" karena gagal paham tapi akhirnya aku sedikit ngerti sekarang sama jalan ceritanya. Tetep semangat kak, karena aku masih nunggu BANGET cerita-cerita dari kakak becoz ada Jinri-ku disini. Wkwkwk.
babbychoi
#7
Chapter 3: Bisa kali di update mba, nungguin nih dari kapan tau :(
babbychoi
#8
Chapter 3: Kak? Aku bener2 nungguin updatean mu! Kenapa gak update2? :( :( :(
seiranti
#9
Chapter 3: Cinta segitiga kah ini, ato empat, lima?? Tp loh kok mauu cewe2 kece d duain.. Jinri n soojung! Penasaran bgt nih thor
vanilla133 #10
Chapter 3: okayyy.... im really curious about jinri,L and soojung right now.