Chapter 6

Unpredictable (Irresistible Series)

Aku duduk di atas tempat tidurku. Aku sudah siap untuk pergi. Tiba-tiba aku merasakan kalau Liam tidak akan datang. Entah dia ada suatu pertemuan mendadak atau apalah. Tapi aku mencoba untuk mengusir pikiran itu dari otakku. Aku terus menerus melihat layar handphoneku. Tidak ada notifikasi apapun. Sudah pukul 7.45 di malam hari. Jam berapa Liam akan datang? Atau Liam memang tidak akan datang?

Aku memutuskan untuk keluar kamar dan menunggu di ruang keluarga. Mom, Dad, Ava dan Jo pergi. Aku hanya sendirian. Mereka mengajakku untuk pergi bersama mereka tapi aku menolak karena aku akan pergi dengan Liam. Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 8.00. Aku mengambil handphoneku akan menelepon Liam tapi bel rumahku tiba-tiba berbunyi. Akhirnya Liam datang juga. Aku dengan bersemangat membuka pintu.

"Tristan?!" Ekspresi wajahku dengan sekejap berubah. "Apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau tahu alamatku?"

"Hai... Aku hanya ingin memastikan kau sudah baikan." Tristan tertawa. "Mr. Wade."

"Ya, Tuhan." Aku menepuk keningku. "Aku baik-baik saja, Ash. Dan..."

"Ini untukmu." Tristan memberikanku rangkaian bunga mawar kuning dipadu dengan bunga lily berwarna putih yang dari tadi disembunyikan di balik tubuhnya. "Apa aku datang di saat yang tidak tepat? Aku hanya mengira kau butuh bersenang-senang."

Aku mengambil rangkaian bunga itu dari tanganya. "Thanks, Ash. Tapi..."

"Kau menunggu seseorang?" tanya Ashton bersamaan dengan mobil Liam yang datang dan berhenti di depan rumahku. Ya, Tuhan. Apa yang akan terjadi? Tristan menoleh ke belakang ke arah mobil Liam. "Sorry, Cam. Aku tidak tahu kau menunggu seseorang. Aku akan pergi."

"Ash...ton." aku mencoba memanggilnya tapi suaraku terlalu pelan dan ia langsung pergi. Mobilnya berlalu dengan seketika. Liam pun turun dari mobil. Liam berjalan ke arah ku sambil memperhatikan mobil Tristan yang sudah berlalu.

"Flowers?" tanya Liam dengan ekspresi wajah yang aneh. "Apa aku tahu tentangnya?" Liam mengerutkan keningnya padaku.

"Dia hanya pemain musik di Mayhem Musical. Aku akan meletakkan bunga ini di dalam lalu kita pergi."

"Kau tidak perlu melakukannya. Kita tidak akan kemana-mana."

"Apa maksudmu? Tunggu..."

Aku masuk ke dalam rumah. Aku berjalan ke dapur mengambil sebuah vas dan kuisi dengan air. Aku meletakkan bunga itu di dalamnya.

"Hanya pemain musik di tempat kau bekerja? Untuk apa seseorang yang hanya pemain musik di tempat kerjamu datang kerumahmu membawakanmu bunga? Apa ini sudah sering terjadi?"

Aku terdiam mendengar kata-kata Liam. Ia ternyata mengikutiku masuk ke dalam rumah. Aku meletakkan vas bunga di atas meja makan.

"Liam. Aku hanya bertemu dengannya di tempat kerja. Ini pertama kalinya ia datang. Aku pun tidak tahu kalau ia akan datang. Aku saja tidak pernah memberi tahu alamatku."

"Apa yang kau lakukan dengannya di tempat kerja?"

"Apa maksudmu?"

"Kalau kalian tidak dekat untuk apa ia sampai datang kemari membawakanmu bunga?"

"Liam. Tidak ada apa-apa dengan aku dan Tristan."

"Siapa? Tristan? Oh, jadi nama pria itu Tristan. Okay."

"Kau marah padaku soal ini? Jelas bukan salahku kalau ada seseorang yang datang padaku seperti tadi. Ia punya hak untuk itu."

Liam tertawa sinis seperti mengejekku. "Kau mulai membela pria itu sekarang." Liam membalikkan badannya dariku. Aku meraih lengannya.

"Aku hanya tidak ingin berdebat denganmu, Liam. Kau tau aku sangat merindukan saat-saat seperti ini. Aku bersamamu tidak di waktu makan siang. Aku tidak ingin menyia-nyiakannya. Liam, please."

Liam tidak menjawabku. Ia meninggalkanku di ruang makan. Aku perlahan mengikutinya. Ia duduk di sofa di ruang keluarga. Kedua tangannya bertumpu di kedua pahanya memegang kepalanya. Aku duduk di sebelahnya, menyandarkan kepalaku di pundaknya.

"Aku kira kau benar-benar mengerti kesibukanku, Cam."

Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya. "Liam, tentu saja aku benar-benar mengerti."

"Tapi kau membiarkan pria itu mendekatimu. Kau memberikannya harapan."

"Apa yang kau bicarakan? Aku sama sekali tidak memberikannya harapan atau apapun. Aku hanya bersikap biasa selayaknya rekan kerja."

"Rekan kerja? Jadi sebenarnya siapa pria itu? Hanya pemain musik? Rekan kerja? Atau kau akan menyebutnya berbeda lagi beberapa menit ke depan?" Liam menghela nafas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa. "Apa kau bersamanya saat kau tidak bersamaku? Apa mungkin kau akan pergi dengannya kalau aku tidak bisa bersamamu malam ini?"

Kata-kata Liam seperti tepat menusuk dadaku. Jujur saja aku sempat berpikir demikian, seperti yang aku katakan pada Jess tadi siang. Tapi hal itu kan tidak terjadi.

"Kenapa kau hanya diam, Cam? Kau tidak bisa menjawabnya? Jadi siapa sebenarnya pria itu?"

"Tristan... Ia pemain drum di pementasan nanti. Ia inti dari musik di pementasan nanti. Internshipku bergantung padanya. Aku rasa hanya itu."

"Apa ia memang terus mendekatimu? Ia suka padamu?"

"Aku tidak tahu, Liam. Aku tidak ingin berpikir ke arah sana."

"Apa ia tahu kau mempunya pacar? Apa kau pernah memberi tahu dia tentang aku?"

Aku terdiam.

"Ya, aku tau. Ia tidak tahu tentang aku. Kau juga tidak pernah mengatakannya padanya." Liam beranjak dari sofa. Aku mengikutinya. "Aku lebih baik pulang dan beristirahat. Aku butuh menenangkan pikiranku."

"Liam..." Aku seperti tidak bisa menahannya. Aku membiarkannya pergi begitu saja. Air mataku mulai mengalir. Tiba-tiba aku memutar kata-kata Kim di apartemen Jess di pikiranku. Aku sejenak berpikir Kim benar. Tapi aku berusaha sebisaku untuk mengelak perasaan ini.

-

Aku berjalan masuk ke dalam gedung Mayhem Musical. Ya, kami berlatih juga di hari Sabtu tapi hanya ssatu sesi saja. Hari Sabtu di minggu depan kami sudah akan mementaskan ini. Bukan waktu yang lama lagi. Aku masuk ke dalam teater dan melihat Ashton yang sudah duduk di kursi drum nya. Entah mengapa aku membuang wajahku dari hadapannya saat ia melihatku dan akan menyapaku.

Dengan segera aku meninggalkan teater saat sesi latihan berakhir. Aku tidak ingin Tristan menghampiriku. Kali ini aku hanya ingin menghindar darinya. Apa karena semua perkataan Liam semalam? Sebelumnya aku merasa semua ini, Tristan, bukan suatu masalah. Aku sangat senang ketika aku berjumpa dengannya atau menghabiskan sedikit waktu dengannya.

Aku sedikit berlari saat aku keluar dari gedung menuju tempat dimana mobilku terparkir. Aku mendengar suara langkah yang sepertinya juga berlari di belekangku. Ya, sepertinya mengikutiku. Aku berharap itu bukan Ashton. Kalaupun iya, aku berharap aku sampai di mobilku lebih cepat sebelum ia dapat mencegahku.

"Cameron!"

Aku ternyata tidak lebih cepat darinya. Tristan berhasil menahanku saat aku mau membuka pintu mobilku. Ia menggenggam erat pergelangan tanganku. Aku menatapnya. Ia menatapku tajam. Ekspresinya terlihat sangat serius tidak seperti biasanya, wajahnya yang suka tertawa. Tidak untuk saat ini.

"Kau marah padaku?" Tristan melepaskan genggamannya.

Aku menggigit bibir bawahku lalu menggelengkan kepalaku.

"Maafkan aku tentang tadi malam. Aku mungkin terlalu nekat untuk datang..."

"Tidak. Itu bukan salahmu." Aku memotong kata-katanya. "Hanya saja..."

"Ia marah padamu karena ia melihatku?" Ashton memotong kata-kataku dan membuat aku sedikit terkejut.

Aku mengerutkan keningku. "Ia?"

"Pacarmu. Payne. Dia pacarmu kan? The Student Union President of Royal Holloway." Tristan mengangkat satu alisnya.

"Kau... kau kenal dia?"

Tristan mengangkat bahunya. "Ia tidak suka aku mendekatimu. Apakah begitu?"

"Tristan... aku...."

"Cameron." Tristan memegang erat pundakku dengan kedua tangannya. Ia berdiri lebih dekat padaku. "Aku tahu kau bersenang-senang saat menghabiskan waktu bersamaku. Biarpun kita hanya duduk di kedai kopi, berbincang-bincang di dalam studio, di ruang kerjamu. Tapi aku dapat melihatnya di wajahmu."

"Tristan, jangan lakukan ini lagi padaku."

"Lalu kenapa kau tidak pernah bilang padaku kalau kau sudah mempunyai pacar? Kau membiarkan aku terus mendekatimu. Cam, aku selalu mengamatimu dari awal aku bertemu denganmu disini. Aku tahu kau makan siang bersamanya setiap hari. Tapi aku pikir kau tidak ingin jauh dariku atau kau tidak ingin aku menjauh. Jadi kau tidak bilang padaku soal itu, atau sedikit memperingatiku kalau tidak akan terjadi sesuatu di antara kita."

"Memang tidak, Tris. Tidak akan pernah. Aku hanya bersenang-sennag denganmu dan tidak lebih dari itu."

Tristan melepaskan tangannya dari pundakku. Ia melangkah mundur menjauhiku. "Seharusnya aku sudah mengerti dari awal." Ashton tersenyum padaku lalu pergi meninggalkanku.

Aku hanya terdiam ditempat dimana aku berdiri. Air mataku kembali mengalir. Aku tiba-tiba merasa aku hanya sendirian di tengah-tengah kota ini. Semua orang meninggalkanku. Orang-orang yang dekat denganku. Semuanya menjauh. Apa yang salah dari diriku? Apa aku memang salah? Aku teringat satu orang. Jess. Aku akan bertemu dengannya.

J : Hai, Cam.

C : Jess, kau dimana?

J : Aku baru saja sampai di depan rumah Kim. Ada apa Cam?

Aku terdiam. Aku merasa sedih mendengarnya. Kami biasa berkumpul bersama, bertiga. Kali ini Jess berada di rumah Kim. Tapi tidak denganku.

J : Cam? Kau masih disana?

C : Oh iya, Jess. Aku akan meneleponmu lagi nanti. Bye.

Aku mematikan panggilanku pada Jess. Apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku masuk ke dalam mobilku dan hanya duduk diam di dalam sana.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet