Jam di dinding menunjukan waktu pukul setengah dua belas malam saat Nayeon melangkahkan kakinya melewati ruang tamu.

Suasana disana tampak senyap, mama dan kakaknya sepertinya sudah terlelap. Ia pikir begitu.

Gadis itu menyelinap ke dalam kamarnya tanpa suara, ia melemparkan tas ransel yang membebani pundaknya ke atas meja belajar sambil menghela nafas, lalu ia merebahkan diri di atas kasur.

Kejadian hari ini membuatnya lelah, membuatnya takut. Pemikiran-pemikiran negatif terus saja datang dan merongrong dirinya. Apa Seulgi baik-baik saja? Apa dirinya benar-benar akan masuk penjara seperti yang ia bayangkan? Sudah pasti ia akan dikeluarkan dari sekolah, benar kan? Ia pasti sedang dibicarakan dan dihujat, apa ada orang yang mengharapkannya mati saja?

Nayeon memejamkan matanya, berguling memeluk bantalnya dan berteriak disana. Air matanya meleleh, tak terbendung lagi.

.

Keesokan harinya, Nayeon terbangun dengan sebuah tangan yang membelai surainya lembut. Saat ia menoleh, ia mendapati ibunya tengah menatapnya sayu.

Nayeon langsung terduduk tegak. Ia menatap lama ibunya tanpa berkata apa-apa. Namun tatapannya berkata seakan ia ingin berbicara banyak, namun tak bisa.

"Mandi dulu sana, terus sarapan, mama udah siapin nasi goreng telur mata sapi kesukaan kamu."

Nayeon hanya tertegun, mengangguk kaku lalu berdiri untuk pergi mandi. Padahal ia ingin memeluk ibunya dan menangis, padahal ia tidak ingin bangun lagi. Biarkan saja dia berbaring disana selamanya.

.

"Lo seenggaknya bisa ga ngabarin lo dimana semalem? Mama, gue, sama temen lo kocar-kacir nyariin lo kemana-mana takut lo kenapa-kenapa."

Nayeon lagi-lagi hanya bisa menghela nafas saat kakaknya tiba-tiba mencecarnya. 

Nayeon baru saja duduk di kursi makan saat kakaknya tiba-tiba muncul dari dapur dengan segelas jus jambu ditangannya. Ekspresinya terlihat lelah dibandingkan marah. Ada lingkar hitam dibawah matanya membuat Nayeon semakin merasa tak enak saja.

"Lo sebenernya kenapa sih Nay? Lo ga pernah cerita apa-apa sama gue, sama mama, terus tiba-tiba sekolah lo nelpon lo bikin anak orang pingsan berdarah-darah." 

Yoona meletakan jus jambunya diatas meja. Menekan kedua telapak tangannya ke tepi meja tersebut dan menyondongkan tubuhnya kearah adiknya itu. Kali ini dia tampak benar-benar marah.

"Udah Yoona, biarin adik kamu makan dulu, dia belum makan apa-apa dari kemarin."

Tapi Yoona tak menggubris permintaan ibunya.

"Dia yang mulai duluan kan? Dia yang nyerang lo duluan kan?"

Yoona benar-benar keukeuh ingin mengonfirmasi apa yang telah terjadi. Pokoknya ia tak percaya adiknya seperti apa yang disebutkan oleh mereka. Dia tau, dan percaya kalau Nayeon anak yang baik.

"Udah Yoona!"

Mamanya mulai kehilangan sabar dalam nada bicaranya. Wanita paruh baya itu berjalan cepat melintasi dapur kemudian menaruh tangan lembutnya ke kedua pundak anak bungsunya itu.

"Iya dia yang mulai duluan! tapi toh gue yang salah, gue yang bakal tetep disalahin! Ga ada bedanya kak!"

Nayeon mengepalkan kedua tangannya, lalu bangun dan pergi mengunci dirinya lagi di kamar. 

Dari sana, ia mendengar kakaknya dimarahi ibunya. Padahal kedua-duanya hanya khawatir. Nayeon benar-benar merasa tak berguna dan menyusahkan. H