Chapter 8

Unpredictable (Irresistible Series)

Aku memperhatikan seluruh aspek dari drama yang akan dipentaskan. Mereka semua berlatih dengan sempurna. Sangat sempurna. Aku rasa kita semua sudah sangat siap untuk tampil di hari Sabtu nanti. Aku mulai tidak sadar menggerakkan tubuhku mengikuti irama musik yang sedang dimainkan. Aku sangat menikmatinya.

"Kerja yang bagus, DeLonge."

Aku dengan seketika menghentikan gerak tubuhku saat mendengar suara Mr. Wade yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. "Mr. Wade. Terima kasih. Apa aku sungguh-sungguh melakukannya dengan baik?"

"Sangat baik." Ia tersenyum padaku. "Lihat dia. Pria itu, aku sangat kagum padanya. Ia tidak pernah melewatkan satu hal pun dalam berlatih selama ini, bahkan hal terkecil pun." Kata Mr. Wade sambil terus menatap panggung.

"Pria... itu?" Aku mengerutkan alisku tidak mengerti siapa yang ia maksud.

"Ya, dia, Evans. Kau menyadari kehebatannya juga tentunya."

"Oh, Tristan. Ya, dia memang hebat." Jawabku lalu mataku tertuju pada Tristan.

Sesi latihan pun berakhir. Kami hanya berlatih satu sesi aja mulai minggu ini. Kami tidak ingin terlalu memforsis tenaga para pendukung acara. Sisa waktu latihan kami hanya dua sesi lagi sebelum hari Sabtu. Tapi aku rasa itu tidak masalah. Bukan jumlah yang sedikit bagi kami, karena kami sudah sangat menguasai pementasan ini.

Aku membereskan barang-barangku di ruang internship. Aku akan pulang untuk beristirahat. Aku tidak makan siang dengan Liam. Sejak malam itu di Nightjar ia tidak pernah menghubungiku. Aku mencoba untuk menghubunginya tapi tidak ada balasan. Aku akan diam saja sampai emosinya reda.

"Hai, Cameron."

Aku menoleh dan melihat Tristan yang seperti biasanya menyandarkan tubuhnya di ambang pintu ruang intership. Aku tersenyum padanya. "Hai. Kau tidak pulang?"

"Ya, aku akan pulang. Kau juga?"

"Seperti yang kau lihat."

"Cam, aku minta maaf untuk semua yang terjadi karena aku."

Aku mengerutkan keningku. "Apa maksudmu?"

Ashton berjalan masuk dan berdiri di sampingku. "Apapun masalah yang terjadi padamu, karena aku. Kau dan Liam?"

Aku menghela nafas panjang. "Ya, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi, Tris. Tidak sepenuhnya salahmu."

"Tapi, bagaimana dengan malam di Nightjar? Aku melihatnya langsung pergi bergitu saja meninggalkanmu saat melihatku menyapamu. Mungkin tidak seharusnya aku melakukannya." Tristan menundukkan kepalanya sesaat. "Sorry."

"Aku hanya berharap semua akan baik-baik saja, Tris. Aku harus pergi." Aku berjalan meninggalkan Tristan. Tapi sebelum aku keluar dari ruangan ia terlebih dahulu menahanku. Ia menggenggam pergelangan tanganku. "Tristan?"

"Cameron, aku sangat menyukaimu. Since the first time I saw you."

Aku merasakan wajahku memerah bukan karena aku tersipu malu mendengarnya, tapi aku tiba-tiba merasa sangat marah saat mendengarnya. "Apa yang kau katakan, Ashton?" Tanyaku emosi tapi aku mengecilkan suaraku karena aku masih sadar kalau kami masih berada di dalam gedung Mayhem Musical.

"Aku hanya ingin mengatakannya. Aku hanya sedikit berpikir kau juga menyukaiku."

Aku sangat emosi mendengarnya. Tanpa aku sadari tangankku menampar wajahnya yang membuat Ashton sangat terkejut tidak percaya aku akan melakukannya. Saat aku menyadarinya aku melihat ke arah sekeliling ruanganku, sepi, untung saja tidak ada yang melihatnya. Aku merasakan air mataku yang menggenang di mataku tapi aku menahannya untuk jatuh ke pipiku. Wajahku sangat panas.

"Mungkin aku pantas mendapatkannya." Tristan tertawa kecil. Ia masih bisa tertawa di saat-saat seperti ini.

"Jangan memulainya lagi, Evans. Kau sudah mendatangkan banyak masalah bagiku. Aku benci padamu!" Kali ini aku berlari keluar ruangan meninggalkan Tristan dan air mataku pun terjatuh. Aku masuk ke dalam mobilku. Aku terus berpikir, tidak, aku tidak pernah sedikitpun memiliki perasaan itu pada Tristan, atau aku pernah? Pikiranku sangat kacau. Liam sangat marah padaku. Aku memutar kembali hal-hal yang sudah aku lalui bersama Liam di pikiranku. Dari pertama aku berbicara padanya di dalam kelas, aku tersandung, sampai di Steephill Cove sampai saat ini. Air mataku mengalir deras, aku merindukan semua itu, aku merindukan waktu-waktuku dengan Liam. Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan? Aku yang menghancurkan semuanya dengan membiarkan Tristan masuk ke dalam kehidupanku menjadi batu kerikil dalam hubunganku dengan Liam. Aku lah penyebab semuanya, bukan kesibukan Liam, bukan Tristan, atau apapun. Semuanya murni kesalahanku. Aku menempelkan keningku pada setir kemudi mobilku. Air mataku terus mengalir.

-

Hari Sabtu pun tiba. Selama dua sesi latihan terakhir aku sama sekali tidak berbicara dengan Tristan. Hal yang sama terjadi pada Liam juga. Aku mengingatkan Kim dan Jess untuk datang nanti malam. Bagaimana dengan Liam? Apa ia akan datang? Aku memutuskan untuk datang ke rumahnya. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi, entah dia masih marah dan emosi padaku atau tidak.

Aku sampai di rumah Liam. Aku melihat jam tanganku masih menunjukkan pukul 8 pagi. Apa aku terlalu pagi datang kemari? Tapi aku tak punya waktu lagi selain pagi ini karena siang ini aku harus sudah berada di gedung teater. Aku mengetuk pintu rumah Liam beberapa kali. Tidak ada yang datang. Aku mencoba untuk membuka pintunya, tidak terkunci. Aku masuk ke dalam rumahnya yang kelihatan sangat sepi.

"Hello?"

Aku mencoba menyapa tadi tidak ada jawaban. Aku berjalan ke arah kamar Liam. Aku mengetuk pelan pintu kamarnya beberapa kali dan mencoba memanggil namanya tapi tidak ada jawaban. Aku membuka pintu kamarnya yang ternyata juga tidak terkunci. Aku tersenyum pada diriku sendiri ketika melihatnya masih berbaring di atas tempat tidurnya. Tubuhnya terbalut selimutnya. Wajahnya terlihat tertidur sangat pulas. Aku duduk di sampingnya. Aku mengelus pelan pipinya dan membuatnya terbangun.

"Hey..." Aku menyapanya yang masih tidak sepenuhnya bangun dari tidurnya. Aku tersenyum padanya.

"Cam?" tanyanya saat ia sadar aku ada di hadapannya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk berhadapan denganku. "Apa yang kau lakukan disini?"

"Liam... Kenapa kau tidak membalas satupun teks atau teleponku?"

"Aku hanya terlalu sibuk untuk itu." Liam menundukkan kepalanya.

"Kau... Apa?" Suaraku sedikit meninggi tapi aku sadar Liam mungkin tidak benar-benar mengatakannya. Ia hanya marah padaku. "Sorry."

"Untuk apa?"

"Aku tahu kau marah padaku. Semua ini memang salahku, Liam. Tapi, tolong, jangan seperti ini."

"Hey... Aku tidak marah padamu. Aku hanya diam dan memberimu pilihan."

"Pilihan?" Aku mengerutkan keningku.

"Kalau kau tidak bisa menerima kesibukanku, kau boleh pergi. Tapi kalau kau bisa memahami itu dengan benar, kau tau apa yang harus kau lakukan. Aku sudah mengatakannya padamu beberapa waktu lalu."

"Tidak, aku tidak akan pernah pergi. Liam, you know I love you."

"Iya, tapi maafkan aku, mungkin aku sedikit meragukan itu saat ini." Aku terdiam mendengar kata-katanya. Air mataku kembali mengalir membasahi pipiku. Tangan Liam mengapus air mata di pipiku dengan lembut. "Jangan menangis."

"Bagaimana aku tidak menangis? Perkataanmu..." Aku menundukkan kepalaku. "Kenapa kau sampai seperti ini hanya karena Ashton."

"Ugh. Jangan katakan nama itu. Kau tahu kenapa aku bisa berpikir seperti itu? Karena aku pikir kau juga menyukainya."

"Liam! Aku sama sekali tidak... menyukainya." Aku menghela nafas panjang. "Aku kemari tidak untuk berdebat. Aku hanya mau mengingatkanmu untuk datang di pementasan nanti malam. Tapi mungkin kau sudah tidak ingin datang." Aku beranjak dari tempat tidurnya. "Aku akan pulang." Aku berdiri dihadapannya.

"Okay. Pulanglah."

Jawaban yang tidak aku duga. Ia membiarkan aku pulang begitu saja. Dengan perasaan sangat sedih aku meninggalkan rumahnya. Apa salahku sangat besar sehingga membuatnya bersikap seperti ini? Tapi mungkin aku akan berlaku sama jika ini terjadi padaku.

-

Aku sampai di gedung teater tepat waktu. Aku melihat pemain drama yang mulai dirias wajahnya. Aku mengamati semuanya sampai aku menemukan satu hal yang kurang. Dimana Tristan? Aku tidak melihatnya. Aku bertanya pada pemain musik yang lai tapi mereka juga belum melihat Tristan. Tidak, jangan hancurkan hasil kerja kerasku, Tris. Aku mulai berpikir negatif. Ia tidak pernah seperti ini. Ia selalu datang sebelum waktunya. Aku melihat Mr. Wade yang juga terlihat bingung. Aku menghampirinya.

"Sir, apa kau melihat Tristan?" tanyaku khawatir.

"Aku mencoba menghubunginya tapi tidak aktif. Dimana dia?" Mr. Wade terlihat sama khawatirnya denganku.

"Oh, Gosh, Ashton."

"Kau tetap coba menghubunginya dan mencari tau. Aku akan berjaga-jaga mencari cadangan."

"Cadangan?" Aku bertanya tidak percaya.

"Lakukan saja apa yang aku perintahkan, DeLonge." Mr. Wade meninggalkanku.

Aku terdiam di tempat aku berdiri. Di tengah-tengah ramainya persiapan para pendukung acara. Ya Tuhan, masalah apa lagi yang akan datang? Aku seperti tidak siap menghadapi semuanya. Aku duduk di salah satu sofa di backstage. Aku merain handphoneku dari dalam tasku. Aku mencoba menghubungi Ashton tapi tidak berhasil. Aku mengirimkan beberapa teks.

Satu jam lagi pementasan akan dimulai. Ashton belum juga datang. Mr. Wade sudah menyiapkan cadangan yang sekarang sedang berlatih cepat dengan para pemain musik. Tidak, ia tidak bisa menggantikan Ashton. 30 menit berlalu. Aku melihat dari tirai bangku-bangku teater sudah mulai terisi. Aku melihat Prof. Longley datang dan duduk di baris depan. Hatiku semakin berdebar-debar. Pementasan ini tidak boleh gagal sedikitpun.

Pintu backstage terbuka dan aku melihat Ashton di balik pintu itu. Aku berlari ke arahnya.

"Bagaimana bisa kau terlam..." Aku menurunkan suaraku dan terhenti berbicara karena aku melihat lebam di pipinya. "Tristan... Kau baik-baik saja?"

Ia tersenyum lebar padaku dan mengangguk. "Aku sangat menunggu hari ini. Maaf, aku terlambat. Pasti aku membuat semuanya kebingungan." Ia tertawa kecil. "Aku hanya harus mengurus sesuatu."

"Sesuatu yang membuatmu menjadi seperti ini? Kau yakin kau bisa melakukan ini? Mr. Wade sudah mempunya cadangan kalau kau tak sanggup."

"Tidak, jangan gantikan aku. Ini bukan apa-apa. Aku akan melakukannya."

Ia berjalan melewatiku menuju tempat para pemain musik berkumpul. Aku dapat mendengar para pemain bersorak saat melihat Ashton. Aku tersenyum lega tapi aku juga bertanya-tanya apa yang terjadi dengannya. Aku kembali mengintip dari tirai untuk melihat apakah Liam datang atau tidak. Aku dapat melihat mereka. Tanpa Liam. Di baris keempat. Aku menundukkan kepalaku menghela nafas panjang.

"DeLonge, ayo kita mulai." Kata Mr. Wade sambil menepuk pundakku dari belakang.

Aku menoleh padanya. "Yes, Sir." Aku tersenyum.

Pementasan pun di mulai. Aku melihat wajah-wajah para penonton yang terpukau. Begitu juga ekspresi wajah Prof. Longley. Mereka memang menampilkannya dengan sangat indah. Tiba saat pementasan selesai dan seluruh pendukung acara berbaris untuk memberikan hormat kepada seluruh penonton, aku dan Mr. Wade naik ke atas panggung untuk bergabung. Aku melihat Tristan berdiri di paling ujung dan mengulurkan tangannya padaku. Aku tidak peduli dengan apa yang sudah terjadi antara aku dan Tris, aku menggapai tangannya. Kami pun memberikan hormat dan beberapa bunga terlempar ke atas panggung. Aku sangat puas dengan hasil kerjaku. Kami semua kembali ke backstage. Mr. Wade mengumpulan semuanya dan memberikan kata-kata ucapan terima kasih kepada semuanya. Aku juga menyampaikan setelah Mr. Wade.

Aku keluar dari backstage setelah berpamitan dengan Mr. Wade. Aku mencari Kim dan Jess. Aku melihat mereka masih di tempat duduk mereka sementara penonton lain sudah mulai meninggalkan tempat duduk mereka. Aku melambaikan tanganku ke arah mereka saat mereka melihatku. Aku sedikit berlari menghampiri mereka. Saat aku mendekat, mereka beranjak dari kusi mereka. Kim dan Jess memelukku.

"Keren." Kata Jess sambil melepas pelukannya.

"Your drummer looks so hot on the stage." Kim berbisik padaku lalu tertawa dan aku dan Jess pun ikut tertawa.

"Told you before. Tapi kau tidak mau mendengar." Jawabku lalu kami kembali tertawa. "Liam tidak bersama kalian?"

Kim dan Jess menggelengkan kepala mereka serempak. Harry, Louis, dan Niall beranjak dari tempat duduk mereka.

"He said sorry, Cam." Kata Niall.

Aku hanya mengangguk sedih. Ia benar-benar tidak datang. "Ayo kita pergi dari sini. Aku pikir akan bagus jika kita merayakan suksesnya hasil kerjaku di suatu tempat."

Mereka semua setuju dan sangat senang. Kami berjalan meninggalkan teater. Saat kira-kira kami berjalan melewati dua baris kursi terakhir di teater aku seperti melihat sosok Liam di kursi paling ujung, kepalanya tertunduk. Aku menghentikan langkahku dan mencoba melihat ke arah pria itu kembali.

"Hey, ada apa, Cam?" tanya Kim yang ikut menghentikan langkahnya diikuti oleh Jess.

"Itu... Liam..." Jawabku ragu-ragu.

"Sepertinya... Kau benar. Kau tidak ingin mencoba mendekatinya?" tanya Jess.

"Kalian tunggu aku di luar teater saja, di lobby gedung."

"Okay." Jawab Kim lalu pergi bersama Jess mengikuti Harry, Louis, dan Niall.

Aku mendekati pria itu yang aku yakin 90% adalah Liam. Ia tetap diam di tempat duduknya, kepalanya terus tertunduk entah ada apa dibawah kakinya. Semakin dekat aku melihat setangkai bunga mawar merah di tangannya. Ia memutar-mutar tangkai bunga di tangannya. Ia menunduk melihat ke arah bunga yang ia pegang.

"Liam?" Aku memberanikan diriku untuk menyapa. Pria itu mengangkat wajahnya dan membuatku ingin meneteskan air mataku. Air mata bahagia. Ini benar-benar Liam yang ada di hadapanku. "Liam... Kau... "

Liam beranjak dari tempat duduknya dan langsung memelukku erat. "Semua ini sangat keren. I'm so sorry." Aku memeluknya lebih erat dan air mataku pun mengalir.

"Aku... Aku kira kau tidak datang..."

Liam melepaskan pelukannya dan menggenggam kedua pundakku dengan kedua tangannya. "Itu tidak mungkin. Well, mungkin tadinya itu mungkin." Liam tertawa kecil.

"Maksudmu?"

"Sudahlah. Ini untukmu." Liam memberikan setangkai bunga mawar merah itu padaku.

"Thanks, Liam. Aku hanya masih tidak mengerti apa yang terjadi."

"Nanti kau akan mengerti. Ayo pergi dari sini."

Aku menganggukkan kepalaku. Liam menggandeng tanganku lalu kami berjalan ke luar teater. Saat kami sampai di lobby, teman-teman melihat kami sedikit terkejut bercampur senang. Rupanya tidak ada yang mengerti kalau Liam juga datang kemari. Kami berbincang-bincang sebentar di lobby.

Tiba-tiba aku melihat Tristan dan ketiga temannya yang juga keluar dari gedung teater. Aku tidak ingin membuat masalah lagi. Aku pura-pura tidak melihat mereka. Lalu aku melihat Liam yang melihat ke arah mereka. Sepertinya Liam menyadari bahwa itu Tristan. Tidak, jangan terjadi lagi hal-hal seperti yang lalu. Aku menggigit bibir bawahku khawatir. Tetapi sesuatu yang sangat mengejutkanku terjadi. Liam seperti menyapa Tristan dengan senyum dan anggukkan kepalanya. Aku menoleh ke arah Tristan yang tertawa pada Liam lalu padaku, ia melambaikan tangannya ke arah kami lalu pergi meninggalkan gedung ini bersama teman-temannya.

Aku mengerutkan keningku pada Liam. "Apa yang terjadi? Apa yang aku lewatkan?"

Liam merangkulku dan berjalan beberapa langkah menjauhi teman-teman yang lain. "Maafkan aku. Aku hampir saja membuat drummermu terlambat datang kemari."

Mulutku menganga. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku terkejut. Apa maksudnya?

"Ia datang ke rumahku, Cam. Aku juga kaget saat melihatnya di pintu."

"Apa? Tristan ke rumahmu?"

Liam sedikit tertawa. "Lucu sekali. Tapi aku sangat menghargainya."

"Liam, aku tidak mengerti." Aku terdiam sejenak. "Liam, jangan bilang kau yang membuat lebam di wajahnya?" Aku menyipitkan mataku curiga. Liam hanya tersenyum lebar tidak menjawab pertanyaanku. "Liam?"

Lagi-lagi Liam tertawa. "Ya, begitulah."

"Liam? Kau?"

"Aku emosi, Cam. Tapi memang dia berterus terang tentang semuanya termasuk apa yang dia rasakan terhadapmu dan bagaimana dia berpikir kau juga menyukainya. Sebenarnya sama dengan yang aku pikirkan, tapi aku sangat emosi dan tidak sengaja melakukannya." Liam mengangkat kedua bahunya. "Tapi semua sudah baik-baik saja. Aku pikir ia pria yang baik. Tapi bukan berati kau bisa seenaknya bersamanya."

"Oh, Liam..." Aku menyandarkan tubuhku kehadapannya lalu menciumnya. "I love you."

"I love you more, babe."

-

Hari Senin. Hari terakhirku di Mayhem Musical. Aku mulai berpamitan dengan semua orang yang bekerja disana. Semua pemain drama, pemain musik, dan lain-lainnya. Aku memeriksa kembali semua dokumen internshipku yang diperlukan oleh kampus agar tidak ada yang terlewat. Aku rasa semua sudah lengkap. Aku menghela nafasku dan beranjak dari kursi meja internshipku. Saat aku berdiri, aku tidak terkejut lagi melihat Tristan yang berdiri di ambang pintu. Ia tidak pernah bosan untuk melakukannya.

"Hey, Tris. Aku kira kau sudah tidak akan kemari."

"Hari terakhirmu ya? Aku hanya ingin berterima kasih pada orang-orang disini lalu aku pergi." Ia tersenyum.

Aku berjalan mendekati pintu, dan Tris berjalan berlawanan arah, ia masuk ke dalam ruangan internshipku.

"Semuanya baik-baik saja kan?" tanya nya.

"Thanks to you, Tris." Aku tersenyum lebar. "Maaf untuk lebam di wajahmu."

Tristan tertawa. "Yang penting aku sudah menyelsaikan apa yang aku mulai. Senang bisa kenal denganmu, Cam. Sampai ketemu di lain waktu." Tristan tersenyum padaku hendak pergi tapi aku memanggilnya.

"Tris..."

Ia membalikkan kembali tubuhnya padaku. Aku mendekat dan memeluknya. "Thank you for everything. Maafkan aku untuk semua yang sudah terjadi." Aku memeluknya lebih erat. Untuk beberapa saat ia tidak membalas pelukanku, mungkin ia sedikit terkejut. Tapi akhirnya ia memelukku dan mengacak lembut kepalaku.

Aku melepaskan pelukanku. "Sampai ketemu lagi, Tris."

Tristan memberikan senyumnya yang terakhir lalu pergi meninggalkanku. Aku mengambil tasku dan memeriksa kembali untuk terakhir kalinya memastikan tidak ada yang tertinggal di ruangan ini. Aku tersenyum pada diriku sendiri lalu pergi meninggalkan ruangan dan gedung ini.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet