The Smiling Face

Spring Crane and Heartbeat Ship

Bagi Jeonghan, deburan buih dan puing-puing kelopak bunga sakura yang berjatuhan di sepanjang Sungai Cheonggyecheon adalah penangkal rasa malas yang ampuh. Ia bisa bertahan di sana seharian sambil melipat kertas-kertas origami di tepi sungai. 

Musim semi telah tiba. Ia terbiasa membuka kelas pelatihan origami di luar gedung dan kelasnya bisa agak sulit ditemui karena Jeonghan membuka kelasnya sesuka hati. Terkadang di taman kecil di sudut perumahan, di salah satu tenda pinggir jalan di malam hari, bahkan di festival lumpur kalo ia ingin.

Sayangnya, jiwa nomaden Jeonghan menguap entah mengapa di musim semi  tahun ini. Para siswanya mudah sekali menjumpainya dengan satu lirikan di tepi Sungai Cheonggyecheon. Ia akan terduduk di depan air mengalir seraya melipat kertas menjadi hanya satu bentuk.

Burung air.

Jeonghan punya banyak imajinasi sebenarnya. Ia seringkali mengajari muridnya membuat pesawat tempur, katak, pasangan pengantin, bahkan godzila. Hanya saja kali ini, ia punya satu doa yang amat sangat ingin dikabulkan oleh Tuhan. Menurut cerita, seribu burung air akan mengabulkan do’a, bukan?

Ia ingin menyapa lelaki berheadphone di seberang sungai sana.

Betapa Jeonghan ingin menghampirinya dan mendengar nama saling terucap dari bibir masing-masing. Begitupun rasa penasaran akan musik apa yang lelaki itu dengar saat senyum manisnya merekah, lalu sukses menghipnotis Jeonghan di tempat.

Sore ini, pun tak ada beda. Jeonghan masih terduduk di tempat yang sama, melipat burung-burug airnya, seraya membiarkan sekotak roti panggang menemaninya. Murid-muridnya sudah pulang untuk bersiap ke festival musik musim semi di dekat taman kota. Hampir semua orang sedang bersiap menuju festival itu. Tepi Sungai Cheoggyecheon hanya bersisa segelintir pemuda pekerja yang baru selesai lembur.

Lelaki itu sudah tiba sebelum Jeonghan. Hari ini rambutnya berubah menjadi hitam selegam matanya. Gayanya jauh lebih tertata. Lelaki itu bahkan tak luput mengulaskan riasan di sudut mata yang besar bak kanak-kanak. Aih, apa yang ia lakukan sebelum duduk tepi sungai? Apakah ia salah satu artis di festival musik itu?

Haruskah Jeonghan menyebrang ke hadapannya dan mengajak berkenalan? Mengajaknya sekalian ke festival musik? 

Ide-ide gila itu terus berlompatan sampai waktunya Jeonghan untuk pulang. Ia sedikit mencuri pandang pada pria itu sebelum mengemasi kertas-kertas origami ke dalam tasnya. Belum sempat ia bangkit untuk mengejar bus, sebuah perahu kertas menepi di ujung sepatunya seirama air yang mengalir. Jeonghan memungutnya.

Hai, namaku Seungcheol. Mau menemaniku ke festival musik?

Saat ia mendongak, lelaki itu sudah menghilag. Ia menghela napas dan meremas perahu itu sebelum membuangnya. Gara-gara origami tak jelas pengirimnya, ia kehilangan momen sore yang berharga.

Gilanya, saat ia hampir berjalan ke ujung tangga untuk pulang, sebuah suara menyeruak dari balik pungung. Saat ia berbalik, seluruh kesadaran tersedot. Suara apa itu? Sekuat itukah gravitasi menujunya?

“Hei, maaf membuatmu takut. Aku sudah duduk di sana sejak awal musim semi. Aku malu memperkenalkan diri. Namaku Seungcheol. Ngomong-ngomong, burung air buatanmu bagus.” Lelaki itu menurunkan headphonenya dan tersenyum lebar. Jauh lebih lebar daripada senyumnya saat mendengarkan musik.

“Ah, terima kasih. Namaku Jeonghan,” Jeonghan menggigit bibirnya tersipu. “Soal festival musik...”

Seungcheol menepuk dahinya dengan keras. “Aduh, maaf membuatmu tidak nyaman. Bisa-bisanya aku menulis itu. Dimana pikiranku.”

“Aku mau kok, Seungcheol.” 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet