08.

One More Chance.

One More Chance

Chapter 08.

.

Yang khawatir dengan keadaan Mingyu bukan hanya keluarga di Jepang -Hyoyeon dan suaminya- namun juga keluarga di Korea, terutama Keluarga Kim; sang mantan mertua. Setelah Mingyu dibawa ke rumah sakit, Taeyeon mengabari keluarga si Korea. Sebenarnya ia tak masalah jika mereka tidak datang, namun mau bagaimanapun Mingyu juga bagian dari mereka.

Dan Nyonya Kim, ia begitu gelisah mendengar kabar itu. Sepulang dari bekerja langsung ia menuju rumah Sunggyu untuk memaksa anaknya pergi ke Jepang. Ia bergegas masuk ke dalam kamar Sunggyu. Seperti dugaan sebelumnya, Sunggyu masih bergelung dengan selimut; akhir-akhir ini Sunggyu malas untuk pergi ke kantor.

Yaaa!! Kim Sunggyu!!” Jerit Nyonya Kim sesampainya di kamar Sunggyu. “Kau harus bangun!! Sampai kapan kau bernalas-malasan seperti ini?” Tanyanya lalu duduk di sebelah ranjang Sunggyu.

Sunggyu hanya mendengus kesal. Sebelum tubuhnya benar-benar bangkit dari tidur, lebih dulu ia mengucek kedua matanya dan menandang datar sang ibu.

“Kau harus segera ke Jepang!!”

Sunggyu mengerutkan kening. Detik selanjutnya ia melenguh pelan. “Kenapa aku harus ke Jepang?” Tanyanya.

“Mingyu!!” Wajah Nyonya Kim berubah lebih muram kala bibirnya menyebut nama Mingyu. Sedang Sunggyu menatap heran sang ibu. Ia duduk dan menunggu kalimat selanjutnya dari sang ibu. “Mingyu masuk rumah sakit!! Tiba-tiba kepalanya pusing.”

Ada keterkejutan yang tampak jelas di wajah Sunggyu. Selama seminggu tak mendengar kabar tentang Mingyu dan hari ini nama itu terdengar membuat sesuatu dalam dirinya bergejolak. Apa lagi berita yang tidak baik seperti itu.

“Pusing? Hanya sakit biasa mungkin!!” Entah mengapa bibir Sunggyu terus mengucapkan sebaliknya. Jika ia bisa menyimak kata hati, seharusnya bukan kalimat itu yang terucap.

Nyonya Kim hanya mendesah pelan. Sudah bisa ia duga jika Sunggyu akan bersikap seperti itu. Lelaki ini benar-benar tidak terketuk hatinya. Walaupun telah dicampakkan oleh Tiffany, ia masih belum tergugah rasa belas kasihnya.

“Pusing biasa?” Tanya Nyonya Kim lirih. “Tidak, ini salah satu trauma otak.”

Sunggyu terkesiap mendengar jawaban dari Nyonya Kim. Hatinya berdesir aneh. Berbagai macam pikiran membumbung di dalam otaknya. Kenapa?

“Tra-trauma otak?”

Nyonya Kim mengangguk lemah.

“Bag-bagaimana bisa?” Kali ini suara Sunggyu terdengar lebih khawatir dari sebelumnya. Bercampur rasa kaget membuat Nyonya Kim mengulas senyum lemah. Setidaknya sang anak ada sedikit kepedulian terhadap Mingyu.

Nyonya Kim menegakkan tubuhnya dan menatap dalam Sunggyu. “Kau tidak ingat Mingyu pernah kecelakaan?” Tanya Nyonya Kim kemudian.

Sunggyu mengangguk dengan tarikan nafas dalam. “Ah..”

“Pergilah Gyu... Mingyu pasti akan senang jika kau ada di sekitarnya.”

Sunggyu terdiam sejenak. Ia memilin selimut yang ada di kakinya sebelum menarik untuk menutup tubuhnya kembali. Ia balik tidur.

“Tidak. Aku tidak akan ke Jepang.” Sahutnya pelan.

Nyonya Kim mendesah putus asa, lelaki ini begitu sulit untuk ditaklukkan. Apa yang sanggup membuat Sunggyu sadar bahwa semua terjadi juga karenanya? Apa? Kenapa ia sama sekali masih belum melihat? Apa Tuhan kurang memberikannya karma untuk semua yang telah ia perbuat? Nyonya Kim bangkit dan menatap sendu Sunggyu. Anak tertuanya itu kembali terlelap. Rasa sakit begitu mendalam ia rasakan. Seperti ini saja ia merasa sakit, bagaimana dengan Taeyeon? Bagaimana dengan wanita itu?

Dan Sunggyu, ia hanya ingin kembali memejam. Tak perlu ditampik, ada segelintir pemikiran tentang Mingyu yang melayang-layang di otak. Sejak kapan, Sunggyu yakin sejak beberapa saat yang lalu. Tapi yang membuat Sunggyu heran, kenapa ia harus terlalu dalam memikirkan ini? Bukankah selama ini ia tak pernah keterlaluan berfikir tentang Mingyu?

.

.

.

.

Dua hari yang lalu, kabar tentang Mingyu sampai pada telinga Sunggyu menyebabkan pikirannya sedikit lebih tentang Mingyu. Bahkan ketika ia memutuskan untuk kembali bekerja masih sama, otaknya terisi nama Mingyu. Ia tak tahu, kenapa seperti ini tak tahu. Yang pasti saat ini Sunggyu merasa ada yang janggal dalam hidupnya.

Atau memang seperti ini rasanya ketika hidup tanpa orang yang terbiasa berada di sekitar?

Sunggyu tersenyum aneh; entah ia tengah menyeringai atau menghina. Sungkyu mengelak, tak ingin mengakui bahwa ia juga memikirkan Mingyu. Demi membuang perasaan aneh yang tiba-tiba menyergap, Sunggyu memilih tenggelam dengan aktivitasnya; menelanjangi dokumen-dokumen yang tercetak di depannya.

Sekitar tiga puluh menit Sunggyu larut dengan dokumen-dokumennya, seseorang masuk ke dalam ruangan Sunggyu. Woohyun, lelaki dengan surai hitam kelam itu membawa dokumen lain yang harus di periksa oleh Sunggyu.

“Kau jadi sibuk sekali.” Woohyun meletakkan dokumennya di depan Sunggyu lalu duduk.

Sunggyu hanya menoleh sekilas kemudian kembali pada tumpukan di depannya.

“Jangan telalu sibuk! Kau akan jatuh sakit.”

“Peduli apa kau??”

Woohyun tersenyum. Tangannya bergerak menghentikan laju jemari Sunggyu yang sibuk membubuhkan tanda tangan.

“Kau kenapa sih? Baru sembuh dari penyakit gilamu sekarang kau bersikap seperti ini!! Ada apa?”

“Gila?” Sunggyu mengalihkan atensinya pada Woohyun. Keningnya mengerut tipis. “Apa maksudmu gila?”

Alih-alih menjawab, lelaki yang lebih muda itu tertawa renyah. Ada sedikit bumbu candaan disana. Woohyun tak sepenuhnya mengatakan Sunggyu gila sebagai bahan ejekan.

“Kemana kau seminggu kemarin Tuan Kim? Apa kau sakit? Kantor jadi sedikit kacau dengan ketidakhadiranmu.”

“Bilang saja kalau kau merindukanku.”

“Tidak sama sekali.” Woohyun mengambil satu permen dari toples di meja Sunggyu lalu membukanya. “Apa kau merapati nasibmu Direktur?”

Sunggyu yang semula tak begitu menanggapi Woohyun akhirnya mengalah. Iris kecilnya menatap heran bawahannya. Sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh Woohyun? Sesuatu yang penting? Hanya basa-basi? Terus apa tadi yang diucapkannya? Nasib? Nasib apa? Persetan dengan nasib.

Ck, nasib? Nasib apa yang harus aku ratapi?” Ucapan Sunggyu mengiringi kembali aktivitasnya dalam memeriksa dokumen.

Woohyun tersenyum manis sekali. “Kau pandai sekali berkilah, Sunggyu. Oh ya, Wu Yifan ingin menjual saham miliknya. Sepertinya Yifan tak begitu tertarik lagi dengan perusahaanmu.” Tukasnya dengan sedikit serius.

Sontak hal itu menghentikan lagi laju tangan Sunggyu. Lelaki bermata sipit itu menatap Woohyun dengan rasa tak percaya yang kentara. Apa yang baru saja ia dengar? Menjual seluruh sahamnya? Kenapa?

Tak perlu bertanya, Woohyun paham sekali dengan ekspresi itu. Jangan diragukan lagi persahabatan mereka yang terjalin cukup lama. Lelaki yang lebih muda itu lantas bangkit dari duduknya. Memberikan minuman di cangkir kepada Sungkyu.

“Minumlah dulu, biar kau bisa berpikir tenang.” Woohyun tersenyum manis sekali. “Kalau kau bertanya apa sebabnya, perceraian kalian.”

Dan Sunggyu tak terkejut dengan alasan yang terlontar dari mulut Woohyun. Kasus yang bukan pertama kali Sunggyu alami. Rasanya ia ingin menusuk tubuhnya sendiri. Semuanya berubah menjadi lebih runyam dari yang inginkan. Harapan Sunggyu adalah bisa terbebas dari segala kesialan dan kesukaran setelah berpisah dengan Taeyeon. Bukan seperti ini.

Membiarkan Sunggyu berpikir, Woohyun hanya menepuk pelan punggung Sunggyu. Sebuah bisikan kata semangat tak lupa ia sematkan. Detik berikutnya, pemuda bermarga Nam itu menggerakkan kakinya dan menjauh dari jangkauan Sunggyu.

Lalu Sunggyu sendirian. Ia menatap kesal apapun yang ada di sekitar. Pikirannya kacau seketika. Sekelebat bayangan yang entah apa itu menguap begitu saja. Ini awal yang buruk. Wu Yifan adalah donatur dengan kemampuan ekonomi di atas rata-rata. Bagaimana dengan nasib perusahaannya jika sudah seperti ini?

Aaarrrhhhh!!!”

Sunggyu hanya bisa memijat pelipisnya setelah ia menjambak kilat surai cokelatnya.

.

.

.

“Dia hanya perlu perawatan intensif saja.”

Mendengar suara pelan dari seorang lelaki memaksa Taeyeon untuk berbalik. Dari raut wajah bersedih yang digambarkan oleh wanita muda itu ada seulas senyum yang mengembang. Kepalanya mengangguk kecil. Desah halus terdengar setelahnya. Lalu ia berbalik seutuhnya demi menatap sopan pada sang lawan.

Yang berucap tadi ikut tersenyum. Sejatinya ia paham dengan apa yang saat ini Taeyeon rasakan. Orangtua mana yang tak akan sakit melihat si balita kesayangan berjuang di dalam sana. Oh tidak, sang anak tidak dalam keadaan genting. Hanya saja pendarahan tiba-tiba membuatnya harus terbaring disana. Akibat sisa kecelakaan yang tak hilang dan meninggalkan bekas.

“Apa Mingyu akan baik-baik saja?”

“Senyum yang Mingyu berikan kepadamu pagi ini sebagai tanda bahwa dia akan baik-baik saja.” Dengan tenang lelaki itu berujar. Ia tak ingin memberikan beban yang cukup sulit untuk Taeyeon.

Taeyeon turut menarik ujung bibirnya tipis. “Mingyu boleh pulang kan besok?”

“Ya, dua hari cukup untuknya di rumah sakit. Kau bisa membawanya pulang besok. Oh ya, malam ini mungkin Mingyu akan terbangun dari tidurnya. Kau siapkan saja air putih. Sudah ya, aku harus memeriksa pasien yang lain.” Dan ucapannya diakhiri dengan sebuah senyum hangat.

Taeyeon mengangguk, mempersilahkan lelaki muda itu untuk undur diri dari hadapannya. Sekon selanjutnya, wanita muda itu tak lagi mendapati lelaki yang baru saja bersamanya di antara lensa kembar miliknya. Ia telah menghilang di balik pintu kamar rawat Mingyu.

Ada getar kehangatan yang dirasakan oleh Taeyeon setiap kali lelaki itu berada di sekitarnya. Ini bukan sebuah rasa main-main bukan? Taeyeon bukanlah anak kecil yang tidak bisa merasakan hal demikian. Jika Taeyeon bisa menebak sepertinya hal ini gejala yang akan dirasakan saat sesuatu mendesak hatinya bukan? Cukup jelas, tapi Taeyeon masih susah meraba. Ada apa?

Sebenarnya Taeyeon bisa melihatnya dari cara lelaki itu memperlakukan Mingyu. Meski tak tahu dengan yang lain, Taeyeon yakin bahwa lelaki itu sangat menyayangi Mingyu bagaikan anak sendiri. Apa itu suatu hal yang lumrah? Tapi..

Lalu sisi lain diri Taeyeon bersuara. Perhatian yang diberikan oleh lelaki itu apakah mungkin...

Tidak, sekeras mungkin Taeyeon menggeleng. Tidak mungkin. Sebagian dirinya menolak apa yang tengah menjadi asumsi dalam otaknya. Walaupun hal lain tak menampik jika rasa ini pernah mampir sejenak dalam benaknya.

Ini tidak mungkin kan?

Mengalihkan pikiran dari hal-hal yang tak semestinya, Taeyeon memandang Mingyu yang masih terbaring lemah. Ia sudah siuman kemarin malam, setelah hampir lima jam terbaring koma. Trauma otak yang menyerangnya memaksa Mingyu untuk istirahat sejenak. Dokter Lee menjelaskan ada pendarahan tiba-tiba yang terjadi pada Mingyu. Namun sepertinya Taeyeon patut bersyukur bahwa pendarahan itu tidak begitu parah. Walaupun sebenarnya ada kemungkinan hal itu akan terjadi lagi.

Yang paling penting bagi Taeyeon saat ini adalah Mingyu bisa kembali tersenyum. Taeyeon senang dan bahagia manakala si kecil sanggup menghangatkan dan mencerahkan kelamnya hari yang sempat menemani Taeyeon. Ia merasa bahwa hidupnya akan lengkap jika itu bersama dengan Mingyu. Taeyeon akan terus berdo’a kepada Tuhan supaya memberikan selalu kesehatan kepada Mingyu sehingga mereka akan bisa bersama.

Lantas Taeyeon mengecup kening Mingyu dalam. Tangannya mengusap punggung tangan Mingyu dengan lembut.

“Sehat selalu malaikat kecilku. Ibu ingin kau bermain seperti biasanya.”

Sekali lagi Taeyeon mengecup kening Mingyu dengan lelehan air mata yang turun menyertai.

.

.

.

Pagi datang dengan begitu cepat. Rembesan mentari yang berhasil menyentuh wajah Taeyeon menuntunnya untuk terbangun. Disertai cicit burung-burung kecil semakin menambah kekuatan Taeyeon untuk membuka kelopak tipis miliknya. Sebentar ia mengucek kristalnya lalu memindai sekitar. Benar, hari telah berganti dan sekarang sudah nyaris pukul delapan.

Lekas ia menoleh pada sang anak. Rupanya Mingyu bangun lebih dulu darinya. Seketika bibirnya melengkung dalam melihat wajah cerah yang ditawarkan oleh sang buah hati.

“Pagi... Anak ibu tidur dengan nyenyak ya kemarin?” Taeyeon menyapa Mingyu dengan kecupan-kecupan ringan di kedua pipi gembulnya.

Mingyu terkikik kecil, merasa sedikit geli dengan tingkah Taeyeon.

“Ibu.. Mingyu lapar. Sarapan apa Mingyu hari ini?” Tanya Mingyu dengan wajah yang menggemaskan.

Taeyeon tak bisa untuk tak tersenyum. Mendengar lantunan suara lirih dari sang buah hati selalu bisa menggugah asanya untuk mengukir sebuah senyum.

Aigoo... Mingyu ingin apa? Nanti biar ibu belikan? Kalau sekarang Mingyu makan sereal mau? Ibu belum sempat beli sarapan buat Mingyu.” Taeyeon segera mengambil sereal dan susu yang telah ia siapkan sebelumnya. “Oh ya, hari ini Mingyu boleh pulang loh!! Mingyu ingin makan apa? Nanti Ibu akan bilang ke tante Hyoyeon untuk membuat makanana kesukanaan Mingyu.”

Mingyu mengangguk senang. “Ibu akan membuatkan makanan kesukanaan Mingyu?” Taeyeon mengangguk yakin. “Mingyu ingin makan sushi belut ibu. Apa Mingyu boleh makan sushi belut?”

“Tentu.” Tangan lembut Taeyeon mengusak surai milik Mingyu. “Tentu saja boleh!! Nanti biar Tante Hyoyeon buatkan ya?”

“Apa? Mau apa Mingyu?”

Suara seseorang memerintah Taeyeon dan Mingyu untuk menoleh. Lengkungan terasa begitu hangat dari wajah Taeyeon begitu mengetahui siapa yang datang. Hyoyeon dengan tas jinjing dan juga rantang makanan datang untuk menjemput Taeyeon dan Mingyu.

“Tanteee..”

Aigoo~, Mingyu ingin makan apa sayang?” Selepas meletakkan barangnya, Hyoyeon segera mendekati Mingyu dan memangku balita itu.

“Mingyu ingin sushi belut. Apa tante akan membuatkan untuk Mingyu?”

Satu kecupan diberikan Hyoyeon pada kening Mingyu. “Apapun untukmu sayang. Tante akan buatkan. Oh ya, kalian pasti belum sarapan kan? Aku bawakan nasi goreng spesial. Makanlah dulu sebelum kalian pulang.” Hyoyeon meletakkan kembali Mingyu di atas ranjangnya dan beranjak menuju meja tempatnya menaruh rantang.

Taeyeon yang mengikuti gerak tubuh Hyoyeon lantas berdiri. Ia ikut membantu adiknya untuk menyiapkan sarapan mereka. Taeyeon tersenyum melihat masakan yang dibuat oleh Hyoyeon. Jujur, masakan yang dibuat Hyoyeon itu tak kalah enak dari masakannya, yang membuat Taeyeon lebih suka makanan Hyoyeon adalah aroma Jepang yang kentara ditawarkan oleh Hyoyeon dari masakan itu. Entah apa rahasianya Taeyeon tak tahu.

Lantas Taeyeon menyuapkan makanan itu pada Mingyu. Rupa-rupanya si kecil pun menyukai apa yang dibuat oleh Hyoyeon. Tampak jelas dari riangnya wajah Mingyu saat melahap nasi goreng itu. Mereka menghabiskan sarapan dengan obrolan kecil seputar kesehatan Mingyu dan lain-lainnya. Saking larutnya dalam obrolan, mereka tak menyadari jika pintu kamar dibuka oleh seseorang.

“Pagi!! Ah, Mingyu sedang sarapan?” Seseorang menyapa lembut Mingyu lengkap dengan senyumnya.

Merasa namanya dipanggil, Mingyu lantas menoleh.

“Dokter tampaaaan!!” Seru Mingyu riang.

Sungyeol tersenyum lalu menempelkan tangannya pada kening Mingyu.

“Mingyu sudah tidak pusing lagi?”

Mingyu menggeleng. “Tidak dokter!! Mingyu tidak pusing.” Jawabnya lucu.

“Baguslah, kau bisa segera pulang dan bermain di rumah.” Sungyeol berbalik dan memandang Taeyeon yang tampak menunggu Sungyeol memeriksa Mingyu. “Keadaan Mingyu sudah kembali baik. Mungkin trauma otak bisa saja terjadi lagi nanti kalau ada sesuatu berat yang menyerangnya. Entah itu pikiran atau benturan. Tapi untuk anak seumuran Mingyu yang paling rawan adalah benturan. Jadi saya mohon untuk menjaga Mingyu dengan baik. Perhatikan dia saat dia bermain.”

Taeyeon mengangguk mengerti. “Tentu dok!! Saya pasti akan menjaga Mingyu dengan baik.”Sahutnya.

“Baiklah kalau begitu. Pastikan Mingyu minum obatnya.” Sungyeol beralih pada Mingyu lagi. “Mingyu sampai jumpa lain waktu eum? Dokter akan menunggu Mingyu tapi Dokter tidak ingin bertemu Mingyu dalam keadaan sakit, yang sehat yaa Mingyu.”

Mingyu tersenyum senang. Ia memeluk Sungyeol dengan erat.

“Mingyu akan sehat seperti kata dokter!!”

Setelahnya tawa terdengar menggema. Taeyeon senang dengan sikap menggemaskan yang ditunjukan oleh Mingyu saat bersama Sungyeol. Seolah lelaki itu sebagai pengganti dari ayahnya. Hey, kenapa tiba-tiba Taeyeon berpikir ke arah sana?

Dan Sungyeol pamit undur diri setelah dirasa cukup bercanda dengan Mingyu. Lelaki jangkung itu pergi dari hadapan mereka. Menyisakan Taeyeon, Mingyu dan Hyoyeon. Selepas kepergian Sungyeol, mereka bergegas untuk membereskan barang-barang dan pulang. Tidak perlu lama-lama bertahan di sini jika waktu pulang sudah tersedia.

.

.

.

“Mata tidak akan pernah berbohong!!”

Takuya mendorong pintu ruangan Sungyeol dengan sebelah tangan. Tangan kanannya sedang membawa dokumen pasien yang telah ia periksa.

Sungyeol berhenti seketika. Tatapannya berganti arah pada sosok yang baru saja berujar.

“Kau tidak bisa membohongiku!!” Senyumnya tampak menggemaskan di antara wajah tampan miliknya. Alih-alih merasa gemas, Sungyeol malah jijik dengan senyuman itu.

Lelaki Korea itu meletakkan dokumennya dan duduk di belakang meja kerja. “Aku berbohong apa?” Tanyanya seraya memijit pelipisnya.

“Ayolah!!” Takuya ikut serta duduk di meja kerja Sungyeol. Ia merasa geregetan dengan sikap Sungyeol yang sok tak tahu apa-apa. “Siapapun akan mengatakan hal yang sama!!”

“Apa?” Tanya Sungyeol datar.

Hembusan pelan lolos dari bibir Takuya. Lelaki asli Jepang itu merasa jengah dengan teman seprofesinya itu. Haruskan ia menjelaskan apa maksud dari ucapannya? Hey, Sungyeol bukan lagi lelaki yang berusia tujuh tahun yang harus ia jelaskan dengan gamblang. Status dokter yang sekarang disandang cukup membuatnya paham dengan segala yang telah ia ucapkan.

Mengalah, Takuya mengalah. Melihat reaksi kosong dari Sungyeol menyebabkan kegemasan tingkat dewa yang tak terelakan.

“Kenyataan bahwa kau menyukai wanita muda itu.” Takuya berujar pelan. “Atau bahkan mencintainya!!”

Seratus!!

Sungyeol terkesiap dan terlonjak seketika. Tebakan dari Takuya seratus persen benar. Mana mungkin Sungyeol akan bereaksi demikian jika ia memang tak seperti apa yang Takuya duga.

“Entahlah!!”

Dan tanggapan demikian cukup meyakinkan Takuya bahwa semuanya adalah benar. Mengenal Sungyeol tak lebih dari sebulan mampu membaca dengan baik diri Sungyeol. Berterima kasih kepada Tuhan atas kemampuannya yang dengan baik mengenal seseorang.

“Kalau begitu perjuangkan!! Bukankah ia adalah janda?”

Sungyeol menatap heran Takuya. Alisnya menaut tak mengerti untuk beberapa detik. Namun tak lama kemudian ia menarik sebelah ujung bibirnya.

Yah, aku mungkin akan berusaha.”

.

.

.

Kepalanya pusing sekali. Semenjak berita bahwa Yifan telah menjual semua saham dengan harga murah membuat Sunggyu kalang kabut. Pikirannya kacau. Apalagi ditambah dengan kabar tentang Tiffany yang saat ini bahagia dengan kekasihnya membuat Sunggyu dua kali lipat lebih parah dari sebelumnya.

Cobaan apa yang saat ini membungkus dirinya? Sunggyu tak pernah membayangkan hal ini akan datang padanya. Dari dulu Sunggyu selalu berpikir bahwa hal-hal buruk seperti ini tidak akan terjadi. Baginya yang paling buruk adalah menikah dengan Taeyeon. Itu sudah cukup buruk. Lalu hal ini datang semakin membuat hidup Sunggyu suram dan suram lagi.

Sampai di rumah, ia tak lekas ke kamar. Menjatuhkan tubuh di sofa, tangan kanannya memijat kepalanya yang berdenyut. Jika ia sanggup, Sunggyu ingin teriak dan teriak sekecang-kencangnya. Namun itu mustahil untuk dilaksanakan.

“Kau sudah pulang?”

Sunggyu memejam setelah suara tanya itu terdengar.

“Makanlah dulu, ibu sudah menyiapkanmu makan malam.” Nyonya Kim turun dari tangga dan mendekat pada Sunggyu. “Apa perlu ibu menyiapkan air hangatmu juga? Ibu harus pulang!! Kasihan ayahmu tidak ada yang merawat. Soojung dan Myungsoo sedang ke rumah orangtua Soojung.”

Lelaki itu mendesah pelan. Ia menegakkan tubuh demi melihat sosok wanita tua yang saat ini duduk di sebelahnya.

“Pergilah bu, Sunggyu bisa merawat diri Sunggyu sendiri.”

Nyonya Kim tersenyum pilu. “Mana mungkin. Masih ada ibu saja kau tampak kacau!! Apalagi sendiri?” Tangan halusnya mengusap surai Sunggyu. “Ya sudah kalau begitu!! Ibu pulang ya? Makanan sudah siap di meja makan.”

Hanya anggukan sebagai pengantar kepergian Nyonya Kim. Sunggyu seolah tak punya tenaga untuk sekedar menuntun sang ibu sampai ke pintu utama. Ia hanya menyenderkan tubuh dan kembali menutup wajah dengan tangan.

Sekitar lima belas menit, Sunggyu bangkit. Pusing yang mendera masih kentara ia rasa. Lantas ia berjalan menuju kamar untuk mandi dan berganti pakaian lalu turun untuk makan.

Semua ritual telah ia jalani tinggal makan malam. Kakinya terasa kelu manakala menuruni tangga. Rumah seluas ini terasa sangat dingin dan kosong. Suasana yang dihantarkan oleh angin begitu mencekam dan luput dari kehangatan. Sunggyu merasa ia berada pada dunia lain yang tak pernah ia singgahi sebelumnya. Ah, mungkinkah karena ia tinggal sendiri?

Namun ia tinggal sendiri juga sudah cukup lama. Dan lama kelamaan suasana dingin itu mencengkram dan menjauhkannya dari suasana hangat yang biasa ia rasa.

Kehilangan anggota keluarga yang biasa mengisi kekosongan itu sangat Sunggyu rasakan. Inikah rasa sebenarnya saat jauh dengan ketidakbiasaan?

Lagi-lagi kilat bayangan tentang masa lalu muncul percuma di benak Sunggyu. Lelaki itu mencengkram pada pegangan tangga yang saat ini ia jamah. Berlembar-lembar kenangan yang sempat ia ukir di dalam rumah ini menganga jelas dalam otaknya.

‘Ayah’

‘Ayah’

‘Ayah’

Panggilan-panggilan dari sosok mungil yang ia benci tak luput dari kenangan itu. Sunggyu memejam erat. Ada desir aneh yang menjerat dalam hati manakala sosok itu berkeliaran dalam otak. Semakin lama semakin menajam saat panggilan itu semakin jelas. Lalu bayangan terakhir kali sosok itu memanggil namanya.

Sebelum kejadian naas yang menimpanya.

Sunggyu membuka matanya cepat. Degup jantungnya terpompa tak beraturan. Ia memindai sekitar dan memperhatikan setiap sudut ruang. Entah mengapa hatinya terasa kurang nyaman dan ada rasa lain yang bersemayam di dalam sana. Sunggyu berharap ini hanyalah sementara dan tak akan menghantuinya lagi.

Lantas ia berjalan menuju ruang makan.

Lagi dan lagi perasaan dingin menyerbak sekitar. Suasana disini terlalu dingin untuk dinikmati sendiri. Sunggyu mengulum bibirnya dan mulai duduk di salah satu kursi. Tangannya mengambil makanan yang tersedia untuk dilahap.

Sunggyu berpikir. Apakah hidupnya akan seperti ini untuk ke depannya nanti?

.

.

.

