Another Love

APOLOGY

I get lost in your eyes I'll get lost in those thighs

Looking so good make a grown man cry

Look at those lips make me wanna take a sip

Got them swimming pool hips make me wanna take a dip

Yeah

 

I'm loving your style

I'm loving your smile

You make me go wild

I'll go jungle on yah

 

I don't know what your status is but girl your the baddest chick

A special attractiveness cause your all I want

And we need to be alone

Just the two of us, two of us

Be with me tonight

Yeah

 

Jarum jam di pergelangan tangan seorang gadis itu sudah menunjukkan pukul tujuh tepat, saat dirinya berjalan keluar dari sebuah gedung tempatnya bernaung seharian ini. Trench coat berwarna coklat muda yang dikenakan gadis itu cukup menghalau angin bulan Desember yang menggigit tulang. Sesekali ia menyapa beberapa rekan kerjanya yang kebetulan berpapasan di lobby utama. Senyumnya yang sangat khas mampu membuat semua orang terpesona akan dirinya yang kebanyakan adalah kaum adam. Suasana gedung tempat Pax TV beroperasi cukup ramai seperti hari-hari biasanya, terutama saat pergantian shift dan jam pulang kerja. Pax TV adalah sebuah stasiun televisi yang khusus menyajikan berita-berita mengenai bisnis yang meliputi semua aspek di Korea sekaligus perkembangan saham yang terjadi.

Setelah memastikan pesan di ponselnya terkirim, gadis itu bergegas menelusuri jalur pedestrian menuju halte terdekat. Ia harus ke sebuah tempat untuk membeli sesuatu sebelum terlambat. Kira-kira apa yang harus kubeli?, tanyanya dalam hati. Baru saja ia akan menghentikan sebuah taksi yang sedang melintas, sebuah BMW Zagato Roadster berwarna merah marun melintas dan berhenti dua meter tak jauh darinya. Perlahan mobil tersebut mundur mendekati tempat gadis itu berdiri. Kaca mobil itu bergerak turun memperlihatkan pengemudinya. Seorang lelaki berpenampilan hiphop melongokkan kepalanya keluar. Tattoo nampak menyelimuti sebagian tubuhnya, dari leher hingga lengan kanannya. Gadis itu terkesiap sesaat dan menyambut lelaki itu dengan senyuman.

“Butuh tumpangan, Park Yura-ssi?” tanyanya sembari tersenyum manis. Sedetik kemudian ia sudah keluar dan membuka pintu penumpang untuk gadis itu.

“Kau selalu datang tepat disaat aku membutuhkanmu,” ucap Yura.

“Ku pikir kau akan bersama tunanganmu itu,” jawabnya sembari menginjak pedal gas dan menjalankan mobilnya menembus gemerlap malam kota Seoul. “Jadi, kau akan kemana malam ini? Kau ingin makan malam terlebih dulu? Aku ingin es krim.”

“Aku harus membeli hadiah untuk seseorang, dan aku sudah ada janji makan malam bersama keluarga Choi malam ini,” jawab Yura sembari memperhatikan wajah lelaki itu, tangannya kemudian terulur menyentuh pipi dan membelainya lembut. Sejenak ia memperhatikan leher lelaki itu, menyentuh bagian ruam kemerahan disana. “Kau membuat tattoo lagi?”

Lelaki itu tertawa kikuk, “Ya, kau suka?”

“Apa artinya?”

“Park Yura.” Lelaki itu menatapnya sekilas tepat di manik mata, kemudian menatap jalanan di hadapannya. Tangannya yang memegang tongkat persneling beralih meraih tangan Yura di lehernya, menggenggamnya sesaat dan menangkupkan telapak tangan gadis itu pada pipinya. “Aku memang tidak seperti Seunghyun. Aku tidak bisa menjanjikanmu apapun. Tapi, aku berjanji tidak akan membuatmu menangis.”

Yura tertegun. Lelaki ini…

Jay Park. Lelaki yang entah bagaimana muncul begitu saja ditengah kekalutan yang Yura derita dua tahun ini. Lelaki yang muncul begitu saja menawarkan es krim yang hampir mencair ketika dirinya duduk terisak di sebuah taman. Ia tersenyum, menawarkan diri untuk memperbaiki heels miliknya yang patah dan memberinya plester pada kakinya yang luka. Yura pikir awalnya mungkin dia gangster, karena penampilannya sangatlah berbeda. Tattoo disekujur tubuh, beberapa piercing yang tertanam di hidung dan telinga, serta style-nya yang berbeda dari orang kebanyakan—celana kargo pendek, kaos singlet yang bagian lengannya terbuka lebar dan snapback bertuliskan “Do The Right Rap”, namun ternyata dia adalah lelaki paling lembut yang pernah ia temui.

Saat itu musim panas satu setengah tahun yang lalu. Ketika ia tahu bahwa sangat sulit menjalani hubungan dengan lelaki sekeras batu. Hubungan yang diawali dengan taraf ‘yang satu mengejar dan yang lain bersusah payah menghindar’, itu jarang berjalan mulus. Perbedaan pendapat sering terjadi, pertengkaran tak bisa dihindari. Ia tahu, hubungan ini berawal dari kesepakatan sepihak. Cinta sepihak. Dan ia tahu, hanya dirinya yang antusias dalam hubungan ini. Park Yura menyukai lelaki kepala batu itu bahkan sebelum mengenal apa cinta. Ia pikir, cinta itu bisa ditempa oleh waktu. Namun, ternyata dirinya perlahan tertempa oleh cinta itu sendiri.

Jay Park adalah oasis di tengah gurun sahara. Oasis yang hadir begitu saja melunturkan rasa dahaganya. Orang yang hadir tanpa pernah ia bisa tolak. Orang yang hadir tanpa pernah ia tampik. Jika ia punya kekuatan lebih untuk pergi, mungkin ia sudah pergi bersama Jay. Ke tempat yang jauh. Meninggalkan semua kepenatan di Seoul dan memulai hidup baru. Namun, ada satu hal yang harus ia tak yakin dari rasa itu pada Jay. Lelaki itu belum bisa membuatnya yakin, seyakin dirinya pada Seunghyun. Seunghyun—meskipun hubungan kami selalu berapi-api—dia adalah seorang yang tetap bertahan bersama Yura meskipun apapun yang terjadi. Hal itulah yang belum ia temukan pada Jay. Apakah Jay akan melakukan hal yang sama pada dirinya?

“Kau baik-baik saja?”

Yura terkesiap. Pandangannya kembali teralih pada lelaki di sampingnya. “Ya.”

“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya dengan nada khawatir.

Yura tersenyum, “bukan hal penting.”

“Kau tidak bisa berbohong padaku, Park Yura.” Jay terkekeh geli. “Jadi, apakah kita akan ke Departement Store?”

“Ya, kau benar. Aku harus membeli sesuatu.”

“Good! Let’s go!”

 

~oo0O0oo~

 

Sebuah villa bergaya kubisme di distrik Yongsan-gu, Hannam-dong cukup ramai malam ini. Beberapa mobil mewah nampak berjajar rapi disana. Biasanya hanya segelintir orang yang hadir untuk menginap, namun sepertinya malam ini nampak berbeda. Villa yang berlokasi di SHVillage, tepat di atas sebuah bukit dan menghadap langsung ke sungai Han itu menyajikan panorama malam yang sungguh indah. Gemerlap cahaya malam dari gedung-gedung menjulang di distrik Gangnam memperindah suasana. SHVillage adalah sebuah tempat investasi terbaik bagi siapapun yang menginginkan keamanan, privasi serta pemandangan menakjubkan yang ditawarkannya.

Ini adalah kali pertama Yura mendatangi villa pribadi milik Seunghyun. Paling tidak, ini adalah kali pertama sejak bertahun-tahun mengenalnya atau menjadi kekasihnya—jika kau berpikir seperti itu. BMW Zagato Roadster itu tidak bisa memasuki area SHVillage dengan mudah, karena butuh perizinan dari sang empunya villa untuk bisa menemuinya atau tidak. Sesuai dengan dugaan Yura, mobil itu tidak bisa memasuki area SHVillage bahkan beserta pengendaranya. Membawa Jay ke villa ini sama saja mengantarkan sang sepia ke sarang penyamun. Ia memang belum pernah melihat lelaki di dalam sana murka, namun ia yakin Jay membuatnya amarahnya bergejolak. Terlebih lagi hari ini adalah hari yang penting untuk keluarganya. Apa yang akan ia lakukan nanti?

“Kau menyuruhku untuk berjalan kaki?! Yang benar saja!” seru Yura pada seseorang di seberang sambungan telepon.

“Ku rasa kau sudah cukup pintar untuk mencari agar aku tak perlu menjemputmu tadi. Jadi kupikir kau bisa menemukan cara untuk menuju kerumah ini tanpa perlu bantuan lelaki itu.”

“Terima kasih, kau sangat membantu,” ucap Yura kesal hendak memutuskan sambungan telepon.

“Aku bisa menjemputmu di depan gerbang,” Seunghyun menawarkan diri, namun langsung ditolak oleh Yura.

“Tak perlu, aku sudah tahu kau memang tidak peduli padaku!”

“Aku sedang berjalan kesana—“

Yura memutuskan sambungan telepon dan berdecak kesal. Dasar! Lelaki keras kepala! Jarak antara gerbang utama dan rumah milik Seunghyun sekitar kurang lebih seratus meter. Dan Yura terlalu lelah untuk berjalan, apalagi setelah ia menghabiskan banyak waktu untuk mencari kado yang tepat untuk Nyonya Choi. Ish, aku ingin sekali menarik rambut lelaki itu sampai kesakitan, jeritnya dalam hati.

“Kau yakin tak perlu kutemani?” tanya Jay.

“Kau ingin mati, huh?”

Jay terkekeh geli, “aku rela mati karenamu, kok!”

“Jangan gila, aku tak bisa hidup tanpamu. Dan aku tak rela bila kau mati hanya karena lelaki itu.”

“Kau menyebut Seunghyun dengan ‘lelaki itu’, sadarlah kau pernah benar-benar menyukainya dulu. Apa aku salah?” ucap Jay, berusaha menyejajarkan pandangan dengan manik mata Yura. Ia menangkupkan kedua tangannya di pipi gadis itu, mencoba mencari keyakinan di sorot matanya. Namun, yang ia temukan disana adalah rasa takut yang terlihat jelas. “Semua pilihan ada di tanganmu. Permasalahannya adalah apakah kau berani memilih salah satunya?”

Yura menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan nanar hingga dua buah lengan terulur untuknya, menariknya jauh ke dalam dekapan. Jay jauh berbeda dari yang ia dulu bayangkan. Jika Yura bisa memilih, mungkin ia akan memilih untuk hidup bebas. Melepas semua beban yang ada untuk menikmati dunia. “Entah apa yang terjadi jika aku tidak bertemu denganmu.”

“Jika tak ada diriku, mungkin akan ada lelaki yang lebih baik dariku,” Jay tersenyum tulus, “kau harus bergegas. Jangan lupa kadonya!” ucap Jay menyerahkan sebuah bungkusan besar pada Yura.

Yura melambaikan tangannya pada Jay sembari mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan memasuki area SHVillage. Baru beberapa meter ia berjalan, seorang lelaki dengan sweater hitam dan celana bahan hitam berdiri tak jauh darinya. Menatap dirinya tanpa ekspresi.

Choi Seunghyun. Kau melihatnya.

 

~oo0O0oo~

 

Dua gelas… tiga gelas…

Seunghyun hanya melirik sekilas saat ia menyadari bahwa Yura—dibalik punggung Nyonya Choi—menatapnya dengan tajam setiap ia berusaha mendekatkan bibirnya pada gelas wiski yang tersaji. Seunghyun tidak peduli saat isi dari gelas ke empat itu melewati kerongkongannya, panasnya membakar dan mulai memberi kehangatan di sekujur tubuhnya. Acara ulang tahun Nyonya Choi tidak mewah, hanya bersifat kekeluargaan dan hanya mengundang orang terdekat saja. Seunghyun, Tuan Choi beserta menantunya—suami dari Hyeyoun—bercengkerama membicarakan masalah pekerjaan dan berita-berita lokal. Sedangkan Nyonya Choi, Yura dan Hyeyoun lebih banyak membicarakan masalah wanita dan bermain bersama Yeonjun.

Empat gelas… lima gelas…

Jam sudah menunjukkan hampir lewat tengah malam dan Yeonjun sudah mengantuk. Hyeyoun dan suaminya berniat untuk menginap malam ini, jadi Hyeyoun memutuskan untuk pergi ke kamar terlebih dahulu untuk menidurkan Yeonjun. Setelah berbicara sejenak mengenai hubungan Yura dengan Seunghyun, Tuan dan Nyonya Choi akhirnya memberi waktu mereka untuk berbicara berdua. Waktu yang mungkin jarang dimiliki mereka.

Enam gelas… Tujuh gelas… Delapan—

“Sudah cukup.”

Gelas milik Seunghyun tertahan di udara sesaat sebelum bibir gelas itu menyentuh bibirnya. Seunghyun mendongak dan menemukan Yura disana. Tapi ia tak peduli. Disingkirkannya tangan Yura, kemudian kembali diangkatnya gelas itu hingga menyentuh bibirnya. Detik berikutnya, tangan itu kembali menghalanginya. Menariknya begitu saja dan menaruhnya di meja. Beruntung anggota keluarga lain sedang berada di ruangan lain. Sehingga Yura cukup berani melakukan ini.

“Sudah cukup, Choi Seunghyun!” seru Yura dengan suara tercekat.

Seunghyun berdecak kesal, ia membiarkan gelas yang dibawa Yura tanpa harus memaksanya untuk mengembalikan. Tanpa peduli ia mengambil botol wiski yang sudah hampir habis dihadapannya dan menenggaknya langsung dari botol itu hingga tandas dalam sekali teguk. Yura tak ingin membuat keributan di rumah ini, terlebih lagi ia sudah lelah untuk berdebat. Ia sudah lelah memperingati Seunghyun. Lelaki itu lama kelamaan semakin kehilangan akal sehatnya.

“Terserah kau sajalah!” gerutu Yura, menghempaskan diri ke ruang kosong di sebelah Seunghyun.

Seunghyun terkekeh geli, kepalanya sedikit agak terasa berat dan pandangannya mulai tidak fokus. Tapi ia bisa menahannya. Sudah lama memang ia tidak minum sebanyak ini, sepertinya cukup untuk menghilangkan penat sejenak. Terlalu banyak yang ia pikirkan sedari tadi. Andai saja ada mesin pencuci otak, mungkin ia senang bila semua ingatannya hilang. Menjadi seseorang yang tidak tahu apa-apa tentang dunia dan memulai hidup baru atas dasar keinginannya sendiri. Mungkin lebih baik seperti itu.

“Ku pikir Soyeon datang kemari, ternyata tidak.” Yura mengambil ponselnya dan mengecek beberapa pesan yang ada disana. Ia memang tidak terlalu suka dengan Soyeon. Terlebih ketika ia tahu bahwa Soyeon adalah orang yang tak segan untuk melakukan konfrontasi padanya. Meskipun ia tak tahu sama sekali masalah antara dirinya dan Seunghyun. Dia adalah pendukung paling fanatik dari sisi Seunghyun. Aneh saja, masih ada wanita bodoh seperti dia, rutuk Yura dalam hati.

“Dia terlalu malas untuk menatap wajahmu sepertinya,” ucap Seunghyun, ia terkekeh lagi.

“Aku pun malas sekali jika harus bertemu dengannya meskipun terpaksa.”

Beberapa menit kemudian, tak ada pembicaraan di antara mereka berdua. Keheningan tersebut mereka pergunakan untuk mendalami pikiran masing-masing. Yura dan Seunghyun sudah berjalan sejauh ini. Sudah terlalu banyak yang mereka lewati. Membuat mereka menyadari bahwa istilah turning point sangat mustahil untuk terjadi. Semenjak dua bulan ini, Yura menyadari ada yang berbeda dengan kekasihnya itu. Seunghyun tak lagi merajuk untuk kembali. Ada hal yang aneh. Apa yang dipikirkan lelaki itu? Mengapa akhir-akhir ini Yura kesulitan membaca apa yang dipikirkannya?

Aku akan melepaskanmu jika kedudukan kita sudah sama. Kau masih berhutang satu kesalahan. Dan satu kesalahan itu harus ditebus dengan kesalahan yang sama.

Kesalahan yang sama?

Saat ini hubungan dengan Jay masih dalam tahap yang membingungkan. Jika aku sudah mencapai titik itu bersama Jay, apakah aku akan bisa melepaskannya?, pikir Yura dalam hati. Apakah Jay benar-benar orang yang tepat? Paling tidak, aku harus tahu apa yang dipikirkannya. Apa rencananya? Apakah ini berhubungan dengan kesepakatan kerjasama Architech dan Choi Realty Group Corp.?

“Ada dua kamar kosong yang masih tersisa, kau bisa memakai salah satunya,” ucap Seunghyun tanpa perlu memandang Yura.

“Tak perlu,” Yura beranjak dari posisi duduk dan mengambil tas miliknya. “Aku tak berniat menginap malam ini. Aku naik taksi saja.”

“Aku akan hubungi Seungri untuk mengantarkanmu,” kata Seunghyun menawarkan diri.

“Aku tidak terbiasa semobil dengan pria mesum seperti dia.”

Seungri adalah asisten pribadi miliknya, mereka sudah saling mengenal sejak lama. Namun, ia jarang mempekerjakan Seungri karena ia lebih senang mengerjakan semuanya sendiri tanpa campur tangan Tuan Choi. Saat ini Seungri lebih sering mengurusi urusan Tuan Choi. Pribadinya cukup menyenangkan, hanya saja kau harus hati-hati padanya. Matanya bisa saja diam-diam menelanjangimu.

Seunghyun tergelak.

Ck, tuh kan dia mulai aneh! Baru saja Yura akan berjalan menuruni tangga untuk meninggalkan rumah itu, Seunghyun menahan langkahnya tiba-tiba dengan sebuah pertanyaan yang membuat gadis itu membeku.

“Yura-ssi, apakah kau benar-benar mencintaiku?”

 

~oo0O0oo~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet