The missing pieces

APOLOGY

Mendung yang menyelimuti kota Seoul di penghujung Oktober ini tak kunjung pergi. Rintik hujan pun tak ingin terburu-buru menyingkir dari langit. Tak kalah dengan keduanya, hawa dingin seakan merayap semakin dalam. Menelisik setiap sudut kota Seoul dengan keganasannya. Angin dari laut utara pun ikut merayakan musim gugur kali ini, membuat sebagian pedestrian kepayahan menahan terpaannya. Semuanya seakan memperburuk suasana.

            Namun, keadaan itu tak lebih buruk dibandingkan dengan seorang gadis yang tengah meringkuk dibalik selimut. Beberapa kardus masih menumpuk di sudut ruangan, koper dan isinya terburai di dekat tempat tidur, gumpalan-gumpalan tissue menggunung di tempat sampah, dan beberapa kaleng bir berserakan di lantai. Ia tak ingat sudah berapa hari apartemennya berubah menjadi berantakan seperti ini. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia makan, atau kapan terakhir dia mandi untuk membersihkan diri.

            Gadis itu menggeliat dalam tidurnya. Ia berusaha membuka mata, namun rasa pening yang hebat menahannya. Selain itu, matanya bengkak sehingga ia tak bisa membuka matanya dengan lebar. Hari yang buruk. Ugh. Dia pasti sangatlah hancur, sehingga ia tak ingat apapun selain kenyataan pahit yang telah dialaminya.

Apartemen yang saat ini ia tinggali sebenarnya tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampungnya sesaat. Sesaat untuk melarikan diri dari kenyataan sangat ingin ia lupakan. Ia terpaksa resign dari pekerjaan terdahulunya dan pindah ke Seoul untuk menjalani kehidupan baru. Hanya saja, ia juga tidak yakin apakah ini cara terbaik untuk menyelesaikan semuanya. Bahkan ia juga tidak yakin, apakah yang dilakukannya sudah benar. Saat itu, yang terpikirkan olehnya hanyalah pergi sejauh-jauhnya dan menghilang. Andai saja dia bisa menghilang semudah yang ia pikirkan. Andai saja.

Lamunan gadis itu teralihkan saat sebuah bel berbunyi beberapa kali. Ia bertanya-tanya, bagaimana ada seseorang yang tahu dirinya berada. Ia sangat ingat betul, tak ada yang ia hubungi atau beritahu mengenai kabar kepindahannya. Apa ia terlalu mabuk sehingga tanpa sadar membocorkan keberadaannya sendiri?

Bel berbunyi lagi tiga kali berturut-turut. Sepertinya, seseorang di luar sana sudah tidak sabar menunggu. Lebih baik aku mengeceknya, pikirnya.

Setengah limbung, ia mencoba berpegangan pada sisi tempat tidur sebelum mengangkat tubuhnya dan berjalan gontai menuju pintu depan. Lewat layar kecil di samping pintunya yang tersambung dengan kamera di depan pintu, ia bisa melihat seorang gadis berpotongan rambut pendek tengah mendekatkan wajahnya ke arah kamera. Sang empunya apartemen sempat terhenyak melihat penampakannya di layar monitor, ia sangat mengenal gadis itu. Bagaimana ia bisa tahu?, pikirnya lagi.

Setelah mencari kaca mata hitamnya di dalam kopernya, secepat kilat ia kembali ke depan pintu untuk membukanya. Ia tak mungkin memperlihatkan matanya yang bengkak pada gadis itu. Tidak mungkin!

“KIM YUBIN!! BAGAIMANA KAU BISA—“

Belum sempat si gadis menyelesaikan kata-katanya, si empunya apartemen segera membekap mulutnya dan menyeretnya ke dalam apartemen. Seakan adegan penculikan, ia segera menariknya untuk menjauh dari pintu dan menguncinya kembali.

“Psssttt!! Diam!” serunya dengan suara tercekat tanpa melepaskan bekapannya.

Gadis itu menganguk cepat.

Sedetik kemudian ia melepaskan tangannya dari mulut gadis itu.

“Bagaimana kau bisa meninggalkanku begitu saja di Busan?! Apa kau sudah gila? Lihat dirimu—“ gadis itu mengernyit dan menutup hidungnya segera, “sudah beberapa hari kau tak mandi, heh? Kau terlihat sangat buruk sekali!”

Kim Yubin, gadis yang ia maksud itu hanya memberengut sembari mengendus bau badannya sendiri. Sesaat kemudian, ia sudah membuang muka berusaha menjauh dari tubuhnya. Benar, ia tak ingat kapan terakhir kali ia menyentuh air selain bir kaleng. “Apakah bauku terlalu menyengat, Sunmi-ya?”

Sunmi, gadis berambut hitam sebahu itu berdecak kesal. Dia terlihat cantik dengan blouse berwarna putih polkadot merah yang longgar, tight pants hitam dan stiletto berwarna merah. Jauh berbeda dengan keadaan Yubin, rambut blonde-nya kusut dan berantakan, t-shirt abu-abunya terlihat kusut dengan hiasan bekas tumpahan bir yang mengering disana, dan short pants berwarna khaki membalut kakinya yang jenjang. Benar yang dikatakan Sunmi, ia terlihat buruk.

Tiba-tiba Yubin teringat sesuatu yang maha penting. “Bagaimana kau bisa tahu aku disini?! Siapa yang memberitahumu?!” serunya panik.

Sunmi menggeleng kepalanya kesal. “Lihat! Kau bahkan tak ingat mengapa aku datang kesini.”

Yubin terdiam sesaat. Tidak mungkin. Ia yakin tidak memberitahu siapapun. Melihat reaksi temannya, Sunmi menjadi tidak tega untuk tidak menjelaskan. Namun, ada hal yang lebih penting dari itu. Mandi!

“Sekarang lebih baik kau membersihkan dirimu terlebih dahulu, kita akan keluar untuk mengisi perut. Aku bisa menjelaskan padamu disana. Dan aku tak ingin kau menjadi zombie hidup, Kim Yubin.”

 

~oo0O0oo~

 

Tiga buah burger ukuran besar itu berubah bentuk menjadi dua bulatan besar di pipi Yubin, sisanya sudah bersemayam dengan tenang diperutnya yang sudah beberapa hari tak terisi selain bir. Yubin tak pernah merasa selapar ini. Ia pasti sudah gila. Dengan mulut yang masih penuh dengan gumpalan burger, ia meneguk coke-nya agar gumpalan itu tertelan.

Sunmi hanya meringis geli sekaligus kasihan melihat sahabatnya yang satu ini. Ia sudah menjelaskan pada Yubin bahwa beberapa hari yang lalu, Yubin menghubunginya—dengan keadaan mabuk—mengatakan keberadaannya. Ia pikir Yubin hanya bercanda, namun setelah seseorang berkali-kali menelpon Sunmi menanyakan keberadaan Yubin karena ponselnya tidak dapat dihubungi, ia yakin ada masalah dengan sahabatnya itu. Hal itu ditambah saat alamat yang diberikan Yubin bukanlah nama jalan atau daerah di Busan, melainkan Seoul. Dan setelah ia konfirmasi ke tempat kerjanya terdahulu, sang boss menyatakan ia sudah mengajukan surat pengunduran diri beberapa hari lalu. Sunmi sempat dibuat pusing olehnya. Yubin bukanlah seseorang yang cepat melarikan diri dari masalah. Namun, sepertinya masalah itu cukup mengguncangnya sehingga ia kacau dan tak dapat berpikir jernih.

“Jadi, apa yang membuatmu seperti ini?” tanya Sunmi begitu Yubin melahap gigitan terakhir burger-nya.

Seketika Yubin menghentikan kunyahannya dan menghela napas berat. Meskipun terhalang kaca mata hitam, Sunmi tahu pasti ada sesuatu yang disembunyikan dari mata sahabatnya itu. “Aku tak tahu harus menjelaskannya dari mana, yang jelas aku tak ingin bertemu dengan bajingan itu lagi.”

“Siapa yang kau maksud?” tanya Sunmi tak mengerti. Sedetik kemudian, ia tersadar. “Taecyeon? Apakah benar Taecyeon? Apa yang terjadi pada kalian? Ceritakan padaku!”

Yubin menghembuskan napas panjang, diteguknya lagi coke miliknya agar potongan burger itu tertelan seluruhnya. Kemudian ia menggeleng pelan, suaranya kini terdengar sendu. “Aku tak ingin mengingatnya lagi. Semakin mengingatnya, membuatku semakin membencinya. Aku sangat bodoh, Sunmi-ya!” Yubin terdiam cukup lama, dibalik kacamatanya Sunmi yakin sahabatnya itu sedang berjuang agar tidak menangis di tempat umum.

Sunmi menepuk pundak sahabatnya itu, kemudian berkata dengan sangat lembut. “Selesaikan makananmu, kita akan kembali ke apartemen dan kau bisa menceritakan semuanya padaku.”

Matahari sudah kembali peraduan dan tergantikan sang rembulan saat Yubin dan Sunmi kembali ke apartemen. Sebelumnya Sunmi sempat mengajak Yubin untuk sekedar berjalan-jalan di sekitar apartemennya sambil menikmati cappucinno panas. Beruntung mereka tidak berkeliling terlalu jauh, karena sesuai dugaan Yubin memang buta arah. Dia terlalu kalut saat itu sehingga ia pun lupa ia saat ini tinggal di daerah mana. Yang ia tahu hanyalah, ia sudah cukup jauh dari Seoul dan tak ada seorang pun yang tahu keberadaanya selain Sunmi.

Apartemen tujuh lantai itu terdiri dari sepuluh kamar di setiap lantainya, kecuali lantai dasar yang khusus untuk area parkir dan lobby. Kamar apartemen Yubin berada di lantai lima, sehingga ia harus menaiki elevator untuk mencapai kamarnya. Baru saja mereka akan menaiki elevator, Yubin teringat bahwa persediaan tissuenya sudah habis. Ia yakin malam ini saat ia menceritakan semuanya pada Sunmi, matanya akan bocor lagi. Mungkin lebih deras dari sebelumnya dan matanya akan semakin bengkak saja.

“Yakin tak perlu kutemani? Kau bisa tersesat nanti,” kata Sunmi menawarkan diri.

“Kau tunggu disini saja, ada mini market di depan sini. Aku akan segera kembali,” jawab Yubin sambil berlalu dari hadapannya.

Sunmi hanya mengangguk dan menunggu dengan sabar di depan elevator. Ia berpikir Yubin tidak terlalu lama, sehingga ia tak perlu duduk. Sambil menunggu, Sunmi mengecek ponselnya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan beberapa pesan singkat. Semuanya dari sumber yang sama. Taecyeon.

Ia masih ingat betul saat Taecyeon tiba-tiba mendatanginya dengan wajah yang panik sekaligus cemas. Taecyeon menanyakan keberadaan Yubin yang menghilang tiba-tiba. Beruntung saat itu Sunmi belum mengetahui keberadaan Yubin, sehingga kecil kemungkinannya dia membocorkan keberadaan gadis itu. Sunmi sangat sibuk saat itu, ia belum sempat menghubungi sahabatnya itu lebih dari seminggu. Ditambah lagi, Taecyeon membuatnya semakin panik. Taecyeon tak menjelaskan apa yang terjadi, dia hanya berkata banyak yang harus jelaskan pada Yubin. Sunmi pikir, hubungan mereka baik-baik saja dan terlihat bahagia. Dia sangat tahu bagaimana proses keduanya sampai sejauh ini. Tidak mungkin hal buruk menimpa mereka. Ia yakin ini hanya salah paham saja.

Inti dari pesan Taecyeon berisi pertanyaan apakah Sunmi sudah menemui Yubin dan dimana alamat Yubin berada. Sunmi tak bisa membalasnya langsung, karena ia ingin mendengar cerita Yubin terlebih dahulu. Apalagi pernyataan Yubin yang mengatakan bahwa Taecyeon adalah lelaki bajingan, membuat Sunmi menduga-duga apa yang telah diperbuat sepupunya itu.

Ya, Taecyeon adalah sepupunya. Pertemuan Yubin dan Taecyeon tak akan pernah terjadi jika bukan tanpa campur tangannya. Entah mengapa masalah kali ini juga akan membuatnya ikut campur dalam hubungan mereka. Huh, ini sungguh melelahkan.

“Nona, apakah kau ingin naik?”

Sebuah suara berat membuyarkan lamunan Sunmi, ia menoleh ke kanan kirinya namun tak ada orang. Ketika ia mendongak, manik matanya bertemu dengan si pemilik suara. Manik mata tajam itu menatapnya dengan pandangan lurus. Sunmi hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya, manik mata hitam tajam itu dinaungi sepasang alis yang tebal dan panjang, hidung yang mancung, rahang yang tegas bagai pahatan pualam, rambut coklat berpotongan pendek dan rapi, serta tubuh yang tinggi semampai dengan dada yang bidang. Sunmi mengira ia sudah bertemu malaikat jika ia tidak menyadari bahwa lelaki dihadapannya tidak memiliki sayap atau kakinya menapak lantai elevator sepenuhnya.

“Ya?” tanya Sunmi dengan bodoh. Ia seperti sudah terhipnotis dengan pesona lelaki itu.

“Apakah kau ingin naik?” tanya lelaki itu. Sunmi seperti mendengar lagu yang berdendang di telinganya.

“Ah, ya.” Sunmi seakan menampar dirinya sendiri agar tersadar. “Naik. Ya, aku akan naik.”

Seperti terhipnotis, Sunmi melangkahkan kakinya begitu saja ke dalam elevator dan berdiri di samping lelaki itu.

Dalam diam, dia memperhatikan lelaki di sebelahnya. Kemeja putih lelaki itu dilapisi sweater hitam cukup tebal, dibahunya tergantung sebuah tas berwarna hitam juga, dilengannya tersampir sebuah long coat berwarna coklat muda, seluruh penampilan yang sederhana saja sudah memukau ditambah satu paket dengan wajahnya yang menawan. Sunmi tak habis pikir, apakah orang ini benar-benar manusia?

“Kau ingin turun di lantai berapa, Nona?”

“Eh?” Sunmi tersadar dari lamunannya. “Lantai lima.”

“Kebetulan sekali.”

Tangan lelaki itu terulur dan menekan tombol lima. Sunmi mengucapkan terima kasih dan menyunggingkan senyum terbaiknya dan dibalas dengan senyum sekilas di ujung bibir dari lelaki itu. Sunmi seketika seakan sudah tersengat hanya melihat senyumnya. Meskipun terlihat tidak ikhlas, namun hal itu mampu membuatnya tak berhenti menatap lelaki itu diam-diam.

Ding!

Elevator sampai di lantai lima dan pintunya terbuka.

“Sampai jumpa lagi,” sapa lelaki itu sambil lalu. Meninggalkan Sunmi yang masih terhipnotis di dalamnya. Baru saja ia akan melangkahkan kaki keluar dari kotak besi itu, tiba-tiba ia tersadar dan menepuk dahinya kuat-kuat.

“YA AMPUN! YUBIN!”

 

~oo0O0oo~

 

Masih jelas dalam ingatan Yubin mengenai malam itu. Berbekal hasil suapnya pada Sunmi beberapa hari lalu tentang password apartemen Taecyeon, akhirnya malam itu Yubin berhasil memasuki apartemen Taecyeon dengan sukses.

Ya. Hari ini adalah hari yang sangat istimewa dan selalu dinantikan Yubin. Hari yang sangat istimewa untuk hubungannya yang sudah menginjak tiga tahun. Ia tak pernah menjalani hubungan yang cukup lama dengan seseorang. Taecyeon adalah cinta pertama Yubin. Cinta pertama yang selalu membuat orang lain iri bila mendengar kisahnya. Hubungan mereka terlalu manis dibandingkan dengan kisah cinta pertama lainnya yang selalu berakhir tragis. Tapi, tidak dengan dirinya. Yubin selalu berharap hubungannya dengan Taecyeon akan berakhir seperti dongeng saja. Happy ever after!

Taecyeon adalah seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Taecyeon terlalu sempurna untuk melengkapi kehidupan Yubin. Sehingga ia selalu bersyukur karena Taecyeon telah hadir untuknya.

Sebagai ucapan terima kasihnya dan rasa cintanya yang semakin tumbuh subur dalam hatinya, Yubin bersusah payah untuk bisa memasuki apartemennya. Sebenarnya ini bukan kali pertama ia mendatangi apartemen Taecyeon, hanya saja ini kali pertama dirinya memberanikan diri mendatangi tempat itu tanpa diketahui pemiliknya. Ia tahu, jadwal rutinitas harian kekasihnya itu. Ia yakin saat ini Taecyeon masih berada di gym dan mungkin akan pulang kira-kira sejam lagi. Yubin sudah sangat tidak sabar dengan kejutan yang ia persiapkan.

Tak memakan waktu lama hingga masakan yang ia buat dengan kilat tersaji di meja, sebuah wine favorit Taecyeon juga sudah bersanding dengan dua gelas kristal di dekatnya, serasi dengan sebuah bucket bunga dan kue berukuran sedang bertuliskan “Happy Anniversary”. Ia berkacak pinggang, meneliti hasil karyanya. Sempurna! Biasanya Taecyeon yang selalu memberinya kejutan, sekarang saatnya ganti Yubin yang memberi kejutan. Semoga saja Taecyeon benar-benar terpukau dengan kerja kerasnya. Ya, semoga saja.

Satu jam berlalu. Taecyeon masih belum muncul. Yubin beberapa kali mengecek ponselnya. Mungkin dia sedang di jalan, pikirnya.

Dua jam berlalu. Apa mungkin ia mampir ke tempat makan terlebih dahulu?

Tiga jam berlalu. Yubin nyaris mengantuk. Apa dia tidak akan pulang ke apartemen malam ini? Ia melirik makanannya yang sudah mendingin. Tidak apa, aku bisa menghangatkannya kembali, pikirnya.

Ding!

Yubin tercekat. Seketika ia tersadar sepenuhnya saat ia mengenali suara pintu apartemen milik kekasihnya itu. Ia sudah pulang!

Baru saja ia akan beranjak untuk menyambut kekasihnya di depan pintu, tiba-tiba langkahnya tertahan. Seperti ada sebuah rantai yang terikat pada kakinya yang melarangnya untuk bergerak lebih jauh. Menahannya untuk tidak jatuh. Menahannya untuk tidak limbung. Tubuhnya pun seakan mendadak kaku dan sulit digerakkan. Namun, hal itu tidak membuat Yubin menghentikan manik matanya agar tidak melihat pemandangan yang menyambutnya dari balik pintu tersebut.

Awalnya Yubin berpikir jika ia mungkin dia salah memasuki kamar apartemen milik orang lain, saat dirinya melihat siluet dua orang yang berpelukan erat dihadapannya. Namun, ia sangat mengenal kemeja yang membalut tubuh sang lelaki. Ia mengenal rahangnya yang mengeras, pelupuk matanya yang terpejam, hidungnya yang beradu, bibirnya yang melekat pada bibir lain dan bagaimana kedua lengannya menarik blouse kemudian menguncinya dalam dekapan. Ia tahu, bagaimana sang lelaki menghimpit dan mencengkeram kedua lengan sang gadis pada dinding di sebelahnya, kemudian sepasang bibirnya bergerilya ke area tubuh lainnya. Ia tahu semua itu. Ia melihatnya dengan jelas. Namun, yang belum ia tahu adalah semua itu bukanlah mimpi. Ia terlalu takut untuk menyadari apa yang dilihatnya adalah sebuah kenyataan.

Ya. Kenyataan pahit.

Yubin hanya terdiam saat sepasang manik mata itu akhirnya terbuka dan menoleh padanya. Ia tak mampu menangis ataupun marah, ketika manik mata itu membulat dan menghadap sepenuhnya kea rah Yubin. Yang mampu diingatnya adalah tanpa komando kakinya bergerak begitu saja melewati ambang pintu, tangannya menepis begitu saja saat seseorang mencengkeramnya, telinganya seakan tuli saat namanya berkali-kali bergaung di sepanjang koridor apartemen, matanya seakan buta, hilang arah dan tak tahu kemana. Yang ia tahu hanyalah pergi sejauh-jauhnya.

Rasa sakit itu menyesakkan dada. Begitu sakitnya sehingga tak ada air matanya yang keluar dari pelupuk matanya. Sesak yang membuatnya kesulitan bernapas. Ia hanya terisak tanpa tahu berbuat apa. Setelah itu, tak ada yang mampu diingatnya selain kenangan pahit itu. Terlalu pahit untuk dikenang.

 

~oo0O0oo~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet