[1] Looking For a Needle In a Haystack

The Dead Lake [Who Are You]

“Nona Choi?”

Pria dengan mata sipit –begitu sipit hingga mata itu akan membentu sebuah garis saat dia menajamkannya itu bertanya untuk entah yang keberapa kalinya kepada si ‘klien’ yang sedang duduk di hadapannya. Dia baru akan kembali bertanya saat orang itu mengerjapkan matanya, seolah baru kembali sadar dari dunianya sendiri.

Uh, iya? Maafkan aku, apa aku melamun lagi?”

Pria itu tersenyum –lebih tepatnya menarik sedikit bibirnya ke arah atas, sambil mengangkat bahu. “Begitulah. Susah tidur tadi malam?”

“Seperti biasa, itu bukan masalah besar.”

“Choi Jinri, kan?” Jinri, si ‘klien’ mengangguk. Pria itu lalu menunjuk pada plakat nama berwarna emas yang ada di pinggir mejanya. “Aku Sunggyu, Kim Sunggyu. Tapi tentu saja kau sudah tau namaku.”

“Tentu Dokter Kim. Saya sudah mendengar banyak tentang anda.”

Sunggyu mengangguk, menarik bibirnya sedikit lebih lebar. “Jadi, Nona Choi. Apa masalah anda?”

“Akhir-akhir ini aku merasa sedikit aneh. Sakit kepala berlebihan, mudah kehilangan konsentrasi, kelelahan lalu kemudian pingsan secara tiba-tiba. Aku tidak mengerti. Myungsoo bilang mungkin Dokter bisa mengobatiku? Belakangan dia selalu membanggakan Kakaknya yang merupakan seorang Dokter. Padahal dia tidak pernah menyebutkan apapun tentang anda sebelumnya.”

Sunggyu mengangguk, menulis sesuatu ke buku catatan kecilnya. Susah tidur. Sakit kepala. Kelelahan. Pingsan. Insomnia berat?

 “Aku baru kembali ke negara ini beberapa bulan lalu setelah dari kecil belajar di Amerika. Tidak mengherankan jika Myungsoo lupa pernah memiliki kakak.” Sunggyu tersenyum kecil. “Baik, jadi sejak kapan kau mengalami hal itu?”

“Aku tidak begitu yakin.” Jinri berpikir sambil memainkan rambut hitam panjangnya.
“Maksudku, aku tidak pernah memiliki masalah yang berarti dengan kepalaku sebelumnya. Tapi mungkin, sekitar tiga bulan lalu, sehabis, uh, sehabis liburan musim dingin.”

“Liburan musim dingin?”

“Ya, aku pergi dengan beberapa... teman dari kampus. Kami pergi ke Danau Jinhyang di kota Jinju. Aku juga pergi dengan Myungsoo, dia tidak bilang?“ 

Oh, ya aku ingat Myungsoo pernah mengatakannya padaku. Kenapa kalian memilih Jinhyang? Tempat itu hanya berisi danau besar yang sepi dan membosankan. Kebanyakan orang tentu jauh lebih memilih pergi ke tempat perkemahan di Gunung yang hanya terletak satu setengah jam perjalanan dari sana.”

“Itu memang tujuan kami. Perkemahan di gunung nasional Jinju. Walau begitu aku memang lebih menyukai Jinhyang, sebuah danau besar yang dikelilingi perbukitan, bukankah menarik? Belum lagi aku tidak pernah begitu suka keramaian. Jinhyang yang biasanya sepi pasti akan semakin tidak berpenghuni menjelang musim dingin. Semuanya akan serasa milik sendiri!”

Jinri menjelaskan dengan bersemangat. Suaranya yang menenangkan keluar dengan cepat dari bibirnya. Membuat Sunggyu akhirnya, untuk yang pertama kalinya, tersenyum dan bukan hanya sekedar menarik bibirnya seperti biasa.

