Page19: Suspicion

Hacker
Please Subscribe to read the full chapter

Aku menguatkan pejaman mataku. Tanpa sadar mendorong Luhan dengan tangan kananku perlahan. "Luhan," begitu bibir kami kehilangan kontak, rasanya aku bisa kembali menghirup oksigen karena sekarang aku benar-benar membutuhkan hal itu. Mataku tertuju ke bawah dan sebelah tanganku masih tergeletak di depan dadanya. Pikiranku masih terasa kacau. Kalau aku bisa jujur padanya, aku ingin meminta lebih namun aku tidak suka jika nyatanya aku tidak tahu kenapa aku membalas ciumannya itu. Sesuatu yang membuatku bimbang hanya akan membuatku membenci hal tersebut.

Memejamkan mata kuat-kuat, aku kembali merasakannya yang menarik tengkukku maju dan itu adalah saat ketika ia kembali menciumku. Aku begitu ingin tahu kenapa aku tidak menghentikannya. Berbagai fantasi dapat kurasakan dan aku menikmati itu dengan senang hati.

Benar. Aku benar-benar tidak akan cukup pada ini bila dia berhenti kapan saja. Membiarkannya mengusapkan telapaknya pada punggungku, bergerak naik dan turun perlahan. Aku memiringkan kepala dan fokus pada bagaimana cara ia menggerakan bibirnya yang semakin tak terkendali. Karena lagi-lagi rasanya seperti ia meraup semua oksigen dariku hingga aku merasa sesak.

Entah apa ia membaca pikiranku atau tidak, akhirnya ia melepaskan ciumannya dan aku sendirian dalam pikiranku. Bola mataku terlalu berat rasanya untuk balas menatap Luhan.

"Apa ini..."

Saat dia ingin bicara  pun aku masih tak berani menatapnya karena tidak tahu dia akan mengatakan apa dan tentang apa.

Aku menyiapkan rangkaian kata yang pas untuk kuucapkan. Kurasa ini takkan baik. "It's my first kiss," aku berkata hampir berbisik seraya menggeleng cepat seperti anak kecil dan kembali mendorong dadanya sedikit lebih kasar untuk menjaga jarak. Aku malu sekali mengakuinya. Aku sama sekali tidak mahir dalam hal semacam itu dan ketika menciumku Luhan terlihat seakan-akan dia sedang mengajari aku sebab beberapa kali aku hampir menggigit bibirnya. Ya, ya, bila itu menimbulkan luka kupastikan dia akan menyesali hal ini.

Kupikir ini benar-benar buruk karena Luhan sama sekali tak mengatakan apa pun. Aku yang gundah sendiri lalu mengangkat kepala untuk menatapnya. Aku memukul  pundaknya dan merengek, "Kenapa kau diam saja? Aku sungguh—"

"Thank you," Luhan terkekeh, membuat kedua matanya membentuk bulan sabit. Apa? Apanya yang terima kasih? Aku yang terpelongo kemudian menurunkan arah bola mataku untuk melihat bibirnya yang—aku tahu ini buruk. Mereka memerah.

"A-aku minta maaf—" aku benar-benar tak bermaksud untuk melakukan hal itu karena—

"Tidak. Untuk apa kau minta maaf?"

Aku masih melayangkan tatapan pada bibirnya. "Kurasa aku telah... uh..." baik, aku tak pandai merangkai kata bila kita sudah menyentuh topik semacam ini apalagi dengan lawan jenis yang notabene masih belum diketahui status suka atau tidaknya padaku.

"Ini?" Luhan menunjuk bibirnya, aku langsung merasakan sebuah aliran panas yang membuat pipiku terbakar kala aku teringat bagaimana bibir itu menciumku. Tak berani merespon, aku kembali menatapnya dan diam saja. Ya ampun seseorang bantu aku untuk memberi tanggapan karena dengan diam saja aku tidak mau malah dikira telmi. Setelah tersenyum lembut, kali ini dia tertawa. Tawa itu terdengar begitu renyah. Apa? Kenapa? Apa ini karena reaksiku? Sudah kukatakan kalau apa pun itu yang berhubungan dengan laki-laki seperti Luhan akan membuatku nampak bodoh. "It's the best part, Theyo."

Tunggu—apa dia sedang berkomplimen?

"Huh?" masih terbodoh, aku tak berniat tahu ekspresiku sekarang. Tolong jangan membuatku seperti ini dan jelaskan sesuatu yang membuat diriku dan pikiranku sendiri jadi kacau balau.

Luhan menghela nafas panjang. Tangannya mengusap pucuk kepalaku—yang sadar apa dia sedari tadi rupanya menggodaku? Aku masih merasa bodoh... Ugh, tidak. Aku tahu ini awkward. Lihat senyum di wajah cantik itu masih terus mengembang. Apa sih maksudnya? Tadi tertawa, sekarang tersenyum, sementara aku cuma diam mematung tergagap-gagap serta cuma mengeluarkan 'huh' dan 'uh'.

Karena frustasi dalam pikiranku sendiri, aku memejamkan mata kuat-kuat seraya menggigit bibir bawahku geram, aku ingin semua yang berbelit-belit di dalam benda berlipat-lipat di balik tengkorak kepalaku dapat sirna. Namun, saat aku hendak kembali membuka mata, yang kudapati Luhan melayangkan sebuah kecupan singkat pada keningku. Lalu, tepat saat dia menimbulkan bunyi khas dari bibir yang memberiku kecupan itu—sayup-sayup suara Kris hadir di antara kami.

"Kau gila. Apa yang akan kau lakukan padanya?"

Such a great timing, Kris.

Sekarang terlihat dia tengah berdiri di depan pintu seperti habis melihat hantu menatapku dan Luhan secara bergantian dalam artian horor.

Kami berdua malah memandanginya berjalan mendekat dan memerhatikan apa yang mau dilakukannya dengan datang tiba-tiba seperti mahluk halus.

"Kalian belum menjawabku? Apa yang kalian berdua lakukan?" dan dengan sebelah alis terangkat, cukup tahu bagiku dia tengah mengutarakan sebuah isyarat seraya menatap kami berdua satu persatu. Apa mau anak ini bertanya masalah itu? "Kalian sudah pacaran?"

"Apa?" aku dengar dengan jelas kalimat tanya Kris yang tentu cuma asal bunyi, namun kenapa malah kata 'apa' yang keluar dariku? Bersamaan pula dengan Luhan. "Kau lucu," tanggapku lagi sebisa mungkin bisa bersikap kasual.

"Terserah, aku hanya akan mengambil ini," Kris membawa toples Nuttela tadi bersamanya dan kembali berjalan keluar. Mata dan kepalaku tetap memerhatikannya untuk bisa segera pergi dan menutup pintu. Namun Kris berhenti dan membalikkan tubuhnya menatap Luhan lalu menatapku dan berkata, "He's a good kisser. Trust me." ucapnya lagi lalu barulah ia benar-benar menutup pintu. What the hell? Itu bukan berarti dia melihat 'sesuatu', bukan? Oh, tidak tidak tidak tidak. Kris tidak mungkin menyaksikan apa pun yang kulakukan tadi. Pipiku kembali memanas dan aku benci itu karena aku harus menepukinya lagi kuat-kuat!

"Hey,—"

"Ya?" potongku cepat menatapnya dengan tatapan oh-tidak-aku-salah-tingkah-lagi.

OKAY! STOP THIS RIDICULOUS FEELING!

"Itu... ciuman pertamamu?" tanyanya tiba-tiba.

Demi kerang ajaib, apa dia berusaha membuatku mengulangnya? Tak tahukah dia perjuangan yang harus kulewati demi bisa stay calm cool chill bersamanya di sini?

Aku sempat kembali mengutarakan 'huh' dan si 'uh' dari bibirku, kurasa otak dan tubuhku sedang tidak akur maka kepalaku mengangguk secara otomatis saja ke arahnya. "Kau cukup sehat untuk dapat mendengar sesuatu 'kan?" sindirku lalu berdehem.

Tapi kalau dipikir-pikir kembali, untuk apa menjaga sikap di depannya? Bukankah setiap hari aku bisa bersikap seperti biasa di depan Luhan? Salahkan sesuatu di dalam diriku yang sibuk menyibukkan diri dengan perasaan anak remaja ini.

Aku lalu menoleh ke arah lain. Dia masih terdiam. Dalam hati aku terus merutuki kenapa ia tidak menyebutkan hal yang sama? Siapa ciuman pertamanya? Astaga, itu sama sekali tidak penting tapi kenapa di saat seperti ini hal seperti itu malah terlintas olehku.

Dan sebelum Luhan menjawab aku baru tersadar bahwa aku sedang menepuki kedua pipiku sekuat mungkin selama beberapa saat, lalu kembali duduk dan kali ini memeluk lututku.

"Kalau aku, itu dengan..."

Jadi bukan aku? Sial, kenapa aku terdengar kecewa? Hah, sudahlah...

Aku menunggu. Menghela nafas panjang lalu meletakkan daguku di atas lutut yang tertekuk, kemudian memandanginya—maksudku aku hanya—terserahlah, yang jelas dia masih ber-hum begitu panjang. Kenapa dia bicara terdengar lama sekali? Aku merasa sebuah slow motion menghentikan mulutnya berbicara untuk melanjutkan perkataannya. Aku  pun menoleh ke arah lain. Berkali-kali aku sudah menggigiti bibirku tak sabar. Dia membuatku geram. Apa perempuan itu lebih pintar dariku? Lebih cantik? Atau yang terparah, apa dia lebih tinggi dariku? Hey, aku sudah berolahraga dan hampir mencapai 170. Itu sudah termasuk tinggi. Buktinya saja pelatih basket di sekolah mengakui bahwa aku salah satu pemain terbaik.

"Dengan... Ah, ini begitu memalukan,"

Namun akhirnya kedua pipinya malah memerah dan dia menutupi wajahnya. Siapa perempuan yang benar-benar membuatnya merasa malu seperti ini?

"Itu, Chanyeol."

Oh—my.

"Whoa, kau pandai membuat lelucon," responku sarkastik.

Namun, Luhan menggelengkan kepalanya menatapku untuk mencoba menjelaskan. "Tidak, tidak! Aku tahu itu benar-benar menjijikkan. Mungkin saat aku adalah Hacker tidak terasa menjijikkan namun mengatakannya padamu sekarang itu sungguh terdengar gila." akunya lalu menurunkan tangannya. Aku masih tidak percaya dengan nama yang disebutnya itu. Chanyeol? Apa dia benar-benar seorang gay? Ya, dia gay! Dan apa dia suka mencium orang? Ya, tentu saja!

"Kapan?"

"Kami menamatkan game bersama,"

Aku hanya mengangguk. Tapi dari pengakuannya itu, satu yang membuatku heran. Kenapa dia bisa mengingat hal konyol seperti ini?

***

Beberapa hari berlalu dengan tak singkat. Tiga hari yang kulalui ini adalah tiga hari dengan dihindari oleh Baekhyun dan Sehun dan tiga hari Luhan terus menempel padaku layaknya permen karet.

Aku sedang duduk di kursi meja makan. Suasana dapur sepi karena mereka kebanyakan berada di luar dan ruang televisi. Sendirian menyantap sarapanku kurasa lebih baik dari apa pun. Tapi satu yang mungkin bisa menjadi lebih baik lagi, kalau aku bisa menikmati semangkuk saja es krim. Siapa saja yang bersedia menyediakannya untukku, oh, akan kulakukan apa pun untuknya. Aku mau saja minta pada Luhan tapi dia tidak tahu di mana tempatnya.

"Ekhm," dari arah belakang, seseorang terdengar berdehem. Aku tak lekas menoleh karena sudah tahu itu pasti Luhan.

"Ekhm ekhm,"

"Kenapa kau—Eh?" saat aku menoleh ke arah si pemuda yang sedang membawa dua kantung plastik di tangannya, aku sempat tak percaya kalau ya, yang ada di sana dan berdiri menatapku itu Byun Baekhyun.

Ya... Baekhyun. Baik, aku mulai mempertanyakan keberadaannya ke mari karena apa.

Aku menyekat tenggorokanku setelah sebelumnya menatap Baekhyun keheranan. Dia lalu berjalan mendekat. Sepertinya dia dari luar. Kulihat dia memakai topi dan jaket.

"Oh, kau s-sedang sarapan," ucapnya tersenyum ke arahku. Kalau tidak salah dengar dia baru saja tergagap. Tidak biasanya. Rrr, dia membuatku takut sekarang.

Sampai ia berada di hadapanku, aku tidak mengatakan apa pun. Dari dekat—ugh, lebam Baekhyun tidak nampak akan sembuh dalam waktu dekat rupanya padahal sudah lewat beberapa hari.

"Y-yah, aku—maksudku terserahlah kau mau bicara apa. Ini untukmu."

Dia memberi salah satu dari dua bungkus plastik tadi padaku. Saat aku menyentuh bagian bawahnya terasa sangat dingin dan itu membuatku tidak sabar melihat isinya setelah menebak bahwa jangan bilang kalau dia membawakan aku—"Es krim!" jeritku mengeluarkan basket itu. Benda ini bahkan membuatku lupa pada sosok Baekhyun yang berdiri di hadapan meja makan menghadap ke arahku. Baiklah, baik, Baekhyun aku mendoakanmu supaya bisa terus berbuat baik seperti ini. Namun—aku merasa ada kejanggalan di sini. Mencoba tak terlalu larut pada kebahagiaan sesimpel sekarang, aku mengernyitkan dahi menatapnya skeptis. "Rrr... tumben?" tentu aku harus curiga karena belum mengetahui apa motifnya memberikan makanan kesukaanku ini. Tapi dia malah mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Permintaan maaf." jawabnya. Oh.

Aku mengangguk mendengarnya. Tentu saja, aku berjanji akan melakukan apa pun bagi orang yang terlalu baik hati memberikanku makanan terlezat ini di dunia bagiku. Dan kukira, aku juga harus meminta maaf padanya. Terbayang olehku aksi heroik yang kulakukan padanya malam lewat. Membuatku tertegun menelan liurku sampai hampir tersedak. "Apa aku mencekikmu terlalu kuat?" tanyaku sebelum melancarkan permintaan maafku padanya. Sekali lagi, tentu saja! Tanganku sampai berurat dan wajahnya berubah ungu.

"Mungkin," dia kembali menatapku dan aku mengangguk.

Oke, cukup basa basinya dan biarkan aku menikmati es krim ini.

"Tapi, ini sakit," Baekhyun menunjuk luka lebamnya. Ouch, aku mengurungkan kembali niatku saat baru akan membuka si basket es krim. Dia menyebutnya akhirnya.

"Apa cukup kalau aku minta maaf?" karena cuma itu jalan tengahnya sekarang.

"Ya." sepertinya Baekhyun tidak terlalu mempermasalahkan hal itu dengan jawabannya sambil mengangguk cepat dan berkata antara ya, tidak, ya, tidak, ya, dan tidak. Kurasa ia tidak sepenuhnya berkata 'ya'.

Suasana di sekitarku sempat terasa aneh dan kami berdua hanya terdiam. Sampai akhirnya aku lalu kembali menatapnya heran. "Lalu?"

"Aku duduk di sini, ya?"

Mataku sempat terpana melihat dia kembali tersenyum kecil dan mulai menarik kursi di hadapanku. Jadi aku tanpa sadar cuma mengangguk lemas. Whoa, kukira bulu romaku berdiri sekarang.

"Aku beli banyak makanan," ujarnya saat sudah duduk. Meletakkan sebuah plastik lagi di atas meja.

"I see," tanggapku seraya menyingkirkan piring sarapanku. Baekhyun lalu mengeluarkan coklat, biskuit, chocopie, dan permen. Dia memberikan hampir semuanya untukku. Aku tak dapat berkata-kata selain menyengir padanya. Kalau tidak salah ini bukan perayaan Halloween. Aku bukan penyuka makanan manis seperti ini apalagi sebanyak ini—tapi bentuk dan rasa mereka membuatku geram. Apalagi perutku masih lapar. Satu porsi spagetti tidak akan mengisi seperempat dari kapasitas lambungku.

"Kumasukkan kulkas, ya?"

"Yeah..."

Selagi membuka basket es krimku, Baekhyun yang sudah kembali dan duduk langsung bertanya, sebuah pertanyaan yang kukira sangat mustahil terjadi di antara aku dan pemuda bermarga Byun itu.

"Apa sekarang kita berteman?" dia sungguh punya dua motif memberikanku ini.

Aku sempat terdiam lama pada yang satu ini. Tentu saja tidak pernah terlintas olehku akan berteman dengan Baekhyun. Dan kurasa sekarang dia akan benar-benar bersikap baik padaku. Pagi-pagi seperti ini dia membelikanku es krim. Dia pasti serius jika ingin berteman denganku. Tapi, berteman dengan Baekhyun? Keajaiban sungguh telah terjadi di rumah ini.

Selain Baekhyun, aku hanya menganggap Luhan dan Kris di sini adalah teman karena mereka berdua yah, aku bahkan tidak tahu atas dasar apa aku menganggap mereka teman. Tapi Luhan... kenapa setelah kejadian tiga hari lalu itu pikiranku menjadi janggal. Baiklah, agak kejam aku menyebut ciumannya sebuah kejadian. Cuma terpikirkan olehku, sesuatu membuatku berpikir bahwa hal itu tidak mungkin begitu saja ia lakukan. Apa dalam hati ia memang berniat melakukan itu padaku? Baiklah, aku hanya memiliki pemikiran segala sesuatu pasti memiliki motif di baliknya. Seperti yang dilakukan Baekhyun sekarang.

Kembali pada pemuda yang balik membuatku mengangguk lemas. Aku masih berusaha menghilangkan bayangan-bayangan bodoh dalam pikiranku. Karena selain Baekhyun yang

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Riaa_Osehhlovu #1
Chapter 48: Antara ecxited sama sedih tokoh utamanya ganti :')
Tapi tetep bakal nunggu sekuelnya koks
ChanCartSoo #2
Chapter 48: Save offline nya di disable ama authornya


Bgst
ChanCartSoo #3
Chapter 48: Q suka lah ni cerite
zaa29b_byeol
#4
Chapter 47: Ini aku belum baca ya? Ah bodo amat. Bagus, bloom! Great one!
crunchymiki
#5
Chapter 47: ane nyengir-nyengir sendiri bacanya anjjayyy >\\\\<
alterallegra #6
Chapter 47: Wow.. Great ff Story i have read ever..
Jongin-ahh #7
Chapter 47: Endingnya gantung bgt gitu authornim T.T
Jongin-ahh #8
Chapter 47: Gue senyum2 sendiri baca ini T.T lebih sweet dr es krimnya theyo ini mah:3
Jongin-ahh #9
Chapter 44: Gue baca dari awal masa T.T chapter ini menggemaskan ><
keyhobbs
#10
Chapter 47: wwoahh!!!author jjang! Gmana bisa endingnya sekeren ini, ya ampun, dan Taehyun akhirnya sama Dara yeyy!! Terus terus Theyo sama Luhan, awalnya aku lebih suka kalo Theyo sama Baek tpi pas baca scene yg mereka jadian jadi ikutan seneng juga, jdinya bingung-_- sebenernya aku suka Theyo-Luhan atau Baek-yo hihi, tpi y sudahlah ya, yg penting pada akhirnya semuanya bahagia,hihi!