Realize

Affairs of The Heart

“ Ku mohon jangan pergi. Jangan tinggalkan aku—

Lagi... “

 

 

.

.

Udara hari ini sangat hangat dan nyaman ketika matahari bersinar penuh tanpa keragu-raguan. Seperti akan mencapai puncak musim panas, cuaca yang hampir selalu cerah dan  waktu siang yang terasa lebih panjang membuat orang-orang menikmati kegiatannya dengan berjalan kaki menulusuri jalan di pusat kota.

Tak terkecuali, Kyungsoo. Senyuman di wajahnya tidak hilang semenjak Jongin berada di jok belakang mobil milik kakak tercintanya, Kyuhyun. Jongin juga tak henti-hentinya menatap ke arah di mana Kyungsoo duduk. Masih dalam balutan blazer seragam St.Maria, ia duduk dengan hati yang terus bergejolak.

Berbeda dengan dua namja muda itu, Kyuhyun merasa tidak nyaman jika Jongin berada di dekat Kyungsoo terus-menerus. Ia sangat takut jika adik kesayangannya tersakiti hatinya kelak. Kyuhyun juga masih ragu terhadap perlakuan Jongin terhadap Kyungsoo yang membuatnya sedikit cemburu. Selama ini yang Kyuhyun tahu, Kyungsoo tak punya banyak teman.

Ribuan prasangka mengerubungi kepalanya, ia tak sanggup menutupi rasa khawatir yang terus-menerus menyelubungi hatinya.

Akankah Jongin mau membuka hatinya untuk Kyungsoo, jika Luhan mati tanpa meninggalkan jantung untuk Kyungsoo?

Akankah mereka bisa sedekat ini?

Akankah Kyungsoo dapat tersenyum seperti saat ini?

Tuhan tolong, jangan renggut kebahagiaan yang baru saja ia mulai.

Tuhan, aku mohon...

Kyuhyun sesekali melirik Kyungsoo yang sedang tersenyum dengan ekor matanya. Senyuman Kyungsoo yang hampir tiga tahun belakangan tak terjamah oleh pandangannya, mengundang senyuman tipis pada bibir Kyuhyun. Terberkatilah matanya yang masih bisa melihat senyuman secerah itu dari adiknya sendiri.

Sejak kejadian beberapa menit yang lalu di koridor depan ruang guru, Kyungsoo mengijinkan Jongin untuk ikut serta dengannya hari ini. Membuat wajah Kyungsoo merona kembali saat mengingat kejadian manis tadi.

Flashback.

Jongin—apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti...”

Jongin tidak percaya dengan apa yang ia sendiri lakukan terhadap Kyungsoo di koridor depan ruang guru beberapa saat lalu yang membuat Kyungsoo menatapnya telak, melemparkan seribu tanya.

Rasa takut semakin menyelimutinya, ia seharusnya tidak bertindak ceroboh dengan mengatakan hal-hal aneh sehingga membuat Kyungsoo curiga. Bagaimana jika ia menjauhiku karena masalah ini. Tidak.. tidak..

Kyungsoo mengerutkan keningnya, Jongin yang terdiam membuatnya semakin bingung. Sementara tangannya bergerak gelisah dalam genggaman tangan Jongin. “Jongin-ah?..”

Jongin memutar otak, ia tak ingin Kyungsoo menjauh. Cukup kehilangan sekali, ia tak mau kehilangan lebih banyak  lagi.

“Aku—aku tahu kau hanya menghindari tugas hari ini kan?!” Dusta Jongin. “Kau tahu kan, kalau Choi Saem akan masuk kelas dengan kuis-kuis yang menyebalkan itu, ya—kan? Jadi kau akan menghindarinya dengan jalan-jalan bersama hyung-mu itu. Ya kan?! “

Jongin gugup bukan main, hanya kata-kata seperti itulah yang sanggup ia ucapkan untuk menutupi gelisah di hatinya. Jongin merasa, pasti dirinya saat ini terlihat sangat bodoh. Otot-otot di wajahnya menegang, ia tak tahu, apakah Kyungsoo dapat mencium gelagat aneh pada dirinya saat mengucapkannya atau tidak.

“Hmfft—hahaha!” Di tengah rasa canggung keduanya tawa Kyungsoo pecah, dan itu membuat Jongin mendesah lega.

O—oh dia tertawa...

Jongin merona melihatnya.

Mata Jongin memperhatikan wajah manis Kyungsoo lamat-lamat. Wajahnya saat tertawa masih sama seperti saat pertama Kyungsoo menertawai Jongin yang membaca novel terbalik di kelas. Bibir penuhnya membentuk pola heartshape­ manis dengan deretan gigi putih mungil di baliknya. Pipi gembulnya tertarik ke atas merona dan membuat matanya yang bulat menyipit imut.

“Kau lucu sekali Jongin—hmmft.. hihi.. aku tak tahu kau memperhatikanku seperti itu.” Oh—rasanya Jongin ingin mengecup tiap inchi wajah Kyungsoo saat ini. Jongin juga ingin sekali ikut tersenyum mendengar tawa renyahnya. Tapi ia tahan, ia berusaha mempertahankan wajah seriusnya.

“Jangan tertawa! Aku hanya tak ingin nilaimu jelek. Kau tahukan Choi Saem seperti apa.. aku hanya ingin membantumu.”

Kyungsoo terdiam, tersenyum tipis dengan wajahnya masih memerah akibat tertawa. Kyungsoo berdeham sedikit, menjernihkan tenggorokannya “Kau ini. Apa yang sebenarnya mengganggumu? Bukankah itu bagus untukmu, bukankah selama ini kau anggap aku tak ada? Mengapa tiba-tiba...”

“Siapa yang menganggapmu tak ada? Aku hanya—hanya...“ Jongin menggigil karena gugup—lagi. Ia memutar otaknya kembali, mencari alasan lagi dan lagi.

”...Kau itu roomate-ku, jika nilaimu jelek karena membolos, aku akan dimarahi Seohyun Saem karena tidak mengingatkanmu.”

Kyungsoo nampak menimang-nimang perkataan Jongin. Ada benarnya juga, jika ia mendapatkan minus dalam pelajaran Choi Saem, ia juga yang rugi. Dan, Jongin sudah murah hati untuk mengingatkannya. Kyungsoo menggigiti Philtrum-nya. Kebiasaan lama mengulum bibir atasnya jika sedang berpikir muncul.

Imut...

Kelakuan Kyungsoo membuat Jongin menjejal paksa saliva ke tenggorokannya. Menatap lapar pada bibir yang digigiti oleh Kyungsoo.

Ya Tuhan—Jongin berpikir, sudah berapa lama ia tak merasakan hal yang luar biasa seperti ini. Perasaan ingin memiliki lagi, rasa yang membuat Jongin terbawa khayal untuk mendekap Kyungsoo ke dalam rindu yang selama ini ia pendam. Perasaan ingin melindungi dan menjaga, mungkin karena Kyungsoo terlihat seperti namja yang sangat lembut dan rapuh. Jongin seakan tak mau melepaskan genggaman tangannya saat ini.

Kyungsoo bingung, ia memang sudah di beri izin oleh Seohyun-nuna, nilainya juga sangat penting. Tapi di sisi lain, hyung-nya juga sangat merindukannya. Ia tak akan melihat hyung-nya setiap hari, karena aktifitasnya di asrama, belum lagi kegiatannya bersama The Beast.

Duh, bagaimana ya?

“Kyung-ah...?”

“Begitu ya.” Akhirnya Kyungsoo buka suara. Membuat Jongin mau tak mau menyeringai tipis. Dalam hatinya ia  bersorak gembira. Akhirnya...

“Tapi Kyuhyun-hyung sangat ingin aku pergi bersamanya. Hyung  juga sudah meminta izin secara resmi kepada nuna. Aku tidak ingin ia kecewa, jadi bagaimana?”

Eh?

Seringaian tipis itu luntur seketika, berganti dengan tatapan memelas nan kecewa karena Kyungsoo lebih memilih pergi bersama dengan hyungnya. Merasa tak akan berhasil membujuk Kyungsoo, genggaman pada tangannya mengendur. “Arasseo...” gumam Jongin, lesu.

Kyungsoo yang entah mengapa begitu hampa ketika tangan Jongin tak menggenggam tangannya lagi, akhirnya tanpa ia sadari tangannya reflek meraih kembali tangan Jongin, memilin jemari Jongin seraya menunduk dalam. “Jongin, mianhae...”

Jongin semakin gemas mendapati perlakuan manis yang memang khas Kyungsoo. “Ini tak apa Kyungsoo, aku tak apa-apa. Jika kau mau pergi maka pergilah.” Jongin berusaha mengulum senyum termanisnya demi untuk menenangkan Kyungsoo.

Kyungsoo mendongak dan mendapati Jongin yang tersenyum sangat manis, senyum yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Mungkinkah ini senyuman untuknya... setelah sekian lama...

Kyungsoo merona melihatnya, ia hendak mengatakan sesuatu lagi tentang minta maaf, namun dengan cepat Jongin memotongnya dengan meletakkan jari telunjuknya tepat di belahan bibir ranum milik Kyungsoo.

“Ssst! Kau terlalu banyak minta maaf, Soo-ya..” Kyungsoo terpaku, entah keberanian  dari mana tapi  Jongin kini merapatkan tubuhnya kepada Kyungsoo. Meraih penuh seluruh lengan Kyungsoo untuk dilingkarkan pada lehernya, lalu Jongin merunduk memiringkan wajahnya.

Wajah Jongin kini semakin dekat, Kyungsoo bergerak gelisah, ia tak tahu harus apa—dan—bagaimana. Matanya bulat miliknya reflek terpejam perlahan, ia tak bisa menahannya lagi, ia sangat nervous kali ini. o—oh! Apa yang akan Jongin lakukan... batinnya berkecamuk.

Setelah lama memejamkan mata, ia tak merasakan apapun dari pergerakan Jongin, selain napas berat yang meraba telinga kirinya. Setelah itu, sesuatu yang hangat dan basah hampir menempel pada daun telinganya, bergerak perlahan bersama sebuah bisikkan.

‘Bukankah sudah aku katakan? Jika kau ingin pergi, maka pergilah! Tapi, dengan satu syarat...’

Kyungsoo mengerjap, sentuhan Jongin membuat Kyungsoo merona hebat hingga telinga. Napasnya tersengal, suhu tubuhnya seakan meninggi, detak jantungnya memompa hebat menyemburkan sensasi aneh keseluruh tubuhnya yang membuat bulu-bulu roma merinding lembut di sekitar tengkuknya.

“A—apa itu?” Akhirnya satu pertanyaan lolos dari bibirnya.

Dengungan Jongin pada daun telinga Kyungsoo, membuatnya menahan erangan. Sebelumnya—selain dengan Yixing saat menari dulu—belum ada yang seintim ini dengannya. Lengan Jongin masih setia mendekap pinggang mungil Kyungsoo, membuatnya bergoyang ke kanan dan ke kiri, seakan sedang menikmati dansa di sebuah ballroom dengan musik klasik yang lembut.

Jongin membisikkan sebuah kalimat terakhir sebelum menarik diri menatap Kyungsoo dengan senyuman jahil, lalu menarik lengan kurus Kyungsoo berlari kecil menyusul Kyuhyun yang sudah lebih dahulu ke parkiran sekolah.

Kata-kata Jongin berusan membuat Kyungsoo tertegun sejenak dan mengikuti langkah Jongin dengan kaki gemetar. Namun, melihat sikap Jongin yang sangat manis dan hangat terhadapnya membuat senyum Kyungsoo tak pudar.

Setelah ini, Kyungsoo tak akan melepaskan genggaman Jongin, sampai kapan pun. Jutaan perasaan menyerang hatinya, ia tak mampu mengungkapkan dengan kata-kata lagi.

‘Syaratnya, kau harus bawa aku kemana pun kau pergi—‘

...

 Jongin—dia menginginkanku? Dia menginginkanku! Oh Tuhan, benarkah?!

...

Kyungsoo semakin punya alasan untuk tetap bersama Jongin. Tak peduli apapun. Di hati dan pikirannya hanya ada Jongin, Jongin, dan Jongin.

 

.

Flasback End

 

Dering telepon genggam memecah lamunan Kyungsoo. Ia mengerjap sekali lalu menoleh ke arah Kyuhyun, “Hyung, teleponmu.”

Kyuhyun meraba saku celananya, “Bukan.”  Jawabnya singkat setelah memastikan tak ada getaran di sana. Ia memutar stir untuk belok ke kanan, suara navigasi memberi informasi jarak tempuh yang akan di lalui. Dua setengah kilometer lagi. Dering itu berhenti selama dua detik kemudian bergema lagi.

“Milikmu mungkin, Kyung.” Kyungsoo mengerjap lagi, lalu menggeleng cepat. “Bukan. Aku tidak—“

“Eh— aku baru ingat! Bruck bilang kau tidak pernah membawa ponselmu. Mengapa kau tidak membawa ponselmu ke asrama heh?!“ Kyuhyun mengernyit tak menyenangkan, membayangkan adik kesayangannya tinggal di asrama tanpa membawa telepon genggam adalah sebuah keteledoran besar. Ia tak bisa membiarkan begitu saja, apalagi dengan keadaan pergaulannya akhir-akhir ini. Sementara Kyungsoo hanya menggigiti bibir atasnya gugup melihat wajah tak bersahabat hyungnya.

“—mengapa tuan muda Do sangat ceroboh heh?! Aku tidak bisa mentoleransi yang satu itu, Kyung! Kau harus membawanya, suka atau tidak.” Wajah datar Kyuhyun serta ucapan ketusnya mau tak mau membuat Kyungsoo mengangguk pasrah.

“Atau kau ingin yang baru? Kita bisa membelinya hari ini.” Tawar Kyuhyun, dan dijawab gelengan pelan oleh Kyungsoo, “Tidak perlu, yang lama juga masih berfungsi dengan baik.”

“Kalau begitu, bawa! Sebenarnya apa sih maumu? Menghukumku dengan rasa bersalah karena menelantarkan adik kesayanganku heh?!” Kyungsoo menundukkan wajahnya, ia tak pernah menyangka jika saudara tirinya begitu mengkhawatirkan keadaannya. Kini Kyungsoo yang merasa bersalah.

“Kau begitu ingin menghukumku Do Kyungsoo, maka kau sukses membuatku merasa tak berguna menjadi seorang hyung.”

“Aku tidak bermaksud seperti itu, hyung. Maafkan aku…”

 “Aku tak punya siapa-siapa lagi selain kau Kyungsoo. Kau alasanku bersekolah di London, menyelesaikan MBA dengan asrama yang ketat. Semua itu demi kau Kyungsoo, apa kau tahu.”

“Maafkan aku hyung, maaf… aku akan turuti apa pun keinginanmu, asal hyung tidak sedih lagi.”

Kyungsoo meraih tangan kiri hyungnya yang bebas, menggenggamnya penuh kasih seraya tersenyum manja lalu mengagguk semangat. “Aku janji!”

Selalu—selalu seperti ini, tak ada yang bisa Kyuhyun lakukan jika Kyungsoo sudah berubah menjadi adik manis yang manja. Kyuhyun mau tak mau pun ikut tersenyum menoleh ke arah Kyungsoo yang sedang tersenyum manja.

“Ingat… kau sudah berjanji Kyung.”

Kyungsoo berpikir sekali lagi, dulu sebelum ia bersekolah, telepon genggamnya tak banyak berfungsi karena tak ada satu pun orang luar yang akan di hubungi selain anggota keluarga, jadi sedikit banyak ia tak suka memegang benda kotak itu. Tapi kini, ia punya banyak teman yang bisa ia hubungi. Ia rasa tak ada salahnya jika kini ia aktifkan kembali.

Jeda beberapa saat, lalu dering itu kembali membuat bising. Kyuhyun dan Kyungsoo saling pandang sejenak, yang lebih tua lalu menepikan mobil. Mereka hampir melupakan seseorang di sana, di jok belakang.

Kyungsoo menoleh cepat, di sana ada sosok Jongin yang sedang terpejam. Kepalanya mendongak bersandar pada bantalan kursi, blazer sekolahnya sudah terlepas dan kini teronggok di sebelahnya, dua kancing kemejanya terbuka.

Kyungsoo tersenyum tipis, karena baru kali ini ia melihat Jongin begitu lepas. Selama di kamar asrama, Jongin selalu bersembunyi di balik selimutnya dan tidur membelakangi Kyungsoo. Kini, Kyungsoo bisa memandang semuanya. Wajah Jongin saat tidur, gerakan halus naik turun pada dadanya, serta bibir penuh yang sedikit terbuka. Bibirnya terbuka—sedikit. Bibir itu—

Dering itu kembali nyaring, Kyungsoo terhenyak dari khayalan tentang bibir Jongin, ia menangkap kedipan cahaya dari balik kantung blazer Jongin.

Kyuhyun mendesah kesal mengintipnya dari kaca spion depan. “Bocah itu benar-benar!—bangunkan dia Kyung!” ia menegakan duduknya lalu melanjutkan perjalannya yang hanya dua kilometer lagi.

Kyungsoo mengulurkan tangan rampingnya, ia condongkan sedikit bandannya ke belakang mencoba meraih lutut Jongin. “Jongin-ah—bangun! handphone-mu berdering sejak tadi.”

“Jongin-ah, bangun!”

Tak butuh waktu lama, guncangan pada kakinya membuat kesadaran berangsur-angsur naik ke kepala Jongin. Ia mengusap wajahnya sebentar sebelum membuka mata sepenuhnya.

“Ada apa?” Jongin menegakkan posisi duduknya.

“Teleponmu—“ Kyungsoo menunjuk ke arah blazer Jongin yang langsung diikuti oleh pandangan Jongin. Ia segera meraih ponselnya lalu menggeser layarnya.

Kyungsoo masih setia menghadap Jongin tersenyum memandangi wajah bangun tidur Jongin yang begitu tampan. Mata setengah terpejam Jongin menatap wajah Kyungsoo, lalu membalas senyumanya dengan senyum tipis khas bangun tidur.

“Halo—“

“Kai—“

Suara itu—Kim Minseok!

“Hyung?” kening Jongin berkerut mendengar suara di seberang sana.”Well, tumben sekali. Ada apa?”

“Ada yang harus aku sampaikan, kurasa aku harus segera memberitahumu—awalnya aku tak yakin, aku juga tak tahu harus bicara dengan siapa lagi. Tapi bisakah—kau ke base camp sekarang? Aku—aku tak akan memaksa jika kau masih tak bisa, ta-tapi…“

Terdengar helaan napas berat dari ujung telepon, Jongin mengernyit, “Sekarang ya? Apa tidak bisa nanti—“

“Tentang The Prunk—“

DEG!

Jongin terdiam setelah mendengar kalimat itu. The Prunk, rasanya baru minggu kemarin ia mendengar masalah tentang video usil itu, tapi mengapa kini para personil The Beast kembali mengungkit masalah itu.

“Baiklah Kai jika kau tidak—“

“Aku akan ke sana. Tunggu aku Xiumin hyung.”

Air muka Jongin berubah serius. Ia menatap lurus pada Kyungsoo yang membulatkan matanya penasaran ketika mendengar nama Xiumin. Tak ada percakapan lagi, ia hanya membiarkan panggilan itu berakhir sepihak.

“Apa itu tadi… Xiumin hyung? ada apa Jongin?”

“Sepertinya aku tidak bisa menemanimu Kyung, aku harus menemui Xiumin hyung sekarang.” Jongin tersenyum lalu menjulurkan tangannya untuk mengusak surai lembut milik Kyungsoo.

“Ada apa? Aku akan ikut denganmu, okay.” Kyungsoo berkata sungguh-sungguh. Bukankah sekarang ia juga bagian dari keluarga ini? Bukankah ia juga berhak mengetahuinya. Tapi saat melihat senyuman tulus dari bibir Jongin yang sedang menggelengkan kepalanya, Kyungsoo melemas seketika.

“Ada apa Jongin?”

“Tidak ada sesuatu yang serius, Kyung. Mungkin—ini sudah saatnya aku mencoba untuk kembali. Maafkan aku, bukankah lebih baik kau bersama Kyu hyung. Beliau sangat merindukanmu.”

“Sepertinya begitu. Baiklah…”

“Tidak apa kan jika aku tidak bisa menemanimu?”

“Ah—tidak apa. Aku bersama Kyu hyung saja.”Kyungsoo memberikan senyum terbaiknya, walau pun ia sangat penasaran tentang apa yang terjadi karena tak biasanya Xiumin hyung mau menghubungi Jongin lebih dahulu. ”Tapi, apakah benar-benar tidak terjadi sesuatu?”

Jongin menggeleng seraya masih tersenyum, sepertinya tersenyum sudah menjadi hobinya sekarang. Jika berhadapan dengan Kyungsoo segalanya jadi terasa lebih manis. “Aku berjanji akan mengajakmu berkeliling kota suatu hari. Hanya kau dan aku, oke?”

Keliling kota be—berdua? Apa ini ajakan kencan? Kyungsoo membulatkan matanya kemudian mengangguk antusias, ia melebarkan senyum manis. “Oke!”

Jongin berdeham pelan, ia menatap Kyuhyun lewat kaca spion. “Hyungnim, maaf. Apa bisa aku berhenti di sini saja. Aku ada urusan mendadak.” Kyuhyun sempat melirik ekspresi serius Jongin dari kaca spion depan. Tanpa banyak bicara Kyuhyun menepi perlahan. Hanya lewat tatapan tanpa ada penjelasan Kyuhyun mencoba membaca keadaan. Ia membiarkan Kyungsoo ikut keluar dari mobil demi hanya mengucapkan perpisahan dengan Jongin.

“Sampai ketemu nanti sore.”

“Oke. Nanti sore.” Lambaian tangan kurus Kyungsoo dibalas oleh lambaian semangat Jongin.

Mobil yang ditumpangi Kyungsoo telah berlalu, tapi Jongin masih berdiam di tempat di mana Kyuhyun menurunkannya. Ada secercah perasaan menyesal di hati Jongin, karena tidak bisa berkeliling kota bersama Kyungsoo.

Ia kembali melirik telepon genggamnya. Kini pikirannya terpusat pada perkataan Minseok. The Prunk!

“Aku harus cepat.” Gumamnya seraya mencari kontak pada ponsel digenggaman lalu mencoba menghubunginya. Setelah sambungan yang berkali-kali tak diangkat, akhirnya suara klik dari ponselnya membuatnya menghela napas lega.

“Kai? Ada apa?”

“Junmyun hyung? bisa minta tolong buatkan empat surat izin sekaligus? Ini sangat penting.” Jongin kembali meniti langkah menuju halte bus terdekat. Sesekali matanya memicing waspada melihat sekeliling. Perasaannya seperti ada yang mengikuti langkahnya. Ia menoleh pelan ke belakang, tak ada yang mencurigakan. Semua normal.

“Ke—kenapa banyak sekali heh?! Jangan katakan jika kau membolos hari ini—Ya Tuhan KKAMJONG! Apa yang akan kukatakan pada Aboeji!”

Jongin tahu, saat ini pasti tuan muda Kim itu sedang murka hingga menyebabkan wajahnya yang seanggun malaikat berubah menjadi sejelek kakek-kakek penjual ubi bakar manis di depan asrama hanya karena mendengar permintaan aneh dari adik semata wayang. Jongin berusaha bersikap tenang, meskipun jelas-jelas ia tahu, jika saat ini ia sedang di buntuti oleh seseorang. Ya, ia menyadari sesuatu pada akhirnya.

“Hyung—jebal! Ini sangat penting! Tolong buatkan Untukku, Yixing, Steve, dan Tao.  Minta Seohyun Saem untuk menandatanganinya jika beliau tidak bisa, mintalah bantuan dengan Lee Saem. Juga segera beri tahu mereka, aku menunggu di rumah.

Jeda beberapa saat. Setelah suara helaan napas berat akhirnya Junmyun bersuara. “Baiklah, akan kuusahakan. Tapi aku tak bisa menjamin kau bebas dari hukuman, jika Aboeji mendengar tentang hal ini, mengerti? Jaga dirimu baik-baik.”

“Baiklah, terima kasih hyung. Jangan lupa, aku menunggu.” Seringaian tipis di wajah tan itu mengakhiri sambungan telepon. Niat untuk mencapai halte bis pupus sudah ketika menatap senang pada sebuah mobil Jaguar hitam legam yang menghampirinya.

Jongin hanya bisa menyilangkan tangan di dada ketika sang empunya mobil menurunkan kaca pada jendela mobilnya

“Butuh tumpangan?” sang pemuda pada kemudi tersenyum misterius. Satu pertanyaan di jawab dengan sebuah cengiran bodoh Jongin yang sejak dulu tak pernah terlihat lagi.

“Masuklah Kai! Xiumin hyung tidak sesabar Lay.”

Tanpa menjawab lagi, Jongin melangkahkan kakinya menuju kursi di samping kemudi. Ia menghempaskan tubuhnya, seakan sedang melepas beban berat yang telah lama di pikulnya. Ia menatap sosok pada kemudi yang masih tersenyum lebar.

“Terima kasih Jongdae hyung, dan—ma-maaf…aku…aku tidak—“ lirih Jongin di akhir kalimat. Sosok di sampingnya hanya tersenyum tipis seraya mengusak surai hitam Jongin. Rasanya sudah sangat lama ia tak bisa sedekat ini dengan sepupunya sendiri.

“Sudahlah! Tak ada yang patut di persalahkan. Jika memang sudah berjalan seperti ini, mau bagaimana lagi.” Helaan napas ringan dari Jongdae, membuat suasana sedikit mencair. “Aku senang kau cepat menyadarinya. Apa Dio sendiri yang menceritakannya?” Jongdae melepas kaca mata hitamnya, lalu melemparkannya ke dasbor yang ada di hadapannya.

“Tidak.” Jongin mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memperhatikan ramainya lalu lalang kendaraan. “Bahkan dia pun tak menyadari jika aku sudah mengetahuinya. Pagi tadi, aku tak tahu harus bagaimana, berdiri di depan pintu kamar, diam-diam mendengarkan isi hatinya. Pengakuannya saat itu membuat pertahananku runtuh.”

Jongdae melirik Jongin dari sudut matanya. Ia terus terdiam selama Jongin berceloteh, yang Jongdae tahu saat ini Jongin butuh seorang yang bisa dijadikan sandaran. Ia mendengar helaan napas berat Jongin.

“Kehilangan jejak Luhan secara tiba-tiba, lalu mendengar kabar kematiannya. Aku marah dan sempat berpikiran buruk tentang sikap Luhan yang kuanggap seperti pengecut karena meninggalkanku begitu saja tanpa kabar, padahal pada saat itu aku membawa medali untuknya. Semua fakta menampar hatiku telak.” Terdengar dengusan Jongin disela ceritanya, tanpa menoleh ke arahnya pun Jongdae tahu jika saat ini Jongin sedang menahan perih yang mulai menenggelamkan manik kelamnya.

“Bayangan ketika Luhan harus kehilangan kedua kaki karena kecelakaan, bagaimana ia bertahan melalui masa-masa sulitnya, saat  ia berusaha menghindar dariku—sedangkan aku dengan egoisnya menuduh dia yang macam-macam hanya karena ia keluar dari asrama secara tiba-tiba tanpa pesan apa pun. Aku ini bodoh! Tidak bisa bertindak tenang dan sabar! Arogan! Seharusnya saat itu aku mencarinya—harusnya aku yang ada disampingnya. Seharusnya… aku… a—aku… Ughh—“

Tidak bisa. Jongin sudah tak bisa menahannya lagi. Gumpalan perih itu meluncur indah di pipi tan milikya. Betapa terpuruknya ia jika mengingat cerita yang dihanturkan Chanyeol malam itu. Luhannya kesakitan, Luhannya terpuruk, Luhannya putus asa—sedangkan dia…

“Kai-ah…” Jongdae mengusap bahu Jongin pelan. Ia tak tahu harus berujar apa lagi, jadi ia biarkan Jongin menangis terlebih dahulu.

“Lalu Kyungsoo—“ Jongin berusaha menahan sesegukan, dan mencoba mengangkat wajahnya. “—Ia datang dengan segala kenaifannya. Datang dengan hanya berbekal impian Luhan. Minim pengetahuan tentang siapa aku dan bagaimana cerita kami. Ia begitu rapuh, namun aku sangat tak acuh menghadapinya. Aku menganggapnya seperti hama menyebalkan.” Jongin mengusap kasar jejak tangisnya, kini ia menegakkan duduknya meskipun masih terlihat sedikit berdeguk-deguk

“Kau tahu hyung, aku sama sekali tidak menyalahkannya.” Jongdae tersenyum tipis mendengarnya.

“Kyungsoo—ia tak salah. Ia lebih seperti tidak berdaya. Entah keyakinan dari mana tapi—aku berpikir jika ia dalam keadaan sadar, ia tak akan menerima donor jantung itu. Kyungsoo yang sudah aku kenal, ia sangat lembut, lucu, dan juga naif. Dia—“

“Dia naif. Kau sudah berulang kali mengucapkan itu Kai!” Jongdae mendengus geli. Ia harus berterima kasih pada makhluk semungil Kyungsoo karena bisa mengembalikan Jongin seperti dulu.

Jongin ikut mendengus geli, tanpa sadar ia tersenyum kecil mengingat betapa polosnya Kyungsoo. “Tapi semua kembali lagi ke Luhan, lelakiku itu bagaikan malaikat. Ia memberikan semua mimpi dan hidupnya pada Kyungsoo, di dalam keputus asaannya—ia masih memikirkan keselamatan orang lain. Jika itu aku—mungkin aku juga melakukan hal yang sama, aku juga tak ingin membuat lelakiku ikut larut dalam penderitaanku. Dan juga Kyungsoo, kurasa ia lebih dari sekedar pantas mendapatkan kehidupan kedua. Ia terlalu polos.”

Jongdae menjulurkan tangan untuk mengusak rambut ikal Jongin, ia tak tahu harus berkata apalagi. Sepupu bodohnya itu sudah semakin dewasa. Diam-diam dalam hati ia berterima kasih pada Luhan dan Kyungsoo. Dua raga yang berbeda tetapi memiliki satu jiwa.

::

::

::

“Hey Kris, kau masih marah? Oh—ayolah… jangan seperti ini.” suara bariton itu tidak cocok dipakai untuk membujuk atau pun merajuk sambil bergelayut  manja di lengan namja yang sebaya dengannya.

“Lepas! Nanti yang lain berpikir macam-macam tentang kita—lagi pula pantas jika aku mendiamkanmu sekarang. Kau menyembunyikan sesuatu dariku.” Kris berlalu menuju ruang loker untuk berganti seragam olah raga. Chanyeol masih setia mengekor di belakangnya.

“Aku pasti akan cerita! Tapi kau jangan cuek begini… aku ‘kan tak punya siapa-siapa lagi selain kau. Cuma kau yang mengerti aku luar dalam.” Lagi-lagi Chanyeol menarik-narik blazer milik Kris. Membuat sebagian siswa di dalam ruang loker menatap aneh kepada dua sahabat itu.

“Jangan bicara seperti itu keras-keras. Semua bisa salah paham Park bodoh! Lepas sekarang!” Kris berbisik sinis, ia menyingkirkan tangan Chanyeol dari blazernya, tapi Chanyeol semakin mengeratkan tarikannya.

“Tapi kau janji dulu, jangan jauhi aku lagi, oke?”

“Iya cerewet! Dan kau juga berhutang penjelasan padaku, DJ Giant C! kau berhutang penjelasan padaku!” Kris menghentakkan tangan Chanyeol sekali hempas, dan hanya dibalas oleh cengiran bodoh.

“Iya—iya aku pasti akan jelaskan. Setelah pelajaran olahraga, aku akan menjelaskannya tuan muda Wu.”

Kris mendengus sebal melihat sikap Chanyol. Di hadapannya berdiri seorang sahabat bodoh, anak dari seorang Gubernur, sahabat yang selalu bertindak konyol dan sangat berisik. Ia tersenyum tipis  seraya melepaskan blazer dan kemeja seragamnya, begitu juga Chanyeol. Karena yang ada di ruang loker keseluruhannya adalah namja jadi mereka merasa bebas untuk berganti baju.

Chanyeol melirik Kris yang sedang melepas celana panjang seragamnya dan hanya menyisakan boxer super pendek bermotif sponge bob.

“Woah! Kris itu boxer hadiah ulang tahungmu yang aku berikan saat tahun kedua di asrama. Ternyata kau masih menyimpannya, aku jadi terharu.” Ia mengerjapkan matanya polos sambil mendekap seragam olahraganya.

Kris menatap horor pada tatapan dan ucapan Chanyeol. Ia memperhatikan sekitar, suasana jadi semakin aneh ketika teman sekelas mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka.

“Jangan bicara aneh begitu, idiot! Kau membuat mereka semakin salah paham!” Kris mulai jengkel lalu melemparkan sebuah handuk baru yang masih terlipat ke arah wajah bodoh Chanyeol. Dan dengan cepat memakai celana olah raga pendek yang longgar, serta menjinjing kaus oranye berlambang nama sekolah.

“Ya! Kris! Tunggu—tunggu aku hey!” melihat Kris berlalu meninggalkannya, Chanyeol pun tergesa mengenakan semua seragam olahraga .

Kris terus berlalu tanpa mengindahkan pangilan Chanyeol. Ia tersenyum tipis, mengingat bagaimana berbedanya sikap temannya itu saat menjadi DJ dan saat di asrama. Hatinya tak sabar ingin mendengar penjelasan dari sikap Chanyeol itu.

Dari semua prasangka yang menyinggung hati Kris karena fakta dari sisi lain sahabat karib, jauh di dalam hatinya, Kris masih percaya pada Chanyeol. Sahabat bodohnya itu tidak akan bertindak lebih jauh dan membuat nama ayahnya tercemar.

Bagaimana pun sikap dan sifatnya, Chanyeol yang Kris kenal adalah anak lelaki manis yang selalu menghargai dan menyayangi ayahnya.

::

::

::

“Siapa yang mengambil semua gambar ini, hyung?” tangan Jongin lincah menjeda lalu memperbesar gambar video dalam i-pad milik Minseok.

Jongin sudah tiba sepuluh menit lalu, dan menerima pelukan erat dari Minseok yang memang masih sepupunya. Baru beberapa bulan Jongin tidak berkumpul bersama semua member, tapi rasanya sudah bertahun-tahun Jongin tak menginjak tempat berkumpul mereka.

“Kris.” Jawab Minseok singkat tanpa menoleh ke arah Jongin yang masih sibuk dengan video battle Jum’at malam kemarin. Jongin menoleh cepat ke arah Minseok yang masih sibuk dengan laptop di depannya.

“Kris?... Kris siapa? Apa aku mengenalnya?”

“Aishh! Dia sunbae-mu di Saint Maria—kkamjong.

“Ah—yang blonde itu… yang sering bersama Chanyeol-sunbae. Jadi—dia juga anggota baru?” ia kembali memperhatikan video amatir buatan sunbaenya. Walaupun amatir, tapi rekaman video itu terlihat sangat bagus dan berkualitas, berbeda dengan video jahil yang sudah sering Jongin lihat.

Minseok menegakkan duduknya dan mengangguk mantap, “Benar. Dia dan Zitao adalah keluarga baru kita.” sejurus kemudian dia mengetukkan jari telujuknya pada layar i-pad tepat di gambar seorang namja yang memakai hoodie hitam yang sedang berdiri di sisi gelap klub jalanan.  “Dan yang ini missing member kami.” Ujarnya sarkastik.

“Hyung!” Jongin yang merasa tersindir lalu menjauhkan ­i-pad­ dari jangkauan pandangan Minseok.

“Haha—aku tahu kau pasti akan datang malam itu. Dan aku senang karena Kris menjalankan tugasnya dengan teramat baik.” Minseok kembali memangku laptop lalu memasangkan flash disk. “Kau datang karena khawatir dengannya kan? Aku sudah mengenalmu sejak kecil, uri—jonginnie… kau bukan orang yang bisa berlama-lama untuk berpura-pura tak peduli.”

“Berpura-pura dari apa tuan muda Kim—“ Jongin mendengus meletakkan i-pad milik Minseok di atas meja. “Aku bahkan tak bisa menatap matanya saat pertama kali bertemu. Kabut di mataku terlalu tebal, sampai-sampai aku tak menyadari, kalau Luhan yang mengirimnya untukku.”

Jongin beringsut bersandar pada bantalan sofa. Matanya menatap lurus pada kaca yang mengelilingi ruangan di hadapannya. Perlahan-lahan, bayangan Luhan yang tersenyum terpantul dan berputar-putar dalam setiap cermin layaknya sebuah film.

Di cermin utama tubuh ramping Luhan meliuk tegas melakukan beberapa gerakan popping locking dance. Ia terlihat manis dengan kaus tanpa lengan longgar serta celana olahraga Saint Maria. Ketika tariannya berakhir, bayangan itu hilang perlahan.

Di cermin sisi kiri bayangannya kembali. Luhan yang mengenakan jump suit biru gelap sedang melakukan perenggangan, bayangan itu melirik ke arah Jongin yang sedang duduk seraya tersenyum tulus. Jongin ikut tersenyum melihatnya. Lalu kembali hilang seperti yang pertama.

Di cermin sisi kanan ruangan, kini bukan hanya bayangan Luhan yang muncul, tapi juga bayangan Jongin sendiri sedang menggoda Luhan yang sedang fokus latihan. Jongin ingat saat-saat itu, ketika tahun pertama setelah mereka memutuskan untuk membentuk The Beast, Luhan nampak lebih sering berlatih. Jongin yang sebal karena waktu Luhan yang terbagi oleh menari pun menjahili Luhan seharian penuh. Beberapa kali Luhan nampak kesal dan berusaha mendiamkan Jongin tapi tetap tak bisa. Entah berawal dari mana, namun keusilan Jongin berakhir dengan kecupan panjang dari Luhan pada bibirnya. Dan sama seperti sebelumnya, bayangan di cermin itu pun menghilang.

Setetes perih lolos dari mata kelam Jongin. Kenangan yang Luhan ciptakan di tempat ini membuatnya semakin sesak. Rasa bersalah merangkak naik hingga ke kepala Jongin, membuat Jongin ingin sekali memukuli kepalnya yang berdenyut nyeri.

Jongin memejamkan matanya. Punggung tangan kirinya terangkat untuk menutupi wajahnya yang kacau. Hatinya masih terombang-ambing di antara bayang-bayang Luhan. Bahkan, Jongin masih ragu, apakah ia masih bisa menari nantinya, jika hanya melihat studio tari saja kenangan Luhan masih terus membayanginya.

“Hyung… apa aku ini seorang pengecut? Atau mungkin seorang bajingan kecil.” Suara Jongin bergetar, mati-matian menahan isakan. Sudah berapa kali Jongin menangis hari ini, ia pun tak peduli. Minseok yang mendengarnya sontak menoleh pelan ke arahnya. Kim yang lebih tua berusaha untuk menyamankan perasaan Kim yang lebih muda. Minseok bergeser mendekat ke arah Jongin, belum lagi tangannya terentang meraih bahu Jongin, mata sipitnya menangkap gambar pada i-pad yang tergelak di atas meja.

“Aku… lelaki yang tidak bisa diandalkan ya? Hanya anak bungsu yang manja dan—“

“Jongin…” suara Minseok terdengar lebih berat serta dingin.

“Jangan memotong acara curhatku, hyung. Aku ini sedang gamang dan terte—“

“Kim Jong—“

“Apa hyung tidak sayang lagi padaku? Kau tidak suka mendengar keluhanku? Atau kau merasa terganggu?!” Nada suara Jongin seakan merajuk.

“Kim Jongin kau harus lihat yang satu ini. kau melewatkan sesuatu di video—“

Jongin berdecak kesal. Ia berdiri menegakkan duduknya lalu mengacak-acak rambutnya. “Aku ini sedang mengeluarkan isi hatiku yang sedang terpuruk, hyung! Kau malah masih memikirkan video amatir buatan bule Kanada itu. Sebenarnya kau ini sepupuku bukan—“

“Kai! Lihat dulu anak bodoh!!”Minseok menoleh ke arah Jongin dengan air muka yang di kelilingi oleh aura hitam. Yang tertua menyodorkan i-pad yang menampilkan gambar yang sama dengan video tadi.

Jongin melebarkan matanya. Mencari celah di mana Minseok menemukan kejanggalan. Dan nihil, Jongin tidak mendapatkan apapun kecuali adegan yang sama dan suasana yang sama.

“Apa yang aneh? Eih, kau mau menggodaku dengan video Kyungsooo ini, eoh?”

Minseok kehabisan kesabaran. Ia mendaratkan kepalan sayang di kepala Jongin. “Ya! Ini sakit!!”

“Lihat dengan jelas, Kim! Lihat lagi, lagi dan lagi! Ada sesuatu di sana.”

Jongin tak bisa bergurau lagi. Jika memang Minseok sudah bersikap serius seperti ini, pasti suasananya sedang sangat genting. Jadi ia kembali memutar video, menjeda dan memperbesar gambar, hingga melambatkan rasio kecepatan putarnya. Kelopak matanya yang sedikit membengkak tertarik ke atas membuat matanya sedikit membelalak.

“Apa ini?” Bisik Jongin, heran. Ia kembali menjeda dan memperbesar gambar.

“Akh?! Si—sial!!” Ada setidaknya enam sampai tujuh member berhoodie merah—Jongin tak bisa mengira dengan jelas, karena mereka selalu berpindah tempat—mengenakan masker hitam. Dua di sudut lantai dasar klub jalanan tak jauh dari Jongin berdiam, satu tepat bersebarangan dengan Kris, mereka bertiga memegang handycamp yang ukurannya hanya segenggaman tangan. Dan sisanya timbul tenggelam di keramaian penonton dengan gerakan konyol yang membuat Jongin jengkel.

Tidak—mereka bukan hanya sekedar menonton. Tapi mereka juga menari, dengan cara mereka mengolok-olok The Beast. Jongin menggeram lemah ketika menyadarinya.

“Sudah ketemu?” Minseok buka suara ketika tak sengaja mendengar dengungan Jongin. Tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaan yang sedang ia kerjakan pada laptop di pangkuannya, ia menunggu pendapat dari Jongin.

Tatapan Jongin menajam, dahinya mengernyit tak menyenangkan. Setidaknya ia memutar hampir puluhan kali untuk memastikan gambar yang ia lihat adalah sungguhan.

“Ini gila, hyung… jadi battle kemarin—“

Jongin tak sanggup mengungkapkan kata selanjutnya. Ia merasa kecurian dengan langkah yang diambil oleh musuh bebuyutan mereka, The A.O.D.

Jari-jari Minseok berhenti menari pada tuts alfabet di laptop, seraya menghela napas berat.

Battle debut Dio kemarin adalah jebakan The Prunk. Kita hanya menunggu mereka mengirimkan videonya dan bersiap untuk battle selanjutnya."

Bersambung

::

::

::

Thanks to all beloved readers who waiting for this fiction. Aku jujur—sebenarnya kuat gak kuat ngetiknya setelah gugatan Kris, Baekhyun dating, Luhan dan video ciumannya Tao…

Setelah benar-benar bangun. Akhirnya aku tahu, kita—lebih kuat dari apa pun… rencananya emang pengen update maraton ff yang on going… tapi, masih belum rampung juga :(

Maaf ya udah nunggu lama, tapi yang di update jelek begini :(

Enjoy juseyo :3

LOVE,

Pansy

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Pandananaa
Bab 7 Updated chingudeul :3

Comments

You must be logged in to comment
Cungils #1
Chapter 8: Wahai authornim mana lanjutannya???
Caramel9395 #2
i'm still waiting for this, really
aizahputri #3
Chapter 8: HUWEEEEE akhirnya jongin buka hati buat kyungie yg polos. Ditunggu kelanjutannya ya authornim! Love bgt sama ini ff
lulubaekkie
#4
Chapter 8: kaaaa! serius aku suka banget ficnya!! kenapa ka kenapaaa? setiap chapter pasti aku selalu nangis;;;; super daebak ffnya! lanjut ya ka, hwaiting^^
Galaxy_Lilo #5
Chapter 7: Kereeennn.... Cepetan dilanjut ya..
Udh gak sabar pengen baca kelanjutannya.. Hihihi
parkcy_
#6
Chapter 7: Ahh akhirnya lanjutt!! >< gak sabar buat selanjutnya ;uuu;
hyoki407 #7
Chapter 7: yaaa tbc hueee lanjut ne dear ㅠ.ㅠ akirnyaaaaaa <3
ajengcho #8
Chapter 7: cute bgt first meetingnya luhan sm jongin.
itu kata terakhirnya nyesek bgt, "lagi?"
Caramel9395 #9
Chapter 7: ahhhhh i don't know what must i say,
jongin~a i hope u will see dyo as him and not as luhan :)
author-nim aku senang sekali ffnya ini diupdate ><
keep update again yeyyyy ^^/