Jujur. Ramah. Sepertinya tidak sedang menyembunyikan sesuatu.

“Itu pasti menyenangkan.” Sunggyu memandangi Jinri yang mengangguk, “Mau berbagi denganku?”

“Tentu, sebentar...” Jinri terlihat berusaha mengingat-ingat sesuatu. “Saat itu minggu pertama liburan musim dingin. Aku pergi bersama Myungsoo, dan tiga orang lain. Tunggu, siapa nama mereka? Uh, Sungyoon? Seungyeon? Seungyeol! Seungyeol, dia teman Myungsoo, Kakak tingkatku dari jurusan Teater. Lalu ada satu lagi aku tidak begitu ingat namanya. Dan satu orang gadis berambut pirang ...Soojung.”

“Kau dekat dengan semuanya?”

“Tidak juga. Aku dan Myungsoo cukup dekat, maksudku kami...”

“Kekasih?”

Jinri terdiam sebentar, Sunggyu tidak bisa membaca ekspresinya karena wajahnya yang menunduk, tapi dia terdengar sedikit aneh saat mengatakan; “Begitulah.”  

“Yang lainnya?”

“Aku lebih dulu mengenal Sungyeol daripada Myungsoo, sebenarnya. Tapi kami tidak begitu dekat dan nyaris tidak pernah bertemu lagi akhir-akhir ini, selain di lorong kampus atau beberapa acara jurusan sesekali. Tapi Soojung, gadis itu, kenapa dia ikut?” Jinri terlihat bingung.

Pelupa? Atau benar-benar tidak tahu?

“Kau tidak kenal dengan si Soojung ini?”

“Bukan, aku kenal Soojung. Tidak ada yang tidak kenal Jung Soojung, dia sangat populer di jurusan Kedokteran. Tapi aku tidak mengerti kenapa dia ada disana? Maksudku, kenapa– bagaimana bisa–” Jinri memegangi kepalanya yang terasa sakit.

Simptom satu: sakit kepala.

“Tenanglah, Nona Choi. Bagaimana kalau kita lewatkan dulu orang ini.” Sunggyu melirik Jinri yang masih memegangi kepalanya, kulitnya yang putih pucat terlihat sedikit memerah. “Lalu setelah berangkat bersama tiga orang ini, apa yang terjadi?”

“Jadi, hari itu kami pergi bersama..” tangan Jinri yang ada di kepalanya bergetar.

“Nona Choi?

“..My-Myungsoo yang menyetir, aku duduk di belakang dan...” Jinri menggeleng, tangannya bergetar semakin hebat.

“Jinri, kau baik-baik saja?”

“...lalu-lalu...” Jinri berhenti bergetar.

Simptom dua : pingsan.

 

*****

 

“Oh, sial. Apa yang hyung lakukan pada Jinri? Butuh waktu lama untuk membawanya ke sini, tau!”

“Siapa–“

“Dan tolong jelaskan kenapa orang ini masuk ke dalam? Bukankah lebih baik kalau dia tetap tinggal di ruang pengawasannya saja? Bagaimana kalau Jinri tiba-tiba bangun dan melihat ada detektif aneh ini di dalam ruang konsultasi dokternya?”

Pemarah. Lucu juga.

“Myungsoo, tenanglah. Detektif Jung, ini Myungsoo, adikku.” Sunggyu menunjuk pada Myungsoo yang sedang bersungut marah.

“Oke, Myungsoo. Maaf sebelumnya sudah masuk ke dalam sini tanpa izin. Tapi saat melihat dia –uh, Jinri tiba-tiba tidak sadarkan diri tadi sedikit mengagetkan.” Jung Yunho –atau Detektif Jung tersenyum kecil.

“Nah sekarang setelah melihat kalau dia baik-baik saja. Bisa anda kembali ke ruangan pengawasan bersama dengan detektif, jaksa, hakim atau entah siapa lagi lah itu dengan donat gula kesukaan anda sebelum yang lain tiba-tiba datang? Bukankah kamera pengintai yang kalian sembunyikan itu sudah cukup jelas?”

Tidak banyak bicara.

“Oke, oke.” Detektif Jung mengangguk mengalah, lalu berjalan keluar dari ruangan.

Sunggyu menatap Myungsoo, mengamati anak itu yang tidak begitu banyak berubah sejak sebelum dia pergi ke New York. Tentu secara fisik dia berubah menjadi jauh lebih tinggi, seorang pria muda setinggi kurang lebih enam kaki dengan badan yang cukup tegap. Walau begitu Myungsoo masih memiliki rambut hitam lurus dan mata menarikyang sama seperti dulu, mata yang selalu digunakan Myungsoo sebagai andalan agar Sunggyu mau mengabulkan semua permintaannya.

“Kau tidak pernah secerewet ini sebelumnya.”

Sebelumnya? Sebenarnya kapan sebelumnya itu? Kalau dipikir-pikir lagi, dia bahkan tidak tahu bagaimana Myungsoo yang sebelumnya. Dia pergi saat Myungsoo berumur lima tahun, dan baru kembali dua bulan terakhir. Jadi apa yang dia maksud dengan sebelumnya? Sunggyu menggeleng, lalu kembali fokus kepada Myungsoo yang berbicara tanpa menanggapi perkataannya.

“Aku tidak pernah menyukai Detektif itu.” Myungsoo mendengus, mengabaikan pernyataan Sunggyu.

“Kau dekat dengan Jung Soojung, gadis pirang itu?”

“Tidak juga, kenapa?”

“Lalu kenapa Nona Jung pergi liburan bersama kalian?”

“Huh? Aku pikir Jinri yang mengajaknya.”

“Sungguh?” Sunggyu bertanya heran, lalu kembali menulis sesuatu di catatan kecilnya.

Jung Soojung. Siapa dia?

“Saat liburan kemarin, kau sudah ingat semua yang terjadi?”

“Tidak juga, tapi aku rasa aku mulai ingat permulaannya. Mungkin cerita Jinri tadi sedikit mempengaruhiku.” Myungsoo bersandar di tempat duduk dan mulai bercerita. “Aku yang menyetir hari itu. Jinri dan Sungyeol duduk di belakang, lalu Soojung di sebe– tunggu dulu, kenapa Soojung duduk di sebelahku?”

Memori satu orang bisa memacu memori yang lainnya. Chain effect?

Myungsoo menggaruk dahinya bingung, Sunggyu mengangkat bahu. “Entahlah. Intinya kami pergi pukul tujuh malam. Perlu sekitar delapan jam untuk tiba di perkemahan di gunung Jinju. Kami berencana akan langsung mendaki untuk melihat sunrise. Tapi tentu saja rencana tidak dapat selalu terlaksana, kan? Hujan begitu lebat turun begitu kami tiba di daerah Jinhyang. Saat itu sudah lewat tengah malam. Aku rasa mustahil untuk melanjutkan mengemudi apalagi langsung mendaki. Jadi kami memutuskan untuk mencari tempat menginap disekitar sana.”

“Danau Jinhyang memiliki penginapan?”

“Ya, kami menemukan sebuah penginapan kecil berlantai dua tepat di pinggir Danau. Seperti Villa mungkin?”

“Tempat ini seperti rumah hantu.” Lee Sungyeol mengeluh, mata besarnya menatap penginapan tingkat dua berbahan dasar kayu itu. Mungkin terlihat indah di pagi hari, tapi di tengah malam tempat ini lebih mirip sebuah tempat syuting film horor dengan minimnya penerangan dan papan nama hotel yang bergerak terkena angin. Kalian pasti pernah menonton salah satu film horor yang bercerita tentang beberapa anak remaja yang berencana liburan, lalu terpaksa menginap di suatu tempat yang– uh, itu terdengar nyaris sama dengan apa yang menimpa mereka –Sungyeol merasa jantungnya berdegup kencang.

“Mau mencari penginapan di tempat lain?” Myungsoo menawarkan.

“Oh, jangan bodoh. Kalian mau melanjutkan perjalanan entah kemana di tengah malam dan jalanan licin seperti sekarang?” Soojung menggerutu, gadis itu menangkat tas tangan untuk menutupi rambut pirang panjangnya, lalu membuka pintu mobil. “Ayo masuk dan berhenti jadi penakut.”

‘Jangan pernah menilai buku dari sampulnya.’ Myungsoo tersenyum, melihat isi lobi penginapan yang nyaris berbanding terbalik dengan penampilan luarnya. Jika dari luar hanya ada satu lampu kecil yang menerangi penginapan itu, lobi dalamnya justru sangat terang, dengan penerangan dari paling tidak tiga lampu dua puluh watt dan sebuah perapian dekat satu set sofa coklat besar di dekat pintu masuk, sementara di hadapannya, terdapat satu meja kursi tempat resepsionis yang ...kosong?

“Oh, sudah lama menunggu?” Seorang pria muda (mungkin tiga atau empat tahun lebih tua dari mereka?) turun melalui tangga kayu yang terletak di sisi sebelah kanan lobi, dengan kaki-kakinya yang tidak begitu tinggi pria itu melompati dua tiga anak tangga dalam sekali jalan.

 “Pasangan Turis di kamar nomor dua mengeluh kamarnya bocor karena hujan, nyatanya hanya air AC, haha. Aku pikir tidak akan ada tamu lagi semalam ini, tapi siapa yang tahu kalau ternyata masih ada beberapa puluh ribu won lagi yang akan masuk ke dalam mesin kasir hari ini?”

“Siapa–“

“Aku Jang Dongwoo. Pemilik dari penginapan ini. Uh, bukan milikku sebenarnya. Tapi Kakak-ku memilih menikah dan pergi entah kemana dengan suaminya. Jadi aku yang mengelola tempat ini.” Jang Dongwoo tersenyum lebar sambil memandangi para tamunya. “Jadi, dua kamar?”

“Iy–“

“Tiga.” Myungsoo melihat bingung ke arah Soojung yang memotong perkatannya, “Aku tidak akan tidur dengannya.” Soojung menunjuk Jinri.

“Oke, tiga.” Dongwoo mengangguk, mengambil tiga buah kunci dari bawah meja masih dengan senyum lebarnya, “Kamar nomor tiga, empat, dan lima. Jika perlu sesuatu aku selalu ada di sini. Ada kartu kredit?”

“Tentu.” Myungsoo menyerahkan kartu miliknya, lalu mengambil tiga kunci yang di berikan Dongwoo. “Soojung di nomor tiga, Jinri di nomor empat, dan kami di nomor lima.”

“Bagus, aku rasa aku sudah hampir tertidur sambil berdiri.” Soojung menggeleng kesal, “oh, bisa bawakan barangku ke kamar?”

“Aku yakin Jung Soojung punya Princess disease atau semacamnya.” Sungyeol mengeluh, merebut kunci bernomor lima dari tangan Myungsoo. “Aku masuk duluan, tolong bawakan barangku juga!”

Myungsoo dan Jinri berpandangan, lalu saling tersenyum kecil, baru akan berjalan keluar saat tiba-tiba pintu di buka dan...

“Dan?”

“Dan...uh... darah..” Myungsoo memegangi kepalanya yang terasa sakit, kemudian menggeleng lemah. “Aku tidak tau.”

DARAH?

“Tidak masalah. Ini sudah jauh lebih baik. Sebelumnya kau bahkan tidak bisa menyebutkan siapa saja yang ada di dalam mobil.” Sunggyu mengangguk.

“Ya, baguslah.” Myungsoo merasa kepalanya semakin sakit, seperti seseorang mengikatkan sesuatu dengan sangat erat ke kepalanya. “Aku harus pergi.”

“Tunggu, bisa panggil Jang Dongwoo?”

Myungsoo menatap Sunggyu sekilas, lalu mengangguk. Dia benci sakit kepala.

 

*****

 

“Dokter, anda tidak terlihat seperti Myungsoo sama sekali!”

Sunggyu mengangguk setuju. Dia sering mendengar kalimat itu dua bulan terakhir ini. Bukan sekedar basa-basi, dia dan Myungsoo memang tidak begitu mirip. Walau sama-sama beruntung dengan kulit putih dan rahang lancip mereka, Myungsoo mewarisi mata tajam dan bibir menawan yang di gemari para gadis dari Ibu mereka, sementara Sunggyu harus berpuas hati dengan mata satu garis dan bibir tipisnya. Paling tidak hidung mereka terlihat lumayan mirip.

“Lebih tampan kan, Tuan Jang?” Sunggyu sedikit bercanda, lalu ikut tertawa begitu melihat orang di hadapannya yang sedang tertawa terbahak-bahak.

 “Oh, itu tergantung selera masing-masing orang. Walau aku lebih suka Myungsoo. Dokter tau dia terlihat begitu mirip dengan salah satu tokoh Drama yang pernah aku tonton sekitar tujuh atau delapan tahun lalu. Drama dengan satu gadis miskin dan empat pria kaya itu, sesuatu dengan bunga dalam judulnya! Uh, Bo-Boys Over Flowers!” Dongwoo mengangguk, wajahnya terlihat sangat bersemangat. “Kau pernah menonton dramanya? Myungsoo terlihat persis seperti salah satu tokoh pria yang memerankan peran playboy. Tunggu aku lupa nama aslinya.”

Dongwoo berdiri ke arah komputer di sebelah kiri Sunggyu, membuka internet explorer dan mengetikan beberapa kata, lalu menunjukan hasil yang keluar. “Kim Bum-nim. Miripkan? Aku heran bagaimana bisa ada yang terlahir dengan wajah seperti itu? Dia pasti memiliki banyak penggemar. Mereka bahkan mungkin saja membuat semacam fanclub untuk Myungsoo.

Sunggyu mengamati foto-foto yang diperlihatkan Dongwoo, tersenyum kecil sambil mengangguk. “Lumayan mirip, Tuan Jang.”

Dongwoo merengut. “Oh panggil Dongwoo saja, Tuan Jang terdengar aneh di telingaku.”

Sangat-sangat-sangat banyak bicara. Gemar tertawa. Sedikit terlihat seperti anak kecil. Kelakuannya tidak sedang dibuat-buat.

“Oke. Dongwoo, bisa kita mulai sekarang?”

“Tentu saja!”

“Tiga bulan lalu, malam hari pada minggu pertama di musim dingin. Kau ingat apa yang terjadi saat Myungsoo dan teman-temannya datang ke penginapan?”

“Bagaimana aku bisa lupa?” Dongwoo tersenyum, walau senyumnya tidak selebar sebelumnya.

Senyum palsu. Apa yang dia sembunyikan?

“Oke, aku harus mulai dari mana? Ah ya! Malam itu aku sedang berada di lantai dua saat Myungsoo dan teman-temannya tiba. Di kamar pasangan turis muda itu, mereka protes karena kamarnya bocor, padahal itu hanya air AC! Mungkin karena mereka masih muda, aku rasa mereka baru menikah. Aku lupa siapa namanya, tapi suaminya berasal dari Thailand dan istrinya ...uh, Inggris? Amerika? Entahlah, yang pasti dari luar negeri sana. Bahasa Inggrisnya sangat bagus.”

Dongwoo tertawa untuk kesekian kalinya, lalu melanjutkan.

“Intinya saat aku turun Myungsoo dan teman-temannya sudah ada di sana. Mereka terlihat lelah dan basah. Aku menawarkan dua kamar, mereka bisa membaginya satu untuk perempuan dan satu lagi untuk para pria. Tapi salah satu gadis yang berambut panjang pirang yang tampaknya memiliki darah campuran, menolak dan meminta tiga kamar. Jadi aku beri mereka kamar nomor tiga, empat, dan lima. Kamar satu sedang di perbaiki dan kamar nomor dua di tempati oleh si turis asing.”

“Berapa jumlah kamar di penginapan itu?”

“Delapan, semuanya terletak di lantai dua. Lantai satu hanya berisi lobi, kamar tidurku, kafetaria sekaligus ruang makan kecil dan gudang. Penginapan kami memang tidak begitu besar. Toh tidak begitu banyak yang berniat liburan ke Jinhyang. Danau berbukit tampaknya bukan tempat yang menarik minat masyarakat banyak. Aku beruntung jika berhasil mendapat lima sampai enam pengunjung dalam seminggu.”

Dongwoo mengangkat bahu.

“Uh, lalu apa yang terjadi setelahnya? Ah! Perempuan pirang  itu naik duluan, bersama teman Myungsoo yang lain. Meninggalkan Myungsoo dan gadis satunya yang berambut hitam –Jinri! Namanya Jinri, untuk mengambil barang mereka di mobil. Tapi saat mereka akan keluar...”

“Tolong kami!” Seorang pria dengan coat coklat masuk sambil memapah pria bertubuh tinggi. Celana jeans berwarna kusam yang di pakai si tinggi tampak di penuhi darah di bagian kirinya, tabrakan? Apapun yang terjadi pria itu pasti kehilangan banyak darah. Anehnya ekspresi si pria tinggi biasa saja. Berbeda jauh dengan ekspresi pria bermantel coklat yang tampak sangat panik.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” Dongwoo berlari mendekat, membantu membawa si pria tinggi ke sofa. Pria tinggi mendesah kecil begitu kakinya terkena sofa, tapi tidak berkata apapun.

“Aku –aku tidak sengaja, sungguh! Hujan malam ini begitu deras, dan pikiranku tidak bisa berpikir dengan baik saat itu, GPS rusak, tempat asing, jalanan licin, dan- dan- astaga!” Pria dengan mental coklat memegangi wajahnya dengan kalut. “Kami tidak bisa kembali, tidak ada rumah sakit, tidak –tidak tahu, salju dan lainnya, dan aku–“

“Tenang, aku tidak mengerti apa yang anda katakan.” Myungsoo yang entah sejak kapan sudah berada di sebelah Dongwoo berkata, sementara Jinri sibuk memegangi bahu pria bermantel coklat untuk menenangkannya.

“Aku sedang menyebrang. Dia menabrakku. Aku pingsan, dan saat sadar aku sudah ada di Jinhyang.” Pria tinggi menjelaskan, wajahnya terlihat bosan dan sedikit kesal.

“Kalian tidak mencoba pergi ke rumah sakit?”

“Kami mencoba kembali tapi jalan menuju Sinpyeong dan Panmundong tertutup salju. Sialan.”

Salju? Dongwoo menengok keluar jendela, ah, dia terlalu sibuk dengan tamu-tamunya sampai tidak menyadari salju yang turun. Hujan deras telah berubah menjadi badai salju, cuaca paling buruk untuk mendaki gunung. Dongwoo merasa sedikit kasihan kepada para tamunya yang datang dengan sia-sia. (Bukannya ramalan cuaca mengatakan salju baru datang minggu depan?)

“Dongwoo, ada perban atau semacamnya?”

Dongwoo mengangguk pada Myungsoo yang bertanya, “Ambil di kamarku. Ada kotak P3K di atas lemari pakaian. Kau mengerti kedokteran?”

“Tidak juga, tapi aku mungkin bisa menghentikan darahnya.” Myungsoo berlari menuju kamar Dongwoo, dan kembali dengan kotak putih dan sebotol besar air mineral beberapa saat kemudian.

Myungsoo berjongkok dan merobek celana jeans pria pirang, “Tidak ada yang patah, walau ada kemungkinan retak di bawah lutut, darah keluar dari kulit yang terbuka karena tabrakan, tidak begitu parah. Darahnya tidak akan sebanyak ini kalau saja kalian cepat menutupnya dengan perban.”

“Kalian harus menginap di sini malam ini.” Dongwoo mengamati Myungsoo yang dengan telaten membasuh kaki pria tinggi dengan air mineral dan alkohol, lalu beralih ke pria bermantel yang masih tampak panik.

“Oppa!”

Dongwoo menoleh ke arah sumber suara tersebut. Seorang gadis (mungkin masih sekolah menengah?) terlihat nyaris seperti boneka dengan rambut merah panjang yang di ikat dua, kulit putih, mata besar, dan mantel merah tua selutut. Gadis itu berjalan ke pada Pria bermantel coklat sambil cemberut, tas tangan kecil dengan merk ternama di tangan kanan dan kunci mobil di tangan kirinya.

“Oh, Ye- Yerim. Maaf aku–”

“Kita harus menginap di sini?” Gadis yang di sebut Yerim itu tidak menghiraukan ucapan pria bermantel, sibuk mengamati interior lobi penginapan. “Apa ada tipe President Suite?”

Dongwoo tersenyum kecil, berlari mengambil sebuah kunci dari meja resepsionis dan menyerahkannya pada gadis itu, “Kamar nomor enam di lantai dua. Ranjang ukuran King, Pendingin ruangan, dispenser, toilet, dan satu-satunya kamar dengan jendela besar yang menghadap langsung ke pegunungan Jinju. Tidak semewah President Suite, tapi ini kamar terbaik yang kami punya.”

Yerim terlihat berpikir beberapa saat, sebelum mengambil kunci di tangan Dongwoo dengan terpaksa dan menaiki tangga ke lantai dua. “Aku tidak punya pilihan lain.”

“Itu Kim Yerim, kalian bisa memanggilnya Yeri. Kelas satu di sekolah menengah atas. Dia memang sedikit manja, jadi mohon maklumi kelakuannya.” Pria bermantel yang tampak mulai tenang menjelaskan, lalu menduduki sofa di sebelah pria pirang. “Ngomong-ngomong, aku Kim Jinwoo.”

“Aku Jang Dongwoo, pengelola tempat ini.” Dongwoo berkata, “Ini Myungsoo dan...”

“Jinri.”

“Dan Jinri, mereka baru saja tiba beberapa saat sebelum kalian. Lalu kau..” Dongwoo memandang pria tinggi yang sedang meringis saat Myungsoo menjahit luka di kakinya.

“Seunghoon. Lee Seunghoon.”

“Aku lalu memberikan mereka kunci kamar. Kim Jinwoo di nomor tujuh dan pria bernama Seunghoon itu di delapan. Mereka langsung masuk ke kamarnya setelah Myungsoo selesai mengobati Seunghoon –yang ngomong-ngomong sangat rapi, dia sangat berbakat di bidang ini. Dia pasti mendapat nilai A di kelas Bedah. Sekitar satu jam kemudian aku tetap terjaga di meja, tapi karena tampaknya tidak ada orang yang akan datang lagi –lagipula siapa yang bisa menerobos badai salju sekencang saat itu, dan aku memutuskan untuk tidur.”

Myungsoo pernah belajar kedokteran?

Sunggyu mengernyitkan dahinya, mungkin Myungsoo akan mendapat A di kelas bedah, kalau saja dia mahasiswa Kedokteran. Tapi.. “Myungsoo kuliah di Jurusan Perfilman.”

“Oh, Sungguh? Beberapa orang memiliki kelebihan yang tidak terduga.” Dongwoo mengangkat bahu, lalu melirik jam tangannya. “Boleh aku pergi sekarang?”

“Silahkan.”

“Dan dokter. Kupikir kau juga mirip seorang selebriti!” Dongwoo tersenyum, menuliskan sesuatu di kertas kecil dan memberikannya pada Sunggyu.

 

*****

 

“Dapat sesuatu yang mencurigakan?” Jung Yunho bertanya, memberikan segelas kopi pada Sunggyu yang baru keluar dari ruangannya.

“Tidak juga. Aku hanya berhasil mendapat keterangan di malam pertama kejadian. Lagipula baru ada tiga orang yang aku temui.” Sunggyu meminum kopinya, membawa Detektif Jung untuk duduk di sebuah kursi panjang tidak jauh dari ruangannya. “Jinri terlihat sedikit kelelahan, Jang Dongwoo tampak begitu antusias, dan Myungsoo ...well, seperti Myungsoo. Aku hampir yakin tidak ada yang mereka sembunyikan.”

“Dokter Kim, kau benar-benar percaya?”

“Huh?”

“Pada semua ini, kau percaya?” Jung Yunho berkata tidak yakin.

“Ya. Kau mulai meragukanku, Detektif Jung? Bukankah alasan kau mengirimkan semua berkas kasus ini karena kau percaya aku bisa membereskannya? Aku kembali untuk pertama kalinya setelah belasan tahun karena hal ini, Hyung.” Sunggyu mendesis.

“Aku percaya padamu Sunggyu. Walau itu jelas bukan satu-satunya alasan aku mengirimkan kasus ini padamu. Kim Myungsoo. Nama yang kau ceritakan berkali-kali saat kita masih kecil dulu di New York, aku kembali dengar setelah aku kembali ke tempat ini, dan dalam sebuah kasus kriminal pula. Bagaimana bisa aku tidak menghubungimu?” Detektif Jung menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Aku selalu percaya pada kemampuanmu, Sunggyu. Tapi teori ini sedikit ...tidak biasa.”

“Tidak biasa tapi bukannya tidak mungkin, kan?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
bibimbab
Setelah hampir 2 tahun menghilang akhirnya saya posting lanjutan cerita ini. Saya tau cerita ini sangat not worth the wait, dan saya bakal sangat ngerti kalo pembaca unsubscribe.
Anw. Kalau memang masih ada yang berniat membaca saya saya cuma bisa bilang maaf banget, dan terimakasih!

Comments

You must be logged in to comment
Blue_light #1
Good story
Itadekimass #2
Chapter 8: Oke aku udah penasaran pake banget!!
Kak bi harus tanggung jawab! Plisss lanjutin kaaakkk :'(((
Itadekimass #3
Chapter 1: Hah! Kak bibimbab emang warbiasahhh :*
Wahyuni1998 #4
Chapter 8: Next please ??
babbychoi
#5
Chapter 8: Kak, btw aku masih nunggu cerita ini update loh :)
babbychoi
#6
Chapter 7: Ya Ampun kak Bi, aku nggak ngerti lagi mau nulis apa. Bahkan aku terlalu spechless waktu buka story kakak dan udah ada part baru dari cerita ini. Meskipun aku baca sambil "nyureng_nyureng" karena gagal paham tapi akhirnya aku sedikit ngerti sekarang sama jalan ceritanya. Tetep semangat kak, karena aku masih nunggu BANGET cerita-cerita dari kakak becoz ada Jinri-ku disini. Wkwkwk.
babbychoi
#7
Chapter 3: Bisa kali di update mba, nungguin nih dari kapan tau :(
babbychoi
#8
Chapter 3: Kak? Aku bener2 nungguin updatean mu! Kenapa gak update2? :( :( :(
seiranti
#9
Chapter 3: Cinta segitiga kah ini, ato empat, lima?? Tp loh kok mauu cewe2 kece d duain.. Jinri n soojung! Penasaran bgt nih thor
vanilla133 #10
Chapter 3: okayyy.... im really curious about jinri,L and soojung right now.