Pantulan cahaya bulan merangsek masuk di antara tirai yang tak sepenuhnya tertutup. Pantulan itu mengiringi setiap suara hewan malam yang tengah bernyanyi. Dan di antara malam yang merajai, Taeyeon menatap dalam sosok Mingyu dengan tenang. Sedari tadi tangannya tak berhenti mengelus pipi gembilnya.

Bahkan air mata juga turut mengiringi gerak tangan Taeyeon.

“Mingyu-yaa, tumbuhlah jadi lelaki yang kuat nanti. Jadilah lelaki penyayang dan jagalah ibu!! Buat ibu bangga padamu Mingyu.” Satu kecupan diberikan pada kening Mingyu.

Melihat bagaimana Mingyu saat ini melukai hati Taeyeon. Bocah cilik ini seharusnya mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari kedua orang tuanya. Namun sayang, Mingyu harus menerima segalanya saat usia masih begitu kecil. Sang ayah tak pernah memiliki sedikitpun rasa sayang pada Mingyu.

Hati Taeyeon meringis. Kenapa ia harus mengingat hal itu. Hal yang sama sekali percuma untuk dibahas dan diingat. Nyatanya lelaki itu akan tetap sama dan tak akan pernah peduli padanya atau Mingyu.

“Ibu menyayangimu selalu Mingyu.” Kembali ia mengecup kening Mingyu.

Terdengar pintu terbuka. Taeyeon segera menoleh pada pintu dan mendapati Hyoyeon masuk dengan segelas susu hangat.

“Ini susu untukmu kak. Aku tahu kau butuh asupan gizi. Bukan hanya Mingyu saja. Tapi kau juga.” Ucapnya sebelum duduk di dekat Taeyeon.

Wanita yang lebih tua hanya mengulas senyum. “Terima kasih Hyo.” Sahutnya seraya mengambil alih gelas susu itu. Detik selanjutnya, ia meneguk pelan sebagian susu hangat itu.

Hyoyeon memperhatikan Mingyu dan Taeyeon secara bergantian. Hatinya sesak seketika melihat bagaimana raut wajah mereka. Keduanya berusaha untuk tampil bahagia meski sebenarnya ada luka besar yang tengah keduanya tutupi.

Untuk sesaat Hyoyeon mendalami wajah tenang Mingyu.

“Sepertinya Mingyu jauh lebih tenang dibandingkan beberapa waktu yang lalu.” Celetuk Hyoyeon selepas ia memperhatikan si kecil.

Taeyeon mengerut sejenak. Ia meletakkan gelas kosong itu di atas meja.

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak mendengar Mingyu bertanya dimana ayahnya lagi.” Ulasan senyum tampak jelas di wajah Hyoyeon. “Ku pikir Mingyu mulai menerima bahwa ayahnya memang tidak ingin bertemu dengannya.”

Taeyeon menghela pelan nafasnya. “Aku bersyukur kalau Mingyu tidak lagi mengingat ayahnya. Maksudku, bukan berarti Mingyu harus melupakan Sunggyu tidak. Setidaknya Mingyu tidak terlalu sering bertanya tentang Sunggyu.” Tukasnya.

“Mingyu berhak mendapatkan yang terbaik.” Tangan Hyoyeon mengusap pipi Mingyu. “Oh ya, kakak benar tidak ingin mencari pengganti Kak Sunggyu?”

Mata cantik Taeyeon terbelalak dengan pertanyaan tiba-tiba dari Hyoyeon.

“Sepertinya dokter yang merawat Mingyu ada rasa kepadamu kak.”

“Kau bicara apa sih Hyo?”

“Sungguh!!” Hyoyeon tersenyum gemas melihat wajah malu dari Taeyeon. Setidaknya ia sudah lama sejak terakhir kali ia melihat Taeyeon seperti ini. “Apa kakak juga suka dengannya?”

Taeyeon mendengus. “Hey, aku bukan remaja Hyo!!” Ia mengalihkan pandangannya. “Entahlah!! Aku belum berpikir sampai sana.”

“Apapun pilihan kakak, Hyoyeon akan mendukung.” Tangan halus Hyoyeon mengusap punggung melengkung Taeyeon. “Pikirkan baik-baik masa depan Mingyu.”

Setelahnya, Hyoyeon bangkit. Sebuah senyum melengkung di wajah menghantarkan keinginannya untuk pergi dari kamar Mingyu. Ia akan memberikan waktu sendiri pada Taeyeon.

Selepas kepergian Hyoyeon, Taeyeon kembali fokus pada Mingyu. Ada kata-kata yang melayang dibenaknya.

Apa Mingyu butuh pengganti Sungkyu secepat itu?

Entahlah!! Taeyeon masih enggan untuk memikirkannya.

.

.

.

TBC


mind to review?

thanks :)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Adeeee #1
Chapter 8: Kakaaaakk, hello. Salam kenal. Penasaran banget sama kelanjutannya. Aku dari awal baca nggak tegaan sama Taeyeon. Sunggyu-nya juga jahat sih, huhu. Tapi jangan pisahin Mingyu dong Kak, dari Sunggyu (Taeyeon juga, kalo bisa balikan lagi). Sakitnya Mingyu dibikin agak parahan aja, plus rindu bapaknya. Jadi dia lagi sakit (dengan mata merem setengah tidur) tapi manggil2 "ayah, ayah, ayah, ayah" gitu. Ngerengek terus. Terus si Sunggyu mimpi buruk tentang Mingyu. Biar agak tobatan sikit itu si sipit. Terus ke Jepang deh dia-nya, jengukin Mingyu.

Oke. Ini udahlah request, panjang pula. Maaf kali ya Kak. Hahhaha. Terserah Kakak sih. Itu cuma ekspektasi aku. Nggak rela kalo si Taeyeon sama Sungyeol, hehe.
Anashim #2
Chapter 8: sebenernya ini cerita bagus, dulu wkt blm pny akun selalu cek apa udh update..
tp trahir baca sampe skrg, baru 1 chapter update pdhl udh lama bgt, trahir update okt.
amaharanin #3
Chapter 7: Bentar yah aku intermeso dulu. Aku sebagai readers disini liat viewers sama komen ff tuh gak pernah sinkron. Viewers nya banyak tapi yg komen itu2 aja :'( :'( author tetep semangat yah. Aku yg liat aja sedih gimana author, bikin karya kan susah apa salahnya sih kalian2 yg baca kasih aplause buat authorny. Komen doang gak minta pulsa, maafin tapi aku ngerasa sedih. Semangat authorrr :D :D
Feel ceritanya sedikit beda dari part awal, gak tau dimana kurang atau gimananya tapi aku ngerasa beda. Sepertinya author lagi kena writeblock yah? Beda aja fellnya, kalo pun author sibuk jangan di paksain
Andai aku berasa gutuin bgt hari ini, maafinnnn. :D samangat terussss authorrrr
amaharanin #4
Chapter 6: Sepertinya udh gaya penulisan author, ttep bagus kok biar rada lambat juga pas awal2. Tapi pas abis ketemu Tiffany di bar itu alur ya jadi bagus. Juara lah!
Ini aku bacanya sambil nnton standup comedy jadi gak fokus antara mau ketawa dan nyesek maksimal. Hihihi abisan nyesek , bagus bgt authorrrr . Aku nungguin terus lah update an nya. Juara lah!
Dan seneng aja si mbak e udh strong , gitu atuh jangan mau kalah molo. Si abang juga kena karma kan ? Wkwk aku bahagia sekali sumpah, puas gitu
Makasihbb authorr
NadiaExoGangerKim
#5
Chapter 6: Karma for you sunggyu!

Seneng banget karena akhirnya karakter taeyeon yang suka ngalah berubah menjadi melawan. Jadi gak terlalu tersiksa :3

ada apa denganmu, gyu? Kenapa kau jadi seperti itu di hadapan taeyeon? Mulai merasa kasihan? Mulai sadar kalau selama ini kamu kejam? -_-

untuk alur, jangan dipaksa dipercepat thor, kerjain aja sesuai keinginan author. Mau lambat atau cepet, yang penting updatenya jangan lama dan ditunggu saat2 dimana sunggyu menderita haha *ketawaevil

next chap ditunggu ya thor, keep writing. Fighting..
({}) xoxo :-*
pororiahajima #6
Chapter 6: lanjuuuuuut
amaharanin #7
Chapter 5: Masih masalah sama alur sih dari chapter selanjutnya , masih lambat :D feelnya masih juara gak sanggup !
Mbok nya si cewenya jangan di bikin lemah bgt thor , kesel sumpah hargat martabat mbaaa elah . Nyesel da pasti itu
NadiaExoGangerKim
#8
Chapter 5: Feelnya gak hilang, masih ada kok. Ini aku bahkan nangis lagi baca chapter 5nya :-(

kesel ih sama sunggyu! Baru aja cerai udah mau nikah lagi sama cewe lain :3

mingyu-nya kasihan :-(

taeyeon sama mingyu mau ke jepang? Lah, makin penasaran sama next chapnya. Update soon ya <3
irfa_as #9
chapter 4: wah ceritanya bikin orang jadi nangis aja,,,
jadi tambah penasaran dengan lanjutannya,,
amaharanin #10
Chapter 4: Sumpah kerasa bener loh nyeseknya . Tapi kenapa yah kalo kata aku alurnya terlalu lambat , apa emang aku nya aja yg gak sabaran . Bacanya tuh yah sambil nyesek sambil deg deg an juga kalo liat tulisan TBC T.T author kenapa ? Kenapa nyesek bgt ceritanya , feelny juara sumpah . Tapi alurnya di percepat yah dikit :) menurut aku sih heheehe