Is this love?

APOLOGY

There’s two kinds of love. Honest and lie. Which one will you choose?

 

            Restauran bergaya Itali di sudut kota Seoul itu nampak elegan dengan perpaduan gaya modern serta minimalis yang serasi begitu pertama kali melihatnya. Restauran tersebut didesain sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah rumah yang nyaman dan bersih. Beberapa ornament khas Itali—bendera, tungku pizza, pigura foto bertuliskan Itali—melengkapi keindahan interior restauran itu. Paolo de Maria, begitu mereka menyebutnya.

            Di sudut ruangan—tepat di sebelah dinding kaca yang menjurus langsung ke arah teras luar—sepasang pemuda tengah duduk berhadapan sambil menyantap menu pasta dan risotto di meja. Sebuah Champagne klasik tahun 1989 nampak menemani santap malam mereka. Sang lelaki—dengan postur semampai, wajah bak pahatan pualam, rahang tegas, rambut berpotongan rapi, dan berbalut kemeja berwarna biru muda—menyesap Champagne tersebut sesekali sembari memperhatikan seorang gadis dihadapannya yang tengah serius menatap ponselnya. Gadis itu nampak manis dengan pakaian model baby-doll berbahan sifon yang membalut tubuhnya, rambutnya dipotong pendek sebahu, matanya bulat dan sesekali ia tersenyum menatap layar ponselnya.

“Aku pikir ini adalah quality time untuk kita” sergah sang lelaki.

Si gadis mengangkat wajahnya dan tersenyum, “jangan tersinggung, aku hanya membalas beberapa pesan.”

“Ya aku perhatikan kau sangat menikmatinya.” Sang lelaki menyesap kembali champagne itu, namun manik matanya beralih pada alur pedestrian di luar restaurant.

“Jay membalas pesanku setelah beberapa hari ini dia mengacuhkanku. Aku sangat senang ternyata dia mengingatku, aku pikir dia benar-benar mengacuhkanku. Ternyata tidak,” ujarnya. Masih dengan senyum yang tak luput sedikitpun dari bibirnya.

“Aku yakin kau takkan mencariku jika aku menghilang sekalipun.”

“Jangan berbicara seperti itu. Kau dan dia jauh berbeda. Aku hanya nyaman berbicara padanya. Aku lelah jika harus menjelaskan ini berkali-kali padamu.”

Sang lelaki menatapnya sekilas, “ya sangat berbeda. Aku bisa melihatnya dengan jelas.”

Si gadis tersenyum menggoda. “Lihat, ada seseorang yang cemburu disini.”

“Apakah itu sebuah kesalahan?”

Si gadis terdiam sesaat, “tidak. Hanya saja, ini bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan apa yang telah kau lakukan padaku dulu. Ternyata sangat mudah ya membuatmu cemburu.” Gadis itu menangkupkan kedua telapak tangannya dibawah dagu dan menopang kepalanya dengan tangannya. Manik matanya menatap tajam lelaki dihadapannya.

Sang lelaki menatapnya lurus. “Aku hanya bersikap seperti yang sudah seharusnya kulakukan.”

Si gadis terdiam dan menyunggingkan sebuah senyum penuh arti di ujung bibirnya. “Skor kita belum sama. Kau masih berhutang satu kesalahan. Dan satu kesalahan itu harus ditebus dengan kesalahan yang sama. Hadapi saja, Choi Seunghyun.”

“Lakukan saja yang kau ingin lakukan. Selesaikan, karena aku lelah dengan permainanmu.”

“Aku senang kau seperti ini,” ujarnya tersenyum simpul kemudian menyuapkan sesendok besar risotto ke dalam mulutnya dan mengunyahnya sembari menatap sang lelaki dihadapannya.

Sang lelaki terdiam, larut dalam pikirannya. Sejenak pasta yang dipesannya beberapa menit lalu kini menjadi tak sedap lagi dipandang. Dalam diam—masih dengan manik mata yang menatap lurus gadis dihadapannya—hatinya seakan terbersit akan sesuatu.

Gadis itu.

Ini adalah tahun kedua dia mengencani gadis dihadapannya. Setelah apa yang telah mereka lewati bersama. Masa-masa sulit. Pelarian, jatuh berkali-kali, krisis kepercayaan, dan pengkhianatan, yang seharusnya membuat hubungan mereka semakin kokoh, ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Kepercayaan yang mereka bangun di awal hubungan, bertahan dari segala terpaan masalah yang datang bertubi-tubi justru meruntuhkan pertahanan mereka. Dinding kepercayaan itu luruh. Menyisakan puing-puing. Berusaha tegak namun ringkih. Sehingga sebuah kesalahan saja bisa membuat salah satunya terlepas dari genggaman.

Gadis itu berada di ujung harapan sang lelaki.

Waktu tak dapat diputar, namun masa depan bisa diperbaiki. Seperti sebuah kepercayaan pun bisa diperbaiki, namun sebuah kesalahan tak mungkin dilupakan.

Dan cinta mempermainkannya.

 

~oo0O0oo~

 

Ruangan itu nampak lengang. Sebenarnya ada beberapa perabot yang sudah terisi, menghiasi kekosongan itu. Namun, entah mengapa ruangan itu masih terlalu lengang untuk seorang gadis yang tengah terdiam di ambang pintu. Tak jauh dari tempatnya berdiri, beberapa tumpuk kardus tersusun sedemikian rupa seolah menunggu si empunya segera mengeluarkan isinya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah ponsel yang memperdengarkan nada sambung.

Maaf, nomor yang Anda sedang tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silahkan mencoba beberapa saat lagi—“

Entah sudah kali ke berapa gadis itu mencoba menghubungi nomor yang sama. Namun, hanya operator yang setia menjawabnya. Ia sudah mencoba untuk menyingkirkan kelebat bayangan yang menghantuinya. Sekuat apapun ia berusaha menampiknya, rasa takut itu tak pernah bisa ia singkirkan. Rasa takut itu seakan membuatnya jatuh semakin dalam.

Gadis itu menghela napas. Menahan sesuatu dimatanya agar tak luruh. Karena ia tahu, setiap tetesnya akan membuat rasa sakit itu semakin terasa. Ia tahu, tak ada yang bisa mengobatinya. Dan ia pun tahu, ia tak bisa melakukan apapun untuk meredakannya. Sakit dan sesak.

Kekosongan itu adalah refleksi dirinya. Setelah apa yang ia telah berikan. Seluruhnya. Cinta, kepercayaan dan pengorbanan. Kini, yang tersisa adalah kekosongan yang tak berujung. Ia limbung. Hilang arah. Seakan ia menjadi makhluk terbodoh di dunia.

Setelah mencoba menahan beban yang semakin berat tersebut, akhirnya ia tak kuasa lagi untuk tidak menangis. Gadis itu jatuh terduduk, memeluk lutut. Sedetik kemudian, pertahanannya luruh. Tak ada suara yang keluar. Tak ada isak. Hanya tangis. Tangis yang menyakitkan.

Ia kalah. Dan patah.

 

~oo0O0oo~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet